Episode 6 - Hidup Baru.

episode 5-nya itu di prolog ya, alias Prolog + Episode 5, dari pada kalian bingung. XD

Setelah seminggu aku menginap di asrama ketiga sahabatku, tanpa melakukan aktifitas yang berarti. Kini aku harus bangkit untuk kembali ke sekolah kalau tidak ingin beasiswaku tercabut begitu saja. Kalau beasiswaku di cabut, aku tidak tau harus melakukan apa.

"Loe yakin mau sekolah? Keadaan loe belum sembuh bener Din, tanganku loe aja masih sering ngeluarin darah, gimana loe mau nyatet pelajaran?" tanya Aura menatapku dengan pandangan khawatir.

Tanpa meperdulikan ucapannya, ku tatap bayanganku di kaca. Baju milik Bilal yang sedikit kedodiran karena tubuh gadis itu lebih tinggi dariku. Rasanya aku ingin terbahak sekarang.

"Tenang aja, gua hanya absen kok. Gua hanya ingin beasiswa gua gak ke cabut. Loe kan tau kalau sekarang gua gak punya uang sepeserpun."

Decakan sebal terdengar keluar dari mulut Bilal yang sedang menyender di pintu asrama.

"Loe kan bisa ngasih surat kayak minggu lalu."

Tubuhku berbalik, menatap ketiga sahabatku yang terlihat kesal dengan keputusanku. "Surat aja itu gak cukup, pihak sekolah ingin surat dari dokter. Dan gua dapat uang dari mana buat ke dokter? Udahlah. Gak perlu ada yang di cemasin, ok? Gua gak papa kok."

Decakan sebal ke luar dari bibir mereka semua. Aku hanya tersenyum manis, mengambil rancel yang tergelantung. Noda darah yang kemaren ada di sana sudah menghilang, dan baunya sangat harum. Pasti salah satu dari mereka bertiga membawanya ke loundri.

Mencangklongkan perlahan kepundak, tidak ingin membuat luka dalam di kedua tanganku kembali membuka dan berakhir mengalirkan darah. Kalau sudah begitu pasti ketiga sahabatku ini bakal panik dan menyuruhku tiduran, yang berakhir tidak jadi berangkat sekolah.

"Gua udah siap nih. Loe pada sekolah gak?" tanyaku menatap ketiga sahabatku yang sedang menghembuskan nafas lelah. Mungkin mereka frustasi dengan sifat keras kepalaku.

"Ayo. Tapi janji ya, jangan nulis. Nanti buku loe gua aja yang nyalinin." Kata Visa berdiri dari kursi depan meja belajar, merangkul lenganku dengan senyuman lebar.

"Iya. Gua gak akan nulis di buku," kataku mengiyakan apa yang di inginkan mereka. Tapi kalau di papan tulis, tidak ada yang ngelarangkan?.

"Ayo," kata Bilal membuka pintu dan kita melangkah beriringan. Seperti biasa, Bilal yang lebih mendomini pembicaraan dari pada yang lain. Gadis itu seperti punya 10 bibir.

Kita terus berjalan ke arah sekolah yang pasti sekarang sudah ramai. Aku sudah tidak sabar untuk menjalakan misi pertama. Misi menghancurkan topeng dan kepura-puraanku. Tidak ada Dina yang dulu. Dina yang selalu terlihat ceria apapun keadaanya. Yang ada hanya Dina yang sekarang. Dina yang menyimpan dendam dan kebencian sepenuh hatinya. Dina dengan hidupnya yang baru. Dina dengan sifatnya yang baru. Dina dengan jalan pikiran yang baru.

Saat aku sampai di kelasku, -di lantai 1- semua anak yang tadi berisik langsung terdiam. Menatapku selayaknya aku ini orang gila tanpa busana.

"Apa?" tanyaku bingung. Menatap semua orang yang diam membisu.

Salah satu dari mereka –Nara- berjalan menghampiriku, tangannya mengambil kedua tanganku dan melihatnya seksama.

"Kayaknya masih basah deh, loe yakin bisa nulis pelajaran?" tanyanya menatapku memincing.

Aku tersenyum manis, menarik kedua tanganku dari genggamannya. "Gua hanya absen doang, gak enak kalo kelamaan di rumah, gak ada yang bisa di kerjain. Mereka semua ngelarang gua ngelakuin apapun." Kataku mengrucutkan bibir.

