Bab 17
Kikan sudah lelah. Ia tidak cukup tidur dan makan sejak ditangkap. Ia bahkan tidak ingat lagi kapan terakhir kali ia bangun dalam keadaan benar-benar sadar
Malam-malamnya penuh mimpi buruk dan siang harinya penuh ketakutan karena ulah polisi-polisi itu-yang terus-menerus menanyainya dengan pertanyaan-pertanyaan aneh yang sama berulang-ulang.
Bimo membimbing Kikan duduk di kursi yang sama, di dalam ruangan yang sama hari ini. Kikan merasa lemah sehingga ia tidak sadar telah bersandar pada laki-laki tegap yang memegang tangannya itu. ia bisa mencium keharuman parfum yang dipakai Bimo. Keharuman yang sama dengan yang pernah diingatnya. Kapan, dimana, pikiran Kikan melayang tidak terkendali.
Bimo merasakan perubahan mendadak pada Kikan. Ia kelihatan begitu lemah dan sakit ketika ditemui di selnya dan dibawa ke ruangan ini. Kikan bersandar kepadanya dan tampak limbung. "Saudari Kikan, anda tidak apa-apa?" tanya Bimo.
Kikan merenggut tanggannya yang digandeng oleh Bimo dan mendorong laki-laki itu dengan sekuat tenaga. Ia berdiri di tengah ruangan, memasang kuda-kuda yang kokoh dengan wajah penuh kemarahan. Garis-garis wajahnya berubah drastis, seolah-olah ia mengenakan topeng. Matanya menyorot tajam, bibirnya melengkung sinis menipis dan garis rahangnya mengeras.
"Kau laki-laki sialan!" teriak Kikan dengan suara keras dan serak. "Jangan mendekat, atau aku akan melemparmu dengan kursi ini."
Di luar ruangan-di balik kaca yang memisahkan ruang interograsi dengan ruang pengamatan-Agung dan Dharwan melompat dari kursinya masing-masing dan memburu ke dalam ruangan.
Bimo menahan kedua anak buahnya yang sudah berdiri di belakangnya, siap dengan tangan diatas pistol masing-masing.
Kikan menatap ketiga laki-laki di depannya dengan penuh kemarahan. "Kalian semua brengsek, lepaskan aku sekarang juga! Kalian tidak bisa menahan kami disini!"
"Kami?" tanya Bimo berhati-hati. Ia maju selangkah pelan-pelan. Nalurinya yang telah terlatih menghadapi bahaya mengatakan bahwa Kikan tidak akan mencelakainya meskipun dia kelihatan sangat marah dan kalap. "Siapa kami?"
"Diam May, jangan katakan apa-apa lagi," suara Kikan berubah, demikian juga wajahnya.
Wajahnya mengendur, menjadi lebih redup dan sendu. Matanya berubah menjadi sayu dan bibirnya membentuk senyum tipis. Ia melangkah anggun, menarik kursi dan duduk dengan gaya elegan. Ia menatap Bimo dan dua orang anak dengan pandangan penuh permintaan maaf. "Maafkan Mayda, dia memang seringkali kehilangan kendali. Parfum yang Bapak kenakan-" Kikan menunjuk Bimo. "-membuatnya teringat pada peristiwa yang ingin dilupakannya."
"Hei, jangan mencoba-coba mengecoh kami dengan akting seperti itu," ujar Agung berang. "Saudari Kikan, kau tidak bisa membohongi kami!"
Kikan tersenyum lembut namun sinis. "Kikan? Gadis itu terlalu bodoh untuk berakting. Hidupnya selalu monoton dan membosankan. Dia membuat kami hampir mati karena jenuh."
"Kalau kau bukan Kikan, lalu kau ini siapa?" tanya Bimo. Ia memberi isyarat kepada dua orang di belakangnya untuk menutup mulut.
"Namaku Aneta," jawab Kikan lembut.
"Lalu gadis pemarah sebelumnya?"
"Namanya Mayda. Dia sudah pergi sekarang."
"Aneta, apakah kau yang melakukan pembunuhan terhadap Ayu dan Andika, juga penganiayaan terhadap Ramon?"
