Babak 10 - Purple Hydrangea
Pada akhirnya Dewa memanggil satu persatu para pegawai yang terlibat dalam perseteruan antara Faya dan Ambika. Dari Nita dan Kiki, Dewa tahu duduk perkaranya. Ia tak bisa menyalahkan baik Faya ataupun Ambika. Namun ia juga tidak membenarkan sikap keduanya.
Dewa menginstruksikan pada yang lainnya untuk kembali bekerja. sementara dua pelaku perseteruan akan menghadap pada pria itu satu per satu untuk menyelesaikan masalah mereka. Dimulai dari Ambika yang Dewa yakin lebih mudah untuk dihadapi.
Ambika dengan perasaan yang sudah lebih baik menceritakan kronologi awal pertengkerannya dengan Faya. Ia yang sangat mengidolakan Serena merasa tak terima idolanya direndahkan oleh Faya. Mungkin karena jiwa mudanya, Ambika masih belum bisa memilah bagaimana harusnya mengidolakan seseorang dengan logika yang lebih baik.
“Ambika, Mas tahu kamu mungkin merasa sakit hati atas apa yang Faya katakan tentang idolamu. Tapi bukan berarti juga kamu harus membela mati-matian orang yang bahkan kamu tidak kenal betul. Kamu hanya sebatas tahu Serena dari media. Kamu juga pasti sadar apa yang ditampilkan media tidak semuanya bisa dipercaya. Setiap orang juga pasti hanya akan menampilkan sisi baiknya demi mencapai satu tujuan tertentu.”
“Tapi, Mas Dewa …”
Dewa mengangkat telapak tangannya untuk menghentikan interupsi yang akan Ambika lakukan. Bukan karena ia tidak ingin mendengar pembelaan gadis itu. Tapi karena masih ada hal yang ingin ia sampaikan pada Ambika.
“Mas, tahu apa yang ingin kamu sampaikan. Tapi dalam hal ini, Mas merasa kamu juga terlalu berlebihan. Bukan Mas ingin membela Faya, karena dia juga punya kesalahan yang sama seperti kamu. Mungkin saat pertengkaran itu terjadi suasana hatinya sedang nggak bagus.”
“Terus dia lampiasin mood-nya yang jelek ke aku, gitu?” potong Ambika.
Dewa mengangguk. “Kita sama-sama tahu orang seperti apa dia.”
“Mas jangan belain dia terus. Orang seperti Mbak Faya kalau dibiarin terus bakal ngelunjak dan selalu merasa benar.”
Mendengar jawaban Ambika yang menggebu membuat Dewa kembali memijat dahinya. Baru kali ini ia melihat gadis di depannya bersikap agresif hanya karena ingin membela idolanya mati-matian.
“Mas nggak membela siapa pun dari kalian. Mas hanya nggak suka suasana florist jadi rusak hanya karena perseteruan sepele seperti ini.”
Dewa bisa melihat wajah Ambika melayangkan ekspresi protes. Namun pria itu dengan cepat meminta Ambika untuk tak lagi menyelanya dengan menaikkan telunjuknya sebagai bentuk peringatan.
“Faya salah, kamu juga salah. Karena saat ini yang ada di hadapan Mas adalah kamu, maka kamu yang akan lebih dulu dapat rentetan omelan, Mas.”
“Mas Dewa …”
“Dengarin Mas dulu, Ambika. Bisa?” saat gadis itu mengangguk, Dewa kembali melanjutkan apa yang ingin ia sampaikan. “Menurut Mas dalam masalah ini kamu lah pihak yang terlalu berlebihan. Mas nggak punya hak untuk melarang kamu menyukai sesuatu atau mengidolakan seseorang. Tapi Mas cuma mau menyarankan agar kamu bisa menetapkan batasan dalam hal menyukai tersebut. Menyukai sesuatu atau seseorang yang terlalu berlebihan itu tidak selalu baik.”
“Tapi aku sama sekali nggak merugikan orang lain, kan kalau mengidolakan seseorang.” Ambika berujar.
“Mungkin iya, tapi mungkin juga tidak. Lihat apa yang terjadi saat Faya mengatakan hal yang tidak menyenangkan tentang idola kamu? Kamu marah dan akhirnya terjadilah pertengkaran itu. Dari situ saja, bisa kita lihat kalau kamu sudah mengarah pada rasa mengidolakan yang cukup ekstrim.”
