CHAPTER 2: Pintu Besi
Awan kelabu yang menaungi kami mulai terlihat semakin keruh. Aku duduk di teras sembari menengadah. Lalu titik-titik air hujan mulai terjun bebas dari langit, menabrak pori-pori yang ada di wajahku. Pikiranku sedari tadi tak ada di sini. Dirinya mengembara jauh mencari sebuah tempat yang aku sendiri tidak tahu ada di mana.
"Kuro." Suara berat milik Shiro terdengar dari dalam rumah.
Dengan gerakan cepat dan juga jantung berdebar, langsung kutolehkan kepalaku ke arahnya. Pemuda itu sekarang membalut tubuhnya dengan semacam jaket berbahan karet transparan. Kuangkat alisku lalu bertanya, "Apa yang kamu pakai itu, Shiro?"
Shiro tampak tersentak sejenak. Ekspresi di wajahnya seakan mengatakan, kenapa-kamu-tidak-tahu-benda-yang-sudah-jelas-ada-di-zaman-ini?
"Um, gomen. Aku kan, amnesia. Ingatanku agak kacau," gumamku pelan, rasa malu menjelma menjadi semburat merah di wajah.
"Oh, ini jas hujan. Pakaian yang akan melindungi seseorang dari hantaman air," jawab Shiro. Dirinya segera beralih menyambar sebuah kantong plastik besar yang tersimpan di dalam lemari tua.
Aku mengernyit. Ada sesuatu yang menggangguku. Namun, entah kenapa pertanyaan-pertanyaan itu tertahan di pangkal tenggorokan. Ada sesuatu tentang Shiro yang membuatku menyukainya sekaligus takut kepadanya. Netra sebiru lidah api yang tajam itu seakan selalu mengintimidasi siapa saja yang melihat.
Memangnya ada, ya, orang Jepang yang memiliki rambut seputih dan netra sebiru itu?
"Ah, iya. Aku mau mencari makanan sebentar. Kamu diam di sini saja," ujar Shiro tiba-tiba, membuat diriku kembali ke kenyataan. Lalu, cepat-cepat diriku mengangguk meskipun sebenarnya aku ingin sekali jalan-jalan di sekitar sini.
"Jangan-pergi-kemana-pun." Satu kalimat yang penuh dengan nada penekanan itu berhasil lolos dari bibir Shiro. Aura mengintimidasi menguar dari tatapannya. Diam-diam diriku bergidik ngeri.
"Hai," balasku sambil mengangguk untuk yang kedua kalinya.
Kemudian kuikuti punggung tegap Shiro berjalan ke ruang paling depan. Sebelum membuka pintu geser, Shiro menoleh sedikit ke arahku tanpa ekspresi. Satu detik ..., dua detik ..., pemuda itu kembali menghadap ke depan dengan gerakan kaku. Aku mundur selangkah darinya. Merinding kurasakan di tengkuk.
"Ittekimasu," ucapnya dengan suara berat. Kemudian tangan kanannya bergerak mengambil sebuah kapak yang disimpan di tempat menyimpan payung. Kapak merah itu ia panggul di bahunya.
DEG!
Jantungku berdebar-debar tak karuan. Berbagai pertanyaan berebut menagih jawaban dan spekulasi. Pertama, jas hujan .... Kedua, kantung plastik itu .... Ketiga, kapak. Bagaimana dia bisa tahu letak benda-benda itu? Sudah berapa lama ... Shiro tinggal di tempat ini?
"Ittekimasu," ucap Shiro lagi. Wajahnya menunjukkan mimik kesal karena sebelumnya aku tidak menjawab ucapannya. Pemuda itu kembali menoleh kepadaku, kali ini dengan sebuah kapak yang terpanggul di bahunya.
"I—Itterasshai ...," balasku kaku sebelum pada akhirnya punggung tegap Shiro menghilang ke balik pintu. Meninggalkan diriku sendiri di rumah kuno yang gelap serta dipenuhi bercak darah yang mengering.
Srreekk ... srekkkk ... srekkkk ....
Suara menggaruk-garuk yang aneh seketika memenuhi pendengaran. Gigiku pun terasa ngilu. Diriku berjalan menelusuri lorong rumah. Mencoba mencari-cari sumber suara garukan yang amat mengganggu itu. Tikus sialan.
Sreekk ....
Suaranya semakin terdengar menusuk. Kuambil langkah cepat di antara gelapnya lorong. Hingga sampailah aku di depan sebuah pintu besi. Diriku pun kembali mengernyit. Kenapa pintu semacam ini bisa ada di dalam sebuah rumah kuno? Kira-kira apa isinya?
Dengan cekatan, kuputar kenop pintu besi tersebut lalu menariknya sekuat tenaga. Dan begitu daun pintu terbuka lebar, aroma amis dan busuk pun memenuhi atmosfer sekitar. Lagi-lagi tak ada reaksi dariku. Aku tahu seharusnya aku merasa jijik atau semacamnya, tetapi aku benar-benar tidak merasakan apa pun.
Di dalam gelapnya ruangan sana, samar-samar kulihat cahaya lurus yang berasal dari jendela kecil di dekat teralis. Cahaya lurus itu jatuh menerangi sebuah kerangkeng besi. Namun, aku tidak begitu jelas melihat apa yang ada di dalam kerangkeng itu.
Maka langsung saja diriku melangkah masuk. Kudekati kerangkeng besi itu dan langsung membelalakan mata setelah tahu sesuatu yang menghuninya.
Mayat. Mayat yang dagingnya sudah hampir mengering.
Tidak hanya satu tapi ada dua. Perempuan dan laki-laki dewasa. Sesekali kulihat ada hewan putih kecil yang menggeliat keluar dari area daging yang terbuka.
DEG!
Adrenalinku berpacu. Keringat-keringat dingin mulai saling meluncur dari dalam pori-pori kulitku. Kemudian, dengan sekuat tenaga diriku mulai berlari ke luar dari ruangan itu tanpa menutup pintunya.
Gila! Sudah jelas di sana tak ada satu pun makhluk hidup. Lalu suara garukan yang kudengar barusan berasal dari siapa?
Sreeekk ... sreeekkk ....
Terdengar lagi. Dengan gerakan pelan, kembali kutolehkan kepala ke arah pintu besi yang sekarang terbuka lebar. Alhasil kudapati seorang perempuan dengan rambut panjang yang basah oleh darah tengah menggaruk-garuk permukaan pintu dengan kuku-kukunya yang panjang.
Wajah perempuan itu memandang ke arahku. Bibirnya melengkung ke bawah sembari menggumam-gumam tidak jelas. Aku bergidik ngeri. Kemudian dengan cepat kumelesat ke luar rumah. Perkataan Shiro sempat terngiang di kepalaku, tetapi dengan cepat aku berusaha mengabaikannya.
Titik-titik hujan yang terasa lebih deras daripada sebelumnya kini menghantam seluruh jengkal tubuhku. Membasahi rambut, kulit, dan pakaian yang kukenakan. Langkahku terus bergerak dengan cepat. Tak tahu ada di mana dan mau ke mana.
Hingga sampailah aku di depan sebuah bangunan berwarna merah darah yang kutahu disebut torii.
"Tolong ... tolong ...."
Suara-suara yang menusuk nyali seketika terdengar saling bersahutan dari tangga batu yang berada di balik torii.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top