Bab 2
Aneta bersenandung kecil, sebuah lagu yang diingatnya dari masa lalunya. ...tapi buka dulu topengmu, buka dulu topengmu, biar kulihat warnamu, biar kulihat wajahmu.... Lagu itu masih tetap populer sampai sekarang, meskipun grup band yang membawakannya vakum karena vokalisnya-penyanyi kesukaan Aneta-terkena sebuah kasus asusila dan kemudian malah membentuk grup band yang baru.
Lagu itu membuat kepalaku sakit kepala. Aku perlu tidur, anak bodoh. Aku sudah sehari semalam membanting tulang untuk menghidupimu, tidak dapatkah kau memberiku kesempatan sedikit untuk istirahat, jerit wanita itu-setiap kali Aneta bersenandung. Aneta akan diam dan melanjutkan senandungnya dalam hati.
Aneta mengeraskan suaranya. Tidak ada yag bisa melarangnya kali ini, sekalipun ia ingin menjerit-jerit menyenandungkan lagu itu.
Ia terus bersenandung sambil membereskan majalah-majalah yang berserakan di atas meja. Ia menyukai majalah mode, karena baginya sangat menakjubkan melihat bagaimana pakaian dan kosmetik bisa membuat penampilan seseorang berubah drastis. Ia menyukai pakaian-pakaian yang indah, perhiasan dan tata rias yang cantik.
Aneta berusia awal duapuluhan tahun ini. Ia menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan keindahan dan kadang-kadang merasa dirinya tidak cantik.
Orang lain akan mengatakan bahwa ia manis, bukan cantik. Ia mempunyai mata yang indah namun harus menyembunyikannya di balik kacamata karena penglihatannya yang kurang normal. Beberapa kali ia mencoba untuk memakai softlens namun ia malah menderita iritasi.
Kacamata yang berat itu sering membuatnya pusing. Untuk menutupi kekurangannya itu, Aneta gemar mengenakan pakaian yang bagus, bermain dengan warna dan aksesories.
Aneta juga mempunyai kriteria sendiri tentang cowok. Ia menyukai cowok yang wangi dan rapi.
Ia bertemu dengan Ramon dua minggu yang lalu di kafe yang dikunjunginya sepulang kerja. Laki-laki itu berdiri di sebelahnya di depan konter pemesanan dan keharuman maskulin yang menerpa hidung Aneta membuatnya menoleh untuk melihat siapa si pemakai parfum itu.
Matanya bertemu dengan mata gelap milik Ramon. Laki-laki itu mengenakan t-shirt berwarna abu-abu gelap dan celana jeans hitam. Sepatunya kets abu-abu dan dia memakai kacamata.
Penampilannya tidak glamour, lebih tepat disebut berkelas. Tanpa perlu memandang dua kali, Aneta tahu bahwa arloji yang melingkari tangan Ramon adalah sebuah arloji merek ternama berharga puluhan juta. Ia pernah melihat arloji seperti itu di sebuah majalah mode. Laki-laki di hadapannya ini pasti bukan orang sembarangan.
Aneta tersenyum.
"Maaf, tapi anda menginjak kaki saya," bisik Aneta. Ia memandang ke bawah, dimana kaki kanannya berada di bawah kaki kiri Ramon.
Sepatu yang dipakainya hari ini baru dibelinya dua hari yang lalu, itupun setelah toko yang menjualnya menurunkan harganya 20% karena ukurannya hanya tinggal satu. Ukuran yang satu nomor lebih kecil untuk kaki Aneta, namun ia tetap membelinya karena ia menyukai sepatu itu.
"Astaga," Ramon melompat terkejut. Ia menatap Aneta yang sekarang berjongkok ambil membersihkan sepatunya yang sedikit kotor. "Maafkan saya, sungguh, saya tidak sengaja dan sama sekali tidak tahu kalau saya telah menginjak kaki anda. Maafkan saya."
"Tidak apa-apa," ujar Aneta menenangkan. Ia tersenyum manis. "Mari..."
"Sebentar, ijinkan saya menebus kesalahan saya barusan," Ramon menahan langkah Aneta. Ia kelihatan sangat menyesal. "Secangkir kopi dan cake mungkin?"
Aneta tidak minum kopi, namun ia tidak mau melewatkan kesempatan untuk mengenal Ramon juga. "Hhmm...mungkin tidak apa-apa kalau hanya sepotong tiramisu..."
Ramon memesan sebuah tiramisu ukuran besar untuk dirinya dan Aneta, secangkir kopi hitam untuknya dan coklat panas untuk Aneta. Ia mengajak Aneta duduk di kursi yang letaknya di sudut kafe.
"Apa yang dilakukan wanita secantik dirimu di kafe ini sendirian?" tanya Ramon. "Kau tidak sedang menunggu...eh, pacarmu?"
Aneta tertawa renyah. "Tentu saja tidak. Kalau aku sedang menunggu pacar, tidak mungkin aku menerima tawaranmu. Bisa-bisa perang dunia ketiga dimulai disini kalau begitu kan? Kau sendiri?"
"Aku baru pulang kerja, terlalu malas untuk langsung pulang ke rumah jadi aku memutuskan untuk mampir dulu. Rasanya aku tidak menyesal karena keputusan itu."
"Kasihan anak dan istrimu di rumah, menunggumu yang ternyata sedang mentraktir wanita lain d kafe?"
Ramon tertawa kecil. Ia menyukai Aneta yang ternyata menyenangkan untuk diajak berbicara. "Aku masih single, kalau kau mau percaya. Bahkan aku berani mengajakmu mampir ke apartemenku kapan-kapan kalau kau tidak keberatan. Tidak ada seorang istri apalagi anak yang menungguku."
