CHAPTER 1: Namaku Kuro
Dingin. Lembab. Berdebu. Begitulah kesan pertamaku tatkala kelopak mataku berhasil terbuka sempurna. Kurasakan sesak di ulu hati yang kemudian membuatku mengambil napas panjang.
Bau anyir darah seketika menyeruak. Namun, aku tetap diam membisu. Tak ada reaksi sama sekali. Seakan ... aku memang sudah terbiasa dengan segala bebauan yang ada di ruangan ini.
Kutolehkan kepalaku ke seluruh ruangan. Ternyata hanya sebuah ruangan yang seluruh jengkalnya terbuat dari kayu-kayu yang sudah lapuk. Berbagai macam perabotan tergeletak acak di lantai. Bercak-bercak merah yang mengering terlukis asal di setiap sudut.
Teruntuk semua pemandangan yang kulihat, aku pun langsung mengernyit sebentar. Lantas, aku mengedikan bahu. Ada hal yang jauh lebih penting daripada itu semua.
Kemudian, sambil berusaha berdiri dari kursi kayu yang sedari tadi aku duduki, bibirku membuka. Awalnya sulit untuk mengeluarkan suara dari sana meskipun hanya sedikit. Namun, setelah beberapa saat mencoba, sebuah suara serak pun terdengar, "Aku ... siapa?"
Rasa menggelitik muncul di kerongkonganku. Akibatnya, aku pun terbatuk-batuk. Kusisir semua sudut ruangan sambil mengabaikan rasa sakit yang menerjang tubuh. Aku butuh air.
Nihil. Tidak ada air.
"Sshhhh ...." Suara desisan serak terdengar dari balik pintu geser dengan kusen berwarna abu.
Karena minimnya cahaya, aku hanya dapat menangkap samar sebuah siluet manusia yang sedang berdiri di balik sana. Diam tidak bergerak. Namun, aku tidak mau ambil pusing. Kurasa dia sedang waspada terhadap keberadaanku.
"Uhuk! Uhuk!" Batukku semakin menjadi, "apa a--ada orang?"
Tak ada respon. Lalu kumelangkah tergesa menuju pintu. Berharap ada seseorang di balik sana yang dapat membantuku menemukan air dan membantuku ... mencari tahu siapa sebenarnya aku ini.
Namun, belum sempat tanganku meraih pegangan pintu geser, pintu tersebut terbuka sendiri dengan tempo yang lambat. Aku mengernyitkan kening, heran. Pasalnya siluet manusia yang berada di balik pintu ini sama sekali tidak menunjukkan adanya tanda-tanda pergerakan.
Siluet itu masih diam membatu di tempat.
Kemudian, begitu pintu tersebut sampai pada ujungnya, kudapati tubuh seorang wanita tua berkimono yang sedang berdiri membelakangiku. Entah apa yang sedang dipandangnya karena ruangan tempat dirinya berada sangatlah gelap.
Rambut abu-abunya dibiarkan tergerai acak. Aroma apek sekaligus busuk menguar dari tubuhnya lalu masuk ke indra penciumanku. Namun, sama seperti sebelumnya, tidak ada reaksi berarti dariku.
"Obaa-san, bolehkah diriku meminta sedikit a--" Tenggorokanku seketika tercekat. Kubelalakan mataku sangking terkejutnya.
Tiba-tiba saja, kepala si wanita tua jatuh ke lantai dan menggelinding ke depan kakiku. Belum sempat aku mengatakan sepatah atau dua patah kata, kepala si wanita tua yang menggelinding tersebut berhenti dan menampakkan wajah keriput yang hanya tersisa tengkorak dibungkus kulit.
Bola matanya melotot hampir ke luar dari rongganya. Sedangkan bibirnya ... bibirnya kini tengah tersenyum lebar kepadaku.
"AAAAA!!" teriakku syok. Inginku berlari meninggalkan tempat itu, tetapi seluruh tubuhku tetap diam di tempat. Rasanya seperti ada sebuah rantai tak terlihat yang melilit seluruh inci tubuhku agar tidak dapat bergerak.
Jantungku berdebar hebat. Adrenalinku memuncak. Senyuman di bibir si wanita tua tidak juga mau menghilang dari sana.
"Abunai!" Tanganku ditarik ke luar ruangan. Kini tubuhku berlari tertatih mengikuti punggung tegap seorang pemuda berambut putih.
Siapa?
Berlari, berlari, dan terus berlari menelusuri jalanan setapak yang mulai ditumbuhi rerumputan teki. Hanya ada bangunan-bangunan kuno dan pepohonan yang menjulang tinggi ke langit sejauh mata memandang. Aneh, rasanya seperti kembali ke Zaman Heian.
Langkah pemuda itu terhenti. Otomatis, begitu juga dengan langkahku. Kupandangi daerah sekitar lalu menyimpulkan bahwa sekarang kami berada di sebuah pekarangan rumah kuno lainnya. Napasku dan napasnya memburu tak beraturan.
Seketika pikiranku meluncur jauh kepada sosok wanita tua yang barusan kutemui. Adegan kepala si wanita tua yang terlepas dari tempatnya tidak juga mau menghilang dari benak. Belum lagi potongan daging merah muda yang terkoyak habis terus-terusan menghantui.
