Episode 8 - Asli atau Palsu?!.

Matahari telah menyingsing, mempersilahkan bulan untuk berada dalam peraduannya, menyinari bumi yang tidak secerah saat siang ataupun sore.

Di bawah lampu taman yang redup, seorang gadis duduk di atas kursi dengan pandangan kosong, matanya bengkak, warna kemerahan masih sedikit terlihat di hidung dan bawah kelopak matanya, memberitaukan aktifitas apa yang baru saja gadis itu lakukan.

Di taman yang sama di waktu yang berbeda, di hari yang berbeda di tahun yang berbeda, dia juga pernah ada di situasi yang sama, situasi pertama kali dia merasakan di tinggalkan. Pada masa itu dia menangis tersedu-sedu, menangisi ibundanya yang pergi, bahkan dia sama sekali tidak tau dimana tempat peristirahatan sang bunda, bukan hanya itu, dia juga tidak bisa melihat wajah sang bunda untuk terakhir kali. Dia... dia hanya tau kalau sang bunda telah meninggal dari adik dan dokter -yang mungkin merawat ibundanya-, dan langsung di semayamkan entah di mana.

Gadis itu merasa sangat sedih, dia meraung meminta semua orang untuk memberitahu dimana sang bunda di makamkan, tapi semua orang bungkam, seolah tidak merasa kasian sama sekali. Mereka hanya diam, menonton, melihatnya menangis pilu. Itu... pertama kali saat hidupnya benar-benar... berubah.

Gadis itu membuka mata yang tadi terpejam saat mendengar isakan anak kecil di sebelahnya. Langit yang tadi gelap karena malam, kini berubah gelap mendung, rintik-rintik air berjatuhan, namun anehnya, dia sama sekali tidak merasakan tetesan air dari langit menerpa tubuh dan wajahnya. Kepalanya perlahan menoleh ke samping, melihat anak berusia 13 tahun menangis tersedu-sedu. Matanya menatap anak di sampingnya dengan pandangan tak terbaca.

"Bunda," lirih anak itu memanggil nama orang tuanya dengan sedih. Masih menatap anak di sampingnya. Gadis itu –Dina- hanya mampu mengatupkan bibirnya rapat, tidak ada kata yang bisa keluar dari bibirnya, seolah semua kosa kata yang ada di dunia ini menjauhinya tanpa berniat mendekat, membiarkan Dina mengambil serangkaian kata.

"Bunda kemana? Mereka bohongkan bunda? Bunda gak akan ninggalin Ina sendirian, kan? Bunda gak akan ninggalin Ina, kan? Bunda udah janji sama Ina, bunda mau nemenin Ina sampai tua, bunda mau lihat Ina sukses, dan... dan... dan bunda janji selalu di samping Ina." Kata anak itu terdengar pilu.

Dina tercekat. Dia tau, dia tau apa yang terjadi selanjutnya, dia tau apa yang akan di katakan anak di sampingnya lagi. Dia tau, dia hafal, bahkan dia tau rasanya menjadi anak itu. Karena... orang yang berada di sampingnya, miniatur dirinya. Tanpa sadar air mata jatuh begitu saja. Masih terus memperhatikan anak di sampingnya yang sedang tersedu.

"Bunda bohongin Ina. Bunda bilang, bunda gak akan bohong sama Ina, tapi kenapa bunda bohong sama Ina? Kenapa bunda?." Kata anak itu masih tersedu. Kedua tangannya yang putih pucat bergetar, merasa kedinginan.

Dina memperhatikan anak di sampingnya. Seluruh tubuhnya basah kuyub, rambutnya yang tergerai sepinggang terlihat lepek, kakinya menjuntai ke bawah tanpa alas kaki, bahkan Dina bisa melihat darah menetes di atas rerumputan. Matanya kembali menatap anak di sampingnya yang seolah tidak perduli dengan kondisi tubuhnya.

"Dina."

Kedua orang berbeda usia itu menoleh keasal suara, melihat anak kecil yang serupa dengan anak di samping Dina berjelan mendekat. Wajahnya terlihat khawatir dan merasa bersalah. Tanpa sadar Dina 'besar' mendecih melihat ekspresi anak itu.

Sedangkan Dina kecil hanya menatap orang yang semakin mendekat kearahnya dengan wajah sembab dan Raut kecewa, namun berusaha di tekan dalam-dalam. Memandang adik kembarnya sekilas, dan kembali menundukkan kapalanya, menatap dress bunga-bunga yang dia kenakan lebih menarik dari pada melihat kembarannya.