Gadis yang mengaku bernama Aneta itu tertawa kecil. "Bukan! Jodi yang melakukannya. Anak itu yang melakukan semuanya. Dia sepolos malaikat namun obsesinya terhadap si cewek bodoh itu membuatnya seringkali lupa diri. Dia seringkali membuat kami repot setelahnya."
"Siapa Jodi?" tanya Bimo bingung. "Kau sedang apa sekarang? Sandiwara macam apa yang sedang kau lakukan ini?"
"Polisi bodoh!" geram Aneta.
"Aku muak pada kalian semua. Aku akan pergi, biar gadis tolol itu saja yang menghadapi kalian!"
Wajah Kikan berubah lagi. Ia memandang berkeliling seolah-olah baru menyadari keberadaannya. "Aku...dimana? Apa yang terjadi?"
"Astaga, ini gila," gumam Agung takjub.
%%%
Dokter Lindya Dinata tidak mempunyai tempat praktek seperti layaknya rekan-rekan sejawatnya yang lain. Ia menolak tawaran ayahnya untuk membuatkannya sebuah tempat praktek di kawasan elite di tengah sebuah perumahan eksklusif lengkap dengan daftar pasien yang sudah disiapkan oleh ayahnya. Ia memilih untuk menjadi psikiater kepolisian. Pilihannya itu membuat ayahnya menggeleng-gelengkan kepala-bingung dan marah dengan jalan pikiran putri tunggalnya itu.
Lindya tidak peduli. Baginya, menangani orang-orang yang sudah jelas terganggu kesehatan mentalnya sehingga mampu melakukan kejahatan, lebih menarik dan menantang daripada sekedar menangani nyonya-nyonya kaya yang berkeluh kesah karena paranoid palsu-takut kehilangan suami, takut kehilangan kekayaan, takut kehilangan kemudaan.
Itu semua sebelum segalanya menjadi kacau. Sekarang ia memilih untuk menyerah, menerima tawaran ayahnya untuk membuka tempat praktek kecil di dekat apartemennya.
Pasiennya datang dengan sendirinya, orang-orang yang depresi atau merasa depresi, di referensikan oleh ayahnya sendiri. Ia melayani mereka dengan sebaik-baiknya, meskipun setiap kali selesai menangani mereka, ia merasa lebih depresi daripada pasiennya itu.
Bimo sudah menyuruh Gungun untuk mencari tahu keberadaan Lindya. Bukan hanya Lindya, psikiater kepolisian yang bisa dimintanya untuk membantu mengevaluasi kasus Kikan-apalagi setelah kasus terakhir yang ditanganinya ditutup tahun lalu, namun Bimo melihat bahwa ini adalah peluang baginya untuk bisa kembali bertemu dengan Lindya.
Gungun memerlukan waktu dua hari untuk menggali data terakhir tentang dokter Lindya Dinata. Pacarnya kebetulan mempunyai seorang sepupu yang pernah ditangani oleh dokter Lindya beberapa bulan yang lalu. Bimo membaca sebuah alamat yang dituliskan oleh anak buahnya itu di atas selembar kertas. alamat tempat praktek Lindya. Jadi sekarang gadis itu akhirnya menyerah pada keinginan ayahnya.
Bimo mengenal Lindya sejak mereka masih sama-sama duduk di bangku SMA. Gadis cantik yang sangat pemalu dan pendiam. Ia putri tunggal seorang psikiater terkenal dan kaya raya. Setiap hari sebuah mobil pribadi dengan sopir siap mengantar dan menjemputnya. Seperti teman-teman lelakinya yang lain, Bimo tidak pernah berani mendekati Lindya meskipun ia tertarik. "Bahaya man, bokapnya galak kaya macan. Dia sendiri juga kelihatan sombong...," begitu selalu komentar teman-temannya setiap kali Bimo mencari keterangan tentang Lindya.
Bimo melihat Lindya berdiri di depan gerbang sekolah. Sikapnya gelisah dan kelihatannya ia sudah hampir menangis. Bimo melihat arloji di tangannya. Sudah hampir satu jam berlalu sejak bel pulang sekolah berbunyi. Biasanya sepuluh atau lima belas menit sebelum bel berbunyi, sopir pribadi Lindya sudah berdiri di depan gerbang sekolah.
