Bab 20
Bimo melemparkan berkas laporan pemeriksaan dokter Permana ke atas meja. Ia pasti akan menganggap apa yang tertulis di dalam laporan itu sebagai sebuah dongeng atau semacam naskah sebuah sandiwara seandainya tidak melihat dan mendengar sendiri apa yang terjadi di dalam ruangan beberapa hari sebelumnya.
Kondisi Kikan mulai membaik setelah Lindya datang memeriksanya dua hari yang lalu. Ia sudah mau makan dan berkomunikasi lagi, meskipun sejauh ini hanya dengan Lindya. Kelihatannya ia menaruh kepercayaan khusus kepada Lindya.
“Ini berkas laporan dari dokter Permana Lin, aku baru menerimanya kemarin malam dan baru selesai membacanya pagi ini. Benar-benar luar biasa. Aku belum pernah menemukan kasus seaneh ini dimanapun. Aku yakin, bila keseluruhan kasus ini terakspos ke media, Kikan Ariana sudah dipastikan akan menjadi seorang selebritis baru.”
Lindya tertawa kecil. Ia mengeluarkan berkas laporan miliknya sendiri. “Fenomena yang unik kan? Tidak hanya di Negara kita, bahkan di negara-negara paling maju sekalipun, seorang pelaku kejahatan akan menjadi bintang saat media menyorotnya habis-habisan karena perbuatan jahat yang dilakukannya dianggap unik dan menarik. Itulah hebatnya media, segala sesuatu bisa jungkir balik hanya karena sebuah pemberitaan kecil saja di media.”
“Oh ya, ini juga laporan penyelidikan latar belakang yang dilakukan Iptu Dharwan beberapa hari ini. Tidak terlalu banyak namun rasanya cukup berguna. Kau harus membacanya.”
“Aku akan membacanya nanti, sambil mempelajarinya lebih lanjut, sekalian dengan hasil laporan dokter Permana ini. Mungkin ada keterkaitan yang bisa membuat kita menemukan benang merah dalam kasus ini—dari kedua laporan ini.”
“Ibunya seorang wanita sakit jiwa,” gumam Bimo sambil mempermainkan pensil di jarinya. “Ia yang membuat Kikan menjadi seperti sekarang. Aku penasaran, dimana wanita itu ketika Kikan hidup dalam gelimang kesusahan yang membuatnya seperti sekarang ini. Kita baru mendapat sedikit saja cerita kehidupan Kikan Ariana yang tragis, dan aku yakin masih banyak yang tersembunyi.”
“Kita belum bisa mengeluarkan alter yang bernama Jodi—itupun kalau benar ada, seperti yang dikatakan oleh dua alter lainnya. Kelihatannya setelah kemunculan alter bernama Mayda, ada bagian kosong yang dilalui Kikan sepanjang masa remajanya. Bisa jadi pada saat itulah Jodi muncul. Pasti ada pemicu yang lain yang membuat Jodi akhirnya keluar,” ujar Lindya sambil mencoret-coret kertas, membuat skema tentang Kikan.
“Bagaimana pendapat dokter Permana? Aku tidak sempat bicara banyak dengannya setelah pemeriksaan tadi.”
“Dokter Permana ingin melanjutkan pemeriksaan untuk membuat Jodi keluar. Menurut pendapat profesionalnya—kunci dari keseluruhan kasus ini ada pada alter bernama Jodi itu. Aneta dan Mayda berkeras bahwa Jodilah yang telah melakukan kedua pembunuhan dan penganiayaan itu, namun kita masih belum tahu kapan dia muncul dalam kehidupan Kikan.”
Bimo melangkah keluar dari balik meja kerjanya dan menghampiri Lindya yang duduk di depan meja, di atas kursi putar. Bimo duduk di kursi di sebelah Lindya dan meraih tangan wanita itu. “Bagaimana keadaan ayahmu sekarang?”
“Ayahku? Dia baik-baik saja,” jawab Lindya acuh. Ia menundukkan wajahnya menekuri buku di pangkuannya namun Bimo masih bisa melihat bibir bawahnya gemetar. “Istrinya baru saja melahirkan anaknya yang kedua dan aku bersyukur karena pada akhirnya dia menyerah membuatku kembali ke rumah. Dia sudah cukup sibuk dengan dua anak dan istri cantik yang rewel dan manja, jadi perlahan-lahan dia melepaskan tanganku. Istrinya itu usianya bahkan beberapa tahun lebih muda dariku, dan karena itu aku yakin dia sudah menemukan mainan baru untuk dikuasainya.”
“Aku melihatnya beberapa kali tampil di televisi sebagai nara sumber di sebuah acara. Kelihatannya ia semakin sibuk setelah pensiun.”
“Aku…tidak terlalu sering bertemu dengannya. Aku berusaha sebaik-baiknya untuk menghindari pertemuan dengannya. Mengapa kau tiba-tiba menanyakan tentang dirinya?”
