Bab 19
Kikan mondar-mandir di dalam selnya. Ia tidak mengerti apa yang telah terjadi dengan dirinya. Kepalanya penuh dengan suara-suara bising tanpa arti, seolah-olah ada beberapa orang berbicara dengan suara keras bersama-sama di dalamnya. Ia merasa sedang diawasi-bukan oleh polwan berwajah manis yang berjaga di depan selnya sambil membaca sebuah majalah, tapi oleh orang lain yang tidak dapat terlihat oleh matanya namun dapat dirasakan kehadirannya.
"Saya ingin bertemu dengan dokter itu," Kikan berbicara kepada polwan di depan selnya. "Saya harus bertemu dengannya, tolonglah..."
Polwan bernama Ismi itu memandang Kikan. Ia akhirnya mengangguk dan meminta Kikan menunggu. Ismi masuk ke ruangan Bimo. Tidak lama kemudian Bimo keluar dari ruangannya diikuti Ismi yang langsung menghampiri pesawat telepon di atas mejanya dan menelepon seseorang.
Bimo tidak mengatakan apa-apa, ia hanya membuka pintu sel dan memberi isyarat agar Kikan mengulurkan kedua tangannya untuk diborgol. Ia menuntun Kikan keluar dari sel dengan lembut dan hati-hati dan membawa Kikan ke ruangan interograsi yang kini sudah sangat akrab untuk Kikan.
Bimo mendudukkan Kikan di kursi di tengah ruangan kemudian memanggil Ismi yang saat itu sudah selesai menelepon untuk menjaga Kikan. Ia sendiri keluar dari ruangan itu tanpa mengatakan apa-apa, hanya memberi anggukan kecil pada Kikan.
%%%
"Jangan membantahku kali ini Lin," ujar Bimo sambil memegang tangan Lindya erat. "Kalau dia memang tidak mau mengatakan apapun dengan alasan kehadiranku di ruangan itu, maka biarkan saja begitu. Aku tidak mau mengambil resiko lagi kali ini."
"Bimo, aku..."
Lindya tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Bimo sudah menarik tubuhnya ke dadanya yang bidang. Lindya tidak sampai sebahunya. Ia bisa mendengar jantung Bimo berdetak keras. Ia merasakan tangan Bimo melingkari tubuhnya ketat. Hangat. Kokoh. Lindya mencium keharuman citrus dan mint yang lembut dari tubuh Bimo. Melenakan.
"Jangan...paksa...aku...mengalaminya lagi..." desis Bimo di telinga kanan Lindya. "Aku sudah kehilangan sekali dan aku bersumpah tidak ingin mengalaminya lagi. Tidakkah kau mengerti Lin, aku tidak akan memintamu kembali kalau saja semua kasus ini tidak begitu membingungkanku. Aku melihat wajah Kikan Ariana dan aku ingin membencinya karena dia yang memaksaku untuk melibatkanmu lagi, tapi aku tidak bisa."
Lindya mengangkat wajahnya dari dekapan Bimo. Ia mengangkat tangan dan memegang dagu Bimo yang membiru tidak tercukur. "Aku tidak apa-apa Bimo, ini berbeda dari...Lukman-" Lindya mengucapkan nama itu dengan suara sedikit bergetar. "-dan aku berjanji akan lebih berhati-hati kali ini. Mungkin sudah waktunya kita memulai lagi semuanya dari awal, sudah terlalu lama kita berjalan di tempat. Kau tahu, aku sudah nyaris gila terus-menerus menghadapi para pengeluh berduit itu."
Bimo menatap mata Lindya yang bening. Ia menemukan keyakinan dan kepercayaan diri yang dulu selalu dikaguminya pada Lindya, sampai Lukman-pembunuh psikopat yang ditanganinya membuatnya runtuh "Lindya, aku tidak pernah seyakin ini selama hidupku. Kau ingin aku melakukan apa untuk membuatmu yakin bahwa aku menginginkanmu?"
"Ada banyak hal yang akan menyulitkan kita di depan."
"Aku bisa mengatasinya. Kita akan mengatasinya."
"Aku mungkin akan membuatmu menyesal."
"Kau terlalu percaya diri untuk bisa membuatku menyesal. Aku bahkan cukup yakin, kau yang kelak akan menyesal."
"Kau keras kepala."
