Bab 14

Pak Banu memanggil istrinya—seorang wanita bertubuh mungil yang kelihatan masih sangat muda dan polos. Ia menggandeng wanita itu dan menyuruhnya duduk di dekatanya, di seberang  Bimo dan  Agung.

“Ini istri saya Pak, namanya Nafisah,” Pak Banu memperkenalkan istrinya. “Waktu Kikan menyewa kamar di Rumah Melati, istri saya ini yang mengurusnya karena waktu itu saya sedang sibuk bolak-balik ke Cianjur mengurus Ibu saya yang sedang sakit.”

“Ibu bertemu langsung dengan saudari Kikan Ariana?” tanya Sersan Agung.

“Iya Pak, saya yang menerima uang sewa untuk satu tahun darinya juga identitas dirinya berupa kartu tanda penduduk. Waktu itu kami sempat berbincang-bincang sebentar. Dia pindah dari tempat kost di daerah Dago—katanya karena letaknya terlalu jauh dari kantor dan kampusnya.”

“Bagaimana dengan saudari Aneta? Apa waktu itu Ibu juga yang mengurusnya?”

“Kalau Aneta, sama sekali tidak ada yang pernah bertemu dengannya Pak. Dia menghubungi nomor telepon rumah saya kemudian mengatakan dia ingin menyewa kamar yang paling dekat dengan pintu keluar. Saya bilang kalau kamar itu sudah ada penghuninya tapi dia berkeras bahkan berani membayar dua kali lipat. Dia mengirim uangnya lewat rekening bank saya dan kunci kamarnya diambil tiga hari setelahnya. Waktu itu saya dan suami sudah tidur karena capek—baru pulang dari Cianjur. Pengasuh anak saya yang memberikannya.”

“Bisa Ibu panggilkan?” pinta Bimo.

Ibu Nafisah beranjak ke dalam rumahnya. Beberapa saat kemudian seorang gadis keluar dari dalam ruangan mengekor Ibu Nafisah. Ia kelihatan ketakutan dan gugup. Bimo memberinya senyum menenangkan dan memintanya duduk. Agung menanyai data-datanya sebentar sebelum mempersilahkan Bimo menanyai gadis bernama Usy itu.

“Usy, saya minta anda untuk memperhatikan kedua foto ini baik-baik,” Bimo mengeluarkan foto Kikan dan Aneta dan menunjukkannya pada Usy. “Coba tunjukan pada saya, mana di antara kedua foto ini yang menunjukkan wajah Aneta—yang waktu itu mengambil kunci kamar yang disewanya.”

Usy mengambil kedua foto itu baik-baik. Bimo mengamati perubahan wajah dan gerak tubuhnya. Gadis itu kelihatan bingung dan tidak yakin. Ia memandang majikannya—Ibu Nafisah, yang kemudian mengangguk memberinya semangat.

“Waktu itu keadaannya gelap karena sudah malam sekali, hampir tengah malam. Lampu teras juga redup karena belum sempat diganti yang baru. Saya ingat waktu itu saya sempat kesal karena setelah memberinya kunci saya jadi susah tidur lagi,” ujar Usy. Ia mengamati lagi kedua foto di tangannya. “Waktu itu yang datang mengambil kunci sepertinya bukan kedua orang ini, tapi perempuan juga cuma mirip laki-laki. Katanya namanya Mayda. Dia pakai jaket dan sepatu olahraga seperti laki-laki, pakai topi juga jadi sebagian wajahnya tidak terlihat. Suaranya juga agak berat dan serak.  Oh ya, dia mengendarai motor.”

Bimo dan Agung saling pandang.
%%%

Bimo mengetuk-ngetuk meja kerjanya dengan teratur. Ia sedang berpikir keras. Kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan. Kasus pembunuhan Ayu dan penganiayaan Ramon kelihatannya memang saling berhubungan namun perkembangannya sungguh membingungkan.

Ada lagi tokoh baru bernama Mayda seperti yang digambarkan oleh Usy—pengasuh putra pemilik Rumah Melati—yang mengenakan pakaian yang ditemukan di kamar yang disewa oleh gadis misterius bernama Aneta yang mirip sekali dengan Kikan, salah satu gadis penghuni kamar kost di Rumah Melati.
Mungkinkah Kikan dan Aneta sebenarnya dilahirkan kembar? Lalu mengapa Aneta harus bersikap misterius seperti itu?

