CHAPTER 8: Iblis
Di tengah-tengah era kemajuan teknologi bagi Jepang, terdapat sebuah daerah di dekat Fukuoka yang terpencil. Daerah itu dikenal dengan nama Inunaki. Penduduknya merupakan penganut keras adat dan budaya tradisional Jepang.
Oleh karena itulah, tidak ada satu pun teknologi modern yang dapat ditemukan di Inunaki, seberapa keras pun seseorang mencoba. Namun, jika berjalan lima ratus meter dari torii yang ada di jalan masuk sekaligus keluar dari desa, akan ditemukan sebuah kubikel telepon umum usang berwarna biru. Itu pun hanya satu.
Sebelum tragedi dimulai, desa Inunaki memang sudah terkenal dengan pengisolasian dirinya yang ekstrim. Bahkan dulu, mereka pernah mengumumkan dengan lantang bahwa semua peraturan perundang-undangan atau hukum Jepang tidak ada yang berlaku di daerah mereka.
Dan karena itu juga, sebagian penduduk desa ini agak aneh. Salah satunya adalah sepasang suami istri bahagia yang tinggal di wilayah paling ujung desa.
Sang istri merupakan wanita tercantik di Inunaki. Banyak pria yang menginginkannya, tetapi dirinya telah menambatkan hatinya kepada seorang pengelana tersesat yang berasal dari Jerman.
Mereka jatuh cinta pada pandangan pertama. Kemudian keduanya pun memutuskan untuk menikah, tidak peduli meskipun banyak sekali penduduk yang menentang hubungan mereka karena dianggap membawa sial serta menentang adat budaya tradisional.
Pada akhirnya, semua orang membenci mereka. Tidak ada satu pun yang berani mendekat. Bahkan ketika anak pertama dari sepasang suami istri itu lahir, hanya segelintir orang saja yang datang. Itu pun hanya sekadar ingin tahu. Bukan peduli.
Anak pertama mereka lahir tanpa cacat. Kulitnya cantik, seputih ibunya. Parasnya tegas mirip seperti ayahnya. Dan, satu yang spesial darinya, netra sebiru lidah api.
Sepasang suami istri itu memberikanya nama Shiro Englbehrt. Perpaduan bahasa Jepang dan Jerman yang berarti malaikat putih.
Namun, kebahagiaan keluarga itu tidak abadi. Di umurnya yang beranjak balita, Shiro tiba-tiba terkena sebuah penyakit aneh. Penyakit itu menggerogoti nyawanya sedikit demi sedikit.
Sang istri yang panik, memutuskan untuk melakukan ritual pemanggilan iblis kuno demi menyelamatkan nyawa anaknya. Sang suami yang pada awalnya menentang keputusan istrinya, pada akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa. Ia menyerah dan memilih untuk mengikuti kehendak sang istri.
Sebenarnya ritual tersebut merupakan ritual yang diturunkan dari generasi ke generasi di desa Inunaki. Semua orang, sejak kecil memang sudah diajarkan bagaimana cara melakukan ritual tersebut meskipun hanya seorang diri.
🕸
"Lalu apa yang terjadi?" tanyaku penasaran begitu Haruto menghentikan ceritanya sampai pada bagian itu.
Haruto menghela napas panjang. Pandangannya menerawang kosong ke langit. Seakan berat baginya untuk melanjutkan cerita.
"Haruto-san?" panggilku.
Haruto berdehem sebentar. Kemudian bibirnya membuka, "Sang iblis menyembuhkan Shiro, tetapi dia meminta imbalan jiwa manusia."
"Jiwa manusia? Apa karena itu--" Ucapanku disela. Haruto melanjutkan ceritanya.
"Orang tua Shiro membunuh salah satu warga untuk dagingnya dimakan oleh Shiro. Dan yang menjadi ironi adalah, mereka melakukannya agar iblis itu tidak dapat mengambil jiwa Shiro. Sudah begitu peraturannya," jelas Haruto.
"Jadi?" tanyaku.
"Orang tua Shiro meninggal. Mereka bunuh diri karena stres dihantui sang iblis. Lalu, pada akhirnya iblis itu tidak pernah tenang," lanjut Haruto. Bibirnya tersenyum miring.
"Penduduk desa ini ... dibunuh oleh iblis?" Aku memberikan kesimpulan. Aneh sekali. Bukankah Shiro yang melakukannya? Maksudku semua pembunuhan itu?
"Bukan," jawab Haruto. "Sepeninggal orang tuanya, Shiro harus berusaha hidup sendiri. Dirinya dikucilkan oleh penduduk dan ditindas oleh anak-anak sebayanya. Semua orang selalu meneriakinya 'gaijin' dan kata-kata mengusir lainnya."
Aku mengangguk paham. Sebagian diriku jadi bersimpati kepada Shiro.
"Jadi, intinya Shiro dendam dan menghabisi semuanya?" tanyaku.
"Entah," jawab Haruto.
Aku membelalakan netraku kaget. Kenapa Haruto mengelak? Bukankah sudah jelas?
"Hanya itu yang aku tahu. Sudahlah, minum saja dulu air panasmu. Kamu pasti kedinginan," ujar Haruto. Bibirnya tersenyum manis.
Aku mengangguk meskipun masih tidak terlalu mengerti. Yah, persetan dengan apa yang terjadi pada desa ini. Aku hanya ingin mendapatkan ingatanku kembali.
Perlahan, kuseruput air panasku setelah kuyakin suhunya sudah tidak terlalu panas untuk lidah. Ah, hangat dan begitu damai kurasakan begitu cairan itu masuk ke perut.
"Enak?" tanya Haruto.
"Hai, enak," jawabku tersenyum.
DEG.
Tiba-tiba saja peganganku melemah. Gelas yang sedang aku pegang pun seketika jatuh ke tanah. Isinya tumpah ke mana-mana.
Kepalaku seketika terasa berat. Pandanganku berkunang-kunang. Rasa sakit menyerang bagian belakang kepalaku. Astaga, panas. Panas sekali!
"Kuro-chan, kamu baik-baik saja?" tanya Haruto khawatir. Pemuda itu memegangi kedua tanganku erat.
Aku menggeleng lemah, sebagai pertanda bahwa aku tidak baik-baik saja. Saat ini diriku butuh pertolongannya.
"Astaga, apa yang harus aku lakukan?!" pekik Haruto. Wajahnya yang mulai terlihat buram di mataku, samar, tampak khawatir.
"Haruto-san ...," gumamku lemah. Aku ingin dia melakukan sesuatu. Entah, apa pun itu untuk menghilangkan rasa sakitku.
"Astaga, gomen ne, Kuro-chan," ucap Haruto dengan nada sedih. "Aku tidak menyangka kalau obatnya akan bereaksi secepat ini."
Mendengar kalimat terakhirnya, lantas napasku pun terasa ditarik keluar. Kubelalakan mataku terkejut. Tidak. Tidak mungkin. Apa dia baru saja mengatakan sesuatu tentang reaksi obat?
Sebelum semuanya benar-benar menggelap, yang dapat terakhir kali kulihat adalah ... wajah Haruto yang sedang tersenyum miring kepadaku.
Author's Note:
Dokumenter Desa Inunaki. Selamat menikmati! :D
#jurnalrisaversiJepun
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top