Bab 1

Kikan menatap bayangannya yang terpantul di cermin. Wajahnya berbentuk bulat telur, dibingkai rambut lurus sebahu yang hitam legam tanpa poni. Matanya bulat dengan bola mata berwarna coklat tua dan dinaungi alis yang tidak terlalu tebal namun berbentuk bulan sabit yang rapi tanpa tambahan. Hidungnya mancung, serasi dengan bibirnya yang tipis melengkung seperti busur panah. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, hanya rata-rata untuk ukuran wanita Indonesia namun bentuknya proporsional.

Ia tidak suka menonjolkan apapun dari fisiknya, namun kadang-kadang terbersit juga rasa bangganya bila ada orang yang meliriknya dan memandangnya dengan kagum.

Kikan meraih jaketnya dari sandaran kursi dan memakainya. Ia harus menemui dosen dan menyerahkan tugasnya hari ini, sebelum dosennya itu berangkat seminar di Singapura.

Kikan memeriksa kamarnya sekali lagi, memastikan semua rapi dan bersih. Ia tidak menyukai ruangan yang kotor dan berantakan. Debu yang menempel di atas barang-barangnya membuat Kikan kesal, apalagi kalau sampai ada barang yang diletakkan tidak pada tempatnya. Itulah sebabnya ia juga membenci keramaian dan pesta, karena pada saat seperti itu, segalanya pasti berantakan dan kacau, berisik dan kotor.
Ia tersenyum puas melihat keadaan kamarnya kemudian menutup pintu dan menguncinya.

Kamar yang ditempati Kikan terletak di ujung koridor, sehingga untuk mencapai pintu keluar dari blok itu, ia harus melewati empat kamar yang lain. Semua kamar-kamar itu tertutup rapat. Para penghuninya tidak ada di tempat.

Tempat kost bernama Rumah Melati dan hanya memiliki lima buah kamar, berukuran cukup besar dengan letak kamar mandi pribadi di setiap kamar dan perabotan yang sudah tersedia lengkap. Harganya lebih mahal dibanding tempat kost yang lain, namun karena keleluasaan dan kenyamanannya, Kikan tidak ragu merogoh koceknya sedikit lebih dalam.

Para penghuni Rumah Melati tidak bersosialisasi. Mereka mempunyai urusan dan pekerjaan masing-masing, sama seperti Kikan. Ia mengenal mereka namun hanya sebatas bertukar senyum dan sapa bila kebetulan berpapasan. Saat ada di tempat kost, maka kegiatan utamanya hanya tidur dan berkutat sendiri di dalam kamar. Kikan menerima keadaan itu dengan senang hati, demikian juga penghuni Rumah Melati yang lain.

Kikan bukannya bermaksud untuk sombong atau tidak peduli pada keadaan sekitarnya. Ia hanya lebih suka suasana yang tenang. Ia memiliki beberapa teman di kampus dan di tempat kerjanya, namun bukan teman dekat atau akrab. Sekedarnya saja. Sebatas hubungan formal.

Ia lajang dan belum berminat untuk mengubah statusnya itu dalam waktu-waktu dekat. Ia menikmati hidupnya saat ini, dengan segala yang dimilikinya. Kebebasan, uang untuk apapun yang diinginkannya-hasil jerih payahnya sendiri-tugas-tugas kuliah dan kantor. Itu semua sudah cukup membuatnya puas sementara ini. ia belum memerlukan seorang laki-laki-pacar-untuk mendampinginya.

Ia sering merasa miris melihat hubungan yang dibangun oleh beberapa teman perempuannya, yang menggebu-gebu pada awalnya namun kemudian berlalu dengan iringan badai kemarahan dan hujan air mata. Ia belum ingin merasakan pengalaman seperti itu. sesuatu di dalam dirinya tidak mengingkan hal itu.
%%%

Sepuluh menit kemudian ia sudah tiba di kampus. Dosen yang dicarinya tidak datang, namun asistennya meminta semua tugas dikumpulkan di ruang jurusan. Kikan melihat arloji yang melingkar di tangannya dan memutuskan untuk mampir ke perpustakaan sebentar. Ada beberapa buku yang ingin dipinjamnya dari sana. Pekerjaannya di kantor tidak terlalu banyak, jadi ia bisa menyelesaikannya nanti malam dan menyerahkannya ke kantor besok pagi.

Kikan bekerja sebagai pegawai paruh waktu di sebuah perusahaan percetakan. Ia bekerja di bagian desain iklan, sehingga ia tidak terikat jam kerja seperti pegawai yang lainnya. Pemilik perusahaannya hanya meminta agar Kikan bisa menyerahkan tugas-tugasnya sesuai jadwal sesuai dengan standar yang ditetapkannya. Ia senang karena Kikan selalu memberikan hasil kerja yang melebihi harapannya. Kikan senang dan betah bekerja disana, bukan hanya karena masalah waktu yang leluasa, namun gajinya juga lumayan.