Tidak ada yang pernah melihatnya selain Ramon, dan mengapa Kikan tidak pernah menyinggung soal saudaranya itu. Ia bahkan mengatakan tidak mengenal orang yang tinggal di kamar nomor satu, sama seperti Liana.

Menurut keterangan Pak Banu, jarak kedatangan Kikan dengan Aneta hanya sekitar tiga minggu. Kalau mereka memang memiliki pertalian darah, mengapa harus tinggal terpisah. Lalu, siapa Mayda?

Bimo mengerang pelan. Selama karirnya di kepolisian belum pernah ia menangani kasus seperti ini. Dua korban dengan dua tersangka yang berbeda namun ternyata mempunyai hubungan, ditambah orang ketiga yang belum jelas bagaimana perannya.

Agung mengetuk pintu ruangannya, membawa sebuah map. Bimo mempersilahkannya masuk setelah membalas sikap hormatnya. Agung duduk di kursi di depan meja Bimo dan menyodorkan map yang dibawanya dalam keadaan terbuka.

“Kelihatannya kasus kita kali ini akan semakin meluas,” ujar Agung. “Ini kasus pembunuhan seorang mahasiswa Universitas Mandiri Karya satu bulan yang lalu, yang belum selesai karena tidak ada saksi dan bukti sama sekali. Satu hal yang menarik perhatian saya, korban yang bernama Andika dan saksi kita Kikan Ariana berada di kampus yang sama.”

Bimo membaca berkas di dalam map dengan antusias sambil mendengarkan penjelasan anak buahnya. “Mengapa kau bisa menghubungkan kasus Andika dengan Kikan Ariana?”

“Dalam berkas pernyataan Kikan, ada data tentang dimana dia kuliah, dan kebetulan saja saya yang menangani langsung kasus Andika. Waktu saya sedang membaca berkas kasus Andika, saya teringat dengan pernyataan Kikan itu. Saya mempunyai firasat kuat kalau Kikan juga terkait dengan kasus Andika.”

“Buat surat perintah penggeledahan kamar kost Kikan Ariana, secepatnya. Kita langsung meluncur kesana sekarang juga,” perintah Bimo antusias.

“Siap!”
%%%

Aneta marah. Ia gelisah melihat bagaimana para polisi itu berjaga-jaga di depan pintu kamarnya. Mayda cenderung lebih tenang. “Tenang saja Net, bukankah kau sendiri yang bilang kalau mereka tidak akan menemukan apa-apa yang bisa menyulitkan kita?”

“Ya, memang,” ujar Aneta sambil bersungut-sungut. “Aku hanya merasa terganggu dengan kehadiran mereka. Kau tahu, semua barang-barangku ada di dalam kamar itu dan hal itu membuatku kesal sekali. Aku benci memakai pakaian seperti ini terus, membuatku terlihat jelek sekali.”

Mayda tertawa kecil. “Dia yang jelek, bukan kau! Sudahlah Net, nanti juga semuanya akan berlalu. Berharap saja dia bisa sedikit lebih pintar.”

“Harusnya kalian tidak membuatnya berada dalam kesulitan seperti ini,” sela Jodi tiba-tiba. “Sekarang kalian sendiri yang susah kan?”

“Diam kau,” sergah Aneta kesal. “Kau yang melakukan semuanya, kenapa harus membawa-bawa kami. Kau dan semua obsesimu itu, huh!”

Kikan terbangun dalam sekali sentakan. Ia terengah-engah dan berkeringat dingin. Kamarnya kosong, hanya ada dirinya saja, namun mengapa ia memimpikan orang-orang asing riuh berbantahan di dalam kamarnya ini, begitu dekat.

Kikan bergidik dan menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya sampai ke kepala.

“Penakut!” desis Mayda sinis.
%%%

Kikan tidak mengerti mengapa mereka mengacak-acak kamarnya. Tiga orang polisi datang pagi-pagi sekali membawa surat perintah penggeledahan. Polisi yang paling tinggi tubuhnya memperkenalkan diri sebagai AKP Bimo Setiawan dan memberikan surat perintah penggeledahan itu kepadanya.