"Hei, kau kenapa?" tegur Bimo sambil berjalan mendekat. "Belum pulang?"
Lindya mundur dari posisi berdirinya semula, kaget dan sedikit takut. Ia menggeleng pelan. "Mobilku mogok dan sopir harus membawanya ke bengkel."
"Lalu? Kau bisa pulang naik taksi kan?"
"Tidak," Lindya menggeleng lagi. kelihatan lebih kaget dan ketakutan dengan kata-kata Bimo. "Kalau aku naik taksi, kasihan sopirku."
"Kasihan?" Bimo menaikkan sebelah alisnya. "Bukannya kau yang terlalu lama menunggu dan tidak bisa pulang? Kok malah mengasihani sopirmu?"
"Ayahku akan marah kalau dia tahu aku pulang naik taksi dan ia pasti akan memarahi sopirku karena dianggap ceroboh tidak memeriksa keadaan mobil sebelumnya. Sopirku bisa dipecat. Kasihan, istrinya baru melahirkan di kampung."
Bimo tercengang. Jawaban Lindya sama sekali tidak disangkanya. "Kau...aneh..."
Lindya melotot. Ia merasa sakit hati. Beraninya cowok di depannya ini mengatakan dirinya aneh. Ia sering melihat cowok ini-namanya Bimo, ia pernah mendengar beberapa teman perempuannya membicarakan cowok itu di kelas-di lapangan basket. Ia tampan, suka tertawa dan jago basket.
"Apa yang aneh?" ketus Lindya sambil memalingkan wajah.
"Aku kira kau tidak mau pulang naik taksi karena takut, ternyata... sudahlah, aku antar saja kau pulang. Dimana rumahmu?" tanya Bimo. "Atau... Kau tahu dimana sopirmu membetulkan mobil?"
"Aku tahu bengkel langganannya, tapi letaknya cukup jauh dari sini. Kenapa?"
"Kita susul saja kesana, jadi kau bisa tetap pulang dengan mobilmu. Kau telepon dulu sopirmu supaya menunggumu disana. Bagaimana?"
Lindya tersenyum senang. Ia mengambil ponselnya dari dalam tas namun kecewa ketika melihat benda itu mati kehabisan batere. "Ponselku...mati..."
Bimo merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponselnya sendiri. "Nih, pakai punyaku. Kau ingat nomor telepon sopirmu kan?"
Lindya mengambil ponsel dari tangan Bimo dan mulai memijit beberapa nomor kemudian berbicara dengan sopirnya ketika mendapat sambungan. Bimo menimang-nmang kunci motor di tangannya sambil memperhatikan Lindya berbicara. Gadis itu cantik dan cara bicaranya lemah lembut dan menyenangkan. Suatu pemikiran terlintas di benaknya.
"Sopirku akan menunggu di bengkel. Kau mau...mengantarku kesana?" tanya Lindya pelan. Ia mengembalikan ponsel kepada Bimo.
"Aku mau saja," ujar Bimo sambil menimang ponselnya. "Tapi motorku perlu bensin dan kau juga sudah menghabiskan pulsaku padahal tidak setiap hari aku bisa membeli bensin dan pulsa."
Lindya cepat-cepat mengambil dompet dari dalam tasnya. "Aku akan mengganti uang bensin dan pulsamu. Kau perlu berapa?"
Bimo tertawa kecil."Aku tidak perlu uangmu. Begini-begini juga aku masih punya cukup uang untuk mentraktirmu makan bakso di warung Pak jenggot kalau kau mau. Simpan saja uangmu. Kau membuatku merasa miskin."
"Aku tidak bermaksud begitu," ujar Lindya gugup. Ia melirik arloji di tangannya dan merasa semakin gelisah. Satu jam lagi ayahnya pasti sudah kembali ke rumah dan akan marah besar kalau ia belum sampai di rumah.
"Apa yang kau inginkan?"
