CHAPTER 9: Ingatan

Kelopak mataku terbuka perlahan. Lalu jantungku pun terasa bermarathon begitu melihat apa yang ada di depan. Tubuhku yang kini sedang duduk terikat di sebuah kursi, mendapati tubuh seorang pemuda mungil yang dipenuhi memar.

"Haruto-san ...," gumamku syok. Sempat aku bersimpati kepadanya, tetapi langsung kutepis perasaan itu begitu ingat apa yang sudah dia lalukan kepadaku.

Dan lagi, sepertinya aku dan dirinya sudah berpindah lokasi. Aku hafal betul dengan keadaan ruangan ini termasuk bau anyir yang dimilikinya.

Ah, sial. Aku kembali ke rumah di mana pertama kalinya aku mendapati bahwa diriku hilang ingatan. Juga ... rumah di mana ... aku bertemu dengan si nenek tanpa kepala.

"Kuso. Si gaijinyarou itu rupanya telah melakukan sesuatu terhadap tubuhmu. Aku jadi tidak bisa melakukan apa pun," keluh Haruto. Napasnya memburu. Di tangan kanannya tergenggam sebuah gunting besi.

"Hentikan. Kumohon ...," pintaku takut.

"Kamu benar. Tidak peduli apa pun yang aku lakukan, aku tidak akan pernah bisa menyakitimu," ucapnya menjeda, "apalagi membunuhmu."

Jantungku terasa dipukul benda tumpul. Gila. Orang ini gila. Dan yang lebih buruknya, dia sedari tadi sedang berusaha membunuhku.

Air mataku menetes. Di kepalaku sekarang hanya muncul wajah dingin Shiro. Memang tidak mungkin dia akan datang menyelamatkanku. Pasalnya hidupku bukanlah sebuah cerita komik atau pun novel yang selalu mendatangkan keberuntungan bagi si tokoh utama.

"Kuro-chan, kuharap kamu tidak senang dulu," ujar Haruto sambil tersenyum miring. Pemuda itu lalu melemparkan gunting besinya ke sembarang arah.

"Aku memang tidak bisa menyiksamu hingga mati, tetapi dirimu bisa melakukannya," lanjutnya sambil menyeret sandaran kursi yang sedang aku duduki. Pemuda itu menyeretku ke luar rumah.

Refleks, diriku pun meronta. Menolak paksaannya untuk pergi. Namun, apa daya, tampaknya tenaga Haruto cukup besar untuk menahan setiap pergerakkan dariku.

"Kenapa kamu melakukan ini, Haruto-san?" tanyaku pelan.

"Iblis yang ada di dalam diriku kelaparan. Asal kamu tahu saja!" jawab Haruto ketus.

"Iblis?" gumamku bingung. Diam-diam, sesuatu di dalam kepalaku mulai saling menyatu bagaikan kepingan puzzle.

"Tcih! Seseorang sepertimu tidak mungkin bisa mengerti penderitaan manusia yang dirasuki iblis sepertiku!" keluh Haruto. Kemudian, dengan satu lemparan kasar, dia membuat diriku terpental ke tanah.

"Mite ne, Kuro-chan," bisik Haruto sambil menjambak rambutku hingga kursi yang tengah aku duduki kembali berdiri sempurna. Alhasil, netraku pun dihadapkan pada sebuah rongsokan bus. Jujur saja, keadannya benar-benar parah.

Namun, yang lebih membuatku aneh adalah, semua kursi yang kurasa seharusnya ada di dalam bus, malah berjajar rapi di luar. Dan di masing-masing kursinya duduk tubuh-tubuh manusia yang ditutupi oleh kain putih lebar.

Diriku merinding. Sulit membayangkan apa yang sebenarnya sudah terjadi di sini.

"Beberapa hari yang lalu, bus itu jatuh ke jurang yang ada di atas sana itu," ujar Haruto sambil menunjuk ke sebuah tebing curam yang memang berada di depan kami.

Alisku turun. Rasa sakit tiba-tiba saja menyerang kepalaku dengan hebatnya. Aku meringis kesakitan, tetapi Haruto hanya diam memperhatikan tanpa beranjak sedikit pun dari tempatnya.

Pasti pengaruh obat yang diberikan Haruto masih ada. Ah, sial. Haruto memang tidak bisa melukai fisikku---mungkin, karena itu yang tadi dia katakan---tetapi aku sendirilah yang meminum obat itu tanpa sadar hingga hasilnya jadi seperti ini.

