CHAPTER 11: Haruto dan Shiro
Kakiku melangkah ke sebuah lorong gelap dengan ujung cahaya di depan. Aku menarik napas gusar, ragu untuk melanjutkan. Namun jika aku berjalan ke belakang maka hanya gelap yang menyambut.
Apa ini akhirku?
"Rina-san."
Netraku membelalak kaget. Entah kapan datangnya, tiba-tiba saja sosok seorang gadis berambut pendek berdiri di depanku sambil tersenyum lembut. Aku kenal siapa dia. Gadis yang sama dengan gadis yang cemberut kepadaku ketika bus kami akan berangkat menelusuri Desa Inunaki.
"Tomoko?" ucapku serak. Rasa haru merangsek masuk ke dalam rongga hati. "Tapi ... tapi dirimu sudah mati."
"Tepat." Tomoko menatapku penuh arti. Lalu hanya berselang beberapa detik, garis-garis keriput mulai bermunculan di wajah Tomoko yang mulus. Aku tergelak kaget. Tidak hanya wajahnya yang semakin terlihat menua, tetapi tubuhnya pun semakin membungkuk.
Aku terdiam kaku. Tidak mampu mengeluarkan sepatah kata apa pun. Otakku berusaha mencerna apa yang sebenarnya terjadi saat ini. Siapa ... siapa sebenarnya makhluk ini?!
"R-Rina-san ...." Sekarang sosok Tomoko lenyap. Digantikan sosok seorang nenek tua berkimono yang seingatku kepalanya bisa lepas.
"Apa maumu?" Akhirnya suaraku bisa keluar meski terdengar seperti sebuah cicitan tikus.
"I-i-iblis ...." Nenek itu mengarahkan telunjuk kurusnya ke arahku lalu bergantian ke dirinya sendiri. Bibir keriputnya menyunggingkan senyum.
Aku menenggak salivaku. Kemudian dengan hati-hati kubertanya kepadanya, "Sejak awal ... kamu iblisnya? Apa aku salah?"
Nenek itu tidak juga melunturkan senyuman di wajahnya yang serba mengendur bagaikan balon kempis. Kuanggap kelakuannya itu sebagai jawaban, "Ya."
"Jadi, apa maumu?" tanyaku lagi.
Alih-alih menjawab pertanyaan, si nenek malah mengulurkan tangan kurusnya ke arah puncak kepalaku. Bibirnya tidak juga berhenti tersenyum. Bodohnya, aku tidak sanggup menghindari itu. Aku tidak bergerak ke mana pun.
Dan, semuanya gelap.
🕸
Ketika kubuka mata, aku mendapati diriku melayang di udara. Kupandangi kedua telapak tangan yang kini transparan hanya untuk merasakan napasku tersekat selama beberapa detik. Apa aku baru saja mati?
"Siapa pun, bisakah tolong keluarkan aku?" Terdengar suara seorang anak kecil yang memohon-mohon. Aku celingukan ke sana dan ke sini, tetapi tidak kudapati adanya anak kecil yang mengeluarkan suara.
Aku melayang mendekat ke sebuah rumah kayu kecil yang kukira merupakan asal muasal suara tadi. Kemudian terdengarlah suara ketukan paksa dari dalam rumah itu, disusul suara permohonan lainnya, "Aku janji tidak akan pernah nakal lagi. Kumohon!"
Diriku pun bergerak ke depan pintu. Berusaha menyingkirkan papan kayu yang mengunci anak itu di dalam rumah. Akan tetapi, tanganku yang transparan tidak dapat menjangkaunya. Diriku seakan tidak nyata. Apa-apaan?!
"Siapa pun kamu, kumohon bertahanlah! Aku ... aku akan cari jalan keluar!" seruku berusaha menenangkannya.
Tak lama kemudian, muncul beberapa anak kecil dari arah tangga batu di bagian timur. Dari kejauhan kudengar mereka saling melemparkan cekikikan geli. Mereka berlarian menuju rumah kayu kecil yang mengurung anak lainnya di dalam.
"Woi, kamu menangis lagi?" Salah satu dari anak-anak itu, yang paling tubuhnya tinggi, menggedor-gedor permukaan pintu.
"Daisuke? Itukah kau, Daisuke?" Suara dari dalam terdengar girang. Bahkan kuyakin dirinya tengah melompat-lompat di dalam sana. Seharunya aku bisa masuk ke dalam rumah, tetapi entah kenapa rumah tersebut seperti dipasangi pelindung. Dan diriku yang layaknya seorang hantu tidak bisa menembusnya.
"Yah yah, ini memang aku, Shiro." Daisuke menggerakkan kepalanya ke kanan dan kiri, seakan mempermainkan. Teman-temannya semakin mengeraskan suara cekikikan mereka.
Tunggu, Shiro?
"Ah, itu kalian juga rupanya!" Anak di dalam semakin terdengar girang. "Kalian akan mengajakku bermain hari ini?"
