Babak 1 - Berita Buruk

Suara merdu Julie London menyanyikan lagu Blue Moon mengalun mengiringi perjalanan Faya menuju kediaman keluarganya. Setelah berpetualang keliling Eropa selama sebulan, Faya akhirnya merindukan rumah. Tak sabar untuk membaringkan tubuh di kasur empuk di kamarnya. Ah, jangan lupakan juga berendam di dalam bathtub dengan ramuan aroma terapi kesukaannya.

Itulah hidup seorang Faya Cassandra. Putri dan cucu satu-satunya keluarga Pradana. Lahir dengan penuh kemewahan, Faya tak mengenal kata susah dalam hidupnya. Ia yang sejak lahir sudah memiliki sendok emas di mulutnya, tentu tak tahu apa itu bekerja keras. Satu hal yang Faya tahu adalah bersenang-senang. Menghabiskan uang demi memenuhi kepuasannya.

Sejak kecil terbiasa dimanja, jelas saja Faya tak mengenal kata sulit. Segala kebutuhan dan keinginannya selalu dapat terpenuhi. Meski bergelimang harta, satu hal yang mungkin tidak Faya rasakan. Kasih sayang seorang ibu. Karena saat berumur satu tahun, Faya kehilangan sosok itu.

Meski ada ayah dan kakek yang menghujaninya dengan kasih sayang. Namun semua itu tak akan sama. Terlebih kesibukan keduanya yang seringkali tak memiliki waktu untuk bersama Faya. Menjadikan gadis itu hidup dalam kesendirian. Hanya kehadiran para pengasuh dan pelayan yang mengisi kekosongan hari-hari Faya.

Namun semakin beranjak dewasa, Faya tak butuh kehadiran semua orang. Tak mengapa jika ayah dan kakeknya tak selalu ada bersamanya. Tapi uang mereka akan selalu menemani dan mengiringi langkah Faya menyusuri deretan toko barang mewah di pusat perbelanjaan yang Faya kunjungi.

Mengganti kehadiran dengan uang, bukan masalah! Karena nyatanya Faya lebih suka uang. Siapa yang tak suka uang? Hanya manusia munafik yang berpikir uang tidak mampu memberikan kebahagiaan saja yang mungkin (tidak) suka uang.

Namun seperti kebanyakan gadis kaya lainnya, sifat Faya pun tak seratus persen baik. Ia yang terbiasa dengan kehidupan serba mewah, kerap kali memandang orang-orang yang tak selevel dengannya sebagai kuman. Ya, Faya dengan jelas menegaskan bahwa dirinya alergi terhadap orang miskin. Arogansinya memang terbentuk karena pengabaian yang dilakukan oleh ayah dan kakeknya. Mereka tak terlalu memerhatikan perkembangan Faya. Selama gadis itu hidup sehat dan bahagia, bagi mereka cukup. Tak peduli jika Faya berubah menjadi monster arogan dan kasar yang tak memikirkan perasaan orang lain.

Semua sifat dan sikap buruk Faya memang tak lepas dari kesalahan pengasuhan orang tua sejak dini. Jadi jangan salahkan Faya jika ia kerap kali menindas orang lain dengan sikap dan lidah tajamnya.

"Non Faya, kita sudah sampai." Sopir keluarga mengingatkan Faya yang tanpa sadar terlelap dalam perjalanan.

Faya membuka matanya. Gadis itu meregangkan tangannya sebelum keluar dari mobil. Faya tersenyum menatap bangunan mewah di depan matanya. Rumahnya, istananya. Tempat di mana Faya menghabiskan waktunya sejak kecil hingga saat ini.

"Opa, I'm home!" gumamnya.

Faya melangkah memasuki kediamannya. Diiringi sang sopir yang menggeret dua koper besar milik Faya. Semua masih tampak sama seperti sebulan lalu ia meninggalkan rumah ini. Namun ketika gadis itu memasuki rumah, ada aura yang terasa aneh di dalam kediaman mereka. Martha, pelayan utama di kediaman mereka menghampiri Faya dengan raut wajah cemas.

"Ada apa?" tanya Faya dengan raut bingung melihat Martha yang tak seperti biasanya.

"Itu, Non, ada Pak Pengacara di dalam."

Pengacara? Dahi Faya berkerut. Untuk apa pengacara keluarga mengunjungi kediaman mereka di tengah hari bolong begini?