“Tapi itu karena Mbak Faya menjelek-jelekkan Serena. Dia bilang Serena itu perempuan murahan, Mas.”
“Ambika, bisa saja apa yang Faya tahu lebih baik dari apa yang diketahui orang-orang. Kamu hanya seorang fans yang tidak tahu seluk beluk idola kamu di belakang layar. Faya bilang begitu mungkin karena dia tahu seperti apa dunia yang dijalani para selebriti. Tidak selalu baik. Kita juga pasti tahu meski hanya sebatas di permukaan saja. Dan Faya, kita tahu dia dulunya adalah satu dari sekian orang yang punya akses ke dunia tersebut.”
Wajah Ambika terlihat penuh pertimbangan. Maka Dewa hanya perlu memberi sedikit pengertian lagi pada gadis itu. Bahwa apa yang dilakukannya pun tak dapat dibenarkan.
“Ambika, mengidolakan seseorang itu tidak salah. Tapi sebagai seorang penggemar, kamu juga harus punya batasan dalam menggemari. Sukai apapun karyanya. Contoh berbagai hal baik yang dia lakukan. Terlepas dari bagaimana kehidupan seorang idola yang tidak kamu tahu, biarkan itu menjadi privasinya. Dan ketika ada yang berbicara buruk tentang idolamu, kamu boleh marah atau berusaha membela apa yang kamu percaya. Tapi bukan berarti kamu harus berlaku ekstrim sampai harus menyakiti orang yang berkata buruk tentang dia.”
Ambika tampak menunduk setelah mendengar ucapan Dewa. Memang benar apa yang Dewa katakan. Ia bahkan tadi hampir melayangkan tangannya pada Faya. Menyadari sikapnya tadi, Faya merasa bersalah.
“Tapi aku yakin Serena nggak seperti yang Mbak Faya katakan …” gumamnya dengan suara pelan.
“Itu bukan masalah. Serena akan tetap menjadi malaikat di mata penggemarnya. Benar atau salah apa yang Faya katakan tentang dia, biarkan itu menjadi rahasia. Cukup kamu tahu, bahwa Serena adalah sosok baik yang senang membantu orang lain.” Dewa berusaha membesarkan hati gadis muda itu. “tapi sekali lagi Mas ingatkan, jadilah seorang penggemar yang bijak. Karena kamu tahu sendiri bahkan kadang penggemar yang terlalu berlebihan justru menjadi citra buruk bagi idolanya.”
“Iya, Mas. Maafin aku karena sudah bikin ricuh florist, ya.” Ambika akhirnya menerima nasehat yang diberikan Dewa padanya.
“Selama kamu mengerti mana yang baik dan benar, Mas akan maafkan. Tapi lain kali, kamu harus bisa lebih bersabar lagi menghadapi Faya, ya. Kalau kamu merasa nggak sanggup, lebih baik menghindar.”
“Mas kok perhatian banget sih sama Mbak Faya?” tanya Ambika kemudian dengan nada penasaran. “Mas suka, ya?”
Dewa hanya tertawa menanggapi pertanyaan Ambika. Bukan hanya sekali dua kali gadis itu bertanya tentang perasaan Dewa pada Faya. Hanya saja saat ini, Dewa belum merasakan perasaan berbeda selain dari rasa empati atas apa yang terjadi dalam hidup gadis itu.
“Sudah, kembali bekerja.”
Pada akhirnya Dewa belum bisa menjawab rasa penasaran Ambika. Gadis itu hanya bisa keluar dari ruangan Dewa dengan wajah tertekuk karena rasa ingin tahunya tak terjawab.
Sepeninggal Ambika, Dewa menyelesaikan beberapa pekerjaannya. Kemudian pria itu beranjak dari kursi kerjanya. Setelah mengunci pintu ruangan, Dewa kemudian turun ke lantai bawah di mana para pegawai bekerja.
Bisa ia lihat Faya yang meski masih terlihat marah tetap berusaha bekerja seperti biasanya. Ambika pun kembali sibuk menata beberapa buket yang harus diantarkan. Meski tadi sempat terjadi keributan, tapi para pegawai berusaha tetap bersikap profesional agar tak menganggu kinerja florist.