"Ayo kita pulang, Ayah cemas liat kamu tiba-tiba pergi gitu aja. Eyang juga khawatir sama kamu." Ucap anak itu berusaha membujuk sang kakak kembar untuk menuruti perkataanya.

Dina 'besar' mendengus jijik. Matanya menatap Dina 'kecil' yang sedang melirik adik kembarnya dengan pandangan tidak terbaca. Namun Dina 'besar' tau, teramat tau apa yang sedang berkecamuk di dalam benak Dina 'kecil' namun anak itu dengan sempurna menutupinya.

Berdiri, berjalan mendekati sang adik kembar, memberikan senyuman berwarna namun kelam saat bersaaan. Kepalanya mengangguk, menggandeng tangan sang adik kembar untuk berjalan beriringan.

Setelah kedua anak itu menghilang dari pandangannya, langit yang tadi terlihat hitam mendung berubah hitam gelap karena malam, rintik-rintik hujan yang tadi hadir bersamaan dengan anak itu menghilang.

Pandangan Dina masih tertuju di mana kedua anak itu menghilang. Dia baru menyadari satu hal, semenjak dia kecil, dia memang sudah memakai topeng. Memakainya untuk mengelabui semua orang kalau hidup yang dia jalani masih sesempurna saat bundanya masih hidup.

Tapi tidak ada yang tau, kalau gadis kecil itu mulai muak dengan sandiwaranya, dia mulai muak dengan kondisi yang terjadi pada sekitarnya, pada akhirnya dia memilih jalan pintas untuk meredamkan rasa muak dan jijiknya. Jalan pintas yang sudah lama tidak ia injak lagi semenjak bersahabat dengan ketiga sahabatnya. Jalan pintas yang seharusnya di larang keras untuk anak kecil seusianya. Jalan pintas yang mengenalkannya tentang gemerlap dunia malam, tentang hingar bingar dunia malam. Tentang seberapa bebasnya anak remaja.

Yah, club malam. Tidak masuk akal memang, tapi itulah yang di lakukan anak seusia 13 tahun untuk menghilangkan rasa jenuh, muak, jijik dan sebagainya. Dengan datang kedunia malam, anak kecil itu bisa melakukan apapun yang dia mau, melakukan sesuatu yang benar-benar fatal. Berciuman dengan orang yang tidak dia kenal. Bahkan, dia hampir saja melakukan one night stand kalau saja teman se-sengsaranya tidak menyelamatkannya yang sudah sangat mabuk.

Jangan tanyakan bagaimana bisa anak di bawah umur masuk Club malam, jawabannya sudah pasti karena menyogok kan? Memangnya apa lagi selain uang?.

Di balik sikap anggun dan cerianya, siapa yang tau kalau dia itu salah satu gadis yang sudah rusak? Perokok, peminum. Apalagi yang kurang?.

Kalau saja masa Orientasi Siswa/i atau saat MOS waktu SMA gadis itu tidak mengenal ketiga sahabatnya mungkin dia masih melakukan hal itu. Namun dia sudah berhenti, berhenti melakukan hal gila itu. Karena dia... dia sudah menemukan alasan untuknya hidup dengan benar.

Dina terkekeh mengingat masa lalunya yang memuakkan. Ya, semua masalalunya memang memuakkan, hanya segelintir dari beberapa orang yang membuat masalalunya tidak begitu menjijikan dan memuakkan. Ibundanya, sahabatnya dan teman se-sengsaranya yang sekarang entah dimana gadis itu berada. Orang yang lebih tua 7 tahun darinya.

Mengingat masalalu memang tidak ada habisnya, tidak akan pernah habis, bahkan saat kita tidak ingin mengingatnya dan berusaha membuangnya, namun masalalu itu tidak akan bisa di lepaskan. Kecuali kalau kita amnesia.

Gadis itu menghela nafas berat dan panjang. Tiba-tiba idenya menemukan solusi yang terbaik untuk masalahnya. Mungkin... dia akan kembali ke dunia malam dengan status dan keinginan yang berbeda.

Gadis itu mengangguk dan tersenyum cerah. Mengambil tas rancel yang di letakkan di atas rerumputan, berjalan semangat kearah asrama yang di huni ketiga sahabatnya. Berjalan melewati gerbang yang masih di buka, mengingat jam 8 gerbang asrama itu baru akan di tutup.

Langkahnya terhenti begitu saja melihat kepala sekolah berdiri di depan pintu asrama ketiga sahabatnya. Kedua tangan bu kepala sekolah terlipat di atas perut, matanya menatap Dina tajam yang sama sekali tidak mempengaruhi apapun.