“Hanya ingin tahu. Aku harus menghadapnya nanti, untuk memintamu. Mungkin sedikit banyak aku harus mempersiapkan diri dari sekarang. Ayahmu bukan orang yang mudah dihadapi. Ia terlalu mencintaimu dan itu akan sedikit mempersulitku, bahkan mungkin sekarang meskipun menurutmu dia sudah melepaskanmu."
Lindya menatap Bimo tanpa berkedip. Saat ia berkedip, setitik air bening turun dari sudut matanya. “Aku lelah menghadapinya Bim… Dia benar-benar membuatku merasa seperti seekor burung dalam sangkar emas. Kadang-kadang aku merasa seperti anak yang tidak tahu terima kasih, namun dia mengekangku terlalu keras. Aku tidak pernah merasa benar-benar hidup sebagai diriku."
“Aku mengerti Lin,” Bimo menarik Lindya ke dalam pelukannya dan menghapus air mata perempuan yang dicintainya itu dengan ujung jari. Aroma apel yang menyegarkan menyergap penciuman Bimo ketika ia rambut Lindya menempel di pipinya. “Dia sudah melakukan itu sejak aku baru mengenalmu sewaktu kita sama-sama masih SMA. Kau pernah kabur dari rumah karena dia mengurungmu dan tidak mengijinkanmu nonton denganku. Tapi itu dulu Lin, saat kau masih remaja dan polos. Dia melakukan itu untuk melindungimu. Sekarang kau sudah dewasa dan kau perlu seseorang yang akan menjagamu lebih baik. Dia akan mengerti. Percayalah kepadaku.”
“Tidak Bim, dia tidak pernah berubah. Kau tahu sendiri apa yang telah dilakukannya padaku selama ini. dia mengatakan bahwa semua yang dilakukannya adalah demi kebaikanku, padahal semua itu dilakukannya hanya karena dia tidak mau gengsinya jatuh di mata rekan-rekannya yang lain. Dia membuatku lumpuh dengan semua yang dikatakannnya sebagai kasih sayang.”
Bimo mengusap-usap bahu Lindya lembut dan membuainya pelan. Lindya menyurukkan kepala ke dada Bimo, mencari kehangatan dan kekuatan disana. Membicarakan ayahnya membuat Lindya merasa lemah dan rapuh. Seperti seorang anak kecil yang sudah terbiasa dipakaikan baju besi oleh ayahnya kemudian menjadi rentan terkena penyakit saat baju besi itu dilepaskan darinya.
“Kita akan menghadapnya setelah semua ini berlalu. Aku telah melakukan kesalahan dengan membiarkan dia membawamu setelah kejadian waktu itu—bukannya mempertahankan dan merawatmu sendiri dengan tanganku. Sekarang, aku tidak lagi peduli apapun pendapatnya tentang diriku selama kau mau menerimaku apa adanya.”
“Bukan salahmu Bim, aku yang terlalu banyak berpikir. Kau tahu, berbulan-bulan dalam perawatannya memang membuatku sembuh secara professional, secara keilmuan. Secara hati, dia tidak memberiku apa-apa, hanya kekosongan yang semakin lama semakin melebar. Kau menghilang sama sekali, dan aku tidak tahu bagaimana harus menghubungimu. Dia tidak mengijinkan aku menemui dan berhubungan dengan siapapun sampai empat bulan yang lalu, ketika dokter Permana mengecam sikapnya dan mengancam akan melaporkan hal ini kepada polisi sebagai tindakan KDRT. Beliau cukup peka melihat bagaimana perlakuan Ayah terhadapku dan efek yang ditimbulkannya terhadap perkembangan kepribadianku. Aku berterima kasih pada dokter Permana karena dia telah menyelamatkan hidupku, dari orang yang seharusnya melindungi dan mencintaiku dengan tulus.”
Bimo memegang kedua bahu Lindya dan menatap matanya dalam-dalam. “Lin, aku berkali-kali mendatangi rumahmu, mencoba menerobos masuk untuk menemuimu. Entah sudah berapa ribu kali juga aku mencoba meneleponmu tapi ayahmu selalu mengatakan bahwa kau tidak mau menemuiku. Kau membenciku karena tidak bisa melindungimu dari ancaman Lukman, sampai akhirnya dia bunuh diri di depan matamu dan membuatmu depresi. Akhirnya perlahan-lahan aku menyerah dan mencoba menerima kenyataan bahwa semua memang kesalahanku. Aku sungguh menyesalinya sekarang, terlalu cepat menyerah dan dengan pengecut malah mundur darimu."