Sejujurnya masih ada yang ingin Dewa lakukan yaitu mendamaikan Faya dan Ambika. Namun seperti hal itu belum bisa terlaksana karena Dewa masih hanya berbicara empat mata dengan Ambika. Ia belum menerapkan hal yang sama dengan Faya. Dewa tentu saja harus mengambil sikap setelah memahami dari dua sisi. Namun saat ini dirinya harus pergi menemui salah satu supplier florist mereka.
Ia melirik ke arloji di pergelangan kemudian ia melirik ke arah Faya yang sedang serius memerhatikan ponselnya. Tiba-tiba terbersit keinginan Dewa untuk mengajak Faya turut serta dengannya. Mungkin berada di luar florist bisa membuat suasana hati Faya sedikit lebih baik hingga mereka dapat berbicara dengan kepala dingin.
“Faya,” panggilan dari Dewa membuat Faya mengarahkan tatapannya pada pria itu. “Kamu ikut saya. Biar tugas kamu digantikan Ambika.”
Mendengar namanya disebut Ambika langsung menoleh. Namun ketika matanya bersirobok dengan Faya, gadis itu menundukkan kepala. Rasa takut dan bersalah masih bersarang di hatinya.
“Ambika, gantikan tugas Faya. Mas mau bawa dia menemui salah satu supplier kita.”
Ambika tentu saja tak bisa membantah dari sang bos. Gadis itu bergerak menuju meja kasir Faya tentu saja dengan senang hati menyerahkan tugasnya. Ia juga merasa butuh keluar dari florist demi mendinginkan hatinya.
Dewa kemudian berpamitan pada para pegawai dan menitipkan tanggung jawab florist pada Ibu Mina sebagai pegawai yang paling senior di sana.
Selama perjalanan tak sekali pun Faya mengeluarkan sepatah kata. Ia hanya diam seraya memerhatikan pemandangan sepanjang jalan. Pun tak sekali pun ia menolehkan wajahnya pada Dewa. Seolah ia sedang tenggelam dalam lautan pikirannya.
Dewa juga tak berniat untuk mengusik ketenangan gadis itu. Ia membiarkan saja Faya yang bermenung hingga mereka tiba di tempat tujuan. Barulah Dewa mengeluarkan suara untuk mengajak Faya ikut turun bersamanya.
“Ini … di mana?” tanya Faya sembari matanya membaca plank besar terbuat dari kayu yang di letakkan di depan pintu masuk yang Faya duga sebagai tempat pembudidayaan tanaman. Karena papan nama tersebut bertuliskan Rumah Bunga.
“Salah satu supplier florist kita. Saya sudah bekerja sama dengan Rumah Bunga sejak awal mendirikan florist.” Dewa menjelaskan singkat.
Jika biasanya Faya akan mengomel panjang lebar tentang mengapa Dewa membawanya ke tempat tersebut, tapi tidak kali ini. Ia sedang tidak berselera untuk kembali memulai adu mulut dan mengikuti langkah Dewa memasuki Rumah Bunga tersebut.
Ketika keduanya melangkah memasuki pintu utama, seorang pria paruh baya langsung menyambut Dewa. Mereka bertukar sapa sejenak sebelum akhirnya pria tersebut menuntun Dewa dan Faya menuju ruang hijau terbuka. Di mana bunga-bunga di kembang biakkan.
“Kamu boleh lihat-lihat sekeliling, karena saya dan Pak Ridwan masih harus membicarakan perihal bisnis,” ujar Dewa yang dijawab Faya dengan gumaman kecil.
Sepeninggal Dewa dan pria bernama Ridwan tersebut, Faya mulai menjelajahi tempat tersebut. Hanya ada tiga orang wanita yang sedang bekerja di sana. Karena Faya tak memiliki kemampuan basa-basi dan rasa ingin tahu yang tinggi, ia tidak berniat menyapa ketiga orang yang berada bersamanya. Ia memilih melihat-lihat ke hamparan berbagai warna dari bunga-bunga yang tersaji di depan matanya.
Meski sudah bekerja di Sunny florist, bukan berarti Faya sudah mengenal betul seluk-beluk tentang bunga. Ia hanya tahu beberapa hal kecil tentang tanaman cantik tersebut. Itu pun karena Dewa yang terus menerus mendesaknya untuk terus belajar. Padahal pria itu tahu, Faya sama sekali tidak tertarik untuk mengetahui apapun tentang tanaman yang katanya mampu mendamaikan hati tersebut.
“Itu Hydrangea, atau kadang banyak juga yang menyebutnya Hortensia. Atau yang orang kita lokal lebih kenal dengan nama bunga bokor.”