"Nomor teleponmu," ujar Bimo sambil tersenyum jahil. "Kau cukup memberikan nomor teleponmu dan aku akan membawamu ke bengkel. Bagaimana?"
Lindya terperangah. Wajahnya mulai merona. Bimo mendekati Lindya dan memegang tangannya. "Ayo berangkat. Kau bisa menuliskan nomor teleponmu di bengkel nanti."
%%%
"Jadi, dia menyebut dirinya sendiri dengan beberapa nama?" tanya Lindya memastikan. Ia telah membaca berkas tentang tersangka Kikan Ariana dan kronologis pemeriksaannya. "-dan kau merasa kalau itu bukan sekedar akting untuk mengecoh polisi?"
"Ya," jawab Bimo penuh keyakinan. "Aktris papan atas Hollywood mungkin bisa melakukannya, tapi kalau kau menyaksikan sendiri transformasinya, kau akan takjub. Dia berubah menjadi orang lain hanya dalam hitungan menit dan itu semua dilakukannya secara total-dalam arti bukan hanya mimik wajah, tapi juga bahasa tubuh dan suaranya."
"Dia mengakui kejahatan yang dilakukannya?"
"Ya dan tidak," jawab Bimo, kali ini tidak suaranya tidak seyakin sebelumnya. "Secara fisik kami mengenalnya sebagai Kikan Ariana, namun dia berkeras bahwa seseorang bernama Jodi yang melakukannya. Kami belum melihat bagaimana Kikan Ariana dalam bentuk laki-laki yang disebutnya sebagai Jodi itu."
"Menarik," Lindya berdiri dari kursi dan berjalan menghampiri rak buku di belakangnya. Ia mengambil sebuah buku tebal dan membuka sebuah halaman. "Aku belum pernah mendapatkan kasus seperti ini, namun melihat alur kasus dan kondisi yang dialami Kikan Ariana sebagai tersangka, bisa jadi dia adalah penderita MPD, Multiple Personality Disorder."
"Kepribadian ganda?"
"Ini baru dugaanku saja. Aku harus melihatnya sendiri untuk memastikannya."
"Kau mau ke kantor sekarang?" tanya Bimo penuh harap.
Lindya mengangkat wajahnya dari buku di atas pangkuannya. Matanya dan mata Bimo bertemu di satu titik yang sama. Lindya menunduk lebih dulu. "Aku akan ke kantormu nanti. Ada beberapa hal yang harus aku lakukan dulu sekarang."
"Kamu bukannya sedang berusaha menghindar kan Lin?" tanya Bimo menyelidik. Ia melihat sekilas mata Lindya menyiratkan kegugupan dan kebingungan. "Kau masih belum bisa melupakannya?"
"Aku...," Lindya menelan ludahnya yang terasa pahit. "Aku akan kesana Bim, secepat yang aku bisa, namun tidak saat ini. Tolong beri aku waktu sebentar untuk mempersiapkan diri. Kedatanganmu terlalu tiba-tiba."
"Aku bisa saja mencari psikiater yang lain untuk membantuku menangani kasus ini, namun aku yakin bahwa kau akan tertarik pada kasus ini. Selain itu, karena aku juga ingin bertemu denganmu."
Lindya menatap laki-laki di depannya tanpa fokus. Kerinduannya membuncah namun ia jauh lebih takut pada sesuatu yang belum bisa lepas dari ingatannya. Ia ingin mengulurkan tangan dan menyentuh Bimo namun ia malah saling mengakaitkan jari jemarinya di atas pangkuan.
"Seharusnya kau memilih orang lain," gumam Lindya nyaris tidak terdengar. "Aku mungkin sudah tidak lagi kompeten untuk menangani kasus apapun, selain depresi Ibu-ibu kaya dan remaja-remaja frustasi. Hal-hal umum, kau tahu..."
Bimo menghela nafas, berat dan panjang. Lindya tidak terlalu banyak berubah, secara fisik. Cantik dan tetap menarik seperti yang pernah diingatnya. Namun matanya redup dan tidak bercahaya. Seperti sebuah lampu senter yang mulai kehabisan baterai. Sikapnya juga kelihatan gugup dan tidak tenang.