Kikan merasa tidak nyaman melihat cara laki-laki itu memandangnya, seolah-olah ia sedang berusaha membaca dirinya.

“Pak, saya menemukan ini,” Agung memberikan selembar kertas yang sudah lusuh bekas di remas-remas. “Saya menemukannya di dalam tas ini.”

“Itu tas kuliah saya,” ujar Kikan kesal. Apa sih yang dicari para polisi itu di kamarnya.

Bimo memperhatikan kertas di tangannya. Sebuah surat pendek. Ada noda darah yang mengering di atas kertasnya. Ia memperlihatkan kertas itu kepada Kikan. “Saudari Kikan, apa ini tulisan anda?”

Kikan melihat kertas yang dipegang oleh Bimo. Ia kelihatan bingung. “Ini…ya, ini tulisan saya…tapi saya tidak pernah menulis ini.”

“Anda kenal saudara Andika?” tanya Bimo lagi. Ia memperhatikan perubahan wajah Kikan.

“Andika itu teman baik saya,”—dan satu-satunya, tambah Kikan dalam hati. Wajahnya berubah murung. “Saya tidak pernah menyangka dia akan mengalami nasib seburuk itu. Entah siapa yang tega melakukan hal sekeji itu padanya. Tapi, mengapa Bapak tiba-tiba menanyakan soal itu pada saya? Kertas itu, bagaimana mungkin ada di tas saya?”

“Pak,” Gungun menyela percakapan. Ia menunjukkan sebuah benda berkilau di tangannya. “Ini kalung yang dibeli Ramon Wigarda untuk Aneta. Saya menemukannya di laci meja belajar itu, dengan ini…”

“Hei, itu kacamata milik penghuni kamar ini sebelumnya. Saya berniat menitipkannya pada Mbak Ayu untuk dikembalikan pada pemiliknya melalui Pak Banu,” ujar Kikan. Ia menatap kalung di tangan Gungun dan mengangkat sebelah alisnya. “Dimana Bapak menemukannya? Itu bukan milik saya.”

Bimo memberi isyarat pada Agung yang berdiri paling dekat dengannya. Anak buahnya itu kemudian mengeluarkan sebuah borgol dari bagian pinggang seragamnya kemudian menyerungkan benda itu ke tangan Kikan. “Saudari Kikan Ariana, anda ditahan dengan tuduhan telah melakukan pembunuhan terhadap Andika Ramandhana, penganiayaan berat terhadap Ramon Wigarda dan pembunuhan terhadap Ayu Rinita…”

Kikan melihat kedua borgol yang membelit di tangannya. Kebingungan dan keterkejutan mewarnai wajahnya. Ia menatap Bimo dan kedua anak buahnya dengan kepanikan yang jelas tergambar di matanya.
Ia berontak berusaha melepaskan diri. Para polisi ini pasti salah mengira dirinya sebagai orang lain. “Apa yang kalian lakukan?” jerit Kikan tertahan. “Saya tidak melakukan apa-apa, saya tidak bersalah. Kalian salah orang!”

Bimo memakai sarung tangannya dengan tenang dan mengambil benda-benda yang dianggapnya sebagai bukti dan memasukkan ke dalam kantong plastik bening. Ia mendongak dan mengamati wajah Kikan yang bersimbah air mata. Perempuan ini pasti sangat pandai berakting karena wajahnya terlihat begitu memelas dengan meyakinkan.

“Untuk sementara ini, semua bukti mengarah kepada anda, jadi anda akan kami tahan sebagai tesangka dan harus mengikuti proses penyelidikan sebelum diajukan menjadi terdakwa di pengadilan.”

Kikan menatap Bimo seolah laki-laki di depannya itu sedang mengatakan sesuatu yang sangat tidak masuk akal. Ia meneguk ludahnya yang tersangkut di tenggorokan. Teras pahit dn panas. Kikan menutup mata dan pasrah pada kegelapan total yang melingkupi penglihatannya. Ia menggelosoh dalam pegangan Agung.
%%%

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top