Faya menoleh saat salah seorang dari tiga perempuan yang ada di sana mendekatinya. Wanita yang Faya taksir umurnya tak berbeda dari Martha sedang tersenyum ramah padanya. Yang seperti biasa Faya acuhkan tanpa berniat membalas senyumannya.
“Kamu pegawai barunya, Dewa? Saya baru kali ini lihat Dewa membawa perempuan ke sini. Biasa yang dia bawa itu pegawai laki-lakinya.”
Faya masih belum memberi respon. Untungnya wanita yang mengajaknya berbicara tak merasa sakit hati karena Faya yang bersikap tak acuh padanya. Sepertinya ia cukup mengerti karakter Faya dari bagaimana gadis memandangnya penuh selidik. Sampai aura yang menegaskan untuk tak dekat-dekat dengannya.
“Kamu tertarik dengan bunga?” wanita tadi tak menyerah untuk mengajak Faya berbicara.
“Tidak.”
“Tapi kamu suka bunga, kan? Misalnya bunga yang diberikan oleh pasangan. Rasanya sangat jarang wanita yang tidak suka bu – ”
“Saya tidak suka!” jawaban tegas Faya membuat wanita tersebut terperangah. “permisi.”
Faya melangkah menjauh sambil kembali memerhatikan beberapa bunga. Sementara wanita yang tak lain adalah istri dari pemilik tempat tersebut hanya bisa tertawa kecil mendapati dinginnya respon dari Faya.
Ia tak mengambil hati atas sikap Faya. Justru rasa penasaran yang terbersit di kepalanya. Ingin tahu bagaimana Dewa bisa berhubungan dengan perempuan yang menurutnya ajaib. Melihat bahwa Faya dan Dewa bagai dua kutub yang berseberangan. Yang satunya begitu hangat seperti cahaya matahari. Dan satunya lagi begitu dingin layaknya daratan es.
Melihat Dewa dan suaminya berjalan beriringan dari ruang rapat, wanita tersebut pun segera menghampiri kedua pria tersebut. Dewa lalu menyapa istri Pak Ridwan yang langsung dibalas sang nyonya dengan mengajak Dewa berbincang sejenak. Sampai ketika mata Dewa tak sengaja teralih mencari keberadaan Faya.
“Siapa perempuan yang datang dengan kamu tadi, Dewa?” tanya Lastri, nama dari wanita tersebut.
“Salah satu pegawai. Ibu sempat berbincang dengan Faya tadi?” tanya Dewa kemudian.
Lastri tertawa seraya menggelengkan kepalanya. “Saya yang banyak omong. Dianya diam saja sambil berusaha menjauh dari saya.”
Dewa menghela napas sejenka. Tahu betul jika begitulah respon yang akan Faya berikan pada siapa pun yang mencoba mendekatinya.
“Saya minta maaf untuk sikap Faya ya, Bu. Saya harap Ibu bisa maklum. Perempuan itu …”
“Saya tahu,” potong Lastri kemudian. “Kamu nggak perlu minta maaf. Justru saya yang salah karena seenaknya langsung ngajak ngobrol padahal tidak saling kenal.”
Dewa bersyukur Lastri bukanlah orang ynag mudah tersinggung. Wanita yang terlihat tegas dari luar, tapi justru begitu lembut dan pengertian. Sejak awal Dewa mengenal pasangan suami istri pemilik Rumah Bunga ini, Dewa merasakan langsung kedekatan tak hanya sebagai rekan bisnis. Namun juga layaknya saudara.
Keduanya lantas berbincang kembali sementara Pak Ridwan memilih undur diri karena masih memiliki pekerjaan yang harus diselesaikan. Bahan perbincangan Dewa dan Lastri tentu saja tak jauh-jauh dari bunga dan perkembang biakannya. Sampai ketika Lastri justru mengubah alur pembicaraan menjadi seputar pegawai baru Dewa yang tak lain adalah Faya.
“Saya rasanya nggak asing dengan pegawai kamu itu. Dia, Faya Cassandra, kan?” Lastri bertanya untuk meyakinkan diri.
“Ibu benar. Dia, Faya Cassandra. Bu lastri kenal Faya?”
Lastri menggeleng. “Tidak. Tapi Rumah Bunga pernah memiliki sedikit urusan dengan perusahaan milik keluarganya. Saya benar-benar terkejut saat mendengar kabar kebangkrutan mereka. Dan lebih terkejut lagi ketika tahu dia justru bisa berakhir sebagai pegawai di florist kamu.”
