Bab 5
Kikan tidak tahu apa yang membuatnya begitu gelisah seharian ini. ia merasa seolah-olah ada orang yang mengikutinya. Ia merasa ada yang sedang memperhatikannya, dengan tatapan yang tidak menyenangkan. Kerap kali bulu kuduknya meremang dan ia merasa dingin tiba-tiba menjalari punggungnya.
"Kenapa Kan? Kau kelihatan gelisah sekali hari ini," tegur Nindya. "Rencana desain untuk buku panduan wisata alam Jawa Barat yang akan dicetak akhir bulan ini sudah selesai?"
"Tinggal mencantumkan daftar hotel dan restoran saja. Kau mau pulang?" tanya Kikan. Jam kecil diatas mejanya sudah menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh lima.
"Ya, suamiku menelepon barusan, dia tidak enak badan. Kau tidak apa-apa kutinggal?"
"Tidak, tidak apa-apa. Pulanglah. Sebentar lagi juga aku selesai."
"Motormu masih di bengkel?"
Kikan diam sejenak, sedikit bingung dengan pertanyaan Nindya. "Motor?"
"Iya, bukankah kau bilang motormu rusak?"
"Oh, iya, masih di bengkel."
"Kan, kau yakin baik-baik saja?" tanya Nindya heran. Ia bisa melihat sikap Kikan yang sedikit aneh, seperti orang linglung. "Apa tidak sebaiknya kau pulang juga?"
"Tidak Nin, serius... Aku hanya sedikit...pusing. Aku akan cepat-cepat menyelesaikan pekerjaanku kemudian pulang."
Nindya mematikan komputer dan lampu mejanya. Ia melambaikan tangan pada Kikan dan berjalan keluar dari ruangan.
Kikan memperhatikannya sejenak kemudian kembali menekuni pekerjaannya. Ia tidak ingin membawa pekerjaannya pulang, karena sudah beberapa kali ia melakukannya, kebanyakan pekerjaan itu malah tidak selesai.
Beberapa bilik rekan-rekannya masih menyala. Kikan merasa sedikit tenang. Akhir-akhir ini order cetak sedang padat sehingga beberapa pegawai seringkali pulang agak terlambat, termasuk pegawai lepas seperti dirinya. Kikan sama sekali tidak keberatan, apalagi karena mata kuliah yang diambilnya semester ini termasuk sedikit sehingga ia mempunyai cukup banyak waktu luang. Lagipula semakin banyak pekerjaan yang dilakukannya, berarti semakin besar pula honor yang akan diterimanya akhir bulan ini.
Ia memikirkan motornya. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Kikan tidak ingat kapan ia membawa motornya ke bengkel dan karena apa motornya rusak. Kikan merasa seperti orang bodoh. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan hal-hal itu.
Tadi pagi ia bahkan sempat bingung ketika menemukan bon tanda terima perbaikan motor dari bengkel langganannya di atas meja belajar. Kikan menghela nafas dan memutuskan untuk menyingkirkan dulu hal itu. Pekerjaannya tinggal sedikit lagi dan ia harus segera menyelesaikannya.
%%%
"Dia pasti tidak tahu apa yang dilewatkannya malam ini," ujar Aneta senang. Ia bersenandung kecil dan merasa puas.
"Rencanaku pasti berhasil dengan sangat mulus."
"TIdak seharusnya kau melakukan itu Net," kata Jodi dengan nada sengit. "Kalian hanya akan mempersulit dirinya. Dia akan kehilangan teman kalau kalian selalu mengusiknya seperti ini."
"Kenapa memangnya?" balas Aneta ketus. "Kau pikir Mayda tidak layak mendapat kesempatan untuk menyukai orang yang sudah jelas-jelas hanya dipermainkan oleh cewek itu? Jangan bersikap naïf Di, kau juga pasti tahu bagaimana dia selalu menjadikan cowok itu sebagai alat untuk menyenangkan hatinya. Ia menerima perhatian dan kebaikan dari cowok itu tanpa malu-malu namun kemudian membiarkan cowok bodoh itu gigit jari."
"Aku tidak naïf, aku hanya merasa apa yang kalian lakukan selama ini sedikit keterlaluan. Seharusnya kalian tidak perlu mengganggunya seperti itu, toh dia tidak pernah menyulitkan kalian."