Apakah dia yuurei?
"Nee," ucapku gemetar. Si pemuda berambut putih berbalik menghadap ke arahku.
"Sebenarnya ... aku ini siapa?" tanyaku.
Si pemuda diam memandangiku.
"Lalu ... wanita tua tadi, apakah dia yuurei?" tanyaku lagi.
Si pemuda tersenyum tipis. Lesung pipit pun tercipta di pipi kanan dan kirinya.
"Aku tidak tahu kamu siapa," jawabnya, "kalau soal wanita tua tadi, dia memang yuurei."
DEG.
"K--kenapa aku bisa berada di ... rumah tadi?" tanyaku. Kugenggam erat lengan si pemuda karena rasa takut terus-terusan mengerogoti jiwaku. Aku tahu hal yang kulakukan ini tidak sopan, tetapi aku tidak memiliki pilihan lain.
"Tidak tahu," jawab si pemuda singkat. Kepalanya menggeleng pelan. Netra tajamnya menatap lurus ke arahku, hampir tanpa ekspresi.
Aku membelalak kaget dibuatnya. Bukan itu jawaban yang kuinginkan. Kemudian, rasa sakit yang sedari tadi menyerang tubuhku kembali terasa. Bibirku pun mengeluarkan suara ringisan yang teramat pelan.
"Tubuhmu memar. Harus diobati, tetapi sekarang kamu terlihat cantik," ujar si pemuda. Bibirnya kembali tersenyum tipis.
Apakah itu sebuah pujian? Entah kenapa aku malah dibuat merinding begitu mendengar ucapannya.
"Tolong aku," gumamku dengan nada memohon yang kental. Kepalaku seketika menunduk dalam, tak berani menatap wajah dari lawan bicaraku.
"Tidak usah takut." Terdengar suara si pemuda lagi. Kali ini nada suaranya terdengar dengan tempo yang lambat, tetapi dipenuhi dengan penekanan. "Jika kamu ingin selamat, jangan pernah pergi ke balik torii."
"Torii? Di sini ada torii?" tanyaku pelan. Kuangkat sedikit kepalaku hanya untuk sekedar mengintip reaksi si pemuda.
Si pemuda mengangguk. Lalu bibirnya kembali membuka, "Satu di jalan masuk kuil dan satunya lagi di pintu ke luar dan masuk desa."
Satu embusan napas lelah berhasil lolos dari bibirku. Hampa sekali rasanya. Aku tidak tahu siapa identitasku dan sedang berada di bagian belahan bumi Jepang yang mana. Ditambah, sekarang kusadari bahwa sekujur tubuhku diselimuti oleh memar keunguan dan kebiruan.
"Kuputuskan untuk memberimu nama," ujar si pemuda tiba-tiba.
"Nama?" ulangku.
"Namamu adalah Kuro," ujarnya lagi.
"Kenapa harus Kuro?" tanyaku heran.
"Warna rambut, mata, dan jiwamu hitam," jawabnya.
Aku mengernyit bingung. Benarkah apa yang barusan dikatakannya? Pasalnya aku sama sekali tidak mengingat seperti apa penampilanku. Bahkan, aku sendiri tidak tahu seperti apa warna jiwa yang kumiliki.
"Kalau kamu?" tanyaku.
"Aku Shiro. Yoroshiku ne, Kuro-chan," jawabnya tersenyum lebar.
"Apa karena rambutmu berwarna putih?" tebakku.
Pemuda itu, yang kini kutahu bernama Shiro seketika menampilkan ekspresi sedih yang aneh di wajahnya. Begitu dalam. Begitu kental. Namun, tak ada air mata yang meluncur dari kelopak netranya. Seluruh tubuhnya yang bergemetar, dipeluknya sendiri dengan kedua lengan.
"Aku jadi teringat kenangan buruk tentang rambutku yang putih," gumamnya gemetar. "Mereka meneriakiku gaijin."
"Siapa?" tanyaku.
"Orang desa ini," jawabnya singkat. Kali ini ekspresi sedihnya menghilang dan digantikan dengan wajah datar tanpa emosi.
Aku mengangguk-angguk. "Lalu, kenapa kamu dipanggil Shiro?"
Shiro tampak menarik napas sebentar lalu kembali mengembuskannya perlahan.
"Itu karena jiwaku putih," jawabnya.
Satu senyuman yang sangat lebar tersungging di wajah Shiro yang pucat. Bulu tengkukku merinding. Ada hawa aneh yang diciptakan Shiro. Hawa aneh yang terasa dingin dan mencekam, yang muncul lewat senyumannya yang sangat lebar itu.
Tidak, tetapi aku merasa bahwa diriku menyukai Shiro.
Author's Note:
Hai, gimana pendapatmu soal chapter pertama?
Apakah kamu penasaran dengan Kuro dan Shiro? Mereka nggak mungkin tiba-tiba ada di desa itu, kan? Wkwk.
Stay tune, ya!
Terima kasih sudah mampir!
[Update setiap seminggu sekali]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top