Bimo beranjak dan pindah ke sisi Lindya. Ia mengambil tangan Lindya yang saling menjalin dari pangkuannya. Tangan itu lembab dan gemetar. Hati Bimo miris.
"Lin, ini aku, Bimo. Aku merindukanmu setahun terakhir ini. Aku ingin menemuimu setiap kali aku rindu padamu, namun aku tidak memiliki alasan yang cukup bagus untuk melakukan itu. Kau akan langsung menolak kehadiranku bila aku hanya datang begitu saja. Kasus ini seperti anugrah untukku, karena dengan membawa kasus ini kepadamu, setidaknya secara professional aku bisa bersama denganmu lagi."
"Bimo," Lindya menarik tangannya pelan dari genggaman tangan Bimo. Ia menunduk. "Aku akan datang ke kantormu, secepatnya."
Bimo terdiam sejenak sebelum akhirnya beranjak dari kursinya dan melangkah gontai menuju pintu. Ia berhenti di ambang pintu dan menoleh, menatap Lindya yang masih duduk menunduk di kursinya. Seiris rasa bersalah yang berbaur dengan kemarahan membuat Bimo menghempaskan pintu di belakangnya dengan geram. Lindya mengangkat lagi wajahnya setelah mendengar pintu menutup. Ia menghela nafas, dalam sekali.
%%%
Kikan tidak mengerti mengapa dia harus diperiksa oleh seorang wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai psikiater. Mungkinkah polisi-polisi itu menganggapnya gila? Hanya karena ia berkeras bahwa ia tidak tahu menahu soal kejahatan yang mereka tuduhkan kepadanya, mereka mengira dirinya gila?
Wanita di hadapannya memperkenalkan diri sebagai Lindya Dinata, seorang psikiater kepolisian. Cantik, tinggi semampai dan anggun, Lindya Dinata pasti sering disangka sebagai seorang model oleh orang-orang yang tidak mengenalnya. Ia membuat Kikan merasa seperti itik buruk rupa.
Bimo duduk di sebelah Lindya, dengan sikap sedikit gelisah.
"Saudari Kikan Ariana, apakah anda sudah siap melakukan pemeriksaan hari ini?" tanya Bimo lembut. Ia sedikit prihatin melihat penampilan Kikan yang lesu dan pucat. "Kita bisa menunda apabila anda merasa kurang sehat."
"Tidak, tidak apa-apa," sahut Kikan segera. Semakin cepat pemeriksaan ini dilaluinya, berarti semakin banyak waktunya untuk kembali tidur-memimpikan hari-hari normal yang dijalaninya sebelum terkurung di dalam sel sebuah kantor polisi. "Saya hanya sedikit lemas, tapi saya sanggup untuk menjalani pemeriksaan."
Bimo memberi isyarat kepada Lindya untuk memulai pemeriksaan. Lindya mengulurkan tangan dan memegang tangan Kikan yang berada di atas meja di seberangnya. Ia memberikan senyum tulus pada wanita dengan mata lelah dan tampak linglung di seberangnya itu.
"Kikan, jangan tegang. Kita hanya akan berbincang-bincang sedikit. Kau boleh ceritakan apapun yang kau rasakan saat ini kepadaku."
Kikan merasakan kehangatan mengalir dari tangannya yang berada di bawah tangkupan tangan Lindya. Ia memandang wanita itu kemudian pandangannya beralih pada Bimo.
Lindya mengerti arti pandangannya. Ia memberi isyarat pada Bimo untuk mengikutinya ke sudut ruangan, menjauh dari Kikan.
"Dia tidak akan mau membuka mulutnya kalau kau masih berada disini." bisik Lindya.
"Keluarlah dulu, kau bisa mengikuti wawancaraku dari luar."
"Aku tidak berani mengambil resiko meninggalkanmu sendirian dengannya. Dia bisa sangat berbahaya, aku sudah melihatnya dengan mata dan kepalaku sendiri," sahut Bimo tegas. "Lebih baik kita hentikan saja pemeriksaan daripada mengambil resiko."
"Bimo," ujar Lindya agak keras. Ia mendekatkan wajahnya pada Bimo dan menatap matanya dalam-dalam. "Aku tidak akan apa-apa. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Lagipula kau juga tidak akan berada terlalu jauh dariku kan?"