Nara menyentil keningku membuatku meringis. Berdecak kesal, melewatinya begitu saja dan duduk di bangkuku dengan tenang. Sedangkan ketiga sahabatku berbicara dengan Nara, entah mereka mengobrolkan apa.

Sedikit risih mendapat dua pandangan dari orang berbeda. Tapi aku mencoba mengacuhkannya. Mungkin kalo aku masih memegang hp, aku akan mendengarkan musik di airphone, namun hpku sudah kukembalikan ke sang pemilik yang asli. Sudah kukatakan kalau aku ini bukan anaknya, jadi aku tidak berhak membawa barang pemberiannya, meski itu termasuk Hp, laptop dan sebagainya. Aku sudah memutuskan untuk pergi dari sana.

Saat aku lahir, aku tidak memakai apapun, dan begitu juga sekarang. Saat aku tidak lagi anaknya, aku tidak berhak membawa apapun, termasuk baju. Dan seragam sekolah yang kemaren ku pakai, sudah kupaketkan ke rumah, meski baju itu tidak di cuci, dan noda darah masih ada di sana. Siapa yang perduli soal itu? Palingan juga bajunya di buang.

Mau di buang atau tidak, itu bukan urusanku. Yang terpenting di tubuhku tidak lagi melekat apapun yang bersangkut paut dengan mereka. Dan untuk tas yang ku bawa, tas ini hadiah dari Bilal waktu aku ulang tahun ke 16 tahun ke maren. Converse yang kupakai hadiah dari Visa, sedangkan airphone yang ada di asrama pemberian Aura. Lihatkan sekarang, betapa mengenaskannya diriku?.

Tapi tidak apa. Aku jauh lebih bahagia sekarang dari pada dulu yang hanya di caci dan di abaikan. Oh siapa juga yang betah di perlakukan seperti itu? Maaf-maaf saja, bahkan malaikat juga mempunyai batas kesabaran, kenapa aku tidak boleh?.

Mungkin nanti aku kan ke rumah tante Rahma, mengambil boneka pemberian Bunda dan novel serta komik pemberian ketiga sahabatku. Aku akan menjaga benda-benda itu sebaik aku menjaga nyawaku sendiri.

"Hey, kemaren gua nelphone loe kok gak di angkat, kenapa?."

Kepalaku mendongak, menatap Dodit yang berdiri berkacak pinggang. Bibirnya cemberut.

"Gua gak punya HP." Kataku acuh, kembali menatap halaman belakang. Sebenarnya aku ingin bertopang dagu seperti biasanya. Tapi tanganku yang masih luka membuatku tidak bisa melakukan pose kesayanganku itu.

"Gak punya HP? Jangan bercanda!" dia terdengar sangat tidak mempercayai perkataanku. 

"Gua gak punya semua fasilitas yang dulu. Semuanya udah gua balikin ke yang punya uang. Gua sekarang bukan Dinandra yang dulu, Dit. Sebelum gua nendang 'pare' loe, mending loe jauh-jauh dari gua." Kataku acuh. Tidak perduli perkataan pedas yang keluar dari bibirku. Sudah ku katakan kalau aku akan berubah. Berubah menjadi seseorang yang baru.

"Loe kenapa sih? Masalah loe belum selesai ya?"

"No." kataku menggeleng masih menatap halaman belakang. "masalah gua udah selese kok. Udah selese semuanya, sampe rasanya gua ingin terbang saking bahagianya." Sambungku acuh.

"Terus kenapa nada bicara loe kasar gitu? Oh Ayolah Din. Loe itu gak cocok kayak gini. Loe itu cocoknya jadi cewek yang periang, bermulut manis, suka ketawa, ramah sama siapapun."

Aku mendesis sinis, menatap Dodit nyalang. "Dan setelah gua bersikap kayak gitu, gunanya di gua apa? Gak ada gunannya bersikap kayak gitu. Semuanya hanya munafik." Kataku dan tertawa sinis. Tidak perduli semua orang yang kini menatapku terkejut. "Dina yang dulu itu udah mati. Mati. Mati. Loe tau kan artinya mati? Udah gak ada. Yang ada Dina sekarang." Sambungku sengit. Mendorong kursi kebelakang, berjalan melewati Dodit begitu saja yang tercengang.

