Bab 23

Pemakaman dokter Alfiandi berlangsung singkat. Pengunjung yang mengantarnya ke peristirahatan terakhir kebanyakan adalah rekan-rekan sejawatnya dan beberapa mantan pasiennya.

Dua anak lelakinya yang masih kecil menarik-narik tangan ibunya yang masih sangat muda—yang menangis meraung-raung di pelukan seorang wanita lain yang lebih tua, ibunya.

Lindya berdiri di dalam rangkulan Bimo dan di samping dokter Permana, di latar belakang suasana pemakaman. Wajahnya datar tanpa ekspresi.

“Beliau mengakhiri hidupnya dengan memotong kedua nadinya, dan kami terlambat menemukannya,” penjelasan dokter Liam yang merawat ayahnya selama berada di rumah sakit, diterima Lindya dengan hati kosong. “Kami sama sekali tidak menyangka bahwa dokter Alfiandi akan menyembunyikan silet di balik bantalnya. Entah darimana beliau mendapatkan benda itu.”

“Selamat jalan,” bisik Lindya.
%%%

Kikan tersenyum menatap lukisan yang dibuatnya di dinding kamar tahanan yang ditempatinya. Ia merindukan suasana pantai yang digambarnya di dinding.

Ia ingat kata-kata Desta dulu, Ternyata kau sangat terampil… gambar-gambarmu indah sekali… Ayahku mempunyai sebuah sanggar melukis, maukah kau belajar menggambar di tempatnya?

Desta tidak membawanya ke sanggar lukis ayahnya, melainkan membawanya ke rumahnya yang saat itu kosong dan menciumnya. Kikan berlari pulang, ketakutan dan malu.

Ibunya memarahi dan mencurigai kelakuan Kikan yang aneh. Kikan bahagia tapi juga takut karena kata-kata ibunya terlalu dalam tertanam dalam benaknya. Ia tidak boleh jatuh cinta.

Entah bagaimana keadaan Desta sekarang. Semoga dia baik-baik saja dimanapun dia berada.

Kikan membaringkan tubuhnya di atas dipan beralas kasur tipis yang keras dan dingin. Ia mendengar percakapan beberapa orang polisi tentang kematian dokter Alfiandi. Ia tidak merasakan apapun, hanya menganggapnya sebagai berita biasa yang tidak berarti.

Kata-kata dokter Lindya yang selalu terngiang di dalam pikirannya beberapa hari terakhir ini. gadis cantik itu juga ternyata tidak bahagia, dalam caranya sendiri. Dia tersiksa oleh kasih sayang yang semakin lama semakin mendekati kegilaan yang dilakukan ayahnya sendiri.

Kikan tersenyum miris sendiri, mengingat ia pernah sangat iri hati terhadap Lindya, belasan tahun yang lalu saat melihatnya di depan toko mainan. Entah mengapa takdir telah mempertemukan mereka dalam jalinan benang kehidupan yang sama. Jalinan yang melibatkan dokter Alfiandi sebagai penghubung di antara mereka.

Lindya lebih beruntung dari dirinya. Ia memiliki Bimo sekarang. Ia tetap sendiri. Bimo telah memberitahunya soal kematian ibunya. Kikan hanya tersenyum mendengar kabar itu. ia tidak merasakan apa-apa.

Wanita itu hanya berjasa mengandung dan melahirkan dirinya. Selain itu, semua yang diterimanya dari wanita itu telah seimbang dengan penderitaannya yang harus dilaluinya karena wanita itu juga.

Kikan memutar kembali ingatannya terhadap beberapa peristiwa yang telah terjadi dalam hidupnya akhir-akhir ini.

Andika telah mencoba berbuat kurang ajar padanya. Lelaki yang selama ini dipercaya olehnya sebagai teman, ternyata tidak ada bedanya dengan lelaki-lelaki lain yang selama ini telah membuatnya muak.

Andika mencoba memaksakan cintanya, marah karena tidak ditanggapi dan bahkan membuntutinya sampai ke tempat kost. Kikan bersembunyi di balik tembok sebuah toko dan mengambil jalan memutar ketika dia melihat sosok Andika di belakangnya malam itu.

Dia mengambil sebuah kayu yang ditemukannya di sudut sebuah bangunan yang sedang dalam proses renovasi dan memukul Andika dari belakang berkali-kali.

Ramon ingin agar Kikan membayar semua barang-barang mahal yang telah dibelikannya dengan menyerahkan tubuhnya. Lelaki itu bahkan tidak sabar menunggu sampai mereka sampai ke hotel.