"Kamu siap untuk ekpedisi itu?"

Hah? Suara siapa tadi? Suara ... perempuan?

Tanpa dibiarkan berpikir lagi, tiba-tiba saja sejurus cahaya menyerang pandangan.

Kemudian, tibalah aku di depan sebuah bus pariwisata yang keadaannya masih bagus. Tubuhku bergerak tanpa kendali. Kini aku berjalan cepat, menghampiri seorang gadis berambut sebahu.

"Aku ragu kalau desa itu benar-benar ada," ucapku.

"Ha? Setelah mengumpulkan berbagai fakta itu, kamu masih belum percaya?" tukas si gadis berambut sebahu geram. Tangannya memukul dahinya sendiri.

"Um, begitulah. Belum pernah ada yang ke sana, kan? Maksudku, Fukuoka itu luas, kan?" gumamku tidak jelas.

PLUK! Seorang pemuda berparas manis memukul bahuku pelan. Aku sempat dibuat tersentak oleh kelakuannya itu. Namun, aku langsung memaafkannya ketika berhasil menangkap senyumannya.

"Ayo, kita lakukan saja. Lagipula semua persiapan sudah selesai. Dan, ini adalah kegiatan klub misteri yang pertama, kan?" ujar pemuda itu. "Anggota dari kelas satu dan dua sudah menunggu dirimu, ketua."

Aku mengangguk ragu.

"Sudahlah, ayo masuk ke dalam bus, Rina-san!" Si gadis berambut sebahu yang sedari tadi tampak cemberut langsung menarikku ke dalam bus. Memisahkanku dari si pemuda berparas manis.

Adegan runtut itu berakhir, digantikan dengan adegan-adegan sekilas yang membawaku kembali kepada diriku yang dulu.

Kami tiba di daerah pegunungan. Jalanan berkelok-kelok. Rem blong. Bus kami tergelincir. Kami terjun bebas ke jurang. Suara benturan keras memenuhi telinga. Semua gelap.

Aku mendapati diriku kembali bersama Haruto. Gigiku bergemeletuk kecil. Kalau tahu ingatanku akan semenyakitkan ini, lebih baik aku tidak ingat apa pun sama sekali.

"Kurang ajar. Itu ... itu ...," gumamku tergagap. Sulit menerima kenyataan.

"Asal kamu tahu, aku melihat semua kejadian dramatis itu. Lalu, aku memeriksa kalian semua dan akhirnya aku menemukan satu-satunya yang masih bernapas." Haruto berjalan memutariku.

"Jadi, kamulah orang yang menaruhku di rumah itu? Lalu menghilang begitu saja?" tanyaku ketus.

"Aku bukannya berniat begitu. Lagipula orang yang sedang memata-matai kita sekaranglah, yang menculikmu dari rumah itu," jawab Haruto. Netranya mendelik ke arah barisan pepohonan di sebelah kiri.

Lantas, aku pun ikut menoleh ke arah sana.

"Oh, aku ketahuan, ya?" Terdengar suara berat yang sudah sangat aku kenali.

"Mochiron desu yo! Aku tidak ingat, tuh, kalau aku sudah menyusun mayat-mayat jadi seperti itu," balas Haruto ketus. Mayat-mayat yang dia maksud adalah mayat-mayat yang duduk berjajar di atas kursi bus.

Mayat-mayat ... milik teman-temanku dari klub misteri di SMA.

Tak butuh waktu lama, bagi si mata-mata untuk menunjukkan dirinya. Cahaya matahari menerangi tubuh tegapnya yang mengenakan sebuah jas usang. Rambutnya putih. Netranya biru.

"Shiro," gumamku. Ada perasaan lega yang lolos di suaraku.

Shiro melirik sebentar ke arahku, lalu dia segera melayangkan tatapan tajam ke arah Haruto.

"Lepaskan dia," ucap Shiro penuh penekanan.

"Ayolah, dia mangsaku, lho, ga-i-jin~!" tolak Haruto sembari tersenyum miring.

"Kuso!! Jangan panggil aku gaijin, dasar pembantai!!" bentak Shiro lantang.

Hah? Pembantai, katanya?

Author's Note:

Nah lho, yang jahat siapa, nih?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top