Aneta tersenyum manis dan meminum coklatnya dengan gerakan anggun. Ia bersorak di dalam hati. Ini pasti malam keberuntungannya.
Malam itu dihabiskan Aneta dengan percakapan ngalor-ngidul dengan Ramon. Semakin lama pembicaraan mereka semakin seru dan menyenangkan.
Aneta merasakan banyak kecocokan di antara mereka. Ia senang berada dekat dengan Ramon. Laki-laki ini berbeda. Bukan hanya dewasa, Ramon juga menunjukkan sisi kematangan materi yang jelas terlihat dari semua yang dikenakannya.
Kartu kredit platinum yang dikeluarkan Ramon saat akan membayar pesanan mereka membuat Aneta yakin bahwa Ramon cukup layak untuk dijadikan "teman".
Itulah awalnya Aneta mengenal Ramon, laki-laki di usia akhir tiga puluh yang baru saja menandatangani sebuah proyek perancangan gedung perkantoran bonafide di tengah kota Jakarta. Ia seorang arsitek lulusan Amerika, lajang dan mapan.
Aneta tahu bahwa ia telah mendapatkan akses yang tepat menuju kehidupan menyenangkan dimana segala kesukaannya terhadap barang-barang indah dapat terpenuhi dengan mudah.
%%%
Mayda tidak terlalu peduli dengan soal penampilan. Ia cukup nyaman dengan kaos dan celana jeans belel, sepatu kets dan topi. Rambutnya tebal dan indah, namun terkadang ia merasa ingin memotongnya sependek mungkin.
"Kau kira rambutmu itu indah? Kau harusnya menonton film-film horror murahan itu, supaya kau bisa menyamakan wajahmu dengan hantu di dalamnya,"
Suara melengking penuh ejekan itu yang selalu mencegah Mayda memotong rambutnya. Ia akan membiarkan rambutnya terus tumbuh panjang hanya untuk memuaskan hatinya. Untunglah ada seseorang yang cukup cerdas menciptakan sebuah benda bernama topi.
Aneta selalu mengatakan bahwa ia mempunyai wajah yang menarik, dengan tulang pipi seperti model dan mata yang tajam. "Kau hanya perlu lebih banyak tersenyum," ujar Aneta setiap kali. "Kalau kau tersenyum, aku yakin banyak laki-laki yang mengantri di belakangmu, berharap kau memberi mereka kesempatan untuk menjadi pacarmu."
Usia Mayda sudah cukup matang, hanya terpaut beberapa tahun dengan Aneta, tapi ia sama sekali tidak pernah berminat untuk pacaran dengan lelaki manapun.
"Laki-laki itu cuma membuatmu pusing Net, mereka itu hanya menginginkan semua yang dapat kau berikan untuk mereka termasuk kepasrahan untuk menerima semua sisi buruk mereka. Kau pikir kita tidak bisa hidup tanpa mereka? Huh, jangan salah Net, mereka yang tidak bisa hidup tanpa kita. Semua sikap maskulin itu kan hanya topeng untuk menutupi kelemahan mereka."
"Kau yang bodoh May," balas Aneta sambil mengerling manis pada Mayda. "Kenapa tidak kita balikkan situasinya? Mari manfaatkan sisi buruk dan maskulinitas mereka untuk memfasilitasi keinginan dan kebutuhan kita, si lemah ini..."
"Kau, mahluk lemah yang mengerikan!" tukas Mayda geli.
Mayda tergila-gila pada kegiatan yang berhubungan dengan alam. Ia bisa berbaring menopang kepala dengan kedua tangan berjam-jam untuk menikmati matahari terbenam di tepi pantai, atau mendengarkan jangkrik beradu nada sambil menghitung bintang-bintang di puncak gunung.
Ia membenci pekerjaannya yang monoton, berhadapan dengan komputer dan mesin belaka. Hal itu membuatnya merasa terkungkung dan frustasi.
"Suatu hari nanti Net, aku akan menjelajahi Amazon, Afrika, bahkan sampai ke Antartika. Aku bisa mengucapkan selamat tinggal kepada kehidupanku yang membosankan disini," kata Mayda setengah merenung.
"Kita May, kita akan meninggalkan semua ini disini. Memangnya kau akan meninggalkan aku disini, menghabiskan sisa umurku bersama Nona kesepian itu?"
Mayda tertawa kecil. Ia dan Aneta ditakdirkan untuk selalu bersama, sejak pertama kali mereka bertemu. Sifat mereka bertolak belakang seperti langit dan bumi, namun hal itu malah membuat keduanya saling mengisi dan melindungi satu sama lain.
Mayda yang melindung Aneta yang kadang-kadang terlalu naïf dan polos, dan Aneta adalah sosok penenang dan pengendali untuk Mayda yang sering meledak-ledak dan emosional. Mereka tidak akan terpisahkan.
"Kau tahu Net, kadang-kadang aku tidak tahan dengan si perawan tua itu. Dia begitu...apa istilah yang tepat untuknya...arogan?"
"Dia kesepian May. Kau tahu kan bagaimana hidupnya dulu. Dia kesepian karena ketakutannya sendiri yang tidak dapat dihadapinya sendiri. Dia tidak seperti kita yang bisa menghadapi apapun tanpa perlu mencemaskan sesuatu. Kita ini kuat dan berani."
"Mungkin seharusnya kita mengasihani dia kan?"
"Yah...mungkin..."
"Ah sudahlah, percuma kita membicarakan tentang dia, toh dia sama sekali tidak pernah mengenal kita. Coba ceritakan lagi tentang Ramon..."
%%%
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top