Bab 10
Kikan bangun tidur dengan kepala berat pagi ini, seolah-olah ada sebuah batu besar menindih kepalanya. Seluruh tubuhnya juga pegal dan ngilu. Ia pasti terlalu lelah semalam, sampai tertidur tanpa sempat membuka pakaiannya.
Kikan mencari-cari obat pereda sakit di laci meja belajar di sudut kamarnya. Ia meraba-raba ke dalam laci dan tangannya menyentuh sebuah benda asing. Ia menarik benda itu keluar dari laci. Sebuah kotak kacamata.
Kikan memandangi kotak kacamata itu dengan penuh keheranan. Ia menarik kursi dan duduk diatasnya. Kacamata di dalam kotak itu jelas adalah kacamata milik wanita, bentuknya manis dengan bingkai besi berwarna biru tua.
Kikan memakai kacamata itu dan beberapa menit kemudian melepasnya lagi. Bagaimana mungkin kacamata itu bisa berada di dalam lacinya, dan mengapa ia tidak pernah menyadari adanya benda itu disana?
Kikan tidak mempunyai banyak teman, dan kalaupun ada, ia tidak pernah membawa temannya ke dalam tempat kostnya ini. Adakah kemungkinan kacamata ini adalah milik penghuni kamar ini sebelum dirinya? Kikan baru empat bulan menempati kamar ini. Sebelumnya ia menempati kamar paling ujung dekat pintu keluar.
Empat bulan yang lalu pemilik Tumah Melati—Pak Banu, meminta Kikan untuk pindah karena seseorang telah menyewa kamar kost yang semula ditempati. Penghuni baru itu berkeras menginginkan kamar yang di tempati Kikan, bahkan dia berani membayar lebih mahal dari yang seharusnya.
Pak Banu—seorang pria separuh baya yang mata duitan—tidak pikir panjang lagi, ia langsung meminta Kikan untuk pindah kamar. Kikan sendiri tidak pernah tahu siapa penghuni baru itu, karena sampai saat ini belum pernah sekalipun mereka bertemu maupun sekedar berpapasan.
Kikan merapikan rambutnya dengan tangan dan keluar dari kamar. Ia akan meminta tolong kepada Ayu—tetangga sebelah kamarnya—mengurus soal kacamata itu. Ayu mungkin tahu siapa pemiliknya.
Kikan mengetuk pintu kamar Ayu pelan.
“Ya? Kikan?” sapa Ayu. “Ada apa ya?”
“Maaf Mbak Ayu, saya cuma mau bertanya, barangkali Mbak Ayu kenal dengan penghuni kamar saya sebelumnya? Dia meninggalkan kacamatanya di dalam laci meja dan baru saya temukan. Saya ingin mengembalikannya, barangkali dia memerlukannya.”
Ayu berpikir sejenak. Ia memandangi kotak kacamata yang diperlihatkan Kikan. Ayu melebarkan pintu kamarnya dan meminta Kikan masuk. “Masuk dulu deh…,” Ayu menyilahkan Kikan duduk di atas karpet.
“Setahu aku Sheila tidak memakai kacamata, lagipula kalaupun ia memakainya, Kikan tetap tidak bisa mengembalikan padanya.”
“Maksudnya?”
“Aku tidak tahu dia pindah kemana. Dia hanya dua bulan kost disini, dan selama itu dia juga jarang kelihatan. Sebelum kau datang, dia sudah lebih dulu pindah. Ada yang bilang dia pulang kampung dan dinikahkan oleh orang tuanya.”
Kikan termangu mendengar penjelasan Ayu. Akhirnya ia memutuskan untuk menyimpan saja benda itu. siapa tahu suatu saat pemiliknya akan kembali untuk mencari, kalau ia sadar dimana benda miliknya itu tertinggal.
%%%
Ayu membuka gerbang dengan hati-hati. Sudah hampir pukul satu. Penghuni kost yang lain mungkin sudah tidur. Ayu mengendap-endap masuk, namun langkahnya berhenti di depan pintu kamar pertama.
Kamar itu terang benderang, tidak seperti biasanya.
Rasa ingin tahu membuat Ayu nekat. Ia mengintip ke dalam dari celah yang terbuka di ujung jendela.
Ia melihat kaki seseorang di dalam kamar bergerak-gerak. Ada suara senandung pelan dari dalam kamar itu. Ayu mengernyitkan kening. Ia pernah mendengar seseorang menyenandungkan lagu itu.
Ayu menegakkan kembali tubuhnya dan meneruskan langkahnya menuju kamarnya sendiri. Ia tidak sadar, orang di dalam kamar yang tadi diintipnya sekarang membuka sedikit tirai jendela dan memperhatikan dirinya. Sorot matanya tajam dan penuh kemarahan.
“Kau berisik Net,’ ujar Mayda agak kesal. “Sekarang dia pasti jadi semakin penasaran tentang siapa kita.”
“Huh, aku bisa menyanyi kapan saja aku mau,” balas Aneta ketus. “Cewek itu akan kita atasi secepatnya. Dia tidak akan bisa membongkar rahasia kita.”
“Bicaralah secepatnya pada Jodi, sebelum semuanya berantakan.”
%%%
Kikan mengeluh pelan. Kepalanya sakit sekali. Kalau keadaannya seperti ini terus, mungkin ia harus memeriksakan dirinya ke dokter.