"Tidak, setelah apa yang kau lalui selama ini."
"Bimo, bersikaplah professional. Bantu aku untuk memulai kembali bila kau benar-benar peduli padaku. Aku mohon..."
Bimo menatap mata Lindya dan akhirnya menyerah. Ia keluar dari dalam ruangan dengan langkah-langkah lebar. Lindya menghela nafas dalam sebelum kembali ke tempat duduknya semula. Kikan memperhatikan gerak-gerik keduanya dengan alis bertaut.
"Kikan, apa kau merasa ada sesuatu yang aneh pada dirimu akhir-akhir ini?"
"Entahlah, aku hanya merasa sering lelah tanpa sebab."
"Kau tahu mengapa kau berada di tempat ini?"
"Aku dituduh telah membunuh Ayu dan Andika, juga menganiaya seorang laki-laki bernama Ramon."
"Apa itu benar?"
"Tentu saja tidak. Aku tidak punya alasan untuk melakukan itu. Ayu adalah temanku di tempat kost dan Andika adalah sahabatku di kampus. Sedangkan laki-laki bernama Ramon itu bahkan baru kali ini aku mendengar namanya. Aku tidak melakukan apapun yang salah seperti yang mereka tuduhkan."
"Kau mengenal Aneta dan Mayda? Mereka semua mengenalmu."
"Tidak, aku tidak kenal mereka. Para polisi itu berkali-kali menanyakan hal itu dan lama-lama aku berpikir kalau mereka gila."
"Kau yakin tidak mengenal mereka sama sekali?"
Sikap Kikan perlahan-lahan berubah. Ia duduk lebih tegak dengan dagu terangkat dan sikap angkuh yang jelas tergambar dalam bahasa tubuhnya. Wajahnya mengalami perubahan yang menakjubkan. Alisnya tertarik ke atas dan matanya membelalak lebih lebar. Tidak tampak lagi kelelahan dan kebingungan di matanya, melainkan ketidaksabaran dan kebosanan. Bibirnya mencibir sinis dan ia tampak kesal sekali.
"Tentu saja cewek bodoh itu tidak mengenal kami," ujar Kikan dengan suara mengalun lembut namun penuh tekanan. "Cewek itu bahkan tidak pernah berusaha mengenal siapapun seumur hidupnya yang kering kerontang."
Lindya memasang sikap waspada. Ia pernah mengikuti pelatihan beladiri beberapa tahun yang lalu, sehingga ia yakin bisa melindungi dirinya dari apapun yang mungkin akan dihadapinya saat ini. "Kikan?"
Suara itu sekarang bergumam, menyenandungkan sebuah lagu. Suaranya pelan dan lembut. Coba buka dulu topengmu, buka dulu topengmu... Biar kulihat warnamu, biar kulihat wajahmu...
"Kau menyukai lagi itu dok? Oya, aku bukan Kikan."
"Siapa kau?"
"Namaku Aneta."
"Suaramu merdu. Kau suka menyanyi?"
"Hanya kalau aku ingin. Lagipula, hanya lagu itu yang aku hafal sebenarnya. Anda suka menyanyi Dok?"
"Tidak terlalu. Suaraku jelek, tidak seperti suaramu. Apa yang kau lakukan saat senggang? Kau suka bernyanyi di tempat karaoke?"
Aneta mencibir. Ia mengibaskan tangannya dengan sikap meremehkan. "Karaoke itu tempat untuk orang-orang kesepian yang ingin eksis. Murahan. Tidak berkelas. Aku lebih suka ke kafe atau jalan-jalan ke mall. Aku suka melihat barang-barang bagus dan bertemu dengan orang-orang yang 'tinggi'. Anda mengerti maksudku Dok?"
"Ya, aku mengerti maksudmu. Orang-orang seperti Ramon Wigarda?"
Aneta tertawa lagi. kali ini suatranya sedikit terlalu melengking. Lindya membiarkan Aneta menghabiskan sisa tawanya. Ia telah membuka celah untuk menyudutkan salah satu pribadi Kikan. Sedikit berbahaya dan mungkin beresiko, namun ia harus melakukannya.
