Babak 13 - Bertengkar Lagi

"Ini benar barang asli, kan?"

Lagi-lagi Faya mendengar pertanyaan tidak yakin dari calon pembelinya. Sudah bukan rahasia jika sejak jatuh miskin, Faya harus merelakan barang-barang mewah miliknya yang tersisa harus ia jual demi bertahan hidup. Meski bekerja di florist milik Dewa cukup membantu Faya untuk menyambung hidup, tapi tetap saja uang yang Faya keluarkan setiap bulan untuk membayar kontrakan dan biaya makannya tidak sedikit. Faya sudah berusaha, tapi untuk urusan perut, ia belum berhasil mengubah seleranya menjadi lebih merakyat. Ia tetap memilih memesan makanan dari restoran yang harganya jauh lebih mahal dibandingkan memesan dari rumah makan lokal dan café yang terjangkau di sekitar florist.

"Saya beli sepatu itu di Singapura. Kita memang tidak bisa memeriksa keaslian sepatu di toko tempat saya membeli. Tapi kalau kamu mau, kita bisa mendatangi toko brand itu yang ada di salah satu mal di sini!"

Mendengar jawaban tegas Faya, perempuan muda yang berniat membeli sepatu tersebut hanya bisa meringis.

"Oke, saya percaya. Tapi, bisa dikurangi sedikit lagi saja harganya, Mbak?" pinta si calon pembeli dengan mata penuh harap.

Faya menutup mata sembari menghela napas panjang. Berusaha menahan diri untuk tidak bertindak impulsif.

"Baik." Faya mengangkat satu jarinya membuat si perempuan muda tersebut tampak bahagia.

"Makasih, Mbak. Kalau gitu saya transfer sekarang, ya?"

Bunyi pesan notifikasi di ponselnya menjadi pertanda transaksi mereka berakhir. Faya mendapatkan uangnya, dan si pembeli mendapatkan barang yang diinginkannya. Setelah mengucapkan terima kasih, perempuan muda tersebut segera berlalu dari hadapan Faya dengan senyum ceria karena berhasil mendapatkan barang yang diinginkannya.

Faya mengangkat gelas kopinya untuk ia nikmati. Namun matanya menerawang ke arah perempuan muda yang baru saja membawa pergi satu lagi barang mewah kesayangannya. Selama tiga bulan terakhir, Faya sudah menjual lebih dari lima barang mewah yang ia bawa bersamanya. Tidak banyak lagi yang tersisa di kopernya. Dan entah berapa lama barang itu akan bertahan bersamanya sebelum Faya pada akhirnya harus mengucapkan selamat tinggal pada benda-benda yang sudah seperti anak-anaknya tersebut.

Bertahan hidup. Dua kata tersebut menjadi mantra untuknya hingga saat ini. Memang apa lagi yang bisa ia lakukan. Ia yang sudah bertekad tidak lagi berandai-andai keajaiban itu nyata adanya memilih untuk menjalani hidupnya yang sekarang. Pun tentang keberadaan papanya yang sudah diberitahukan Martin, Faya juga tidak ingin memikirkan. Ia sudah memutuskan untuk menjadi sebatang kara di dunia ini. Itu artinya ia hanya akan menjalani hidup sesuai keinginannya tanpa perlu peduli pada apapun yang dikatakan orang lain.

Setibanya di florist, Faya mendapati pemandangan yang sebenarnya sudah biasa ia lihat. Para rekan kerjanya yang sedang menikmati makan siang bersama. Meski sudah bersama selama hampir setengah tahun, bukan berarti hubungan mereka sebagai rekan akan berjalan seperti pada umumnya. Faya masih tetap tidak bisa membiasakan dirinya untuk berbaur dengan mereka. Meski begitu ia tetap berusaha untuk bersikap sopan dan menjaga jarak. Karena Faya masih berpikir, tidak ada gunanya menjalin hubungan dengan mereka.

Tanpa menyapa mereka, Faya langsung bergerak menuju meja kerjanya. Meski jam kerja belum dimulai, tapi ia memilih untuk duduk di kursi kerja sembari memainkan ponselnya. Walau ia sudah bertekad untuk tak lagi mengintip ke dunia yang pernah ia tinggali, hanya saja selalu terbersit di dalam hatinya untuk membuka media sosialnya. Faya tahu tidak akan ada hal baik yang akan ia dapatkan dari kegiatan tidak bergunanya. Yang ada perasaanya justru kembali merasa tak nyaman. Memang benar tidak akan mudah menghapus jejak dari setiap langkah kehidupan yang kita jalani. Begitu juga yang dialami Faya.