"Tolol! Benar kata Mayda selama ini, kau ini hanya cowok tolol yang merasa diri seperti superhero. Kupikir kau memang mati rasa, tidak bisa merasakan betapa sia-sia semua yang kau lakukan untuk cewek itu selama ini karena dia tidak pernah menyadarinya."
Jodi terdiam. Ia menutup mulutnya rapat-rapat dan pergi tanpa mengatakan apapun.
%%%
Andika melihat jarum pendek di arlojinya terus bergeser. Sudah hampir dua jam ia menunggu di depan bioskop, namun orang yang ditunggunya sama sekali tidak menunjukkkan tanda-tanda akan muncul. Ia menghela nafas panjang. Ia tidak membawa ponselnya sehingga tidak bisa menelepon Kikan untuk menanyakan keberadaannya. Bodoh sekali, Andika mengeluh dalam hati.
Dika, aku berubah pikiran. Kau masih menyimpan tiket film yang waktu itu kau tunjukan padaku? Kita bertemu di depan bioskop malam ini ya..
Andika meraba saku jaketnya dan merasakan gemerisik kertas di dalamnya. Ia bisa mengingat setiap kata yang ditulis Kikan dalam surat singkat itu. Ia mengambil lagi tiket nonton itu dari adiknya dan menjanjikan akan menggantinya dengan album terbaru Big Bang untuk adiknya itu.
Hatinya melonjak girang ketika menemukan kertas kecil yang berisi tulisan Kikan itu dalam sebuah buku catatannya. Ia tidak melihat Kikan di kampus hari ini, entah kapan gadis itu menyelipkan kertas tersebut.
Andika meremas tiket itu dan membuangnya ke tempat sampah. Surat dari Kikan akan disimpannya saja, siapa tahu suatu saat nanti ia bisa mengkonfrontasi Kikan tentang maksudnya menulis surat itu dan mempermainkannya. Harusnya ia sadar bahwa Kikan hanya memberinya harapan kosong.
Gadis itu memang selalu baik padanya, namun hanya sebatas itu. Andika harus berpikir untuk mulai menjaga jarak. Ia tidak ingin terlanjur jauh menyukai Kikan kemudian sakit hati dan kecewa karena penolakan. Andika meninggalkan halaman bioskop dengan gontai.
%%%
"Kau tahu May, si alim itu tidak akan bisa lagi menyakiti Andika," bisik Aneta. "Setelah ini, ia pasti akan menjauhi cewek itu. dia pasti mengira cewek itu sengaja mengerjainya."
Mayda tertawa senang. "Kau cerdas Net!"
"Mungkin kau bisa mulai mendekatinya setelah ini," ujar Aneta antusias.
"Aku?" Mayda menunjuk dirinya sambil membelalak. "Tidak Net, tidak! Aku senang karena kau berhasil membuat cewek itu berhenti mempermainkan perasaannya, tapi aku tidak akan mendekatinya. Aku tetap tidak mau berhubungan dengan siapapun seblum cita-citaku tercapai. Lagipula, Andika bukan tipeku."
"Kau yakin?"
"Ya! Aku mungkin...yah...menyukainya," gumam Mayda terbata-bata. "-tapi semua itu tidak cukup membuat tekadku goyah. Kami tidak akan cocok sama sekali. Kau juga pasti bisa melihat itu Net..."
"Melihat apa? Bahwa kalian tidak akan cocok?"
"Bahwa kami sangat bertolak belakang."
Aneta terdiam. Dengan sifatnya yang keras, kadang-kadang Mayda bisa menjadi terlalu dingin seolah-olah ia menihilkan perasaannya sendiri. Ia tidak pernah mau bergeser dari apapun yang dianggapnya benar dan pantas untuk dirinya meskipun seringkali hal itu juga akan membuat hatinya tidak enak atau bahkan sakit.
Aneta yakin kalau Mayda memang menyukai Andika, namun demi cita-citanya ia bisa membiarkan perasaannya itu mati.
"Kau tahu Net, setelah ini, aku bisa lebih bahagia."
"Karena Andika kelihatannya akan menjauhi cewek itu setelah insiden ini?"
"Ya. Cewek itu tidak pantas menerima perhatian dalam bentuk apapun dari cowok bodoh itu. Setidaknya sekarang cowok itu bisa menjadi sedikit lebih cerdas."
Aneta tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya tersenyum maklum menanggapi kata-kata Mayda. Mayda bersiul-siul senang.
%%%
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top