Faya mempercepat langkah menghampiri sang pengacara di ruang tamu. Dalam hati Faya bertanya-tanya, ada gerangan apa pengacara mereka datang. Faya sama sekali tidak punya firasat buruk tentang apapun beberapa waktu ini. Hidupnya berjalan dengan baik dan lancar. Karena itu saat tiba-tiba mendapat kunjungan tak terduga, jelas membuat hati Faya ikut diliputi kecemasan. Terlebih saat melihat Martha saat menyambutnya tadi yang tak bisa dikatakan baik.

"Ada apa Pak Martin datang ke sini?" tanya Faya tanpa basa-basi.

Gadis itu langsung duduk di depan sang pengacara. Posturnya yang arogan dengan segala kemewahan yang terpancar dari ujung rambut sampai kaki sudah menjadi pemandangan yang biasa bagi orang-orang yang mengenal Faya.

Martin, pria berusia setengah abad yang sudah mengenal Faya sejak gadis itu masih kecil tentu sudah tak ambil pusing dengan sikap bak putri cucu kliennya tersebut. Sebagai pewaris satu-satunya di keluarga Pradana, wajar saja jika Faya bersikap 'tinggi' seperti itu di hadapan orang-orang yang bagi gadis itu jauh berada di bawah levelnya. Hanya saja dalam hati Martin bertanya-tanya, apa yang akan terjadi pada arogansi gadis itu ketika mendengar kabar yang akan dirinya sampaikan.

"Ehem, kedatangan saya ke sini sebenarnya ingin menyampaikan kabar pada Nona Faya." Martin berbicara dengan nada serius.

"Kabar apa? Pak Martin nggak perlu berbasa-basi. Langsung sampaikan saja karena saya sudah sangat lelah setelah perjalanan jauh. Jadi saya ingin segera istirahat."

Dalam hati Martin kembali berkata, bagaimana mungkin dia bisa istirahat setelah mendengar berita yang seperti bom waktu ini nanti.

"Semoga Nona Faya bisa menyiapkan diri sebelum saya mengabarkan berita penting ini ..."

Faya mengernyit tak mengerti. "Berita penting apa?"

Martin menegakkan posturnya sebelum bicara. Pria itu kemudian mengeluarkan sejumlah berkas dari tas kerjanya. Seraya meletakkan berkas tersebut ke atas meja.

"Papa Nona terlibat kasus penipuan yang berujung dengan permintaan ganti rugi dari pihak klien."

"Hah? Itu berita pentingnya? Kalau cuma itu, Pak Martin kan bisa tangani tanpa harus bicara ke saya. Lagipula Papa kan sudah sangat sering terlibat masalah. Apalagi penipuan." Faya menggerakkan jarinya membentuk tanda kutip.

Martin hanya bisa tersenyum samar dengan gestur tak peduli Faya. Mungkin karena terlalu sering papanya tertimpa kasus, hingga Faya sudah tak lagi punya rasa empati terhadap satu-satunya orang tua yang tersisa.

Sejak kematian kakeknya sepuluh tahun lalu, memang kehidupan mereka cukup berubah drastis. Meski Faya masih bisa bersenang-senang dengan warisan yang ditinggalkan sang kakek, namun jumlahnya harus dibatasi. Ditambah lagi papanya yang selalu saja tersandung kasus. Pria dewasa yang sama sekali tak cakap dalam berbisnis tapi selalu merasa paling pintar. Faya heran, kapan papanya akan belajar dari pengalaman. Sepertinya tidak akan pernah.

"Sayangnya kasus kali ini sangat besar. Saya khawatir hal ini tidak hanya melibatkan dana perusahaan tapi juga aset pribadi Nona Faya untuk dapat menyelesaikannya."

Mendengar ucapan Martin, Faya yang tadi gestur tubuhnya begitu rileks seketika menegang. Jika sudah berhubungan dengan aset pribadi, tentu Faya tak akan bisa tenang. Kakeknya sudah menyiapkan warisan yang cukup untuk Faya sampai hari tuanya. Hanya saja, papanya yang bodoh itu terlalu sering membuat ulah. Hingga sedikit demi sedikit aset yang tersisa mau tak mau harus digunakan.

"Maksud Pak Martin?" Faya bertanya dengan nada tajam.

"Silakan Nona Faya baca berkasnya terlebih dahulu."

Faya membuka dengan kasar berkas yang diberikan Martin padanya. Mata gadis itu menajam membaca tulisan demi tulisan yang tertera di lembaran tersebut. Sampai ketika matanya menatap nominal luar biasa yang tertulis di sana.

"Satu setengah triliun!?" pekiknya membuat seisi ruangan terperanjat. "Orang bego mana yang bisa tertipu sampai sebanyak ini!"

Para pelayan juga Martin hanya memandang ke arah Faya dengan satu jawaban pasti, tentu saja papamu!