"Aku tahu, tapi aku mencintaimu."
Lindya tersenyum manis. Ia berjinjit dan menempelkan pipinya di pipi Bimo, lalu berbisik, "Sekarang kau harus membiarkan aku melakukan tugasku dulu, setelah itu aku akan memberimu cetak biru ruang praktek yang aku impikan selama ini. Itupun kalau kau belum keburu berubah pikiran."
Bimo merasakan sesuatu yang hangat menyentuh pipinya, dan sebelum ia sempat bereaksi, Lindya sudah melepaskan diri dari pelukannya dan berjalan cepat ke pintu keluar.
%%%
Lindya memperkenal Kikan pada dokter Permana, psikiater senior yang mendalami studi kasus tentang kepribadian ganda.
Dokter Permana sudah dua kali berhasil menyembuhkan pasiennya yang mengalami kelainan seperti itu, meskipun melalui proses yang sangat sulit dan lama. Ia tertarik pada cerita Lindya mengenai Kikan, karena dua orang pasien yang ditangani olehnya sama sekali tidak berkaitan dengan kejahatan apapun.
Lindya meminta dokter Permana untuk membantunya memecahkan masalah Kikan karena selain jam terbangnya yang sudah sangat panjang, dokter Permana juga merupakan salah satu dosen pembimbing yang paling dihormatinya.
"Saudari Kikan, apakah anda sadar bahwa di dalam diri anda terdapat tiga alter yang selama ini telah mengambil alih hidup anda pada waktu-waktu tertentu yang tidak pernah anda sadari?" tanya dokter Permana lembut. "Salah satu dari mereka bahkan telah melakukan kejahatan yang dituduhkan kepadamu-pembunuhan dan penganiayaan."
"Saya tidak tahu," bisik Kikan lemah. "Kadang-kadang saya merasa aneh-lelah tanpa sebab, merasa diawasi oleh sesuatu yang tidak terlihat dan akhir-akhir ini saya sering merasa ada suara-suara bising di dalam kepala saya."
"Suara-suara itu berasal dari mereka yang ada di dalam dirimu," ujar dokter Permana. Ia memberi isyarat pada Lindya untuk memberikan sebuah kotak yang dipegang Lindya kepadanya. "Kikan, kita akan mencoba mengeluarkan mereka semua dari dalam dirimu dan mempertemukan mereka denganmu-supaya kalian bisa saling mengenal satu sama lain. Proses ini akan membuat kita mengetahui banyak hal-mengapa mereka bisa hadir dalam kehidupanmu, apa yang mereka lakukan selama ini terhadapmu, dan lebih jauhnya adalah, mengapa mereka melakukan berbagai kejahatan yang dituduhkan kepadamu selama ini. Kau bersedia menjalaninya?"
Kikan tampak ketakutan dan ragu. Ia menoleh pada Lindya meminta pendapat. Lindya memberi anggukan untuk meyakinkan Kikan. Ia menoleh pada dokter Permana dan bertanya dengan suara kecil, "Mereka tidak akan menyakitiku?"
"Tidak Kikan, karena bila mereka menyakitimu, itu artinya mereka akan membunuh keberadaan diri mereka sendiri. Di tahap selanjutnya, melalui sesi terapi dan pengobatan intensif, kita akan berusaha membuat mereka pergi dengan sukarela sehingga akhirnya kau akan kembali menjadi dirimu sendiri tanpa bayang-bayang mereka. Kau siap?"
Kikan mengangguk. Dokter Permana mengambil sebuah benda berbentuk kalung dari dalam kotak. Kalung itu mempunyai liontin berbentuk bulat sebesar kelereng di ujungnya, terbuat dari baja berwarna hitam mengkilat. Dokter Permana menggoyang-goyangkan kalung itu di depan mata Kikan sambil bergumam lembut perlahan-lahan. "Kau akan merasa sangat mengantuk sekarang. Kau ingin memejamkan matamu, mengistirahatkan tubuh dan pikiranmu karena kau sangat lelah. Tidurlah Kikan...tidurlah dengan tenang..."
Mereka menunggu selama lebih dari lima menit sebelum akhirnya Kikan benar-benar tertidur. Dokter Permana meletakkan kembali kalungnya di dalam kotak kemudian menjentikkan jarinya pelan di depan wajah Kikan. Ia berkata lembut, "Kikan, apakah kau ada disana?"