Gadis itu kembali melangkah, berhenti di depan bu kepala sekolah, seakan menantang, namun wajahnya masih seberusaha mungkin untuk di perlihat sopan. Walau hatinya sedang mendengus jengkel.

Saat kita sudah terbiasa dengan topeng yang kita kenakan, topeng itu akan sendirinya menempel di wajah kita tanpa kita perlu mengingatnya. Karena topeng itu sendiri sudah merupakan sebagian hidup kita yang tidak akan hilang meski di depan ada badai topan yang sangat dahsyat. Topeng itulah yang selalu di sebut dengan MU-NA-FIK.

"Ibu dengar beberapa bulan ini kamu menginap di asrama ketiga sahabatmu, apa benar Dina?" tanya bu kepala sekolah dingin dan tajam. Ketiga sahabat Dina –Bilal, Visa, Aura- sudah merasa sangat ketakutan.

Dina mengangguk dengan kepala menunduk sejak tadi. Mungkin di luar dia terlihat seperti ketiga sahabatnya, -ketakutan- tapi dalam hati gadis itu hanya mendengus. Sudah tau kemana arah pembicaraan ini sejak melihat bu kepala sekolah berdiri di depan pintu. Gadis itu tersenyum mencemooh yang tidak di ketahui siapapun. Siapapun. Bahkan ketiga sahabatnya pun sama. Dia... Dina yang asli. Dina yang sebenarnya. Dina yang terbentuk karena perbuatan ayah dan keluarganya. Atau yang sebenernya, Dina palsu? Entahlah. Tidak ada yang tau mana sifat asli gadis itu.

Hanya satu yang perlu kalian tau. Saat Dina bersama ketiga sahabatnyalah yang membuat sisi Dina sesungguhnya muncul dengan sendirinya, tanpa kepuraan. Ketiga sahabatnya, bukan keluarganya. Mengenaskan.

"Saya sudah akan keluar dari sini Bu. Ibu tidak perlu khawatir, dan jangan hukum ketiga sahabat saya. Saya yang memaksa mereka untuk mengijinkan saya tinggal di sini untuk sementara. Tapi ini terakhir kalinya saya disini." Kata Dina tegas, mendongak, menatap bu kepala sekolah dengan pandangan yang sulit untuk di artikan semua orang. Bahkan ketiga sahabatnya sendiripun merasakan hal demikian.

Bu kepala sekolah menghela nafas dan mengangguk, "Saya pegang kata-kata kamu, Din." Kata bu kepala sekolah melenggang pergi, membiarkan Dina yang mendengus dalam batinnya.

Kepalanya menoleh kearah ketiga sahabatnya dan tersenyum lima jari. Ketiga orang itu hanya mendengus namun detik berikutnya ikut tersenyum, meski tidak selebar Dina.

Keempat orang itu masuk kedalam kamar asrama, membiarkan orang-orang yang tadi menonton pertunjukan menghela nafas dan masuk kedalam kamar masing-masing.

"Loe bisa jelasin ke kita apa maksud perkataan loe tadi, Din?" tanya Visa duduk di ranjang Bilal, menatap Dina yang duduk di ranjangnya dengandi apit kedua sahabatnya -Bilal di samping kanan Dina, Aura di samping kanan Dina-

Aura dan Bilal mengangguk, membenarkan apa yang di katakan Visa. Mereka bertiga juga heran dengan perkataan Dina. Kalau Dina keluar dari asrama ini, gadis itu mau tidur di mana? Tidak mungkin Dina kembali ke rumah ayahnya kan? Oh ayolah, berteman dengan Dina selama hampir 3 tahun itu cukup membuatnya tau sifat dan watak sahabat mereka satu ini.

Dina salah satu manusia yang mempunyai gengsi melebihi langit ke tujuh. Jadi... mana mungkin Dina kembali ke rumah itu? Sedangkan dia yakin, kalau hati Dina itu penuh dendam untuk keluarganya. Meski gadis itu tidak pernah mengatakan apapun. Walau begitu, Dina tetaplah Dina. Dia gadis yang baik sebenarnya. Butuh satu buku tebal untuk mendeskripsikan dan memberi tau watak Dina yang selalu berubah-rubah.

Dina tersenyum, senyuman yang selalu di berikan gadis itu untuk semua orang, tidak untuk mereka –sahabatnya-, senyuman yang terlihat berwarna namun kelam. Senyuman yang sangat di benci ketiga orang itu.

"Hey! Hentikan senyuman bodoh loe itu. Mata gua bisa buta kalo sekali lagi tersenyum kayak gitu." Kata Bilal ketus.

