CHAPTER 10: Kabut

Netraku memandangi Shiro dan Haruto bergantian. Sembari berusaha memahami kata-kata yang terlontar dari mulut mereka, diam-diam tanganku mencoba melepaskan diri dari ikatan tali. Walau bagaimanapun, aku harus bisa kabur dari kegilaan ini.

Kurasa, teman-temanku juga menginginkan itu.

"Shiro, anak malang yang kuselamatkan dari gubug isolasi, tidak kusangka sekarang akan berpaling mengkhianatiku, huh?" sinis Haruto. Pemuda mungil itu berjalan memutar mengelilingi Shiro.

Shiro menatap Haruto tajam. Seakan tak akan pernah membiarkan pemuda mungil itu lolos ke mana pun.

"Apa yang kamu lakukan kepada tubuh si gadis itu?" tanya Haruto. Nada suaranya seketika berubah menjadi sangat dalam. Aku bergidik ngeri, membayangkan diriku tenggelam ke dasar palung terdalam.

"Bukan apa-apa," jawab Shiro terkekeh, "aku hanya ... berusaha mengeluarkan iblisnya."

Iblis?

Netraku dan Haruto terbelalak. Napasku terasa ditarik keluar raga. Kepingan puzzle yang sudah berusaha kukumpulkan sekarang kembali berserakan acak. Seakan Shiro datang lalu membanting semua kepingan begitu dirinya mengatakan sesuatu tentang iblis.

"Kamu tahu?" bisik Haruto lirih. Netranya semakin memandangi Shiro tajam.

"Tentu saja. Makanya aku memaksa Kuro-chan memakan daging-daging itu," balas Shiro enteng. Kemudian, sambil memasang tatapan tajam nan dingin, pemuda itu berkata, "Aku ingin iblisnya keluar."

Aku menenggak salivaku kasar, bertepatan dengan melonggarnya ikatan tali di tanganku.

"Hahahahaha!" Haruto tertawa keras. "Dirimu memang pintar, Shiro!"

"Astaga, kamu baru menyadarinya setelah sekian lama?" sinis Shiro sambil tersenyum miring.

"Begitu melihat makhluk hidup lain, tanpa berpikir panjang, aku langsung saja memindahkan iblisku ke dalamnya. Dengan begitu sang iblis menemukan wadahnya yang baru," ujar Haruto. Kini netranya memandangiku yang masih berpura-pura terikat kencang di kursi. "Namun, iblisnya belum bereaksi karena rupanya Kuro-chan telah memakan daging pemberianmu."

"Sudah cukup basa-basinya. Kukira Kuro-chan sudah mengerti," ucap Shiro. Tangannya merogoh sebuah belati dari saku jasnya. Kemudian sambil tersenyum lebar, pemuda bersurai putih itu memelesat ke arah Haruto.

"Yah, tebak siapa yang aku fitnah di cerita itu?" kekeh Haruto. Lalu dengan gesit, dia menangkis hunusan belati Shiro menggunakan sebuah kayu berujung tajam yang tadi ia temukan asal di tanah.

Ini kesempatanku.

Buru-buru aku beranjak dari kursi. Dengan sekuat tenaga, aku berlari menjauh. Entah ke mana, aku tidak tahu. Namun, yang pasti kudengar mereka tidak menghentikan pertarungannya.

Baru sebentar aku berlari, seketika aku dihadapkan kembali dengan torii yang akan membawaku ke kuil. Aku menenggak salivaku kasar begitu kulihat si nenek tua yang waktu itu kutemui tengah berdiri di depan torii sambil memegang sebuah lentera. Tentu saja kali ini, penampilannya normal. Persis seperti manusia biasa.

Aku membeku di tempat. Di antara kabut yang entah kenapa semakin menebal, si nenek mulai menggerakkan tangannya ke depan.

Astaga, dia memanggilku. Dengan spontan, kuhampiri sosoknya yang langsung berbalik menanjaki anak-anak tangga menuju kuil.

Aneh. Suasana sekitar memang mencekam dan ganjil, tetapi aku merasa harus mengikuti sosok nenek itu. Mungkin saja, di kuil nanti, ada sebuah kebenaran yang menantiku. Atau mungkin ada sebuah jalan keluar. Atau bisa saja, ketika sampai di anak tangga teratas, aku langsung terbangun di kamarku dan mendapati bahwa aku habis bermimpi buruk.

Yah, masa depan, tidak ada yang tahu akan jadi seperti apa. Kecuali, kalau kau diberkahi sebuah kemampuan melompati waktu.

🕸

Setelah melewati sebuah kesunyian panjang, pada akhirnya kakiku berhasil menapaki ujung anak tangga teratas. Benar saja dugaanku. Kini diriku dihadapkan dengan sebuah halaman gersang luas yang di ujungnya berdiri bangunan kuil.

Kayu-kayu penopangnya hampir reyot dimakan rayap dan lumut. Bebauan aneh yang menusuk hidung mampir ke atmosfer berwujudkan asap. Di teras kuil, berdiri perkumpulan misterius bertopeng kerucut.

Aku menenggak salivaku. Salah satu dari mereka meniupkan asap dari dupa ke arahku, lalu, di antara kabut, muncul sosok-sosok transparan menyerupai manusia. Aku memandangi sekeliling hanya untuk mendapati satu tarikan napas tercekat. Sosok-sosok itu, anggota tubuhnya tidak lengkap.

Ada yang kehilangan tangan, kaki, kepala, bahkan ada yang sebagian tubuhnya raib entah ke mana. Aroma apek dan anyir perlahan merasukiku. Namun, sama seperti di awal, aku tidak merasakan apa-apa.

Mereka menatapiku tanpa emosi. Tak ada satu pun yang bergerak. Hingga sepuluh orang anak kecil dengan bagian tubuh yang sama tidak lengkapnya berlarian dari celah-celah di antara orang dewasa. Mereka tertawa-tawa. Langkah kecil mereka mendatangiku.

Udara semakin terasa dingin. Kabut semakin menebal, menyisakan diriku sendiri di tengah-tengah. Napasku juga terasa sesak. Kemudian, di tengah kesunyian, sayup-sayup kudengar anak-anak itu mulai menyanyikan sebuah lagu. Kudengar suara mereka berputar di sekeliling.

"Kagome kagome, kago no naka no tori wa, itsu-itsu deyaru no deshou ...." Nyanyian mereka membuat bulu kudukku meremang. Kuingat-ingat lagu ini lalu jawaban mengarahkanku kepada permainan Kagome-kagome.

Mereka mengajakku bermain?

Nyanyian berhenti. Sunyi senyap. Aku was-was, berputar di tempat sambil memicingkan mata.

"Siapa setan yang ada di belakangmu?"

DEG!


Author's Note:

X : "Siapa setan yang ada di belakangmu?"

Me: (Berbalik) (Murung)

X: "Kenapa?"

Me: "Setan yang ada di belakangku adalah mantan"

X: "..."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top