Faya merasa kehabisan udara. Gadis itu bernapas dengan susah payah. Tunggu, mungkin matanya salah melihat. Mengingat ia baru saja tiba dari perjalanan yang melelahkan. Mungkin saja nominal yang tertera di sana bukan triliun tapi milyar? Ya, mungkin saja.
Faya kembali memastikan jika dirinya sedang tidak salah melihat. Sekali lagi ia mencoba menghitung jumlah nol di belakang nominal yang tertera. Dan ... napas gadis itu tertahan. Andai Faya memiliki riwayat jantung, mungkin organnya sudah berhenti berdetak sejak tadi ketika melihat angka yang tertera.

Sreeet!!

"Aaargh!" pekik Faya seraya merobek kertas di tangannya.

Semua orang yang ada di sana hanya bisa menatap gadis itu dengan wajah terperangah. Terutama Martin, yang akhirnya bisa melihat sisi lain sang nona besar.

"Ini bohong, kan!" Faya menatap tajam sang pengacara.

Sesaat Martin merasa ciut dengan tatapan tajam gadis muda di depannya. Namun detik berikutnya pria itu menata postur tubuhnya agar terlihat berwibawa di hadapan klien mudanya tersebut.

"Sayang sekali ini bukan kebohongan dan sejenisnya, Nona. Ini semua adalah kebenaran yang terjadi."

"Lantas di mana orang bodoh yang sudah menyebabkan semua kekacauan ini!" pekik Faya histeris. Hilang sudah wibawanya sebagai nona besar.

Semua orang kembali menegang. Tak berani mengutarakan sepatah kata pun. Membuat kesabaran Faya hampir habis.

"Jawab!" bentaknya pada mereka semua yang ada di ruangan.

Martha, sebagai pelayan senior akhirnya memberanikan diri mendekati sang nona yang sedang dirasuki amarah. Wanita paruh baya yang hampir separuh hidupnya mengabdi di kediaman Pradana itu sudah menganggap Faya seperti putrinya sendiri. Karena sejak kecil, Martha lah yang bertugas mengasuh gadis itu. Dan kini, ketika gadis itu sedang ditimpa kesulitan, meski tak bisa membantu apapun. Paling tidak Martha bisa mengatakan kebenaran tentang keberadaan ayah gadis itu.

"Non Faya, Tuan meninggalkan surat ini untuk Nona. Silakan dibaca."

Faya yang kesabarannya benar-benar menipis segera merampas surat dari tangan Martha. Gadis itu langsung merobek dan mengeluarkan isinya. Membaca kalimat demi kalimat yang tertuang di selembar kertas tersebut. Tak banyak yang tertulis di sana. Namun Faya menangkap jelas maksud surat yang ditinggalkan papanya.

Intinya, pria tak bertanggung jawab itu sudah pergi entah ke ujung belahan dunia mana. Meninggalkan Faya seorang diri dengan setumpuk masalah yang belum selesai. Dan di akhir surat, papanya berpesan agar Faya bisa menjaga dirinya dengan baik sampai mereka bertemu kembali.

"Hah! Hahahahahhahaha ...."

Tawa Faya menggema ke penjuru rumah membuat siapa pun yang mendengarnya merinding. Tak ada yang berani bernapas keras-keras kala gadis itu masih tertawa dengan begitu horornya. Martha yang terbiasa dengan segala sikap aneh nonanya itupun dibuat bergidik. Tak berani melakukan apapun untuk membuat sang nona tenang.

"STUPID, DAD! BASTARD! BAJINGAN SIALAN!" teriak gadis itu dengan sekuat tenaga hingga tenggorokannya terasa sakit.

Makian yang ditujukan Faya pada sang ayah benar-benar membuat semua orang kembali bergidik. Merinding tak karuan. Takut sang majikan yang terkenal arogan tersebut berbuat sesuatu yang di luar akal sehat.
Namun yang mereka saksikan berikutnya adalah, Faya yang mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi ayahnya. Yang tentunya berakhir sia-sia karena nomor tersebut tak lagi bisa dihubungi.

"STUPID!"

Faya melemparkan ponselnya hingga hancur berkeping-keping. Sekali lagi, para hadirin yang terhormat dibuat takjub dan menunduk untuk mengheningkan cipta atas kematian benda malang tersebut. RIP ponsel mahal!

...

Note : selamat liburan dan selamat menjalani hari yang lebih ... dan lebih baik lagi 💙 gimana chapter awal? Semoga sudah bikin tertarik hati buat terus lanjut baca ya. Pokoknya mah, dukung terus biar bisa ke garis finish, ya 💪

ps : makasih koreksi typo dan lainnya.

Rumah, 01/01/22

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top