Dina mendengus geli dan tersenyum manis, senyuman yang menenangkan. Kini Bilal ikut tersenyum dibuatnya.

"Gua...sebenernya gua juga gak tau mau tinggal dimana. Tadi gua hanya asal nyeplos aja. Well... gua kesini bukan mau bahas ini. Okey? Gua mau pergi lagi ke club malam-"

"APA?" teriak kompak ketiga gadis di salah satu kamar asrama yang mampu mendengingkan telinga Dina untuk sesaat.

Gadis itu mendesis. Mendelik jengkel. "Gua belum selesei ngomong." Katanya sebal. Ketiga gadis itu kembali mengatupkan bibirnya yang sudah ingin mencaci maki dan memberi ceramah untuk Dina. Namun di urungkan untuk sesaat. "gua bakal ngelamar kerja di sana. Loe pada taukan kalau gua lagi butuh banget sama yang namanya money. Gua juga harus kuliah, makanya gua mau kerja di club malam. Tenang aja, gua gak bakalan kenapa-kenapa kok. Gua kan udah sering ke sana dulu." Kata gadis itu tanpa membiarkan ketiga sahabatnya untuk memotong perkataanya.

Ketiga gadis itu terdiam, menatap Dina serius, berharap ucapan yang baru saja terucap itu hanya sebuah bohongan seperti dulu untuk mengerjai mereka, Tapi kali ini berbeda, Dina kembali menatap mereka dengan pandangan tak kalah serius. Menegaskan apa yang baru saja dia ucapkan itu sebuah kenyataan. Dia sama sekali tidak ada niatan untuk menggoda atau apapun kali ini.

Aura mendesah lelah. "Tapi kenapa Din? Loe kan bisa nyari pekerjaan lain, kenapa harus tempat terkutuk itu lagi? Loe bilang, loe gak akan nginjekin kaki loe disana lagikan? Loe mau ngingkarin janji loe sama kita-kita?" tanya Aura menatap Dina kecewa yang di balas anggukan sama kedua sahabatnya. Mereka juga sama kecewanya.

Dina mendesah. "Gua kesana untuk kerja, Ra, bukan untuk main-main seperti dulu. Gua butuh uang buat hidup. Gu—"

"Loe bisa ngandelin kita tanpa perlu kerja, Din. Emangnya loe nganggep kita apaan, hah?" tanya Visa terpancing emosi mendengar perkataan sahabatnya yang seolah dia itu tidak memiliki siapapun untuk menunjang kehidupannya.

Dina kembali mendesah, tangannya memijit pangkal hidungnya yang berdenyut. Perdebatan ini bakal alot seperti kemaren waktu dia memutuskan untuk bekerja. Sumpah. Berdebat dengan ketiga sahabatnya itu sesuatu hal yang menjengkelkan. Apalagi mereka bertiga, sedangkan dia hanya satu orang tanpa bantuan. Benar-benar menjengkelkan.

"Please, kita udah bahas soal ini kemaren Visa." Kata Dina jengkel.

Visa mendesis.

"Kita emang udah bahas ini kemaren, tapi loe gak bilang bakal kerja di club malam sialan itu, Dina." Kata Bilal tak kalah jengkel. Matanya menatap Dina sengit.

Gadis itu hanya mampu mendesah. "Gua tau tempat itu gak aman buat gua. Gua tau, gua teramat tau. Tapi gak ada jalan lain lagi Bil. Semua orang yang nyari karyawan itu menginginkan anak yang sudah lulus SMA."

"Kalau gitu, loe gak perlu kerja. Toh ada kita. Kita selalu ada buat loe Din, kita---"

"Cukup Aura! Loe kira gua selemah itu? Loe kira gua setega itu? Kalian bertiga itu masih meminta uang sama orang tua kalian. Kalian masih butuh dukungan dana dari mereka. Apa loe pikir gua tega ngambil uang kalian, hah?! Kita emang sahabat, tapi gak gini. Gak gini! Gua seneng kalian perhatian sama gua, gua seneng banget. Tapi gua gak mau nyusahin kalian lebih dari ini. Kalian masih pelajar. Kalian pasti membutuhkan uang banyak untuk keperluan sekolah dan tetek bengek lainnya. Gua merasa cukup untuk nyusahin kalian. Cukup!" kata Dina lirih, air mata jatuh dari pelupuk matanya. Pada akhirnya dia memberikan informasi yang sama untuk ketiga sahabatnya, informasi yang membuat ketiga sahabatnya bungkam waktu itu. Yah waktu itu.