Ia mencoba meraba-raba tubuh Kikan di dalam mobil. Dengan senyum memikat dan sikap genit, Kikan meminta Ramon untuk menghentikan mobil di sebuah jalan sepi dan keluar dari mobil dengan alasan ingin menghirup udara segar.

Ia menedang Ramon sekuat tenaga di bagian alat vitalnya dan mengambil tongkat pemukul baseball dari dalam mobil. Ia tahu bahwa Ramon selalu membawa tongkat itu di dalam mobilnya. setidaknya saat itu tongkat itu tidak berada di dalam mobil untuk disia-siakan. Sayang Ramon tidak mati.

Ayu mengendap-endap mengintip ke dalam kamar yang disewanya atas nama Aneta. Gadis usil itu pasti ingin membongkar rahasianya. Kikan mengetuk kamar Ayu sore itu, membawa segelas sirup berwarna merah dengan jeli berwarna-warni yang cantik di dalam gelas. Ia telah mencampur sirup itu dengan beberapa tetes sianida yang didapatnya dari percetakan tempatnya bekerja—bahan berbahaya yang digunakan untuk campuran tinta.

Ayu meninggal dalam waktu setengah jam setelah ia meminum sirup yang dibawakan Kikan dan dengan tenang Kikan memotong nadinya dalam-dalam. Ia cukup cerdik dengan mengenakan sarung tangan  dan mengatakan pada Ayu—yang menanyakan mengapa ia memakai sarung tangan—bahwa tangannya sedang mengalami alergi akibat sabun cuci.

Kikan ingin menuliskan semua rincian yang bisa diingatnya—Desta, lelaki mirip babi yang ingin memperkosanya, ibunya, entah siapa lagi—namun tangannya pegal dan pensilnya sudah pendek sekali.

Ia memejamkan mata, menarik nafas dalam-dalam dan dengan sekuat tenaga menghujamkan ujung pensil yang sudah tumpul itu ke lehernya sendiri. Dalam dan keras. Ketika tenaganya sudah benar-benar terkuras, pensil itu bahkan hampir habis terbenam dalam leher Kikan.
%%%

...dokter tidak perlu lagi melakukan apa-apa untuk saya, karena sesungguhnya memang saya tidak apa-apa. Tidak ada Aneta, Mayda, apalagi Jodi. Mereka semua hanyalah beberapa topeng yang saya ciptakan untuk menemani hidup saya yang sepi. Merekalah yang selama ini melindungi dan selalu ada untuk saya, terutama di saat-saat tersulit hidup saya, namun mereka tidak melakukan apa-apa. Semua adalah perbuatan saya, dan saya lakukan semuanya dengan sadar. Saya menjadikan mereka sebagai alibi, membuat mereka seolah-olah benar-benar hidup di dalam diri saya. Anda harus mengakui bahwa saya pintar kan dok? Tidak pernah ada orang yang menyayangi saya dengan tulus, bahkan Ibu kandung saya sendiri. Kata-kata dokter ketika terakhir kali kita bertemu telah membuka selubung gelap di dalam hati dan pikiran saya. Saya berterima kasih dengan niat dokter untuk mendampingi saya, membela saya. Baru dokterlah yang terasa begitu tulus untuk saya dan itu membuat saya bisa meninggalkan semuanya dengan lebih ikhlas. Ironis sekali kalau mengingat bahwa kita saling terhubung oleh satu orang sama. Sayangnya jalan kita sama sekali berbeda. Dokter mendapatkan jalan yang baik dalam tekanan orang itu sedangkan saya terpuruk dalam nista karena perbuatannya. Yah, bagaimanapun setiap orang memiliki garis takdir yang berbeda kan dok? Satu hal yang saya rasakan sekarang, saya bersyukur bahwa semua orang yang telah membuat saya menderita sudah tidak ada. Saya telah menghabisi mereka supaya mereka tidak lagi bisa menyakiti siapapun. Semoga dokter bahagia bersama Bapak Bimo. Sampaikan salam dan terima kasih saya juga untuk dokter Permana. Kalian orang-orang yang baik. Sekarang semua sudah selesai, saya benar-benar lelah dan ingin beristirahat. Kata orang kalau kita melakukan kejahatan, kita akan masuk neraka saat mati, yah, mungkin itu juga tidak terlalu buruk bagi saya, mengingat selama hidup di duniapun saya sudah berada di dalamnya. Doakan saya saja, semoga dalam kematian saya dan kehidupan saya di neraka kelak, saya tidak perlu lagi bertemu mereka semua.

Kikan Ariana.
%%%

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top