Ada lebah berdengung di dalam kepalanya, berputar-putar seperti gasing. Kikan melihat jam di dinding kamarnya. Pukul empat lewat sepuluh menit. Udara dingin menusuk kulitnya. Kikan memaksa dirinya bangkit dari tempat tidur. Masih ada obat sakit kepala di lacinya.
Pintu kamarnya terbuka setengah, membuat angin bebas keluar masuk ke dalam kamarnya. Pantas saja aku sakit kepala, tidur di tengah angin malam, pikir Kikan sambil menepuk keningnya pelan.
Bagaimana mungkin aku bisa begitu ceroboh membiarkan kamarku terbuka seperti ini. Bagaimana kalau ada orang jahat masuk. Kikan merasa buku kuduknya merinding. Ia cepat-cepat menutup pintu kamarnya. Kepalanya semakin berdenyut-denyut nyeri.
%%%
Kikan mengetuk pintu kamar Ayu. Tidak ada suara apapun dari dalam. Kikan menunggu beberapa menit, mungkin Ayu sedang berada di kamar mandi.
Ia ingin menanyakan alamat rumah Pak Banu yang katanya baru saja pindah. Setelah menimbang-nimbang, semalam Kikan memutuskan untuk mengantarkan kacamata yang ditemukannya di laci di dalam kamarnya kepada Pak Banu. Bila suatu hari pemiliknya mencari, ia bisa memintanya pada Pak Banu.
Liana membuka pintu kamarnya dan melihat Kikan berdiri di depan pintu kamar Ayu. “Cari Mbak Ayu?”
“Iya, tapi sepertinya tidak ada,” jawab Kikan sambil mengetuk pintu sekali lagi.
“Sudah dua hari aku tidak melihat Mbak Ayu,” ujar Liana sambil menyisiri rambutnya dengan tangan. “Mungkin dia pulang.”
Kikan mengucapkan terima kasih dan kembali ke kamarnya. Ia sempat melihat seorang laki-laki menarik tangan Liana masuk kembali ke kamarnya. Ia melengos, pura-pura tidak melihat apapun.
Ayu pernah mengeluh soal kebiasaan Liana membawa pacarnya menginap dan membuatnya terganggu dengan kegaduhan yang mereka buat. Baru kali ini Kikan melihat bahwa apa yang selama ini dikeluhkan Ayu mungkin benar. Kikan cepat-cepat menutup pintu kamarnya.
Kikan menyimpan kembali kacamata itu di laci meja belajarnya. Ayu pernah dua kali pulang ke rumah orang tuanya selama Kikan menjadi penghuni rumah Melati dan ia selalu menitipkan kunci cadangan kamarnya kepada Kikan.
“Aku ini orang yang pelupa. Setidaknya kalau aku lupa membawa kunci kamar, aku tetap bisa masuk dengan kunci cadangan yang kutitipkan padamu,” begitu alasan Ayu.
Kikan berpikir mungkin Ayu pulang dengan terburu-buru kali ini. Ia memutuskan untuk menunda maksudnya menemui Pak Banu untuk memberikan kacamata temuannya itu. Ayu pasti tidak akan lama di rumahnya. Dia kan harus bekerja.
%%%
Liana mencium bau yang tidak sedap. Seperti bau sesuatu yang busuk. Ia mengendus-endus udara. Dino, pacarnya, keluar dari dalam kamar sambil menguap lebar. Ia menarik tangan Liana dan memeluknya dari belakang. Liana menepuk tangan Dino dan berusaha melepaskan diri.
“Kau mencium bau busuk tidak?” tanya Liana sambil memandang ke sekitarnya. Siapa tahu ada bangkai tikus mati. “Baunya tajam sekali. Mungkin ada bintang yang mati di sekitar sini. Tikus atau burung mungkin. Ugh, aku mual menciumnya.”
“Hhhmmm, aku hanya mencium bau tubuhmu, sayang…” Dino menjulurkan tangannya lagi untuk meraih Liana. “Ayolah Liana, ini masih pagi, aku masih mengantuk…”
“Dino, rasanya bau busuk ini semakin keras baunya disini,” Liana tidak memedulikan Dino. Ia mengendus lagi di dekat pintu kamar Ayu yang tertutup rapat. “Bau ini berasal dari kamar Mbak Ayu. Jangan-jangan ada tikus mati di dalam kamarnya. Mbak Ayu pasti tidak tahu, karena dia keburu pergi.”
Dino tergugah. Bau busuk itu membuat kantuknya hilang. Ia paling tidak kuat mencium bau-bauan seperti ini. Dino menarik tangan Liana dan menyuruhnya menjauh dari depan kamar Ayu.
Liana sudah memegang handel pintu kamar ketika Dino menarik tangannya. Tanpa sengaja handel pintu itu tertekan oleh tangan Liana, dan pintu terbuka dengan derit pelan. Seketika Liana menutup hidungnya.
“Astaga,” keluh Dino sambil melangkah mundur. Bau busuk menyengat hidungnya dan ia merasakan cairan empedu naik dari lambungnya ke tenggorokan. “Bau apa ini, seperti…” Dino tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Liana telah menjerit sekuat tenaga.
Dino menyangga tubuh Liana yang terhuyung ke arahnya. Pacarnya itu seperti melihat hantu di siang hari. Wajahnya pucat tak berdarah.
Liana menutup matanya rapat-rapat dan nafasnya memburu. Ia menunjuk ke dalam kamar Ayu dan suaranya nyaris tercekik ketika ia berkata.
“Ayu…Ayuuu…” Liana jatuh pingsan dalam pelukan Dino.
%%%
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top