Pemilik perusahaan tempat Kikan bekerja pada awalnya melihat bahwa si pelamar bernama Kikan Ariana adalah wanita yang menarik bahkan dapat dikatakan cantik.

Ia seorang duda dengan dua anak yang sedang mencari pengganti mantan istrinya yang kini telah menikah lagi. Ia menilai bahwa Kikan mungkin cocok untuknya. Ia menerima Kikan karena kebetulan saat itu perusahaannya memang sedang membutuhkan karyawan freelance dan nilai-nilai yang diajukan Kikan sebagai referensi cukup memuaskan.

Ia menerima Kikan dan mulai melancarkan beberapa ajakan sederhana seperti mengantar pulang atau sekedar makan siang bersama. Kikan selalu menampik ajakannya dengan sangat sopan dan rendah hati sehingga lama-lama ia bosan dan membiarkan saja Kikan bekerja tanpa berusaha mengganggunya lagi.

Hasil pekerjaan Kikan selalu bagus dan memuaskan sehingga pemilik perusahaan akhirnya berkeputusan tetap mempekerjakan Kikan di perusahaannya meskipun gadis itu mengecewakan hatinya dari sisi pribadi. Ia berpikir mungkin Kikan telah memiliki seorang kekasih.

Kikan senang karena pada akhirnya ia bisa tetap bekerja tanpa kecemasan akan maneuver yang dilancarkan atasannya.

Ia memutuskan untuk kuliah setelah melihat bahwa tabungannya cukup untuk memulai, sedikit terlambat memang, namun Kikan bertekad untuk menyelesaikannya dengan baik. Ia sudah lelah bekerja serabutan beberapa tahun ke belakang, ia ingin mempunyai pekerjaan tetap yang bisa dijalaninya dengan tenang. Sebuah gelar dari perguruan tinggi, meskipun hanya diploma, pasti bisa membuat kehidupannya menjadi lebih mapan.

"Kikan," seseorang menepuk bahunya dari belakang.
Kikan menoleh terkejut. Ia melihat Andika tersenyum kemudian berjalan ke depan dan menggeser tempat duduk di seberang .

Andika teman satu kelas. Andika tergila-gila pada buku, sama seperti dirinya. Mereka bisa berdebat berjam-jam untuk membahas sebuah buku yang telah mereka baca.

Penampilan Andika memberi kesan seorang kutu buku yang jenius, dengan kacamata tanpa bingkai yang seringkali turun sampai ke ujung hidungnya setiap kali ia menunduk dan rambut bergelombang yang selalu berantakan.

Ia jarang tersenyum dan selalu tampak serius, namun saat ia sedang tersenyum seperti sekarang, Kikan merasa ia manis sekali.

"Dika! Kau membuatku kaget..." ujar Kikan pelan. "Kau sudah mengumpulkan tugas interior? Aku tidak tidur semalaman mengerjakannya."

"Beres!" Andika mengacungkan ibu jarinya. Ia mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan menyodorkannya kepada Kikan dari seberang meja. Dua buah tiket. "Lihat, aku mendapatkan tiket ini dari sepupuku. Kau mau menemaniku? Tiket ini hanya berlaku seminggu dari sekarang. Kapan kau ada waktu?"

Kikan menatap tiket itu. Tiket nonton bioskop film box office terbaru. Ia sudah membaca resensi film itu beberapa hari yang lalu dan kelihatannya menarik.

Kikan tersenyum dan menggeser tiket itu kepada Andika, "Aku harus lembur. Tugas interior tadi membuatku menunda beberapa desain yang harus kuserahkan paling lambat lusa, atau gajiku akan dipotong habis-habisan kalau tidak selesai tepat waktu."

Andika mengambil kedua tiket itu dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Ia kelihatan kecewa. "Kelihatannya aku harus cukup puas menontonnya ditemani adikku."

Kikan merasa tidak enak mengecewakan teman sebaik Andika, namun ia memilih untuk tetap di jalur aman. Menonton film berdua merupakan kegiatan yang terlalu intim untuk dilakukan dengan teman. Ia menyukai Andika, namun tetap saja laki-laki itu hanya sekedar teman.

Kikan membereskan buku-bukunya dan berdiri.
"Aku harus pulang sekarang, kau masih perlu tinggal disini?"

"Aku harus mencari referensi tambahan untuk makalah tata ruang yang harus kuserahkan tiga hari lagi. Kau mau kuantar pulang?"

