Penutup
Lindya menatap tulisan di dinding kamar tahanan tempat Kikan berada sebelumnya dengan nanar. Matanya buram tertutup air mata.
Bimo menyentuh bahunya pelan dan mengajak Lindya keluar dari kamar tahanan itu. Beberapa orang wartawan mendesak maju untuk bertanya-tanya pada Lindya.
Bimo menghalangi mereka dan menyeret Lindya lebih cepat, masuk ke dalam kantornya. Dokter Permana sudah menunggu di dalam ruang kerja Bimo.
“Lindya, kau baik-baik saja?” sapa dokter Permana sambil menyentuh tangan Lindya.
Lindya menghapus air matanya dengan sehelai tissue yang disodorkan Bimo dan mengangguk. “Ya dokter, saya tidak apa-apa. Saya hanya tidak menyangka bahwa ternyata selama ini kita telah terkecoh oleh Kikan. Dia menuliskan semua detil kejahatannya dan itu sangat mengerikan untuk dilakukan oleh seorang gadis seperti dia. Dia bahkan memberikan sinyal kepada saya melalui ucapannya ketika saya bertemu secara pribadi dengannya terakhir kali.” Lindya teringat kembali kata-kata Kikan, semua orang memakai topeng di wajahnya, untuk menutupi semua kebusukan dan kejahatan yang mereka lakukan, terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang lain. Pada suatu saat, entah karena sebab apa, topeng itu mungkin harus dilepaskan juga, menampakkan wajah aslinya."
“Ya, benar-benar di luar dugaan,” gumam Bimo kecut. “Aku sudah berpikir untuk mengajukan permohonan pembatalan proses pengadilan karena kondisi Kikan yang tidak memungkinkan. Dia menderita kelainan jiwa yang unik dan mungkin tidak kompeten sebagai dirinya sendiri untuk diadili. Saksi-saksi yang ada juga meragukan dirinya sebagi pribadi yang utuh dan bukti-bukti yang ada juga tidak mendukung keterlibatan dia sepenuhnya. Ternyata...”
“Dia sakit jiwa,” ujar dokter Permana. “Sangat sakit sampai dia bisa melakukan semua itu dengan tangannya sendiri. Apa yang dikatakan Lindya padanya beberapa hari sebelum dia bunuh diri rupanya telah menggugah kesadarannya. Di sisi lain sakitnya, Kikan juga gadis yang sangat cerdas, kita harus akui itu. Dia membangun alibinya sendiri, namun kemudian dia sadar bahwa dia tidak akan bisa selamanya bersandiwara, memerankan tiga buah karakter yang berbeda-beda terus-menerus. Kalau suatu saat sandiwaranya terbongkar, dia tidak akan lolos dari hukuman yang sangat berat. Lagipula baginya, tidak ada lagi hal yang bisa menghalangi. Ibunya sendiri tidak bisa mengenalinya dan dia sendiri begitu benci pada wanita itu sehingga setiap kali menjenguk dia malah menakut-nakuti dan membuat wanita itu semakin depresi. Ayahmu sudah meninggal sehingga dia tidak akan bisa melakukan apapun terhadapnya. Kikan merasa semua yang dilakukannya sudah cukup dan setimpal dengan penderitaannya. Itu sebabnya dia bisa tanpa ragu menghabisi nyawanya sendiri. Lagipula, dia pasti sangat lelah dengan semua kekacauan dalam hidupnya."
“Kalau Ayah masih hidup dan Kikan berhasil bebas, mungkinkah Ayah juga akan menjadi korban Kikan berikutnya—dengan cara apapun?” tanya Lindya.
“Kemungkinan besar begitu,” jawab dokter Permana. Ia berdiri dari sofa yang didudukinya dan menghampiri Lindya, merangkul bahunya. “Sudah berlalu Nak, tidak ada lagi yang harus membebanimu sekarang. Lukman Aris dan Kikan Ariana hanyalah segelintir orang yang menjadi korban keadaan, tidak bisa menanggung segala permasalahan hidup, kekurangan iman dan kasih sayang sehingga akhirnya terjerumus ke dalam jurang depresi yang sangat dalam. Mereka harus dikasihani namun mereka juga telah mengambil jalan singkat untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Sekarang, kau harus tetap menjadi Lindya Dinata yang aku kenal dulu—ketika memperjuangkan skripsimu di hadapanku. Kuat, tegas dan optimis. Kau telah melalui masa-masa sulit juga, namun kau beruntung karena mempunyai banyak orang yang peduli padamu, bahkan ayahmu meskipun dengan cara yang salah.”
“Tenang dokter, mulai saat ini, Lindya sepenuhnya adalah tanggung jawab saya,” sela Bimo penuh keyakinan. “Beberapa tahun yang lalu saya telah kehilangan Lindya ketika ayahnya menolak lamaran saya. Waktu itu saya terlalu naïf untuk mengerti situasinya. Saya menikah dengan almarhumah istri saya tanpa benar-benar mencintainya, sampai akhirnya dia meninggal karena sakit. Saya kehilangan dirinya karena bagaimanapun dia adalah istri yang baik, namun rasa kehilangan itu tetap tidak sama dengan apa yang saya rasakan terhadap Lindya. Sekarang saya tidak ingin mengulangi kebodohan yang dulu, melepaskan orang saya cintai dengan begitu mudahnya. Dokter boleh mempercayai saya kali ini.”
“Aku selalu percaya padamu Bim, sejak saya mengenalmu—ketika kau hadir dalam sidang skripsi Lindya. Aku tahu kau adalah lelaki yang baik, hanya saja keadaan membuat semua yang direncanakan tidak berjalan sesuai dengan apa yang kalian inginkan. Almarhum ayahmu—“ dokter Permana menoleh kepada Lindya. “—pernah mengatakan kepadaku bahwa dia tidak menyukai Bimo dan akan berusaha dengan cara apapun untuk memisahkan kalian. Waktu itu aku tidak terlalu memperhatikan maksud dari kata-katanya itu, namun melihat bagaimana caranya memperlakukanmu dan sorot matanya terhadapmu, aku menyadari ada sesuatu yang salah sedang terjadi."
"Aku tidak ingin merasakan ini sebenarnya," ujar Lindya lirih. Matanya berkaca-kaca. "Dia memang ayahku, namun aku lega dia sudah tiada sekarang."
Dokter Permana meremas lembut bahu Lindya. Ia memberi isyarat kepada Bimo untuk keluar dari ruangan dan menggandeng Lindya bersamanya.
Bimo melihat melalui jendela kantornya, ke ruangan penjara yang sebelumnya ditempati oleh Kikan Ariana. Ia akan meminta salah satu anak buahnya mengubah ruangan itu menjadi gudang arsip saja. Bimo menghela nafas panjang dan melangkah keluar.
Sudah berakhir.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top