"Aneta, apakah kau tahu mengenai tindak kejahatan yang telah dituduhkan pada Kikan baru-baru ini?"
"Sudahlah Dokter cantik, cewek itu sudah hampir mati kelelahan karena kalian terus-menerus mengganggunya dengan pertanyaan yang sama setiap harinya," Kikan berubah lagi. Kali ini suaranya menjadi berat dan serak. Sikap tubuhnya mengendur.
Ia duduk dengan kaki kanan ditumpangkan diatas kaki kirinya, santai dan seenaknya. "Kikan itu seperti tanaman, tidak tahu apa-apa, tidak merasakan apa-apa dan tidak peduli apa-apa."
"Kau pasti...Mayda?" tanya Lindya hati-hati. Bulu kuduknya meremang namun ia mempertahankan sikap profesionalnya. Ia sudah sangat banyak membaca buku-buku dan hasil riset tentang masalah kepribadian ganda, namun baru kali ini ia benar-benar menghadapinya. "Dimana Aneta?"
"Dia bosan," jawab Mayda sambil tertawa kecil. "Aneta mudah bosan dan kesal. Apa yang kau inginkan dari kami? Apa kau bisa membawa kami keluar dari tempat ini?"
"Apa kau ingin keluar? Kau harus membantu Kikan kalau kau ingin keluar. Selama dia masih berada disini, kalian juga tidak bisa apa-apa."
"Cewek manja itu memang selalu membuat kami susah. Aku benci padanya. Dia membuatku tidak bisa melakukan apa yang kusukai. Dia juga membuat Neta frustasi dengan selera berpakaiannya yang benar-benar kuno. Hanya Jodi yang terus-menerus membelanya. Anak itu memang bodoh."
"Ada berapa kalian disana sebenarnya?"
"Hanya bertiga, tapi Jodi pemalu. Dia tidak pernah mau muncul kalau tidak terpaksa."
"Keadaan terpaksa seperti apa contohnya-yang bisa membuat Jodi muncul?"
"Diamlah May, kau terlalu banyak bicara," Mayda kini berubah kembali menjadi Aneta.
Ia bangkit dari kursinya dan melangkah pelan menghampiri jendela berterali besi di sisi utara ruangan. "Jodi terlalu protektif pada Kikan. Ia yang melakukan perbuatan-perbuatan yang kalian tuduhkan ada Kikan. Dari dulu sudah begitu."
"Maksudmu, selain beberapa kejadian yang terjadi belakangan ini, kalian juga pernah mengalami hal yang sama sebelumnya?"
Tidak ada jawaban. Lindya memperhatikan sosok yang sedang berdiri membelakanginya di depan jendala kini mengendur bahunya. Ia berbalik dan bergerak seperti robot, duduk kembali di kursinya. Matanya tampak kosong dan wajah Kikan yang asli kembali lagi. Ia memandang Lindya linglung.
"Apa yang terjadi? Aku merasa tidak enak badan."
"Aneta dan Mayda baru saja menemuiku," ujar Lindya lembut. "Mereka mengatakan bahwa bukan kau yang melakukan semua yang dituduhkan padamu."
"Mana mereka, mana?" Kikan menengok ke kanan dan ke kirinya dengan panik. Ia kelihatan sangat ketakutan. "Bagaimana mereka bisa masuk kemari tanpa sepengetahuanku? Apa yang mereka lakukan padaku? Siapa mereka?"
"Mereka ada di dalam dirimu Kikan, mereka adalah alter ego yang kau kembangkan di bawah sadar. Ada sesuatu yang membuatmu menghadirkan mereka ke dalam kehidupanmu. Kita bisa mencari tahu sebabnya kalau kau bersedia bekerja sama."
"Kalian semua sudah gila," Kikan mendesis. Wajahnya memerah dan ia tampak seperti seekor binatang yang tengah kebingungan menghadapi jebakan di depannya. "Kalian hanya ingin agar aku mengakui kejahatan yang tidak pernah aku lakukan. Kalian melakukan segala cara untuk membuatku mengaku. Kau, seorang dokter, melakukan hal itu juga kepadaku. aku curiga bahwa kau sebenarnya sama sekali bukan dokter. Kau juga polisi kan?"
