Bab 4
Aneta memindahkan telepon genggamnya ke telinga kanan. Ia suka mendengar suara Ramon yang mesra. "Mengapa kau terus bekerja disana kalau kau tidak terlalu menyukai pekerjaanmu?" tanya Ramon. "Kau bisa mencoba melamar di tempatku kalau mau."
Aneta tertawa kecil, "Bukan seperti itu, aku hanya tidak terlalu menyukai orang-orang yang berada di dalamnya. Sebenarnya, aku memang orang yang agak sulit bergaul."
"Kau terlalu merendahkan dirimu Neta," bantah Ramon serius. "Berbicara denganmu membuatku lupa waktu. Kau mau menemaniku makan malam?"
"Suatu waktu, mungkin," hindar Aneta manis. "Aku harus pergi. Lain kali kutelepon."
Aneta menutup telepon.
Ia menekan dadanya. Suara Ramon membuatnya gemetar karena senang. Beberapa kali Ramon mengajaknya keluar, sekedar bertemu di kafe atau makan malam. Aneta selalu menghindar. Ia tidak mau terburu-buru. Seperti yang pernah diajarkannya pada Mayda, ia harus bisa membuat Ramon bertekuk lutut dan memohon dulu kepadanya sebelum ia mulai melancarkan serangannya.
Laki-laki itu punya segala yang diinginkannya, ia hanya perlu memastikan bahwa ia sudah menguasai laki-laki itu dalam genggamannya, bukan sebaliknya.
"Ramon?" tanya Mayda.
"Hhhmmm..."
"Kau jatuh cinta padanya Net?"
"Tidak...dia yang jatuh cinta kepadaku..."
Kau tidak boleh jatuh cinta karena cinta itu hanya kebohongan belaka. Kau hanya harus memanfaatkan setiap kesempatan untuk mencari keuntungan. Dengan kecantikanmu, kau bisa hidup senang bahkan tanpa perlu jatuh cinta, pikir Aneta. Ia hafal kata-kata itu seperti ia hafal ejaan huruf-huruf yang membentuk namanya.
"Kau akan meneruskan aktingmu itu?" mayda mengerling jahil.
"Akting?" sergah Aneta sambil tertawa geli. "Aku menyukai Ramon namun aku tidak ingin dia jadi kelewat besar kepala karenanya. Ingat May, semakin sulit seorang laki-laki mendapatkan seorang perempuan, maka dia juga akan semakin sulit untuk melepasnya."
"Jangan terlalu lama, nanti dia malah berpikir kau hanya ingin mempermainkan dirinya lalu memutuskan untuk mencari orang lain. Kau bisa gigit jari kalau begitu."
"Tenang Mayda sayang, aku tahu apa yang harus kulakukan."
%%%
Ia menyadari kehadirannya tidak diinginkan oleh kedua wanita itu. Mereka menganggapnya tidak ada, namun ia tahu bahwa mereka juga tidak bisa terang-terangan menolak kehadirannya. Ia sendiri terlalu sopan untuk berdebat dengan perempuan. Itulah sebabnya ia hanya diam setiap kali kedua wanita itu menggunjingkan Kikan.
Ia mendengarkan mereka namun ia tidak malakukan apapun untuk mencegah. Toh, Kikan sendiri tidak merasa terganggu. Lagipula kedua wanita itu hanya melakukannya di belakang Kikan, seperti pencuri yang hanya berniat mengintai dari belakang korbannya.
"Kenapa kau menolongnya," bentak Mayda. "Biarkan saja dia!"
"May, jangan ganggu dia," Aneta berucap lembut. "Dia tidak bermaksud apapun melakukan itu."
"Kau tahu bagaimana cewek alim itu membuat hidupku sengsara disini, dengan sikap sok manis dan pendiamnya yang tidak tertahankan." Mayda tetap marah-marah. "Seharusnya kau biarkan saja dia bersenang-senang dengan preman sialan itu."
"Kau tidak ada disana saat itu," Jodi akhirnya membuka mulut. Ia tidak benar-benar ingin menanggapi kemarahan Mayda, hanya saja ia tidak suka Mayda terus-menerus mengintimidasi Kikan. "Seharusnya kau melihat bagaimana Kikan ketakutan. Pemabuk itu benar-benar membuatnya lumpuh ketakutan."
"Sama seperti waktu itu...," gumam Aneta. "-ketika kau menyelamatkannya dari bajingan gendut yang hampir mencekiknya."
"Ya...sama seperti waktu itu." Jodi mengangguk.
"Kau bodoh!" sentak Mayda.
%%%
Kikan mati-matian mempertahankan dirinya dari laki-laki gendut yang mabuk itu. Pakaiannya sudah tidak lagi berbentuk, sobek di sana-sini. Beberapa bagian tubuhnya memar dan tergores. Semakin lama pertahanan Kikan semakin lemah. Ia nyaris pasrah ketika Jodi kemudian merenggut kerah baju laki-laki gendut itu dan menghajarnya bertubi-tubi. Darah memercik kemana-mana ketika sebuah pukulan keras mematahkan hidung pemabuk itu dan akhirnya membuatnya tersungkur seperti seekor babi ke tanah.
"Kau! Sikap sok pahlawanmu!" ujar Mayda sambil mengangkat kedua tangannya dengan sikap sebal. "Kau kira cewek itu akan memperhatikanmu? Dia bahkan tidak tahu kau ada!"
"Tidak apa-apa," balas Jodi santai. "Aku tidak peduli soal itu. Aku hanya tidak bisa membiarkan hal seperti itu terjadi di depan mataku."
"Terserahlah!"
%%%
Mayda berdiri diam-diam di belakang rak buku. Ia memperhatikan Andika mengambil beberapa buku dan membawanya ke meja panjang. Laki-laki itu kelihatan menarik dalam ketekunannya membaca dan mencatat. Kacamatanya turun sampai ke pangkal hidungnya dan berkali-kali Andika harus mendorong kembali benda itu dengan jari telunjuk. Gerakannya itu benar-benar menarik. Mayda merasakan getaran menyenangkan di dalam hatinya.
"Kau jatuh cinta padanya kan May," tegur Aneta lembut.
Mayda tergagap. "Ti...tidak...Neta, kau jangan berpikir yang aneh-aneh begitu dong. Cowok kuper begitu, bagaimana mungkin aku bisa jatuh cinta kepadanya?"
Aneta tertawa maklum. "Kenapa tidak bisa May, cinta itu buta lho..."
"Ya, seperti si Jodi itu!" dengus Mayda sebal. "Dia jatuh cinta setengah mati pada cewek sok alim itu, sampai mati-matian membelanya. Dia tidak tahu kalau cewek itu hanya memanfaatkannya tanpa sadar akan keberadaannya."
"Jodi memang menginginkan hal itu May, tidak peduli cewek itu sadar atau tidak tentang kehadiran Jodi. Kau juga tidak akan bisa melarangnya berhenti melindungi cewek itu setiap kali dia ingin melakukannya."
Mayda mencibir.
Aneta memperhatikan Andika dan memutuskan bahwa Mayda memang menyukai laki-laki itu meskipun dia berkeras membantahnya. Ia memutuskan untuk melakukan sesuatu untuk Mayda.
%%%
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top