Faya yang terlalu larut menyelami kehidupan lalunya dikejutkan dengan uluran tangan seseorang yang memberikannya sebuah bungkusan. Faya terperanjat kemudian menatap orang yang mengulurkan sebuah camilan yang dibungkus daun pisang. Faya tidak tahu apa nama panganan tersebut karena dia memang tidak pernah memakannya.

Ibu Mina, rekan kerja yang paling dewasa diantara mereka sedang tersenyum padanya sembari menawarkan makanan khas tradisional yang dibawanya. Faya tak menyambut, hanya menaikkan sebelah alisnya, pertanda bingung.

"Kamu sudah makan siang?" tanya Ibu Mina yang sama sekali tidak merasa tersinggung dengan sikap Faya. Seperti sudah biasa dan sangat memaklumi keengganan gadis itu.

"Sudah," jawab Faya singkat.

"Kamu mau coba ini? Kebetulan saya bawa banyak." Ibu Mina menawarkan kepada Faya.

Sekali lagi Faya hanya memandangi bergantian antara tangan dan wajah Ibu Mina. Kemudian ekspresi lama yang tidak pernah Faya tunjukan akhirnya kembali lagi. Ekpsresi yang membuat semua orang yang ada di sana sempat menahan napas. Mereka tahu Faya tidak terbiasa dengan kehidupan orang biasa. Namun bukankah beberapa bulan ini ia sudah mulai terlihat bisa menerima dan berbaur dengan mereka.

"Saya tidak terbiasa dengan makanan seperti itu," ujar Faya dengan nada merendahkan.

Sejenak Ibu Mina tertegun. Tangannya yang masih mengulurkan panganan tampak bergetar. Terlihat jelas Ibu Mina berusaha menampilkan senyumannya meski mendengar nada tidak enak dari ucapan Faya.

"Saya tahu. Karena itu, saya pikir kamu ingin mencobanya. Makanan ini enak. Dan dimasak dengan cara yang bersih juga."

"Hanya karena itu dimasak dengan cara yang bersih bukan berarti makanan itu akan cocok untuk saya. Bagi saya, makanan yang dibungkus dengan daun seperti itu, bukan untuk dikonsumsi. Saya tidak ingin mengambil resiko untuk kesehatan saya dengan mengonsumsi makanan yang tidak jelas asal-usulnya."

Anggika yang memang sejak awal sudah berseteru dengan Faya akhirnya tidak dapat menahan dirinya mendengar ucapan menyakitkan Faya. Gadis itu langsung beranjak dari duduknya dan menghadapi Faya tanpa pikir panjang.

"Memang kenapa dengan makanan itu? Ibu Mina sudah berbaik hati mencoba ramah sama kamu, tapi kamu tetap aja nggak sopan begitu. Memang kamu pikir kalau makan kue itu kamu bakal keracunan!" sembur Anggika pedas.

Kiki dan Nita dengan cepat menghampiri Anggika. Menahan gadis itu agar tidak bertindak gegabah yang akan menimbulkan pertengkaran kembali. Namun sepertinya hal tersebut percuma karena baik Faya dan Anggika sepertinya tidak ingin melepaskan satu sama lain. Bahkan Faya yang biasanya tidak ingin menanggapi kini justru siap berhadapan dengan Anggika. Gadis itu menyilangkan kedua lengannya dengan postur menantang pada Anggika.

"Apa urusan kamu? Saya mau menerima atau tidak, itu hak saya. Memang kenapa kalau saya tidak menerima makanan seperti itu? Kamu dan kalian semua mungkin terbiasa memasukkan apapun ke dalam perut kalian. Tapi tidak dengan saya. Mungkin bukan hanya keracunan, bahkan kematian pun bisa saja terjadi jika saya mengonsumsi makanan itu."

Anggika mengeluarkan tawa sarkas. Terlihat benar-benar muak dengan sikap Nona Besar yang kembali Faya tunjukkan.

"Jangan merendahkan makanan yang diberikan dengan penuh ketulusan sama orang lain! Ternyata punya banyak uang nggak menjamin seseorang punya etika yang baik! Sopan santun yang kalian tunjukkan itu ternyata cuma kepalsuan ya. Sekarang saya jadi mikir, gimana rasanya hidup dalam kepalsuan seperti kehidupan yang kamu jalankan selama ini? Ck ... ck ..."

Decakan yang Anggika ucapkan diakhir kalimatnya menyulut amarah Faya.