"Dina. Loe gak perlu kayak gini. Kita bisa nyelesaiin baik-baik kan dek? Loe gak perlu bersifat kayak gini." Kata seseorang berdiri di hadapanku, menghadang jalanku.

Kulipat kedua tanganku di depan dada. "Dek?" tanyaku mencemooh. Mendengus jijik. "loe lupa apa gimana? Bokap loe udah ngebuang gua, yang artinya gua bukan lagi sodara loe. Gua yatim piatu tanpa kerabat. Yang gua punya hanya sahabat gua. Dan gua jamin, kalo mereka gak akan buang gua. Dan mereka gak akan nyembunyiin rahasia yang sangat besar dan menjijikan di belakang gua. Mending loe pergi deh, sebelum gua muntah liat wajah loe."

Mulutnya sukses menganga. Dan aku tersenyum sinis. Mengangkat dagu tinggi-tinggi. Menabrak tubuhnya kasar membuatnya jatuh terduduk. Tanpa memperdulikan siapapun. Aku kembali melangkah keluar kelas. 

Rasanya sangat bahagia. Aku sangat bahagia. Seharusnya aku melakukan ini dari dulu. Tidak perlu bersikap sok baik yang menjijikan seperti itu. Rasanya aku benar-benar lega.

Duduk dengan tenang di ayunan, halaman belakang sekolah yang sangat asri, menikmati hembusan angin yang menerpa tubuhku, halaman ini benar-benar sepi, tidak ada siapapun kecuali aku.

"Loe bahagia Din?" tanya Bilal menatapku dengan tajam, kedua tangannya terlipat di depan dada.

"Banget," jawabku mantab, menatap langit biru yang terlihat lebih indah dari biasanya.

"Gak gini caranya Din. Gua tau loe kecewa, tapi loe gak perlu berbicara kayak tadi kan? Tindakan loe itu salah Din. Loe tau kan? Kita semua sayang sama loe. Apa itu gak cukup buat ngobatin hati loe? Kalo loe kayak tadi, loe bukannya terlihat bahagia, tapi terlihat mengenaskan. Kalo loe ingin balas dendam sama mereka, balas dendam dengan cara yang baik." Kata Visa berjalan ke arahku, duduk di ayunan sebelahku dan mengayun-ngayunkan kakinya.

"Maksud loe?" tanyaku tidak habis pikir sama perkataan Visa. 

"Maksudnya Visa. Kalo loe mau buat mereka menderita, gak kayak gini. Gua dan mereka berdua juga udah empet sama kelakuan keluarga loe selama ini, cuman kita diem aja. Karena kita pikir semuanya akan baik-baik aja. Tapi melihat keadaan loe yang kemaren, kita semakin empet sama mereka. Jad---"

"Gak perlu panjang lebar Aura. Kita gak lagi mau dengerin khotbah loe." Celetuk Bilal yang terdengar geram. Aku terkekeh mendengar celetukan Bilal, sedangkan Aura mengerucutkan bibirnya, kedua tangannya terlipat, wajahnya menoleh ke kiri, pertanda dia merajuk. Seolah tidak perduli, Bilal kembali melanjutkan "Bahagia. Kalo loe bahagia, loe bisa ngelukain mereka dengan talak. Kalo loe bahagia tanpa mereka, loe bisa nunjukin ke mereka, kalo loe bisa hidup jauh lebih bahagia dari mereka. Dan kalo loe bahagia serta ramah di depan semua orang kecuali mereka, mereka akan merasakan sakit yang lebih dalam dari pada sifat loe yang seperti ini. Paham?!"

Keningku mengkerut, mencerna perkataan Bilal. "Maksud kalian. Gua hanya perlu bahagia dan ramah ke semua orang, tapi sama mereka gua harus dingin, gitu?" tanyaku mencoba menyakinkan inti yang masuk ke dalam otakku.

Mereka bertiga mengangguk. "Cakep. Pinter banget sih temen gua yang satu ini." Kata Aura mengacak-ngacak rambutku yang tergerai. Sedangkan mendengus karena ulahnya.

Mereka benar. Aku akan melakukan hal yang seperti mereka inginkan. Benar kan perkataanku, aku tidak butuh keluarga. Aku hanya butuh ketiga sahabat sejatiku.

Setelah puas bercanda tawa, kita ber-empat memilih masuk kelas yang baru saja bel berbunyi. Duduk di kursi masing-masing.