"Dokter," Kikan menyahut dalam tidurnya. Suaranya pelan dan bernada bingung. "Mengapa disini sangat kosong dan dingin?"
"Karena kau sedang berada di dalam alam bawah sadarmu," sahut dokter Permana menenangkan. "Kau melihat ada orang lain bersamamu disana?"
Keheningan menyusul kemudian. Lindya merasa bulu kuduknya meremang dan mengamati perubahan yang terjadi pada Kikan. Ia melihat bagaimana Kikan menegakkan tubuh dan meluruskan punggungnya. Ia menyilangkan kakinya dan melipat kedua tangannya di atas pangkuan. Garis-garis wajahnya tertarik, membentuk wajah seorang gadis aristocrat yang angkuh. "Kalian para dokter, tidak bosan-bosannya mengganggu kami," itu suara Aneta yang keluar dari mulut Kikan-nadanya bosan dan sedikit mencela. "Kali ini apa yang ingin kalian ketahui tentang kami?"
"Kau pasti Aneta," dokter Permana berkata. Ia sudah membaca semua laporan yang dibuat oleh Lindya dalam pemeriksaan-pemeriksaan sebelumnya, sehingga ia langsung bisa mengenali alter-alter dalam diri Kikan. "Halo Aneta, kau baik-baik saja hari ini?"
"Cewek itu membuat kami lelah beberapa hari ini, sungguh menyebalkan. Aku tidak suka keadaan seperti ini, membuat kecantikanku pudar perlahan-lahan. Aku butuh istirahat dan makan cukup supaya tetap bugar dan cantik. Bisakah kau memberi tahu cewek itu dok?"
"Kau bisa memberitahukannya sendiri. Ia ada bersamamu sekarang, tidakkah kau merasakannya? Apakah yang lain juga ada bersamamu? Mayda dan Jodi?"
"Hadir dok," Kikan berubah lagi, kali ini sikapnya menjadi lebih santai dan seenaknya. Ia menggigiti kukunya dengan gaya acuh tak acuh. "Aku melihat cewek itu disini, diam seperti patung dan kelihatannya beberapa saat lagi dia akan mati berdiri. Hei kau, kemarilah. Dokter yang baik hati ini menginginkan kita berkenalan kan?"
"Kal...kalian ini...siapa," itu suara Kikan yang asli. "Mengapa kalian mengenalku? Dokter, tolong..."
"Diamlah!" sentak Aneta keras. "Dokter, apa yang kau inginkan sekarang?"
"Aku ingin kalian berkenalan dulu. Kikan, sapalah Aneta dan Mayda. Kalian berdua juga, sapalah Kikan."
Tiga orang polisi yang menonton jalannya pemeriksaan di dalam ruang interograsi melalui televisi yang dihubungkan dengan kamera cctv di dalam ruangan, bergumam takjub menyaksikan pertunjukan yang sedang berlangsung di dalam ruangan di depan mereka. Kikan berbicara dengan dirinya sendiri, menyapa alter-alternya, dengan suara dan sikap yang berubah-ubah dengan cepat.
"Aneta, mengapa Jodi tidak hadir? Kau tahu kemana dia?" tanya dokter Permana. "Hanya Jodi yang selalu absen setiap kali kalian datang."
"Anak itu terlalu ketakutan," Mayda yang menyahut. "Dia sedang menyesali dirinya karena apa yang telah dilakukannya malah membuat cew...eh, Kikan, mengalami kesulitan seperti ini. Dia masih kecil dok, jadi seringkali melakukan sesuatu tanpa berpikir."
"Baiklah, kita akan memanggil Jodi nanti saja ketika dia sudah merasa siap. Mayda, atau Aneta, maukah kalian menceritakan tentang diri kalian sekarang? Kita harus bekerja sama, demi membebaskan Kikan, membebaskan kalian semua dari keadaan yang tidak menyenangkan ini kan?" kata dokter Permana dengan nada membujuk.
"Kau akan membantu kami keluar kan dok?" tanya Aneta dengan sikap tidak percaya.
"Aku akan berusaha sebaik-baiknya, namun tidak akan bisa tanpa bantuan kalian."
"Siapkan kertasmu dok, mungkin kau akan mati bosan mendengarkan kami pada akhirnya," ujar Mayda sambil tertawa keras-keras.