"Kikan, aku benar-benar seorang psikiater dan aku ada disini untuk membantumu," ujar Lindya lembut. Penolakan adalah reaksi awal dari seseorang yang mengetahui untuk pertama kalinya bahwa dia memiliki alter ego di dalam dirinya. Alter ego yang kebanyakan bersifat menyusahkan atau merusak induknya.
"Bohong!" Kikan mulai berteriak. Ia berdiri dengan cepat dan membuat kursi yang didudukinya terjatuh ke lantai. Ia menudingkan jari kepada Lindya dengan tatapan berapi-api.
"Kalian semua bohong! Kalian semua gila!"
Bimo dan Dharwan menerobos masuk ke dalam ruangan tepat pada saat Kikan mulai histeris dan menjerit-jerit penuh kemarahan. Ia merangsek ke arah Lindya dan mencoba memukulnya. Bimo menarik tangan Lindya, menjauhkannya dari Kikan, sedangkan Dharwan memeluk Kikan dari belakang untuk mencegahnya semakin histeris.
Lindya pucat pasi dalam pelukan Bimo
%%%
Laki-laki itu menyambar tangan Lindya tanpa terduga. Ia menodongkan sebuah silet yang entah darimana datangnya. Wajahnya yang tampan menyeringai bengis. Lindya tidak berani bergerak, jerih merasakan dinginnya baja silet menempel di kulit lehernya. Rasa perih yang tipis mulai menggores lehernya setiap kali ia bernafas.
Bimo mundur beberapa langkah ke belakang, dan memberi isyarat kepada dua orang anak buahnya yang memasang kuda-kuda di belakangnya supaya ikut mundur dan membuka jalan untuk laki-laki yang masih mengancam Lindya. "Tenang saudara Lukman, anda tidak boleh melukai dokter Lindya. Jangan mempersulit diri sendiri, tenanglah..."
Lukman bergerak menyamping, membawa Lindya dalam pelukannya. Ia tertawa-tawa dan matanya bergerak-gerak liar dan gelisah. "Anak baik, anak baik, kalian mengatakan bahwa aku anak baik kan... kalian tidak akan bisa menghukum aku karena aku sakit jiwa, iya kan dokter, hah, iya kan dokter..."
Lindya terengah-engah ketakutan. Ia telah mendiagnosa dan mengamati perkembangan kejiwaan Lukman selama dua minggu terakhir, pemuda tanggung yang tampan ini menderita paranoid yang parah. Ia merupakan tersangka tunggal pembunuhan seorang Ibu dengan dua orang anaknya yang masih balita-majikan Lukman sendiri.
Hari ini seharusnya menjadi hari terakhir pemeriksaan sebelum Lindya menandatangani pernyataan bahwa Lukman benar-benar mempunyai masalah kejiwaan yang parah sehingga harus dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa. "Lukman, kau tidak akan melakukan perbuatan nekat kan? Kau akan diobati Lukman, kau akan mendapat perawatan yang baik," bujuk Lindya halus.
"Tidak, tidak, tidak, mereka akan mengurungku, mereka akan mengikatku dan membunuhku pelan-pelan," sergah Lukman marah. "Kau berbohong, seperti orang-orang itu. Aku mencintaimu tapi kau juga pembohong seperti mereka..."
Ketika melewati seorang petugas polisi yang berdiri menempel ke tembok, tiba-tiba saja Lukman mengulurkan tangan kanannya yang memegang silet. Ia menjangkau ke pinggang polisi itu dan mencabut pistolnya. Sebelum ada yang menyadari apa yang terjadi, terdengar suara ledakan keras dan jeritan tajam dari mulut Lindya. Detik berikutnya Bimo menghambur ke arah Lindya yang hampir jatuh merosot ke lantai. Sekujur tubuhnya berlumuran darah dan ia tampak shock.
Lukman Aris jatuh di atas kakinya, kepalanya pecah dan isinya terburai keluar.
%%%
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top