"Palsu atau tidaknya kehidupan saya, tidak ada urusannya dengan kamu. Kalau memang saya tidak bisa menerima makanan yang bagi saya seperti sampah itu, punya hak apa kamu memaksa saya untuk menerimanya?"

Kata kasar yang Faya lontarkan tak hanya menyulut amarah Anggika. Tapi bahkan semua pegawai florist. Terlebih Ibu Mina yang wajahnya akhirnya menunjukkan rasa kecewa dan sakit hati atas ucapan Faya yang mengatakan makanan yang ia buat tak ubahnya seperti sampah di mata Faya.

"Ta ..."

"Faya!"

Anggika yang tadinya akan meradang seketika terperanjat. Tak hanya gadis itu, tapi semua orang juga merasakan hal yang sama. Ketika mendengar teguran tegas dari Dewa yang tiba-tiba saja sudah berada bersama mereka.

Semua memalingkan wajah untuk menatap Dewa yang wajahnya terlihat mengeras. Selama bekerja, baru kali ini para pegawai mendapati wajah Dewa tampak menahan kemarahan. Begitu pun dengan Faya. Meski belum lama mengenal Dewa, tapi kesan pria itu di mata Faya adalah pria yang lembut. Mendadak melihat sisi lain dari Dewa, siapa pun tak akan menyangka jika pria tersebut bisa juga menunjukkan kemarahan.

Langkah Dewa tidak tergesa ketika mendekati Faya dan Anggika. Bahkan terkesan begitu hati-hati. Namun hal itu justru membuat perasaan para pegawainya merasa tak tenang.

"Mas Dewa ..."

Anggika akan menjelaskan ketika Dewa sudah mendekat pada mereka. Namun pria itu memberikan isyarat agar Anggika tak berbicara. Dewa justru menatap tajam pada Faya di hadapannya.

"Minta maaf pada Bu Mina," perintah Dewa tiba-tiba mengejurkan mereka semua.

"Apa?" Faya merasa pendengarannya sedang bermasalah.

"Kamu, minta maaf pada Ibu Mina." Dewa mengulang kembali ucapannya dengan nada lebih tegas.

"Hah?" Faya mengembuskan desah napas kasar. "Saya, minta maaf? Dalam rangka apa kamu memerintahkan saya minta maaf pada orang lain?"

"Karena kamu sudah bersikap tidak sopan pada Ibu Mina."

" ... and that's my problem. Not yours!" Faya membalas dengan nada kasar.

Dewa menarik napas panjang. Selama ini ia bisa menolerir segala sikap Faya yang masih belum sepenuhnya bisa ia ubah. Entah itu sikap ketusnya, tak bersahabatnya, atau bahkan egonya yang tak ingin berbaur dengan yang lain. Namun untuk masalah kali ini, Dewa tak bisa. Baginya, Ibu Mina adalah yang paling dituakan di tempat itu. Ia yang sejak kecil selalu diajarkan untuk menghormati orang yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda, jelas tidak bisa menerima sikap Faya.

"Ini menjadi masalah saya jika salah satu pegawai saya bersikap kurang ajar kepada orang yang lebih tua. Terutama jika itu terjadi di tempat ini. Di depan mata saya!" jawaban Dewa tak kalah tegas.

Faya, tak pernah mengira jika Dewa bisa marah padanya. Baginya, pria itu adalah orang yang lembut dan pengertian. Yang akan mengulurkan tangan jika melihat orang lain kesusahan. Dan sepertinya Faya lupa, itulah sosok Dewa yang selama ini dikenalnya. Karena memang sikap Faya kepada Ibu Mina, bagi Dewa merupakan suatu ketidak sopanan yang tak bisa membuatnya menutup mata. Meski dirinya adalah penyelamat gadis itu dikala dirinya terpuruk.

Entah untuk berapa lama Dewa dan Faya saling memandang. Keduanya menunjukkan ketegasan satu sama lain. Faya jelas tidak akan tunduk dengan keinginan Dewa yang memerintahkannya untuk meminta maaf. Begitu pun Dewa yang tidak akan bersikap lembek hanya karena Faya patut dikasihani. Rasa kasihan dan hormat adalah dua hal yang memiliki jalan berbeda. Karena itu Dewa ingin Faya memahami hal itu. Tidak selamanya orang lain harus selalu mentolerir sikapnya. Ada kalanya Faya yang harus belajar menempatkan diri. 

note : terima kasih koreksi typo-nya

Rumah, 26/01/23

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top