CHAPTER 12: Hidup dan Mati

Haruto berdiri di depanku. Tubuhnya tidak terluka sedikit pun. Berbanding terbalik dengan tubuhku yang sudah mengoleksi lebam akibat hantaman kayu darinya. Langkahku agak terpincang, tetapi itu tidak menghentikanku untuk menebas nadi Haruto.

"Baka." Haruto mengejek sambil melompat menghindari serangan. "Apa sih, yang kamu pikirkan, Shiro?"

Aku tidak menjawab. Tetap fokus menyerang dan terus menghindar setiap kali Haruto melayangkan kayunya ke arah kepalaku.

"Kita sudah sepakat untuk menyingkirkan iblis itu dengan cara membunuhnya ketika dirinya dipindahkan ke wadah baru," ujar Haruto dengan nada kecewa yang dibuat-buat. "Kamu tahu betul hanya pada saat itulah kekuatannya melemah untuk sementara."

"Baka," umpatku. Gigi di dalam mulut saling bergemeletuk.

"Yah, siapa sangka kamu malah jatuh cinta dengan si gadis bodoh itu. Dia tidak ada hubungan apa-apa dengan kita," lanjut Haruto memanas-manasi. Bibirnya tersenyum miring.

Sial. Aku tidak bisa mengelak dari tuduhannya. Dengan sangat berat, kuakui dia benar. Untuk pertama kalinya setelah dua puluh dua tahun, aku jatuh cinta dengan seorang gadis. Lalu dengan sangat bodoh aku berusaha melindunginya, mengabaikan iblis yang sudah bersarang di tubuhnya.

BUK!

Aku lengah. Haruto dengan cepat melayangkan senjatanya ke tengkuk leherku. Nyeri merambat ke ubun-ubun. Aku jatuh perlahan.

"Kamu pikir bisa membunuh iblis itu hanya dengan memberi gadis itu daging teman-temannya, hah?!" Haruto terkekeh sambil terus-terusan menjatuhkan pukulannya ke tubuhku. "Sejak dulu kamu tidak berubah. Naif sekali dirimu, Shiro!"

BUK!! BUK!! BUKK!!

Darah menetes dari lubang hidung juga dari dalam mulut. Aku terbatuk-batuk. Rasanya napasku mulai tersengal. Gawat, aku tidak boleh mati.

"Dan apa-apaan jas bodohmu itu? Lalu untuk apa semua mayat dan kursi-kursi itu?" tanya Haruto. Kini pemuda itu menendang perutku keras. "Mau menikahi si gadis bodoh? Kamu mau menikahi iblis?"

Aku terdiam. Sibuk mempertahankan napasku karena mulut dan hidung disesaki oleh aliran merah yang terus mengucur deras.

Aku mencintainya. Aku tahu aku bodoh. Setiap kali mengelak, maka dadaku akan terasa sakit. Akan kulakukan apa pun untuk melindunginya. Bahkan membunuh Haruto pun akan kulakukan.

BUK!!

Kaki Haruto melayang ke perutku. Tubuhku terguling beberapa saat hingga diriku memunggungi dirinya.

"Aku akan melakukannya sendiri." Haruto berbisik di belakangku. "Aku tidak membutuhkanmu lagi."

Aku terdiam. Menikmati embusan angin yang datang meniup dedaunan di sekitar.

"Sayonara," ucap Haruto pelan. Tangannya teracung, bersiap menghadiahkan sebuah perpisahan terakhir.

JLEB! Suara tusukan benda runcing yang menembus daging hidup pun terdengar. Pada hari ini, jantung seseorang telah berhenti berdetak. Napasnya ditarik keluar. Netranya membelalak, menikmati setiap rasa sakit yang datang.

Maaf.

Aku berdiri. Memandangi tubuh Haruto yang jatuh bersimbah darah. Sebuah belati tertancap di dadanya. Dari sana aliran merah terus keluar, membuat udara semakin beraroma anyir.

"Tidak akan kubiarkan perjuanganmu sia-sia," ucapku seakan Haruto masih ada di sana. "Akan kusajikan dirimu sebagai makan malam kami hari ini."

Aku mengembuskan napas lelah. Kupandangi langit yang kini mendung. "Setidaknya kamu berguna sampai akhir, Haruto."

"Shiro!!"