Dewa tersenyum simpul. “Sejujurnya saya juga nggak menyangka bisa terlibat dengan Faya. Namun mungkin memang kehendak Tuhan yang mengantarkan kami bisa saling terlibat. Mungkin Tuhan sedang mengulurkan tangannya untuk membantu Faya melalui saya.”
Lastri mengangguk setuju. Wanita itu lantas menepuk pundak Dewa. “Benar. Kalau bersama kamu, saya yakin dia bisa belajar untuk berdiri tegak dan memahami jalan hidupnya.”
Dewa hanya menerima pujian yang diberikan Lastri dengan seulas senyuman. Setelahnya Lastri berpamitan pada Dewa untuk menyusul suaminya. Sedang Dewa pun bersiap untuk menyusul Faya yang saat ini kembali memandangi hamparan berbagai warna dari Hydrangea.
“Kamu tahu bunga apa itu?” tanya Dewa yang tahu-tahu sudah berdiri di samping Faya.
Faya yang tak memiliki keterkejutan sama sekali tak menoleh sedikit pun pada Dewa. Namun ia tetap menjawab pertanyaan yang Dewa ajukan.
“Hydrangea. Hortensia.”
Ada keterkejutan yang Dewa tunjukkan di wajahnya. Namun keterkejutan itu tak bertahan lama karena setelahnya Faya menyebutkan jika tadi seorang wanita memberitahukan jenis bunga tersebut padanya. Dewa langsung dapat menebak jika Lastri lah wanita yang Faya maksud.
“Faya, bisa kita bicara sebentar tentang pertengkaran kamu dan Ambika?”
“Tidak, terima kasih. Saya sedang nggak minat untuk kembali mengingat hal itu.”
“Tapi sebagai bos kamu saya merasa memiliki kewajiban untuk menjaga keharmonisan lingkungan kerja.”
Faya menggerung kesal. Ia lantas membalikkan badan hingga kini berhadapan dengan Dewa. Pria itu mengerutkan kesal karena reaksi Faya yang dianggapnya tidak baik. Dewa bukan ingin memulai pertengkaran. Ia hanya ingin mereka meluruskan kesalah pahaman yang terjadi antara Ambika dan Faya. Hingga mereka bisa saling kembali bekerja sama dengan suasana yang lebih baik.
“Faya, saya nggak suka dengan sikap kamu.” Dewa berucap.
“Saya tahu. Tidak cuma kamu. Terlalu banyak orang yang nggak suka dengan saya.”
“Kali ini saya serius. Bukan begitu caranya jika kamu ingin menjalin hubungan dengan orang lain. Kalau kamu masih mempertahankan arogansi kamu, tidak akan lama lagi sampai kamu sendiri merasakan pahitnya obat dari sikap tersebut.”
Faya ingin membantah. Namun akhirnya gadis itu urungkan. Hari ini entah mengapa ia didera rasa lelah yang berlebihan. Mungkin akumulasi dari segala pemikiran kacaunya selama ini. Melihat gadis itu memilih diam, Dewa pun melanjutkan niatnya untuk menasehati Faya.
“Saya tahu kadang kamu masih meratapi nasib. Tapi dengan terus begitu, apa kamu pikir hidup akan berubah. Apa dengan begitu, kamu bisa kembali mendapatkan apa yang hilang dari kamu. Hanya dengan belajar untuk membuka hati maka kamu akan bisa melihat, tidak semua hal yang kamu anggap buruk benar-benar memberikan keburukan untuk kamu.”
“Bisa tidak berhenti berceramah?” ketus Faya pada akhirnya. Ternyata ia memang tidak akan bisa tahan dengan cecaran yang diberikan orang lain padanya.
“Tidak. Kadang memang orang seperti kamu perlu diberi tamparan untuk benar-benar membuka mata.”
Sesungguhnya bukan keinginan Dewa menambah kekesalan dalam hati gadis itu. Namun Dewa merasa perlu untuk menjejalkan Faya dengan kenyataan bertubi-tubi untuk memaksa gadis itu membuka mata.