"Tapi gua gak pernah ngerasain loe ngerepotin Din. Gua udah nganggep loe keluarga. Gua udah nganggep loe sebagai sahabat dan adik gua. Apa gua salah bantu salah satu keluarga gua? Gak kan?!"

Kali ini Dina yang terdiam mendengar perkataan Aura. Gadis itu merasa tertohok dengan ucapan Aura. Menghapus air mata yang tadi jatuh, perlahan mendongak, menatap Aura, Bilal dan Visa secara bergantian yang menampilkan ekspresi sama. Kecewa.

Gadis itu mendesah. "Apa kalian ngebiarin gua bermanja uang orang lain? Visa, Bilal, Aura. Kalian juga udah gua anggep saudara gua sendiri, udah gua anggep kakak, sahabat dan adik gua sendiri. Tapi gua gak mau jadi benalu yang hanya bisa bergantung sama orang lain. Mau jadi apa gua kalau terus bergantung sama kalian? Apa kehidupan gua bisa cerah kalau gua terus bergantung sama orang lain? Oh ayolah! Hidup ini gak ada yang bisa jamin apa yang terjadi esok, guys." Kata Dina kembali membungkam mereka. Dalam benak membenarkan apa yang di katakan Dina. Tapi... bekerja di club malam?.

"Tapi Din, kenapa harus club malam?" tanya Bilal tak habis pikir sama otak salah satu sahabatnya yang membuatnya gemes, ingin mengobrak-ngobrak otak sahabatnya yang kata orang jenius, mencari tau apa penyebab yang membuat sahabatnya berubah menjadi lebih keras kepala dari kemaren.

Dina mendesah. "Emang apalagi yang bisa di lakuin sama orang yang bahkan SMA aja belum tamat?!." Kata Dina mendengus sebal. "jadi tukang bangunan aja pake ijazah, apalagi ini." Sambungnya semakin sinis.

Bilal menahan hasratnya untuk mengacak-ngacak rambut Dina dengan geram mendengar perkataan sahabatnya.

Visa menghela nafas berat, matanya menatap Dina, mencari sesuatu tentang keputusan apa yang akan ia ambil kali ini. Matanya menejam untuk beberapa saat, berpikir dengan tenang tanpa memperdulikan kedua sahabatnya yang masih sibuk berdebat dengan Dina tentang keputusan konyol gadis itu.

Matanya kembali terbuka saat keputusan sudah ia dapatkan. Matanya menatap Dina lurus yang sedang menghela nafas jengkel. Merasa frustasi dengan kedua sahabatnya yang selalu memotong perkataanya agar membatalkan keinginannya.

"Loe boleh kerja di club asal loe janji gak akan minum apalagi mabuk. Ngerti?!" kata Visa membuat Bilal dan Aura melotot tidak percaya, sedangkan Dina terpekik senang, menubrukkan tubuhnya ke tubuh Visa membuat mereka terjatuh ke atas ranjang Bilal.

"Apa gua gak salah denger, Vis? Loe ngijinin dia kerja di club malam itu? Loe taukan seberapa bahayanya tempat itu?" tanya Bilal mencoba membujuk Visa untuk kembali menarik keputusannya yang tidak masuk akal.

Visa tersenyum tipis, bangun dari tidurnya akibat Dina –begitu pula Dina- memandang kedua sahabatnya yang menatapnya penuh dengan ketidak percayaan.

"Gua tau. Tapi Dina benar, dia gak mungkin selalu bergantung sama kita saat kita sendiri masih bergantung sama orang tua kita. Jadi gua rasa, Dina mengambil keputusan yang benar kali ini."

Aura membuka mulutnya tidak percaya, ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada satupun kata yang mampu keluar dari bibirnya. Gadis itu menghela nafas lelah. Bingung mau menimpali apa perkataan Visa.

"Itu gua juga ngerti Vis. Permasalahannya, ini club malam, club malam. Loe tau sendiri club malam itu kayak gimana, kan? Dan loe juga pasti masih inget tentang janji bocah itu untuk berhenti ke sana, meninggalkannya semua masalalunya dan hidup baru dengan kita. Apa loe lupa? Dan loe tiba-tiba ngijinin dia untuk pergi ke sana? Loe kerasukan Jin apa sih, hah?!"

Visa menghela nafas lelah. Berdebat dengan Bilal adalah sesuatu yang sedikit menjengkelkan, mengingat kepala gadis itu jauh lebih keras darinya apalagi Dina.

"Gua tau Bil, gua juga masih inget sama janji Dina waktu itu. Tapi ini kondisinya berbeda, dia kesana bukan untuk merusak dirinya sendiri, tapi---"

"Sama aja Vis, dia sama-sama masuk ke sana. Loe ngerti gak sih?!"