Aku berbalik ke sumber suara. Hatiku menghangat ketika kudapati senyuman itu. Kuro berjalan terpincang di sana.

"Kuro!" panggilku. Kuhampiri gadis itu lalu membantunya berjalan. "Kamu baik-baik saja?"

Kuro menatapku sambil tersenyum tipis. "Lumayan."

"Semua sudah selesai," ujarku yang langsung mendapat ekspresi bingung dari gadis yang kucintai. Kuembuskan napas panjang lalu melanjutkan, "Aku membunuhnya. Aku membunuh Haruto."

Kuro mengangguk sekilas. Raut wajahnya tampak syok, tetapi juga lega di saat yang bersamaan. "Tidak, ini belum selesai."

Aku mengangkat alis. "Apa maksudmu?"

"Shiro-san, kekkon shiyou," ucap Kuro yang langsung disambut dengan detakan jantungku yang semakin menggila di dalam dada.

Apa-apaan?! Dia menerimaku?

🕸

"Kamu siap?" tanyaku. Kutatap Kuro yang kini memakai kimono ibuku. Dia tampak senang meski kimono itu sedikit kebesaran di tubuhnya.

"Iya," jawab Kuro.

Aku menenggak salivaku. Kemudian kubuka pintu besi di dalam rumah. Aroma busuk dan apek menguar. Namun, tentu saja aku sudah terbiasa. Lagipula akan sangat tidak sopan bila aku terganggu dengan bau orangtaku sendiri.

Kugenggam tangan Kuro lembut. Gadis itu langsung membalasku dengan senyuman manisnya. Dia tidak takut. Aku pun lega dia pernah mengintip isi ruangan ini tempo lalu. Syukurlah jika dia mulai terbiasa.

"Okaasan, Otousan," ucapku kepada orangtuaku yang kini hanya duduk diam sambil menatap kami berdua. "Seperti yang pernah kubilang, aku telah jatuh cinta."

"Dan sekarang, aku akan menikahi gadis itu. Gadis yang kucintai."

Orangtuaku tetap diam memandangi kami. Tubuh mereka yang semakin mengering itu membuatku ingin segera memeluk keduanya. Namun, tentu aku tidak akan melakukannya karena mereka sangat rapuh.

Diamnya mereka, kuanggap sebagai anggukan setuju dari keduanya. Senyumku merekah. Belum pernah diriku sebahagia ini.

Tangan Kuro terlepas dari tanganku. Diriku lantas berbalik dan mendapati gadis itu berjalan menutup pintu di belakang kami.

"Kenapa kamu menutupnya?" tanyaku.

Kuro tidak langsung menjawab. Gadis itu bergelayut manja di lenganku. Kepalanya menengadah, memandang netra yang selama ini kubenci dengan tatapan penuh cinta. Kurasa.

"Shiro, suki desu." Kuro berbisik. Membiarkan jantungku bermarathon. Pipiku panas.

"K-Kuro?" gumamku pelan. Kudekatkan wajahku ke wajahnya. Kulihat kelopak gadis itu terpejam lebih dulu.

Kemudian, diriku pun ikut memejamkan kelopak mata. Aku ... benar-benar bahagia.

Dan, yang terjadi selanjutnya adalah napasku terasa ditarik keluar raga. Sebuah belati tertancap di dadaku, membuat darah merembes keluar dari sana. Mengotori kemeja putih dan jas abu yang kukenakan.

Rasa sakit memenuhi tubuh. Perlahan, diriku ambruk ke lantai. Sebelum dunia tampak benar-benar memudar, kudapati sesosok nenek tua keriput yang tengah memandangiku sambil tersenyum.

"Torii," gumamnya serak.

THE END

Author's Note:

Yeayyy!! Tamat!!!

Adakah yang bertahan baca sampai sini? Wuehehehe. //nggak ada.

Oke. Ekhem. Nggak apa-apalah, yang penting tamat.

Terima kasih banyak untuk kalian yang sudah mampir. Arigatou gozaimasu!!

Kalau kalian merasa lagi baca cerita ini, kalian harus banget kudu wajib kasih vote. Kalau enggak, aku cincang kalian.

Semua part yang sudah dibaca harus dikasih vote. Titik. Nggak mau tahu.

Belum kasih vote di part sebelumnya? Sana! Cepet balik lagi dari chapter 1! Kasih vote! >:)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top