Episode 4 - Bencana
Sore harinya aku di antar pulang sama Dodit. Mengenai perkataan konyol beberapa jam lalu, dia hanya bercanda. Lagian dia mana berani menyentuhku saat papa dan mamanya sangat antusias menyambut kedatanganku di kediaman mereka. Bukan bermaksud ingin Dodit melakukan yang 'ehm-ehm' sama aku. Aku sama sekali tidak mengharapkan itu. Kalau dia berani melakukan itu, pasti langsung kutendang 'parenya' itu tanpa ampun, seperti kelakuannya tadi sama kelima orang tidak jelas itu ah lebih tepatnya, tiga orang tidak jelas, sedangkan yang dua, mereka masih utuh, belum merasakan 'salaman hangat' dari kaki Dodit.
Dan untuk kalian yang bingung kenapa Dodit tidak masuk sekolah, itu karena dia baru saja pulang dari rumah sakit, habis menjenguk neneknya.
Kalau kalian penasaran dengan wajah Dodit, harus ku katakan -dengan menyesal- kalau wajahnya itu tampan, ehm, bisa di bilang lebih tampan dari Reksa, cuman sifat usil plus cabulnya yang membuatnya tidak masuk nominasi guy wonted in the school.
Dia dengan kasar di depak dari kedudukan itu.
Kulepas seatbelt dan bersiap turun dari mobil sebelum tangan Dodit menggenggam pergelangan tanganku. Kepalaku Menoleh, menatapnya dengan dahi berkerut.
"Gua hanya minta loe nurutin perkataan gua Din. Jangan keluyuran sendirian, apalagi di tempat sepi. Dan kalo ada apa-apa, loe harus dan wajib pake banget hubungin gua. Gua gak mau tau dan gak ingin denger penolakan apapun."
Aku terkekeh dan mengangguk. "Maksa nih ceritanya?"
"Gak sih. Gua cuman ingin liat dan denger loe nangis sambil ngerengek gitu. Kan langka."
"Sialan!" makiku kesal. Menggeplak kepalanya yang membuatnya semakin terkekeh.
Tanpa perlu berbasa-basi, aku segera keluar dan memasuki pekarangan rumah sambil menghentakkan kaki. Dodit emang sialan! Tuh cowok bener-bener minta di mutalasi.
Keningku mengkerut melihat balon-balon di pintu masuk utama. Tanpa memikirkan lebih jauh, kulangkan kakiku memasuki rumah.
Kakiku berhenti melangkahdengan sendirinya melihat dua orang –pria dan wanita- sedang meniup lilin di atas kue. Jantungku rasanya berhenti berdetak melihat hal itu. Mataku melihat penjuru ruang keluarga dan semakin merasakan rasa sakit.
Seluruh keluarga besarku ada di sini, nenek, kakek, om-tante serta anak-anak mereka ada di sini. Yang lebih membuatku murka melihat saudara kembarku serta pacarnya juga ada di sini. Kebohongan macam apa yang sedang terjadi?.
Tante Vivi –adik dari mamaku- berjalan menghampiri mereka berdua sambil menggendong anak kecil yang aku tidak tau anak siapa. Yang jelas itu bukan anak tenta Vivi, karena tante Vivi belum menikah.
Mulutku menganga melihat tante Vivi menyerahkan anak laki-laki ke dalam gendongan wanita di sebelah Ayah. Yang membuatku semakin menganga. Wajah anak itu benar-benar mirip ayah. Mata, hidung, pipi, alis bahkan bentuk wajahpun sama. Dia Ayah versi junior. Kebohongan apa yang sedang terjadi.
Mataku menatap lilin yang sudah padam. Lilin itu menunjukkan angka 3. 3? 3? Oh astaga!.