Visa mendengus sebal. Menahan diri untuk tidak menggetok kepala salah satu sahabatnya agar menyetujui Perkataanya.

"Guys. Biarin Dina untuk lebih dewasa. Dia gak mungkin selalu bergantung sama kita. Bener apa yang di katakan Dina, kita masih SMA, banyak hal yang harus kita urus dan point pentingnya, kita masih minta uang sama bonyok kita. Loe bayangin kalo jadi Dina, apa yang bakal loe lakuin kalo jadi dia? Gua yakin, kalian pasti akan milih jalan yang sama." Kata Visa tegas, menatap Bilal tajam.

Bilal mendudukkan kepalanya, mengrenyitkan alis pertanda dia masih belum bisa menerima keputusan Visa begitu saja.

Tidak masalah, toh Visa yakin, ada dan tanpa restu mereka, Dina pasti akan ngelakuin hal yang sama, dan berakhir gadis itu membohongi mereka. Tentu dia lebih memilih merestui daripada di bohongi sama Dina. Karena dia tau, Dina hanya mempunyai mereka untuk berkeluh kesah. Kalau Dina sampai membohongi mereka, kemana lagi tempat gadis itu untuk berkeluh kesah? Bisa jadi gadis itu akan kembali seperti dulu.

Helaan nafas lelah keluar dari bibir Bilal, menyetakkan Visa dari jalan pemikirannya sendiri. "Okay, tapi loe janji Din, loe gak akan minum-minuman itu lagi?"

Dina mengangguk dan tersenyum manis. Kepalanya menoleh kearah Aura dengan alis terangkat satu, menunggu persetujuan gadis itu.

Aura mendengus jengkel. Apa boleh buat?. "Emang apa yang bisa gua lakuin kalo mereka berdua udah setuju?" tanyanya jengkel.

Dina terkekeh, berganti memeluk Aura yang sedang mengerucutkan bibirnya sebal, meski begitu, Aura membalas pelukan Dina tak kalah erat, membuat Dina semakin melebarkan senyumnya.

Dina tau, ketiga sahabatnya tidak mungkin bilang 'tidak' saat dia mempunyai alasan pasti kenapa dia memilih jalan ini, meski harus melewati perdebatan yang cukup membakar emosi. Berbeda dengan keluarganya yang langsung menentang perkataanya saat dia ingin melakukan sesuatu, padahal dia belum mengatakan kenapa dia melakukan hal itu. Tanpa sadar salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas, menyeringai.

.

Udara dingin sangat menusuk malam ini, di eratkannya jaket pemberian Bilal minggu lalu –khusus untuknya-. Kepalanya menatap riasi bintang di angkasa dengan tatapan kosong, sesekali helaan nafas lelah keluar dari belahan bibirnya. Dia membenci hidupnya, sangat membenci hidupnya.

Matanya menatap trotoar yang sepi. Sekarang dia berada di taman yang tidak terlalu jauh dari asrama putri dan sekolahnya, matanya menatap jam tangan di pergelangan tangannya –pemberian Visa- beberapa minggu lalu serta beberapa baju. Dia terlihat dan terdengar orang yang sangat mengenaskan saat ini. Dia baru menyadari betapa pentingnya barang yang selalu di cari orang. Uang.

Jarum jam yang pendek menunjuk angka 11 sedangkan yang panjang menunjuk angka 12. Helaan nafas berat keluar lagi dari bibirnya, kakinya menyentuh tanah, mendorong tubuhnya kebelakang dan segera mengangkat kakinya, membiarkan ayunan mengombang-ambingkan tubuhnya. Merasa kurang puas dengan kecepatan yang sekarang, dengan tidak sabar kakinya menyentuh tanah, membuat ayunan yang di duduki semakin melaju kencang.

Entah sudah berapa lama dia bermain dengan ayunan, suara klontang yang berasal dari kaleng habis di tendang menhentikan kegeitannya. Kepalanya menoleh kekiri dan kekanan, menatap jalan yang sepi. Alisnya berkerut.

Dengan pelan –berusaha tidak menimbulkan suara- Dina berjalan ke kiri, tangannya menyentuh dinding bangunan rumah di sebelah taman, kepalanya menyambul di samping dinding, menatap ujung trotoar yang sepi. Matanya sedikit memincing, ingin memastikan bayangan hitam yang tidak jauh darinya.

