Bab 2 : Terbongkar

Kerajaan Angkang

Markas adalah sebutan tempat berkumpulnya para prajurit kerajaan Angkang untuk beristirahat ataupun menjadi tempat berkumpul membahas ketertiban wilayah.


Posisinya berada diradius lima ratus meter dari istana Raja, jalanan menuju kesana lumayan curam membuat Gavesha harus berhati-hati karena tadi malam hujan. Ia menikmati perjalanan pagi itu setelah sarapan dan sesekali membalas sapaan.
Ia adalah seorang calon prajurit dengan umur dua puluh dua tahun.

Perawakan yang tinggi besar membuat Gavesha dengan mantap bergabung kepada pasukan kerajaan setelah mengikuti wajib militer. Bukan hanya itu saja, ia ingin menunjukkan kepada teman lamanya yang ada di kaki gunung bahwa ia bisa menjadi prajurit kerajaan dan bisa kemanapun tanpa surat izin.

Dan perjalanan lintas wilayah itu yang sedang ditunggu-tunggunya. Dimana, perjalanan itu dilakukan untuk mengetahui bagaimana para calon prajurit tetap kerajaan, mengkoordinasi saat kerjasama tim meski berbeda wilayah dan juga untuk melihat cara komunikasi diantara dua belah pihak. Bukan itu saja, banyak pelajaran dan pengalaman yang bisa di ambil dari setiap wilayah.

Biasanya perjalanan ini membutuhkan waktu satu bulan penuh karena harus menginap selama seminggu per-wilayah kerajaan.

"Hai Nak, kau sedang mencari apa?”

Gavesha terkejut saat pundaknya dipukul pelan, ia menemukan Erlan-si burung elang berpangkat Kopral kepala membawa makanan di tangannya.

"Hm, izin Ndan, tadi disuruh Bang Sand untuk menemui yang bernama Pallas, katanya ada yang mau dibicarakan.”

"Oh begitu..." Erlan nampak menjeda kalimatnya, raut wajahnya sedikit berubah tapi secepat kilat merangkul Gavesha, " jadi, mengapa kau hanya berdiri di depan markas kalau kau sudah mendapat panggilan?”

Gavesha hanya tersenyum kikuk, sebenarnya ia tak berani masuk markas itu karena tak mengenal siapa itu Pallas. Jika Gavesha jujur, tak mengenal Pallas maka habis sudah dia akan dicekoki dengan ucapan sindiran.

Dia teringat kasus tetangganya yang mendapatkan perlakuan tidak baik karena tak mengenal Kopkanya di markas.

"Kau benar-benar ga tahu, Kopka disini siapa. setelah kau wajib militer dua tahun lalu?”

"Tidur kali bang, selama masa pelatihan.”

"Ck, ck, menyedihkan sekali dirimu. Pemimpin kami saja kau tidak tahu, apalagi dengan kami-kami ini.”

"Apakah kau harus kubalikkan lagi ke masa pelatihan dulu baru kau mengingat siap Kopka disini?"

Begitulah, kira-kira sindiran yang akan di dapat jika ia jujur atas ketidaktahuannya. Disini, kesenioritasan dijunjung tinggi.


Erlan merangkul Gavesha untuk masuk, beberapa prajurit memberi hormat kepadanya dan ia membalasnya.

"Duduklah dulu disini, aku akan segera kembali,” ucap Erlan sebelum pergi.

Gavesha tersenyum, "makasih Ndan.”

Erlan memberikan ibu jarinya sambil berjalan keluar melalui pintu yang menghubungkan meja resepsionis di tengah ruangan. Terlihat, ia sedikit berbincang-bincang dengan resepsionis itu sebelum pergi menuju lorong di seberang lain meja resepsionis itu.

Gavesha tak tahu harus bagaimana, ada perasaan takut menggelitik hatinya. Ia takut kejadian Kang terjadi padanya. Ia tak ingin mundur menjadi calon prajurit tetap kerajaan karena itu janji dan keinginannya sejak dulu.

Untuk mengalihkan rasa itu Gavesha berkeliling ruangan itu, mulai dari meja panjang yang membentang  sekitar delapan meter dengan kursi kayu beralaskan beludru, menghadap jendela kaca besar yang menembuskan cahaya terang dari sang matahari dan memperlihatkan aktivitas rakyat dari luar.

Disana, juga ada beberapa lukisan dan foto petinggi prajurit kerajaan yang masih menjabat hingga yang sudah tidak menjabat beserta pangkatnya.

Gavesha terpana melihat itu, sejenak ketakutannya menghilang.

Matanya tertuju kepada satu foto dominan yang ada di atas bingkai-bingkai lain dan paling tinggi pula posisinya. Ia melihat gambar itu sedikit bingung, ada corak yang mengingatkannya pada beberapa kalangan.

"Cheetah? Macan? Sepertinya bukan,” gumam
Gavesha sambil berpikir keras.

"Tapi ga mungkin juga kucingkan?”

"Kau membicarakan aku?”