"HEBAT!" seruku sembari bertepuk tangan, berjalan ke arah mereka yang sedang menatapku horor. "HEBAT!" seruku lagi. Tanpa minta bantuan peramalpun aku sudah tau apa yang sekarang terjadi. Tanpa bantuan si manusia geniuspun aku sudah tau kebohongan apa yang di sembunyikan keluarga besarku.
"Setelah mengasingkan, menganggapku nggak pernah ada, kini Ayahku sendiri sudah menikah ya?" sindirku dengan senyuman manislebih tepatnya senyuman miris. Berjalan semakin mendekati Ayah yang membatu.
Langkahku berhenti di samping kue pernikahan. Menatap kue itu mencemooh.
"Dina. Gua bisa jelasin yang seb---"
Tangan kananku terangkat, menyuruh Dira berhenti berbicara yang segera di turuti. Beralih menatap angka 3 itu dan mencabutnya, membolak-balikan benda itu dengan wajah sinis.
"Tiga yah?" ucapku terdengar sangat tenang.
"Din. Ayah bisa jelasin yang sek---"
BRAK.
Dengan satu sentakan, kue yang terlihat lezat dan mahal itu jatuh tengkurap ke lantai mengenaskan.
Kepalaku menggeleng polos, seolah yang melakukannya bukanlah aku.
"Mubazir banget tuh. Kasian yang di sini gak bisa makan." Kataku mencemooh yang seharusnya mendapat tamparan. Tapi tidak ada satupun dari keluargaku yang maju ke hadapanku untuk menampar, bahkan tante Vivi yang biasanya selalu kasar denganku terdiam, bungkam.
"Kok pada diem? Prasaan tadi rame." Kataku sok polos, mataku berkeliling menatap semua orang yang sedang diam seribu bahasa dengan pandangan yang berbeda-beda namun kuacuhkan.
Mataku menatap figura besar pernikahan seseorang. Aku tertawa mencemooh. Berjalan ke arah figura itu. Menatap dua orang di atas pelaminan, beralih menatap figurayang sedikitlebih kecil di samping figura itu dan tertawa terbahak.
Mengambil benda itu, mengelusnya selayaknya aku ini seorang psycopat. Membalikkan foto itu sehingga semua orang dapat melihat orang-orang yang ada di figura ini.
"Gua absen yah?" kataku ceria. Tangan kiriku menunjuk orang paling kiri. "Kakek ada di sini." Beralih ke sebelah kakek "nenek juga ada di sini." Bergeser ke samping nenek. "Dira juga ada di sini." Bergilir sebelah Dira. "Ayah ada di sini." Bergilir ke samping. "wanita itu juga di sini." Bergilir lagi ke samping. "Tante Vivi yang gila sopan santun juga ada di sini." Bergilir ke sebelah. "sepupu tersayang Delfin juga ada di sini." Bergilir ke sebelah. "si cerewet maklampir tante Zaskia juga ada di sini." Kataku menatap figura itu dan tersenyum manis. Berbeda dengan tatapanku yang sinis.
"Kok gua gak ada? Pada jahat yah dateng ke kondangan gak ngajak-ngajak. Ayah juga. Masak sebagai mempelai pria anaknya yang imut ini gak di ajak? Ih. Kalian mah gak seru." Kataku menggelengkan kepala. Menatap Ayah penuh kecewa yang tidak sanggup kututupi lagi.
"Dina. Ayah bisa jelasin semuanya nak. Kamu jangan seperti ini." Kata Ayah berjalan menghampiriku.
Dengan sengaja kulepas genggaman tanganku di figura itu, hingga figura itu jatuh ke lantai dan pecah.
"Oops. Pecah." Kataku menatap figura itu merasa bersalah. "sory ya picture. Gua gak sengaja. Jangan marah oke?" aku benar-benar mirip orang gila sekarang. "Ayah mau ngomong apa?" sambungku menatap Ayah yang wajahnya sudah pucat, matanya menatap figura tadi penuh dengan ketidak percayaan. Sama ayah, aku juga tidak percaya kalau ayah akan melanggar janji kita.