Seseorang berjalan sendirian di tengah kegelapan, lampu remang-remang yang berasal dari bohlam tidak begitu membantu mata Dina untuk melihat siapa orang yang berjalan di sana. Pria kah? Wanita kah? Atau dua-duanya? Alias waria?.

Suara sinis yang sedikit berithone dan basah membantu Dina untuk menyimpulkan siapa orang yang sedang berjalan dengan lunglai itu.

"Sialan! Mereka kira mereka siapa, hah?! Beraninya main keroyokan. Aisshh." Desisan kesakitan di campur kegeraman di kata pria itu membuat Dina menghela nafas berat.

Tanpa berniat beranjak dari tampat persembunyianya, gadis itu menundukkan tubuhnya di samping dinding dengan punggung menempel di dinding, matanya terpejam.

Perkataan pria tadi membuatnya kembali mengenang waktu dia merasa sangat sakit saat Reksa dan Dira jadian. Senyum sinis terukir di bibirnya dengan sendirinya.

Dia masih ingat betul waktu itu, Saat dia berjalan sendirian di trotoar yang sepi, dan kemudian di hadang oleh 5 preman pecundang dan menjengkelkan. Kalau saja sudut matanya tidak menangkap siluet seseorang yang sedang berdiri di balkon kamar salah satu rumah di sana, dia yakin sangat yakin kalau dia pasti sudah membabat habis 5 preman tidak tau diri itu. Namun karena waktu itu dia masih mengenakan topeng gadis lemah membuatnya harus berakting sedemikian rupa. Meski pada akhirnya dia sama sekali tidak menyesal telah berakting menjijikan seperti itu. Nyatanya dia bisa melihat sisi Dodit yang lainnya.

Senyuman yang tadi awalnya sinis berubah menjadi lembut. Dodit. Pemuda yang selalu membuatnya jengkel dan kini menjadi temannya itu seseorang yang ternyata begitu halus dan lembut. Terbukti saat dia main kerumah pemuda itu.

"Sialan, bener-bener sialan. Kalo bukan karena Vira, gua pasti udah ngabisin tuh orang. Aarrgghhh!" makinya menonjok dinding di depannya, yang di sebelah dinding ada Dira, membuat gadis itu tersentak kaget.

Lelaki yang masih memakai seragam kantor lengkap itu mendudukkan dirinya dengan punggung menempel di dinding yang dingin, kedua kakinya tertekuk, kepalanya menunduk dalam, beberapa memar nampak di wajah tampan sang pria.

"Orang tua sialan. Apa mau mereka sebenernya? Seenaknya main jodohin orang gitu aja?!" gumam lelaki itu lagi. Nada geram dan kecewa mendominasi suaranya tanpa menyadari kalau ada Dina yang mendengar perkataanya.

"Orang tua sialan?" gumam Dina dengan seringai di bibirnya. Otaknya kembali memutar saat dia di abaikan oleh orang tua Reksa, waktu dia pertama kalinya ikut makan di rumah itu.

Dia masih ingat jelas waktu semua makanan di meja makan. Tanpa ada yang menyadari siapapun, Dina mendengus jijik saat melihat semua ikan di atas meja, terlebih saat mereka semua –sang pemilik rumah- mengacuhkannya, memilih berbicara dengan Dira.

Tidak ada yang mengetahui kalau gadis itu mengacak-ngacak makanannya dengan emosi sebelum memasukkan kedalam mulut, namun gadis itu dengan sempurna menutupi rasa enggan, muak dan jijiknya di sana dengan senyuman tipis saat melihat mereka semua tertawa.

Dan saat dia pulang dari rumah Reksa waktu mau mengambil barang kesangannya. Gadis itu melirik sinis Rahma yang menatap punggungnya sendu, senyuman puas hadir di wajahnya. Meski begitu, hatinya tetap merasa berontak dengan apa yang baru saja dia lakukan.

Mungkin benar kata Reksa, kalau hatinya tetap sama, meski dia sudah seberusaha maksimal untuk membenci mereka. Tapi sebagian sudut hatinya merasa terluka akan tindakannya.

Reksa? Berbicara soal Reksa, gadis itu merasa muak dengan pemuda itu. Muak sangat muak saat Reksa lebih memilih jalan bersama Dira daripada mengerjakan tugas dengannya. Selama perjalanan yang dia lakukan, hatinya selalu memaki dan menyupah serapahi pemuda itu.

Dan saat waktu akan mengumpulkan tugasnya, matanya melirik Reksa nyalang, penuh dengan dendam dan rasa muak yang terlalu berlebihan. Meski begitu, entah kenapa hatinya masih mencintai pemuda itu. Di sela rasa muak, enggan dan jijik yang menderanya.