“Astaga,” Lindya menutup mulutnya dengan tangan. Matanya berkaca-kaca. “Selama ini aku mengira kau sengaja menghindariku. Pemberitaan tentang peristiwa Lukman Aris terus-menerus menghantuiku, apalagi ketika media masa mulai menyinggung ketidakbecusanku menangani kondisi kejiwaannya dan malah membuatnya mengambil tindakan nekat. Aku kehilangan pegangan, semua orang menyalahkan aku bahkan kau. Hanya ayahku yang peduli.”
“Dia tidak sesederhana itu Lin,” ujar Bimo sedih. “Ayahmu tidak peduli padamu. seperti katamu tadi, dia hanya peduli dengan dirinya sendiri. Dia tidak rela kau pergi dari sisinya karena baginya kau adalah miliknya. Beberapa minggu yang lalu setelah ayahmu menyatakan pensiun, aku sempat bertemu dokter Permana dan dia menceritakan semua hal tentangmu. Dia yang mendorongku untuk menemuimu—di apartemenmu, bukan di rumah ayahmu. Dia menjamin bahwa kali ini ayahmu tidak akan berani mengusikmu lagi.”
“Ya, benar apa yang dikatakan oleh dokter Permana. Ia mengancam ayahku—akan membeberkan semua perilakunya selama ini terhadapku. Ayahku ketakutan. Kalau dokter Permana sampai melakukan hal itu, maka reputasi yang telah dibangunnya selama ini akan hancur dalam sekejap. Akhirnya dia memilih untuk pensiun dan membiarkan aku keluar dari rumahnya. Kau tahu, istrinya luar biasa senang karenanya. Mereka pasangan yang cocok. Mungkin pertimbangan ayahku melepaskan aku pada akhirnya, karena dia menemukan mainan yang baru untuk menggantikan aku. Istrinya itu. wanita bodoh yang rela melakukan apa saja karena uang dan kekayaan. Aku membeli apartemen dengan uang tabunganku dan dibantu dokter Permana, tanpa sepeserpun aku mau menerima uang ayahku."
Bimo mengusap-usap rambut Lindya, merasakan halus dan tebalnya rambut Lindya ditangannya, membuat hatinya terasa hangat.
“Aku tidak pernah mengerti mengapa ayahku begitu posesif terhadapku. Dia benci padamu karena menganggap kau akan mencuri aku darinya. Dia sering sekali menjelek-jelekkan dirimu, mengatakan bahwa kau adalah laki-laki lemah dan tidak setia. Kau meninggalkan aku dulu untuk menikah dengan Intan—almarhum istrimu, kemudian datang kembali setelah menjadi duda. Ayahku memanfaatkan semua itu untuk terus membuatku membencimu.”
Bimo menunduk sedih. “Dulu aku tidak punya apa-apa, dan ayahmu mengatakan bahwa aku tidak akan mampu membuatmu bahagia. Dia bahkan mendatangi kedua orang tuaku untuk menghina mereka. Ayahku kalap dan memaksaku menikahi Intan, kerabat jauhku dari kampung agar aku melupakanmu. Takdir yang mempertemukan kita kembali dalam kasus Lukman Aris, namun aku kembali melepaskanmu. Bodohnya aku...”
Lindya menatap mata Bimo. Mencari-cari kebenaran dalam matanya dan menemukan kejujuran yang tulus disana. “Ayahku…menemui orang tuamu? Kapan?”
“Beberapa hari setelah kau kabur dari rumah dan meninap di tempatku. Waktu itu dia menjemputmu di tempat kostku dan memukulku saaat kau sudah diamankannya di dalam mobil. Dia mengancam akan mengeluarkanmu dari kampus dan mengirimmu keluar negeri kalau aku masih nekat mendekatimu. Setelah itu kau tidak pernah ke kampus selama berminggu-minggu, membuatku cemas bahwa dia benar-benar melaksanakan ancamannya.”
“Dia mengurungku di dalam rumah dan kemudian aku sakit waktu itu. Aku menangis terus karena kau sama sekali tidak pernah menjengukku.”
“Aku tidak bisa. Ayahku mengirim surat dari kampung dan memintaku segera pulang. Ayahmu mendatangi keluargaku dan mengancam mereka kalau aku tidak menuruti kemauannya.”
“Bimo...,” Lindya tergagap. “—aku tidak tahu kalau ayahku melakukan itu padamu, pada orang tuamu. Aku yakin, ayahku juga pasti menyalahkanmu ketika aku..., yah—kau tahu—setelah kasus Lukman Aris...”
"Kita akan membereskan kembali beberapa hal yang sempat tertunda karena ulah ayahmu itu Lin, kau akan baik-baik saja—bersamaku. Aku berjanji, kali ini akau tidak akan mundur bahkan seandainya ayahmu mengancam akan membunuhku karena berani membawamu dari sisinya.”
Bimo meraup wajah Lindya dengan kedua tangannya dan mengecup dahinya, mengalirkan keyakinan dan tekad kepada wanita yang pertama mengisi hatinya dan diyakini akan menjadi yang terakhirnya.
%%%
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top