“Maaf kalau saya kasar, Faya. Tapi kamu tidak bisa selamanya begitu. Mempertahankan keburukan. Kamu perlu membuka lembaran baru dengan menjadi sosok Faya yang baru. Mungkin saya terkesan berisik. Tapi saya lakukan ini karena saya peduli sama kamu. Bagi saya, meski kamu tidak menunjukkan dengan jelas, tapi kadang saya melihat bahwa kamu memang meminta untuk dibantu.”
Faya menatap tajam Dewa. Namun pria itu tak bergeming. Dan justru menatap balik Faya dengan tatapan teduh yang benar-benar Faya benci. Karena baginya tatapan itu seolah lemparan ejekan untuknya. Faya tetap keras kepala memukul rata setiap kebaikan yang diberikan orang lain sebagai bentuk rasa iba.
“Yang terjadi hari ini, saya tidak menyalahkan baik kamu maupun Ambika. Tapi tolong kalian bisa menjaga keharmonisan di florist. Terutama kamu. Walau kadang kamu merasa tidak sehati dengan mereka, bisa kan untuk belajar saling menghormati sebagai sesama rekan kerja. Jika lain kali mood kamu sedang buruk, tolong jangan dilampiaskan dengan orang lain. Banyak cara lain untuk membuat suasana hati menjadi lebih baik daripada harus bertengkar dengan orang lain.”
Faya masih diam. Namun dalam hatinya ia mulai tergerak dengan apa yang Dewa katakan. Bukan salah Ambika jika suasana hatinya sedang buruk. Bukan salah Faya juga jika ia melontarkan kenyataan yang Ambika tidak ketahui. Mungkin keadaan yang tidak tepat hingga keduanya sama-sama terpancing amarah.
“Kalau kamu butuh seseorang untuk berkeluh kesah, saya selalu siap meminjamkan telinga untuk kamu kapan pun. Bercerita tentang apa yang kamu rasakan pada orang lain memang tidak banyak membantu. Tapi paling tidak kamu tidak akan merasa terus terbebani karena selalu memendam segalanya seorang diri.”
Dewa kemudian meninggalkan Faya seorang diri. Bermaksud memberikan waktu bagi gadis itu untuk memikirkan apa yang baru saja ia katakan. Sampai ketika pria itu kembali lagi ke hadapan Faya. Memberikan rangkaian hortensi ungu dalam bentuk buket kecil. Membuat Faya sedikit terperanjat hingga menaikkan pandangannya sejajar dengan wajah Dewa.
“Untuk kamu. Hortensia ungu bermakna keinginan untuk memahami seseorang lebih dalam. Itulah yang saat ini saya rasakan. Dan saya harap tidak cuma saya, tapi kamu juga. Mari sama-sama belajar untuk saling memahami. Bukan hanya untuk kebahagiaan diri sendiri tapi juga untuk menciptakan kebahagiaan bagi orang lain.”
Faya bergantian memandangi antara buket bunga dan wajah Dewa. Hatinya sedang bergejolak. Faya ingin menolak. Namun di suatu sudut terdalam dirinya seakan sedang terjadi perang batin. Sesuatu memaksanya untuk melangkah. Mengambil kesempatan baik yang mungkin akan berdampak pada kebahagiaannya. Faya tahu hatinya butuh suatu dorongan yang membuatnya bertahan. Dan dengan dorongan itu juga, pada akhirnya tangan Faya terulur untuk mengambil buket Hortensia ungu dari tangan Dewa.
Tak ayal Dewa tersenyum mendapati si gadis tak menolak apa yang ia tawarkan. Diperhatikannya Faya yang kini sedang memandangi buket bunga di tangannya dengan intens. Dewa berharap ini adalah pertanda awal yang baik bagi hubungan mereka. Tak hanya dirinya dan Faya, tapi juga Faya dan rekan-rekannya yang lain.
…
Note : Tetap yang pertama ingin kuminta adalah MAAF. Ada beberapa kendala salah satunya entah kenapa kok dua minggu terakhir aku sering banget flu dan sakit kepala. Tapi salah satunya memang salahku juga. Minggu lalu aku bandel di cuaca dingin mana mandi dan keramas. Mana air di rumah kami dinginnya bukan main. Maklum airnya juga asli dari pegunungan soalnya aku memang tinggal di dataran tinggi. Semoga gak ada drama sakit-sakitan lagi. Dan aku bisa mengejar ketertinggalan teman-teman yang lain yang sudah selesai dan yang part-nya sudah banyak banget. Bismillah!!
Ps : makasih koreksi typo dan lainnya
Rumah, 19/02/22
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top