"Hey bocah, gak baik nguping perkataan orang." Kata seseorang membuyarkan semua kemelut di benaknya.

Kepalanya menoleh ke kanan, melihat celana kain yang tertangkap di indranya, mendongak, menatap orang yang berdiri menjulang di depannya.

Dengusan sebal keluar dari bibirnya. "Sory, gua gak merasa lagi nguping perkataan orang. Gua sejak tadi emang udah di sini, loe aja yang marah-marah gak jelas kayak orang gila." Sahutnya cuek, kembali menutup matanya, tidak perduli dengan lelaki di sampingnya yang sedang menahan kegeraman.

.

"Ayah, mana Dina?" tanya gadis yang baru saja sampai di rumahnya menanyakan keberadaan sang kakak begitu saja, tanpa memperdulikan kekasihnya yang tertinggal di belakang.

Orang yangdi panggil ayah mendongak, menatap anak kesayangannya dengan senyuman lembut, melipat koran dan meletakkan di meja. 

"Ada di kamar, sepertinya dia mau mengambil barang," jawaban yang di beri lelaki itu seketika membuat gadis yang mirip dengan Dina menundukkan kepalanya lesu.

Kakinya berjalan ke arah sofa, duduk di sana dengan pikiran bercabang entah kemana.

"Apa Dina gak mau tinggal di rumah kita lagi, ayah?" tanya gadis yang menguncir rambutnya kebelakang setengah dan membiarkan yang bawah tergerai, tanpa tenaga. Dia merasa menjadi adik yang sangat buruk. Setelah merebut orang yang di cintai kakaknya kini kakaknya harus keluar dari rumah ini, dan alasan yang membuat kakaknya keluar karenanya. Karena dirinya.

Bramono mengelus rambut anak kesayangannya lembut. "Dia akan pulang, dia akan kembali menjadi kakakmu selama ini. Kamu hanya perlu bersabar, kakakmu hanya butuh sendiri untuk beberapa waktu, sayang. tapi bukan berarti dia akan pergi dari rumah ini untuk selamanya. Kamu taukan, kalau kita keluarga satu-satunya yang dia miliki sekarang? Heum?!"

Dira menghembuskan nafas lelah. Kalau saja semuanya masih seperti dulu, mungkin, dia tidak akan bertengkar dengan kakaknya seperti ini. Mungkin kakaknya akan selalu menjadi kakaknya seperti dulu, yang menyayanginya, melindunginya. Apapun yang terjadi. Bukan seperti sekarang.

Kalau dia boleh memilih, dia juga tidak ingin merebut semua perhatian orang, dia sadar kalau kakaknya merasa kesepian dan sakit selama ini. Tapi dia bisa apa? Bukan dia yang ingin merebut semua perhatian seluruh keluarganya atau siapapun. Bukan! Dia bahkan merasa sangat buruk saat melihat kakaknya terasingkan karena dirinya. Andai kakaknya mau bersabar sedikit, dia pasti akan bertindak untuk menghentikan semua orang yang mengabaiakan kakaknya.

Tapi yang dia maksud. Sabar sedikit, itu sangatlah salah. Karena selama ini, kakaknya selalu bersabar, sampai akhirnya kesabarannya meledak, bahkan topeng yang selalu di pakai kakaknya tidak bisa menghentikan ledakan itu.

Reksa yang mendengar perkataan Bramono dengan cepat berlari kearah tangga, membiarkan Dira menatap punggungnya dengan heran.

Reksa berjalan tergesa menaiki tangga. Beberapa menit yang lalu, saat dia masih belajar mengerjakan PR, tiba-tiba saja handphone kekasihnya berbunyi, yang memberi tau kalau Dina pulang, dan mereka memutuskan untuk menyelesaikan mengerjakan PR meski PR-nya belum selesai dengan sempurna.

Bagaimana?Apakah ada yang shock dengan sifat Dina? Dan apakalian sudah tau sifatDina yang asli atau yang gak? Well... itu bukan persoalan yang mudah, karenamasih ada sifat Dina yang belum terungkap banyak. Alias, masih banyak topengyang di pakai gadis kita ini. Dan bukan hanya Dina yang memakai topeng. Dan siapa-siapa yang memakai Topeng, nanti akan terungkap seiring berjalannya update-an. wkwkwkwk. #nyengir

Abaikan Judul di atas yang nyeleneh. sebenernya sih mau kasih judul 'Masalalu yang memuakkan' tapi kurang cocok sama isinya. jadi judulnya ganti. wkwkwkw. #authorlabil

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top