Tanpa menunggu jawaban Ayah yang sudah aku tau akan berakhir di mana. Aku kembali berbalik, menatap figura yang sangat besar dan mengambilnya. Kembali berbalik, menatap Ayah yang sudah ingin menggelindingkan matanya.
"Ayah kenapa? Kok matanya mau copot gitu? Aku kan hanya ingin liat seberapa cantik istri ayah itu." Kataku sok polos, mataku mengerjap beberapa kali dan...
BRAK
"Ups. Jatoh. Aduh. Kasian. Pasti sakit." Kataku menggelengkan kepala dramatisir.
"DINA!! APA YANG KAMU LAKUKAN?!" teriakan membahana membuatku tersenyum mengejek.
"Hanya melakukan hal yang perlu di lakukan. Rumah ini gak nerima tamu. Gak nerima mama baru. Tapi kalau pembantu sih masih nerima." Kataku kalem. Mengangkat bahu cuek, menatap Ayah tanpa rasa takut. Ketakutanku sirna di gantikan rasa marah yang meletup-leteup.
Ayah berjalan cepat ke arahku yang tidak ku takuti sama sekali.
PLAK
Tubuhku terduduk merasakan rasa sakit di leher dan perih di sekitar pipi yang begitu menyiksa.
Setitik Darah jatuh ke lantai. Aku tersenyum mencemooh, mengulurkan tangan ke sebelah pipi dan mengusap darah di sana.
Aku terbahak kencang yang lama kelamaan berubah raungan tangisan. Kedua tanganku terkepal kuat.
Mengambil pecahan di atas figura, menggemnya kuat, membuat darah menetes. Pekikan histeris orang-orang yang ada di sini tidak kuperdulikan. Bahkan kolega Ayah yang ada di sani pun sudah sejak tadi tidak kupedilan. Tidak ada yang ku perdulikan!.
Dengan pelan berdiri mengacungkan tangan yang meremat kaca, membuat darah semakin berceceran.
"Gimana lihat tanganku yang berdarah? Puas? Bahagia? Apa yang sedang Ayah rasakan sekarang?" tanyaku serak. Air mataku semakin merembet berjatuhan, sedangkan Ayah hanya membatu, menatap tanganku horor.
"Sumpah demi apapun Ayah. Aku gak pernah berpikir Ayah bakal menamparku, aku gak pernah berpikir Ayah akan menikah lagi setelah janji Ayah 3 tahun lalu." Kataku menatap Ayah penuh luka. "Ayah. Selama ini aku berpikir Ayah lah yang ke sepian, Ayahlah yang merasakan kesedihan atas meninggalnya Bunda. Selama ini aku berpikir Ayah pria terbaik yang pernah ada di muka bumi ini. Gak taunya Ayah jauh lebih brengsek dari pria manapun di dunia ini." Kataku melepaskan kaca yang kupegang, beralih menghapus air mata dengan tangan kanan –yang tadi menggenggam kaca- membiarkan darah membekas di sana.
"Apa aku pernah nuntut Ayah yang macam-macam? Apa aku pernah minta Ayah yang macam-macam? Apa aku pernah minta Ayah untuk sering pulang ke rumah saat dulu Ayah hanya pulang satu minggu sekali. Apa aku pernah meminta hal yang merepotkan? Jawab Ayah. Aku. Anakmu ini. Sedang ber. Tanya. Dan. Dia. Sedang. Mem bu tuh kan. Ja wa ban." Kataku menatap Ayah yang seakan membatu.