%%%
Kikan menangis tanpa suara di sudut ruang tamu. Kakinya masih terasa perih di bagian-bagian yang terkena sebetan dua batang lidi. Bekas-bekas merah panjang itu membuat kakinya yang putih menjadi jelek sekali. Kikan benci melihatnya.
Wanita itu-ibunya-keluar dari dalam kamar, sudah berdandan sempurna. Ia cantik sekali, dengan rias wajah dan tata rambut mahal ala salon. Kikan memandang ibunya dengan kagum. Wajahnya sendiri sangat mirip dengan ibunya, mulus dan putih bersih. Ia juga suka mengenakan pakaian-pakaian indah dan berdandan. Satu kekurangannya hanyalah kacamata yang harus dikenakannya, membuat matanya kelihatan jelek dan mengurangi kecantikannya.
Asri menatap anak perempuannya yang masih meringkuk di sudut. Ia merasa serba salah. Anak itu tidak seharusnya menerima sabetan lidi di kakinya. Ia hanya ingin menyenangkan hatinya dengan membuatkannya sirup, namun sikap canggungnya malah membuat sirup itu tumpah ke gaun barunya, padahal Asri harus segera menemui tamunya. Sekarang ia sudah terlanjur terlambat datang ke pertemuan dengan tamunya dan anaknya masih menangis.
Astri melambaikan tangan memanggil Kikan. Ia mengeluarkan dua lembar uang kertas lima puluh tibuan dari dalam dompetnya dan memberikannya pada Kikan-yang menghampirinya dengan sikap takut-takut. "Ini ambilah, kau boleh membeli apapun dengan uang ini. Ibu harus pergi sekarang. Bersihkan dan uruslah dirimu sendiri selama Ibu pergi, jangan membuat Ibu malu dengan dandanan berantakan seperti itu."
Kikan menerima uang yang diberikan ibunya dan maju selangkah untuk memberi pelukan kepada wanita yang disayanginya itu, namun Asri sudah berjalan melewatinya tanpa menoleh lagi. Kikan menurunkan kedua tangannya yang sudah setengah terbuka dan melangkah tersaruk-saruk ke dalam kamarnya dengan sedih.
Biarlah, ia bisa berbelanja apapun yang diinginkannya dengan uang di dalam tangannya. Ia akan membeli jepit rambut berhias boneka yang pernah dilihatnya di etalase sebuah toko beberapa hari yang lalu. Kikan bersiul-siul kecil dan melangkah ke dalam kamar mandi. Bayangan jepit rambut cantik di dalam benaknya telah menghapus rasa sakit di kakinya.
Ia menyaksikan ibunya membawa lelaki yang berbeda ke dalam rumahnya, atau pergi berhari-hari dengan salah satu dari mereka. Setiap kali setelah kepergiannya, Kikan selalu menerima hadiah-hadiah yang indah atau uang dalam jumlah besar-lebih dari cukup untuknya membeli apapun yang diinginkannya. Ia membuat teman-temannya iri dengan semua benda-benda indah yang dimiliki dan wajahnya yang cantik.
Usianya baru tujuh tahun namun kecantikannya sudah jelas terlihat. Beberapa lelaki teman ibunya sering mencubit pipi Kikan dengan gemas atau mencolek pantatnya. Hal itu membuat Asri marah dan memukulnya.
Kikan tidak mengerti mengapa ibunya berbuat seperti itu. Para lelaki itu juga melakukan hal yang sama pada ibunya, mengapa dia harus menerima perlakuan yang berbeda. Mereka semua orang yang baik, sering memberinya hadiah dan makanan enak.
"Jangan genit pada tamu-tamuku," bentak Asri kesal. Ia melemparkan rotan pemukul kasur yang baru saja digunakannya untuk memukuli Kikan-ke atas tempat tidur. "Kalau mereka kesal padaku karena gangguanmu, kita akan kelaparan! Ingat Kikan, aku melakukan semua ini untukmu, untuk memberimu makan dan mengisi kepalamu yang kosong itu dengan ilmu di sekolah. Kau tidak boleh macam-macam dengan tamu-tamuku. Kau juga tidak boleh jatuh cinta pada siapapun. Kau harus menjaga dirimu sampai suatu saat kau siap menggantikan posisiku. Kau tidak boleh jatuh cinta karena cinta itu hanya kebohongan belaka. Kau hanya harus memanfaatkan setiap kesempatan untuk mencari keuntungan. Dengan kecantikanmu, kau bisa hidup senang bahkan tanpa perlu jatuh cinta."