Kikan tersenyum dan menggeleng. Ia melambaikan tangan dan berjalan menjauh. Kata-kata Andika membuatnya teringat pada suatu peristiwa yang pernah terjadi dalam hidupnya bertahun-tahun silam.
%%%

Kedua tangan Kikan saling menggenggam erat di depan tubuhnya. Kalau ia melepaskan tangannya, ia takut cowok di depannya akan melihat betapa gemetarnya ia.

"Kau mau kuantar pulang?" tanya Desta gugup. Ia berharap suaranya terdengar mantap.

Kikan siswi baru yang masuk di pertengahan tahun kedua di sekolah itu, pendiam dan pemalu, namun ia cantik sekali. Desta adalah kakak kelasnya, kapten tim basket sekolah dan. judoka peraih medali emas pertandingan judo antar SMA se-Indonesia. Wajahnya tampan dan senyumnya ramah. Ditambah dengan tubuh atletis dan sifatnya yang ramah, tidak heran kalau ia menjadi idola gadis-gadis di sekolah itu.

Kikan merasa seperti mendapat bintang jatuh ke pangkuannya ketika Desta menegurnya di kantin beberapa hari sebelumnya, mengajaknya berkenalan dan banyak bertanya tentang dirinya sebelum pindah ke sekolahnya sekarang.

Desta menceritakan lelucon-lelucon konyol selama perjalanan dari sekolah ke rumahnya. Ia mempunyai banyak cerita menarik yang membuat Kikan tertawa sepanjang jalan.

Ia merasa sedih ketika mereka tiba di depan gang menuju rumahnya.

Desta memegang bahu Kikan dan membalikkan tubuhnya. "Ayo cepat, nanti orang tuamu cemas kalau kau terlambat sampai di rumah."

Jantung Kikan berdetak dua kali lebih cepat, merasakan tangan Desta yang hangat menekan bahunya. Ia tidak ingin mengakhiri saat seperti ini. ia menoleh dari balik bahunya dan matanya bertemu dengan mata milik Desta, dalam dan menghanyutkan.

Desta mengelus bahunya lembut sambil tersenyum. Kikan melangkah maju memasuki gang dan menoleh ke belakang setelah beberapa langkah. Desta masih berdiri di depan gang, memperhatikannya.

Ia melambai ketika melihat Kikan menoleh dan memberi isyarat agar Kikan meneruskan langkahnya. Kikan menoleh lagi setelah sampai di ujung gang dan melihat Desta mulai berjalan menjauh dari mulut gang. Kikan menunggu sejenak, kemudian ia kembali ke dalam gang, kali ini dengan berlari.
%%%

"Cewek itu menolak ajakan si kutu buku, sombong sekali," cibir Mayda. Ia kemudian menoleh ke arah Andika yang masih memandangi Kikan dari tempat duduknya. "Coba kau lihat si kutu buku itu, dia seperti pungguk merindukan bulan."

"Mungkin dia memang benar-benar banyak pekerjaan. Kau dengar apa katanya tadi kan?" ujar Aneta lembut. Ia lebih tertarik memperhatikan majalah mode edisi lama di tangannya daripada memperhatikan urusan orang lain.

"Kau ini bodoh atau buta Net," sentak Mayda kesal. "Jelas-jelas cewek itu merasa dirinya terlalu tinggi untuk si kutu buku. Dia hanya senang mempermainkan cowok bodoh itu. Aku heran, berkali-kali ditolak seperti itu, si Andika tetap saja masih mendekati dan mengajaknya kemana-mana. Cowok tolol!"

"Kau terlalu berprasangka May," bantah Aneta, masih dengan ketenangannya yang tidak tergoyahkan. "Akhir-akhir ini kau cepat sekali emosi. Ada apa?"

"Aku bosan Net, sepertinya hidupku jalan di tempat saja akhir-akhir ini."

"Kau pasti ingin ke pantai atau ke gunung, seperti kebiasaanmu dulu," ujar Aneta sambil tersenyum. "Kau merindukan semua itu May?"

"Iya Net, aku ingin malakukannya lagi. Semua yang terjadi sekarang ini membuatku depresi. Aku ingin bebas seperti dulu. Aku benci hidupku yang sekarang."

Aneta tertawa kecil. Ia sudah bisa menduga hal itu. Mayda tidak pernah bisa menyembunyikan perasaaan hatinya, selalu ekspresif dalam segala hal dan meledak-ledak. Ia seringkali menjadi terlalu senang atau terlalu sedih atau terlalu bosan. Semua yang dirasakan Mayda tidak pernah setengah-setengah. "Ayo kita pergi dan bersenang-senang."
%%%

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top