CHAPTER 5: Lolongan Anjing
Selama Shiro sibuk memanaskan air di ruangan paling belakang, kumanfaatkan kesempatan itu untuk berjalan mengitari seisi rumah.
Huft, aku benar-benar tidak menyangka bahwa diriku akan selamat dari insiden pintu besi. Aku benar-benar berterima kasih kepada pemikiran Shiro yang terlampau positif terhadapku.
Yah, tetapi aku merasa agak janggal, sih. Pemuda itu seperti sengaja melepaskanku.
Dengan perlahan, kugeser pintu dari sebuah ruangan yang sedang berusaha aku masuki. Dan, seketika nyala redup dari lilin pun menyambut netraku. Kuamati seluruh isi ruangan itu. Banyak sekali rak-rak kayu tradisional yang menutupi dinding. Sebagian lacinya tidak tertutup sempurna, membiarkan beberapa carik kertas menyembul keluar.
Kuhampiri salah satu laci lalu menariknya agar membuka. Alhasil berbagai jenis kertas pun berhamburan ke udara karena isi lacinya ternyata memang penuh. Huft, pantas saja tidak tertutup sempurna.
Setelah kuperhatikan, ternyata terdapat banyak sekali tulisan di atas kertas-kertas tersebut. Kuambil lilin di atas lemari paling pojok lalu menaruhnya di tatami dekat tempatku duduk. Dan mulailah diriku membaca.
"Tragedi Desa Inunaki ...," gumamku membaca judul bercetak tebal yang ada di salah satu kertas.
Sepertinya kertas-kertas ini adalah kumpulan koran. Namun, dilihat dari permukaannya ... tampaknya usia kertas-kertas ini cukup tua.
Kemudian kuperiksa kertas koran lainnya. Kurang lebih isinya hampir sama. Semua paragraf yang tercetak bercerita tentang tragedi di desa Inunaki yang kasusnya tiba-tiba ditutup karena ketidakberdayaan petugas polisi setempat.
"Pembantaian warga?" gumamku lagi, menyimpulkan. "Inunaki itu ... bukankah berarti lolongan anjing?"
Kutenggak salivaku kasar. Kali ini kuambil salah satu kertas koran yang terletak di paling bawah tumpukan. Lalu setelah kubaca isinya, kusimpulkan kembali bahwa tragedi pembantaian warga telah terjadi di desa Inunaki. Dan tanpa alasan jelas, kasusnya ditutup dan desa Inunaki diisolasi dari ... Jepang.
Di tengah pikiran yang berkecamuk, tiba-tiba saja secarik kertas terjatuh dari lipatan koran yang baru selesai kubaca. Sambil menahan gemetar di tangan, kuambil kertas bertekstur tebal itu lalu mendekatkannya ke arah lilin.
Sebuah foto usang dari keluarga bahagia.
Ayah, ibu, dan seorang anak laki-laki yang manis. Mereka bertiga mengenakan kimono yang seragam sambil tersenyum hangat ke kamera. Di belakangnya, berdiri sebuah rumah tradisional sederhana dengan halaman hijau yang cantik.
Kuperhatikan lebih teliti sosok-sosok itu. Rupanya sang ayah memiliki paras gaijin. Meskipun usang dan menguning, tetapi aku bisa menebak warna pirang rambutnya serta netra biru langitnya yang cantik. Sedangkan sang ibu memiliki rambut hitam panjang yang disanggul ke belakang.
Dan terakhir, si anak kecil yang mewarisi paras ayahnya ...
memiliki rambut putih dan netra sebiru lidah api.
DEG.
"Kuro?" Shiro memanggil dari ruangan depan. Suasana yang hening membiarkan suara pemuda itu terdengar hingga ke ruangan tempatku berada.
"Hai!" balasku sambil buru-buru membereskan tumpukan koran dan juga foto tadi ke dalam laci.
🕸
Shiro mengompres memar yang ada di kakiku perlahan. Diluar dugaan, pemuda itu ternyata sangat hati-hati. Sesekali aku meringis menahan sakit, tetapi pikiranku tetap berkelana jauh memikirkan desa Inunaki juga foto hitam putih yang baru saja kutemukan.
Anak kecil di dalam foto itu ... benarkah itu Shiro?
"Nee, Shiro-san," ucapku pelan.
"Hm?" respon Shiro sambil membasahi kembali kain untuk mengompres lukaku dengan air hangat.
"Ke mana keluargamu?" tanyaku.
Seketika Shiro menghentikan aktifitasnya. Tubuhnya terdiam kaku. Kemudian, pemuda itu melayangkan tatapan dingin ke arahku. "Kenapa kamu penasaran dengan papa dan mamaku?"
"Eh, etto ..., habisnya kamu sendirian di rumah ini," jawabku mencari alasan.
Shiro mengembuskan napas panjang. Wajahnya agak menunduk cukup lama. Membiarkan suasana hening memeluk atmosfer di sekitar kami. Lalu, selang beberapa saat kemudian, pemuda itu kembali memandangiku.
"Nanti," ucapnya. Shiro meletakan kain pengompres ke dalam wadah air hangat lalu menggerakan tangannya ke wajahku. Dia mengelus kedua pipiku dengan lembut.
"Apa?" tanyaku bingung.
"Nanti aku akan mempertemukanmu dengan mereka," jawab Shiro menjelaskan. Bibirnya tersenyum lembut.
"Uh, benarkah itu?" tanyaku.
"Hai. Namun, saat dirimu siap menjadi pengantinku," jawabnya yang sontak saja membuatku membelalakan mata.
P-pengantin?
"Di desa ini, hanya ada kamu dan aku," ungkap Shiro. Pemuda itu memandangku penuh arti tersirat. "Sudah sepantasnya kita hidup bersama, bukan?"
"S-S-Shiro-san ...," gumamku gemetaran.
"Kamu pasti sadar kalau semua warga di tempat ini menghilang. Aku tahu kamu tidak bodoh meski dirimu amnesia," ujar Shiro.
"Warga menghilang ...," gumamku. Sebuah suara tiba-tiba saja berdenting di dalam kepala.
"Dengar, Kuro-chan, aku hanya akan melindungi manusia yang merupakan keluargaku. Dan untuk sekarang dirimu hanyalah orang asing bagiku," jelas Shiro. Nada suaranya seketika berubah menjadi lebih dingin.
"H-hah?!" pekikku kaget.
Netra Shiro memicing, sedangkan bibirnya tersenyum miring. "Untuk itulah, jalan satu-satunya bagi dirimu agar tetap hidup adalah dengan menjadi pengantinku."
Jantungku kembali bermarthon ria. Perasaanku gusar bukan main. Sudah jelas bahwa Shiro tengah memberikan ancaman kepada diriku. Nyawaku ada di genggaman tangannya dan sewaktu-waktu dapat dia lempar ke dunia kematian.
"S-Shiro-san, a-a-aku ...," gumamku terbata. Aku tidak tahu dengan apa yang harus kukatakan selanjutnya.
"Diam di sini dan jadilah pengantinku, Kuro-chan," ujar Shiro dengan nada penekanan di setiap inci kalimatnya.
Netranya yang sebiru lidah api memandangiku intens. Seakan-akan siap memerangkap tubuhku ke dalamnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top