"Um, sayangnya tidak," jawab anak lainnya yang bertubuh lebih pendek dari yang lain.
"D-d-doushite, Komatsu-kun?" tanya si anak yang ada di dalam rumah, Shiro.
"Orangtua kami tidak mengizinkannya. Mereka bilang orangtuamu gila," jawab anak yang bernama Komatsu.
"Tapi bukan berarti aku juga gila, kan?" Shiro membalas. "Seharusnya aku masih boleh bermain dengan kalian."
"Yah, kami setuju kamu tidak gila. Namun, kamu tetap saja keturunan si paman gaijin!" Balas seorang anak lainnya dengan plester di batang hidung. "Itu berarti kamu gaijin! Penjajah!"
Suasana dari dalam rumah hening. Sedangkan si anak-anak tadi sekarang tertawa terbahak. Beberapa dari mereka asyik memegangi perut. Muak sekali aku melihat tingkah mereka. Jika saja aku bisa menyentuh mereka, akan aku pukul kepala mereka satu-persatu.
"Teman-teman, ayo kita pergi!" Daisuke memimpin teman-temannya. "Aku tidak sudi berada dekat-dekat dengan gaijin!"
"Um, Daisuke?" Seorang anak yang berdiri paling belakang bersuara pelan. Namun, anak yang dipanggil langsung menoleh.
"Ada apa, Haruto-kun?" tanya Daisuke mengkerutkan kening.
"Bisakah aku menyusul kalian nanti, aku ingin di sini lebih lama." Haruto maju selangkah mendekati sang pempimpin kelompok.
"Naze? Kamu mau apa?" tanya Komatsu yang penasaran.
"Himitsu. Nanti aku susul kalian, kok. Tidak akan lama." Haruto mengalihkan tatapannya ke arah Komatsu. Sudut bibirnya terangkat sedikit.
"Oh, wakatta," ujar Daisuke mengiyakan. Anak itu berpikir Haruto kecil akan melakukan hal-hal menarik kepada Shiro sang gaijin. "Ayo pergi ke ladang!!"
Anak-anak itu berlarian. Langkah kecil mereka menjauh dari lereng. Meninggalkan Haruto dan Shiro yang masih mendekam di dalam rumah kayu. Aku mengernyit bingung. Anak yang bernama Haruto itu rasanya familier. Dia mirip seseorang yang baru-baru ini kukenal.
"Shiro," panggil Haruto. Namun, si anak yang dipanggil tidak menjawab. "Aku datang untuk memberitahumu sesuatu."
Huh, apa yang akan dilakukannya?
Tanpa diduga, kedua tangan kecil Haruto membuka papan kayu yang mengunci pintu rumah. Lalu dengan perlahan, anak itu membuka daun pintu lebar-lebar, memperlihatkan tubuh mungil dari seorang anak lainnya.
Rambutnya seputih salju. Kulitnya pucat seperti mayat. Netranya biru, sebiru lidah api yang terasa menusuk diriku. Tubuhnya dibalut stelan kaus tanpa lengan dan celana pendek hitam yang sudah kumal.
"Kenapa kamu membuka pintunya?" tanya anak itu, Shiro.
"Sudah kubilang aku akan memberitahumu sesuatu." Haruto mendekat ke telinga Shiro lalu membisikkan sesuatu. Dan karenanya aku pun tidak dapat menguping lebih jauh.
Netra Shiro terbelalak. Tubuhnya gemetaran. Berbanding terbalik dengan Haruto yang memasang wajah sinis. Sudut bibirnya terangkat penuh kemenangan.
"Tidak. Tidak." Shiro menggumam. Tangan mungilnya mendorong bahu Haruto yang lebih pendek darinya.
"Tidak bisa dihentikan. Akan aku lakukan," balas Haruto.
"Yamete yo!" Shiro tiba-tiba saja berteriak frustrasi. Didorongnya lagi bahu Haruto.
"Baka." Haruto menggumam. Anak itu dengan cekatan mendorong bahu Shiro hingga tersungkur ke dalam rumah kayu. Lalu sambil tersenyum kecut, Haruto kembali mengunci Shiro. "Sayonara. Suatu hari kamu akan berterima kasih kepadaku juga anak ini."
"Haruto!" panggil Shiro histeris. "Jangan!!"
Haruto berlari menuruni lereng. Entah pergi ke mana. Aku sempat dibuat bingung, tetapi langsung betul-betul paham ketika Shiro kembali berteriak, "Jangan bunuh semuanya!!"
Anak itu telah dirasuki iblis. Iblis yang sama seperti yang sekarang merasukiku. Iblis yang ... sengaja dipanggil oleh Ibu Shiro untuk menyembuhkan anaknya.
Author's Note:
Bentar lagi tamat. Semoga masih ada yang setia baca. Huehueheu :v
Yang baru datang, vote dungs. Jangan pelit gitulah :) Yang pelit vote tapi udah baca, temen setan :))
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top