"Dulu Ayah berjanji untuk tidak menikah lagi. Dulu Ayah dengan serius mengucapkan tidak akan pernah membuangku. Tidak akan pernah mengucilkan aku. Tidak akan pernah membuatku menangis. Tapi apa Ayah pikir semua janji Ayah itu tertepati? Bohong kalau iya." Kataku merasa sangat di bodohi. "Aku..." menepuk-nepuk dada dengan tangan kanan yang masih setia mengalirkan darah. "Selalu menangis dalam diam. Selalu menanti Ayah akan pulang dan berkata 'YOUR DAD COMBACK IN HOME'." Jedaku mengapus air mata yang terus berjatuhan. "aku selalu menuruti perintah Ayah. Aku nggak pernah mengucapin 'NGGAK' meski kadang aku benci keputusan Ayah yang selalu sepihak."
"Ayah menyayangi Dira, Ayah lebih membanggakan Dira, Ayah lebih mementingkan Dira. Aku gak perduli. Padahal kalau Ayah ingin tau, aku sangat iri sama Dira. Aku iri sama dia yang selalu di peluk Ayah saat pulang. Aku iri Ayah bercanda dan tertawa sama Dira. Tapi apa Ayah tau? Gak! Ayah gak akan tau. Karena Ayah gak ingin tau menau soal aku. Aku hanya menekin yang berjalan iya kan Ayah? Aku hanya seseorang yang harus menutupi kekurangan Dira berubah menjadi Kelebihan. Aku hanya perlu berdiam di belakang Dira tanpa harus satu orang pun yang tau. Ayah... Ayah tau? Bahkan aku pernah berpikiran untuk mati.
"Ayah... aku yang selalu gak pernah membangkang perkataanmu kan? Bahkan saat Ayah bilang untuk memohon sama bu Kepala sekolah biar gak ngasih tau siapa yang dapat ranking pertama di kelas. Bahkan saat aku harus mencoret-coret kertas ulanganku demi mengelabui Dira, bahkan saat aku harus melakukan tetek bengek kalau Dira melakukan kesalahan.
"Ayah mungkin berpikir aku gak punya hati, sampai ayah tega menyuruhku seperti itu. Ayah mungkin berpikir aku gak butuh apapun saat Ayah selalu membanggakan Dira. Ayah mungkin berpikir. Aku hanya orang yang harus membenarkan kesalahan Dira, berubah menjadi ke salahanku." Kataku menunduk. Membalikkan tubuh, berjalan ke arah kaca dan meninjunya sampai kaca itu pecah dan berakhir tanganku yang semakin mengeluarkan darah. Pekikan orang-orang tidak kuperdulikan.
Tanganku mencengkram kaca yang masih menempel di kayu. Menatap halaman belakang dengan pandangan sayu.
"Salah aku apa Ayah? Aku nggak pernah mengeluh apapun. Aku nggak pernah meminta apapun. Aku hanya ingin Ayah setia sama bunda. Aku hanya ingin Ayah terus mencintai Bunda sampai ajal menjemput. Apa itu sulit? Apa sesulit itu?!.
"Ayah. Aku tidak tau harus apa saat para preman menyerangku karena mencari Dira yang sedang menginap di rumah tante Vivi. Aku bahkan diam saja di pukuli sama mereka. Waktu itu aku berpikir Ayah akan mencemaskanku karena ke adaanku yang babak belur. Tapi apa Ayah ingat perkataan Ayah waktu melihatku babak belur? Aku masih ingat Ayah. Aku masih ingat dengan jelas. Ayah mengataiku gak becus. Anak gak bisa di andelin. Anak gak tau di untung.
"Tapi apa Ayah sekarang merarasa menjadi ayah yang becus? Apa Ayah sekarang menjadi Ayah yang bisa di andelin? Apa Ayah sekarang menjadi Ayah yang tau di untung? Gak kan?!" kataku membalikkan badan. Menatap Ayah dengan pandangan semakin mengabur. Kepalaku rasanya mau meledak.
"Ayah tau rasanya jadi aku? Gak! Ayah gak akan tau karena ayah gak mau tau. Iya kan!"
"Dina... Ayah---"
"Aku gak lagi nyuruh Ayah ngomong. Selama ini aku selalu dengerin ucapan Ayah, aku selalu mematuhi perintah Ayah. Sekarang giliran aku. Giliran aku untuk ngomong dan Ayah dengerin." Kataku mengultimatum tanpa mau di bantah.