Kikan tidak mengerti apa yang dikatakan ibunya saat itu dan berkali-kali sesudahnya, ia hanya tahu bahwa ia telah mengecewakan ibunya karena ia bersikap baik pada tamu-tamu ibunya. Sejak itu Kikan selalu mengurung diri di kamar bila mendengar ibunya pulang dengan membawa seseorang. Ia menghabiskan waktunya dengan belajar berdandan dan merias diri, sambil menyenandungkan sebuah lagu yang sangat disukainya.
Ayahnya yang pertama kali mengajari lagu itu padanya. Kikan menyukai bagian refrainnya, tapi buka dulu topengmu, buka dulu topengmu... Biar kulihat warnamu, biar kulihat wajahmu...
Kikan tidak terlalu banyak mengingat tentang ayahnya lagi sekarang. Lelaki itu meninggalkannya dengan ibunya untuk wanita lain. Dua atau tiga tahun yang lalu Kikan mendengar seseorang memberi tahu ibunya bahwa ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan-bersama wanita simpanannya. Ibunya mengurung diri dalam kamar berhari-hari setelah itu, mabuk dan mabuk.
"Berhenti, lagu itu membuat kepalaku sakit kepala. Aku perlu tidur, anak bodoh. Aku sudah sehari semalam membanting tulang untuk menghidupimu, tidak dapatkah kau memberiku kesempatan sedikit untuk istirahat," jerit Asri pada suatu waktu, ketika melewati kamar Kikan yang terbuka.
Kikan terdiam seketika. Ia tidak ingin membuat ibunya marah lagi, jadi ia berhenti menyenandungkan lagu itu keras-keras, hanya dalam hatinya saja.
%%%
Lelaki itu tampan sekali, Kikan menyukai senyumnya yang manis dan aromanya yang harum. Ia meminta Kikan memanggilnya Oom Yandi.
Kikan pernah melihat laki-laki itu di depan toko mainan bersama seorang anak perempuan sebaya dirinya. Akhir-akhir ini ibunya jarang kelihatan bersama lelaki yang lain, hanya dengan Oom Yandi saja.
Kikan senang melihat ibunya banyak tertawa dan bergurau bila sedang bersama Oom Yandi. Ibunya juga jarang marah dan seringkali sangat ramah padanya. Kikan sudah melambungkan khayalan bahwa akhirnya ia akan memiliki seorang ayah.
Ayah yang tampan dan baik hati. Om Yandi.
Pagi itu Kikan baru bangun tidur. Sekolahnya sedang libur hari ini, karena kelas-kelas digunakan oleh siswa kelas enam untuk ujian. Kikan belum mau beranjak dari tempat tidurnya. Ia berguling menelungkup dan menggoyang-goyangkan kakinya sambil menggumamkan sebuah lagu cinta remaja yang sering di dengarnya di radio akhir-akhir ini. Daster kaos yang digunakannya tersingkap sampai ke atas pinggangnya.
Kikan tidak menyadari kehadiran seseorang di dalam kamarnya. Ia sudah hampir tertidur lagi ketika merasakan sesuatu yang berat menindih tubuh kecilnya.
Kikan berusaha membalikkan tubuh, namun Oom Yandi menekan punggungnya hingga ia tidak bisa bergerak. Lelaki itu menciumi telinganya sambil berbisik-bisik. Kikan merasa tangan Om Yandi meremasi bagian bawah tubuhnya. Tidak sakit namun ia merasa risih.
"Diamlah sayang, Oom akan membuatmu merasa senang," bisik Oom Yandi lembut. Ia menciumi leher dan telinga Kikan. Nafasnya terengah-engah seperti habis berlari marathon. "Kau boleh meminta apapun yang kau mau setelah ini, asal kau tidak mengatakan apapun pada ibumu. Kikan sayang, Oom sangat menyukaimu. Kau cantik sekali."