Gavesha tersentak, sambil mengelus dadanya. Ia terkejut tiba-tiba ada sosok kucing hitam dengan topi breton lengkap dengan pedang di pinggang kirinya. Beruang itu berpikir dia bukan prajurit dari Angkang.

"Kau bereaksi berlebihan,” katanya sambil melihat bingkai teratas itu sekilas. "Itu Pallas, sama sepertiku. Bedanya dia lebih suka menyendiri, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa berjumpa dengannya langsung.”

Gavesha mengangguk-anggukkan kepalanya. “E-eh, bagaimana kau bisa tahu?”

“Aku sering berkelana.”

"Lalu, sedang apa kau disini?” tanya Gavesha. Mengalihkan pembicaraan karena penasaran kucing itu darimana.

"Hanya mengantar surat balasan kunjungan kalian siang nanti,” ucapnya. Menunjukkan gulungan kertas yang dibawanya.

"Oh ya, namaku Thana.” Kucing hitam itu mengulurkan tangannya.

"T-tanah?” Pandangan Gavesha menuju ke bawah lalu menatap kucing itu lagi, raut wajahnya terlihat kesal karena Gavesha menafsirkan namanya dengan benda mati. Sebisa mungkin, ia menahan ketawanya meski nyatanya tak bisa.

"Hahaha, m-maaf, maaf, aku kelepasan. Habisnya namamu lucu,” ucap Gavesha menjabat tangan itu.

"Ya, terserahmu saja.”

Gavesha menarik nafas dalam-dalam, agar tawanya tak lagi keluar. Rasanya tidak baik, menertawakan nama tamu dari kerajaan lain.

"Mengapa kau yang mengantar? Kan bisa lewat pos bangau.”

"Raja tak ingin hal itu terjadi, cuman orang kepercayaannya saja yang boleh keluar dari wilayah.”

"Kenapa?” Gavesha penasaran, tentang apa yang terjadi di kerajaan yang lain.

Saat Thana ingin menjelaskan, Erlan masuk dan menyambutnya.

"Selamat datang kembali ke markas, Thana,” ucap Erlan. Menyodorkan tangannya yang dibalas oleh Thana dengan senang hati.

"Ada yang bisa ku bantu?”

Thana menggeleng, "aku hanya mau memberikan surat balasan dari kerajaan kami.”

"Baiklah, mari ke ruanganku dulu, kita bicarakan ini disana,” ucap Erlan. Mempersilahkan Thana keluar bersamanya.

"Oh ya Gav, Jendral sudah menunggumu di ruangannya,” ucap Erlan. Berbalik dan mendekatinya sambil berbisik.

Gavesha terpaku sejenak, dia ingat bahwa jendral tanpa nama itu tak bisa sembarang orang bisa menemuinya dan ternyata itu bernama Pallas dan pantas saja bingkai potonya paling atas di dinding itu. Sebelum pintu tertutup, beruang itu menatap kepergian Thana dan Erlan.

Pikiran-pikiran jelek pun berputar, seperti kaset kusut. Entah apa yang, Gavesha perbuat hingga dipanggil jendral itu hari ini.

"Tapi, kenapa Sand tak memberitahuku, jika ia seorang jendral?" batin Gavesha. Berjalan dengan lambat di belakang seorang pemandu.

***

"Aku dengar, kau ingin menjadi prajurit tetap hanya untuk pamer kepada teman lamamu.”

Ucapan itu langsung membuat Gavesha terkejut, padahal ia tak memberi tahu tujuan lainnya masuk ke prajurit tetap ke siapapun termasuk ibunya.

Sosok bergelar jendral itu belum memperlihatkan wajahnya, ia hanya duduk di kursi dengan keadaan membelakangi Gavesha yang berdiri di depan mejanya.

"Dan aku juga dengar, kau ingin menjadi prajurit tetap agar kau bisa kemanapun tanpa mengurus surat izin.”

Jantung beruang itu seakan ingin berhenti, bagaimana bisa Pallas mengetahui semua hal itu padahal ini pertama kalinya mereka bertemu.
"Apakah itu benar?”

Gavesha bingung, harus menjawab iya atau tidak. Jika, jawab jujur, ia takut akan dikeluarkan secara tidak hormat dengan alasan-alasan yang sudah disebutkan Pallas meski itu adalah sebuah kebenaran.

Tapi, jika ia bohong, akan seterusnya berbohong untuk menutupi kebohongan yang lain. Hidupnya akan tidak tenang dengan berbohong.

Gavesha mengambil nafas dalam-dalam, meyakinkan diri. Apapun yang terucap dari mulutnya, ia siap dengan segala resikonya.

"I-iya, Pak. Benar,” ucap Gavesha. Susah payah.

Tiba-tiba lenggang sejenak, "apa kau juga berkirim pesan melalui jalan tikus untuk menghubungi temanmu itu?”

Mata Gavesha terbelalak, bagaimana rahasia itu juga bocor. Siapa yang memberitahunya?

"I-iya Pak.”

"Apakah kau tau itu ilegal?”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top