Mataku melirik Dodit yang sedang berbicara dengan orang di belakangnya membuatku mempunyai ide untuk meminta maaf atas perkataanku tadi yang terlampau kasar. Menarik tas di dalam laci, mengambil kertas dan bolpoin, menggoreskan tinta di kertas putih dengan huruf kapital yang besar. 'SORY' setelah itu, ku robek kertas itu, merematnya dan melemparnya yang mengenai kepala Dodit.

Pemuda itu celingukan, dan mengambil kertas yang terjatuh tak jauh darinya, membukanya, seketika dahinya mengkerut, matanya menatapku yang ku balas senyuman manis.

Kembali menggoreskan tinta di sana, mengabaikan rasa sakit dan tidak memperdulikan tulisanku yang mirip cacing ke panasan. Mengangkat buku tulisku yang membuat Dodit tersenyum dan mengangguk. Di sana aku menulis. 'TEMAN?'. Melihatnya mengangguk membuatku ikut mengangguk, menutup buku tulis. Mengabaikan tatapan orang di sebelahku yang sejak tadi terlayang ke arahku. Mengacuhkannya, selayaknya dia itu manusia astral.

"Pagi semua." Sapa bu Anike –guru matematika- berdiri di meja guru, menatap semua anak di kelas, matanya berhenti di aku yang ku balas senyuman kecil dan menunduk sebagai rasa hormat. "Sepertinya bintang kelas kita sudah sembuh ya?" tanyanya entah menyindir atau apa.

Aku hanya mendengus, mengabaikannya, karena guru itu minggu lalu ada di rumah mantan keluargaku dan menyaksikan drama menjijikan yang ku perbuat. Sedangkan semua anak saling pandang, tidak mengerti dengan perkataan bu Nike. Jelas lah, mereka kan taunya bintang kelas itu Dira, bukan hanya kelas, tapi sekolah.

"Baiklah. Dira pimpin do'a," perintah bu Nike yang langsung di laksanakan sama Dira. Dengan lantang gadis itu menyuruh semua anak di kelas untuk berdo'a dalam hati sesuai agama masing-masing.

"Buka halaman 90, kita akan membahasa tentang Fungsi Persamaan dan Pertidaksamaan Eksponen, Logaritme. Baca dan kerjakan halaman berikutnya, ibu kasih waktu 30 menit untuk mengerjakannya, kalau sudah ada yang tau jawabannya, bisa langsung maju ke depan menjawabnya, nanti ibu kasih poin plus di raport kalian."

Mataku menatap soal di LKS, menerkanya dalam otak untuk mencari jawaban. Setelah semua terjawab, aku berdiri dari kursi, berjalan ke arah depan yang membuat semua anak berhenti dengan aktifitas coret mencoret.

Mengambil spidol yang di berikan bu Nike dan mulai mencoret dengan hati-hati, setiap pergerakan tanganku rasanya sangat menyakitkan. Mataku melirik ke arah kasa yang memperban tanganku, mendengus saat melihat warna merah mulai nampak. Sial!. 

Berkali-kali spidol yang kugenggam tanpa tenaga hampir tejatuh. Dan akhirnya penyiksaan pun selesai, ku kembalikan spidol itu dan berjalan ke meja, mengrenyit merasakan denyutan yang begitu menyiksa di telapak tanganku.

Sial! Padahal minggu lalu aku tidak merasakan rasa sakit, bahkan saat lukanya terkena air hujan pun, aku tidak merasakan perih. Namun sekarang coba lihat? Rasanya tanganku sangat sakit. Sial. Sial. Sial.

"Loe gak papa?" tanya pemuda di sampingku yang terdengar khawatir, tangannya menarik pergelangan tanganku, melihatnya seksama yang langsung kutarik kasar.

"Bukan urusan loe." Kataku sekenanya. Bersikap dingin tanpa memandang wajahnya yang sekarang entah menampilkan ekspresi apa. Aku tidak perduli. Sama sekali tidak perduli.

Aku akan bahagia. Bahagia untuk memberikan mereka ke sakitan dengan bahagiaku sendiri. Memang benar aku sudah mati. Aku bukan Lagi Dinandra yang dulu, melainkan Dinandra yang penuh dengan topeng kepalsuan. Ini lah hidupku sekarang.

Gaje. gaje yah? I know it. haha. #ketawa nista. dan mulai episode besok, bukan Dina pov (Point Of View) tapi Author Pov. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top