Tubuh Kikan mengejang ketika merasakan tangan Yandi mengelus pahanya dan meremas pantatnya keras-keras. Ia diam saja, namun ketika tangan Yandi mulai menyakiti bagian tubuhnya yang paling sensitif, Kikan mulai menangis. Ia tidak berani berteriak karena takut ibunya akan mendengar dan ia akan dipukuli lagi. Kikan menggigit bibir bawahnya menahan tangis. Ia memejamkan mata, berharap saat ini ia sedang bermimpi.
%%%
Beberapa minggu belakangan ini emosi Asri seringkali memuncak. Ia tidak berani lagi memukuli Kikan sekarang, karena ia tahu, ia semakin lemah sementara Kikan justru semakin besar dan kuat. Ia harus puas hanya dengan mencaci maki Kikan.
Kikan menyukai kegiatan alam bebas. Naik gunung, menyusuri pantai dan menjelajahi hutan. Semua kegiatan itu membuatnya merasa tenang dan damai. Ia menyukai suara binatang-binatang liar di dalam hutan dan di atas puncak gunung di malam hari. Ia menyukai gemuruh ombak dan desir pasir di pantai. Membuatnya melupakan kata-kata dan ejekan yang menyakitkan yang setiap kali dilontarkan ibunya.
Ia menyukai warna-warni flora dan fauna yang dijumpainya dalam perjalanannya menyusuri hutan atau mendaki gunung. Ia menyukai perubahan warna langit menjelang matahari terbenam di pesisir pantai. Membuatnya melupakan wajah penuh benci ibunya setiap kali memandangnya.
Ia menyukai wangi tanah basah sehabis hujan yang merebak di udara. Ia menyukai keharuman khas tepi pantai yang lembab menjelang senja. Membuatnya melupakan aroma memuakkan yang menguar dari mulut ibunya setiap kali wanita itu mulai mabuk.
Kikan mulai menyelinap keluar setiap kali ibunya sedang mabuk. Ritualnya adalah mendengarkan semua caci maki ibunya, mengkritik dengan kata-kata kotor dan jahat apapun yang dilakukannya kemudian menenangkan keluh kesah dan tangis histeris wanita itu dan terakhir adalah memapah atau menyeret tubuh ibunya yang tertidur saking mabuknya-ke atas tempat tidur atau sofa.
Apabila semua hal itu selesai dilakukannya, Kikan akan pergi keluar-memakai pakaian seperti lelaki dan melepaskan penatnya ke tempat-tempat yang
disukainya, alam bebas yang luas, meskipun kadang-kadang perjalanannya hanya sampai ke pantai yang dekat dengan rumahnya.
Ibunya bisa tidur dua hari dua malam bila sedang mabuk, sehingga Kikan mempunyai banyak waktu untuk melakukan hobinya. Ia mulai sering membolos sekolah.
Kikan masuk ke dalam rumah sambil mengendap-endap. Ia mempunyai kunci pintu depan dan belakang sehingga bisa keluar dan masuk rumah kapan saja. Ia baru melangkahkan kaki kananya melewati pintu ketika sebuah pukulan keras membuatnya tersungkur.
Topinya lepas dan ia jatuh menelungkup. Rambutnya terurai keluar dari dalam topinya. Kikan menahan sakit di punggungnya dan berbalik.
Asri memegang kayu pemukul bola baseball di tangannya. Wajahnya merah padam padam dan matanya menyala. Semula ia menyangka rumahnya akan dimasuki maling ketika mendengar kunci pintu dapur berderik-derik. Ia mabuk sejak kemarin sore dan ketika terbangun di atas sofa ruang tamu subuh ini, tenggorokannya terasa begitu kering dan perih. ia ke dapur untuk minum dan melihat handel pintu dapur yang langsung menuju keluar bergerak-gerak.
Tongkat baseball itu tersandar di belakang lemari es, jadi Asri mengambilnya dan menunggu di belakang pintu.
Melihat yang dipukulnya adalah Kikan, mengenakan pakaian seperti laki-laki dan tampaknya baru kembali dari suatu tempat, kemarahan menyelimuti Asri. Ia mulai mengayunkan kembali tongkat di tangannya dan memukuli Kikan seperti orang gila. Teriakan-teriakan dan jerit tangis Kikan malah membuatnya semakin kesetanan.
"Pelacur!" jerit Asri kalap. "Kau pasti habis menjual dirimu di jalan kan, mengobral tubuhmu untuk laki-laki hidung belang, pelacur kecil!"
Kesakitan dan ketakutan meliputi Kikan. Ia akan mati hari ini, di tangan ibunya sendiri. Kikan menutupi kepalanya, menghindari pukulan tongkat memecahkan kepalanya. Kalaupun harus mati, Kikan tidak mau terlihat mengerikan ketika orang menemukan jasadnya.
Sebuah ayunan tongkat mengenai sisi kepalanya. Kikan menjerit dan kabut merah menutupi penglihatannya. Ia berdiri di samping ibunya, memandang seorang gadis tomboy yang sering mengganggunya di sekolah-Mayda-menerima kemarahan bertubi-tubi ibunya.
%%%
Kikan menolak melakukan pemeriksaan silang. Ia terlalu depresi untuk melanjutkan setelah pengalaman yang dilaluinya beberapa hari yang lalu ketika semua alternya membuka diri tentang bagaimana proses kehadiran mereka dalam hidup Kikan. Ia tidur sepanjang hari di dalam selnya.
"Dia sama sekali tidak menyentuh makanannya Pak," ujar Dharwan melaporkan. "Ini bisa menjadi masalah baru seandainya keadaannya begitu terus Pak."
Bimo mengetukkan jari-jarinya di atas meja, membunyikan irama monoton pada meja kayu itu. keningnya berkerut. "Coba kau suruh Ismi atau salah satu polwan yang lain untuk membujuk Kikan, minimal supaya dia mau makan. Kita masih harus melakukan pemeriksaan ulang terhadap BAP yang tercatat kemarin."
"Siap Pak," Dharwan mengangkat tangannya ke dahi, memberi hormat sebelum keluar dari ruang kerja Bimo.
Bimo mengambil ponselnya dari laci meja dan memijit panggilan cepat ke nomor Lindya. "Halo Lin, kau sibuk hari ini?"
"Ada dua pasien yang harus aku temui sampai siang ini. Ada apa Bim? Kau memerlukan aku di kantor?"
"Aku memerlukanmu di hatiku" ujar Bimo menggoda. Ia mendegar Lindya tertawa kecil di saluran lain. "Begini, kondisi Kikan sedikit memburuk sejak pemeriksaan terakhir itu. dia tidur terus dan tidak mau makan. Sikapnya juga menjadi lebih agresif bila ada orang yang mendekatinya. Aku khawatir hal ini akan menghambat proses pemeriksaan."
"Aku akan datang setelah pasien terakhirku datang. Aku akan minta agar dia memajukan atau mengundurkan jam berkunjungnya kalau perlu. Untuk sementara ini tolong jangan terlalu mengganggunya dulu, ia butuh waktu untuk memahami peristiwa yang baru saja menimpanya. Bertemu dan berbicara dengan orang lain yang mendomnasi dirimu dan membuatmu melakukan hal-hal jahat sperti itu bukanlah hal yang mudah diterima."
Bimo mematikan kembali ponselnya setelah bercakap-cakap beberapa saat lagi dengan Lindya. Ia merapikan kemejanya dan keluar dari ruang kerjanya. Ia memberi isyarat kepada Dharwan untuk mengikutinya ketika melihat anak buahnya itu di depan ruang kerjanya, sedang berbicara dengan seorang polwan.
Kikan berbaring kaku di atas dipannya. Matanya nyalang menatap langit-langit sel. Ia kelihatan seperti berada dalam kondisi trans. Ia sama sekali tidak menoleh ketika Dharwan mengetuk jeruji besi sel dengan kunci.
"Biarkan saja dulu," kata Bimo. "Dokter Lindya akan memeriksanya nanti siang. Sementara ini, tempatkan seorang penjaga disini, dan lakukan pengawasan ketat terhadapnya."
"Siap Pak, saya sudah meminta Ismi untuk berjaga disini, bergantian dengan Dewi."
"Ikut aku Wan, ada sesuatu yang harus kau kerjakan. Aku minta kau selidiki latar belakang Kikan Ariana selengkap-lengkapnya. Kita punya beberapa sumber yang bisa dipercaya sekarang, mungkin ada titik cerah yang bisa kita dapatkan bila latar belakang Kikan bisa terungkap sedikit demi sedikit."
"Siap Pak, laksanakan."
%%%
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top