"Ayah tau? Gak selamanya orang yang lebih tua itu benar!" kataku berjalan menghampiri Ayah, berdiri tepat di depan Ayah.
"Saat aku kecil. Aku selalu menginginkan suami seperti Ayah yang sayang sama bunda. Saat aku kecil, aku selalu membelajari apapun yang ayah minta. Saat aku kecil. Saat bunda masih hidup. Ayah tau porsiku sama Dira, Ayah tau kalau aku gak suka di bandingkan-bandingkan. Tapi saat lima tahun lalu. Ayah berubah. Ayah selalu membentakku padahal bukan aku yang salah. Ayah selalu menyalahkanku meski dulu Dira yang membuat kesalahan.
"Ayah selalu mengataiku bodoh. tapi gak papa. Karena dulu ayah gak pernah memukul-ku. Tapi hari ini. Hari ini ayah. Aku baru saja kehilangan Ayahku. Aku baru saja kehilangan pedomanku. Aku baru saja kehilangan sosok yang aku kagumi.
"Dan aku kehilangan Ayahku hanya karena selingkuhan yang sudah di nikahi. Wow. Indah banget kan Ayah?" tanyaku memiringkan kepala, menaikkan kedua alis meski air mataku masih terus berjatuhan.
Kulepas salah satu tali rancel yang sejak tadi ku gendong, mengeluarkan dompet serta Handphone dan membuangnya di wajah Ayah yang hanya diam.
"Mulai saat ini. Detik ini. Aku. Dinandra Putri Kurniawan memutuskan hubungan antara Ayah dan Anak. Mulai detik ini. Namaku bukan Dinandra Putri Kurniawan melainkan Dinandra Putri Cindi. Puas Ayah? Puas? Selamat ya Ayah, Ayah kehilangan putri yang hanya bisa membuat masalah. Ayah kehilangan Putri manja, kolokan, gak bisa di atur, suka bikin onar, gak ada bagus-bagusnya buat di banggain dan pamerin."Kataku melangkah menjauh dari Ayah yang sejak tadi terdiam.
"Dina."
Langkahku berhenti, tanpa menengok ke belakang. Aku tau siapa yang memanggilku.
"Bukan gua yang ingin pergi Dir. Tapi Ayah yang nyuruh gua pergi jauh-jauh dari hidupnya. Loe tau Dir? Dulu setelah bunda meninggal. Gua buat perjanjian sama Ayah. Yang intinya ; Kalau Ayah menikah lagi. gua bakal keluar dari rumah ini. Dulu gua pikir Ayah gak bakalan tega ngebuang gua, tapi sekarang gua tau. Seorang Ayah itu lebih kejam dari Hariumau." Kataku terdengar penuh kekecewaan yang mendalam. Kembali melangkah.
"Kamu mau kemana? Memangnya kamu mau tinggal di mana?"
Aku tersenyum sinis mendengar perkataan Ayah.
"Pedulimu apa?! Bukannya beberapa bulan yang lalu kamu yang nyuruh aku pergi dari sini? Terus sekarang sok-sok-an perhatian? Apa karena di sini banyak kolegamu, jadi kamu harus ber akting menjadi sosok Ayah yang baik begitu? Menjijikan!"
"Dina---" perkataan Dira terputus di sela suara Ayah.
"Seenggaknya obati dulu lukamu agar darahnya berhenti mengalir. Dan ambil lagi dompetmu, Ayah akan selalu mengisinya setiap bulan."
Aku tertawa mencemooh. "Apa saya terlihat orang yang sedang mengemis uang? Tenang saja Sir, saya gak lemah seperti anak kebanggan anda. Bahkan saya lebih memilih mati kelaparan daripada menerima uang anda. Dan sekali lagi. anda tidak perlu berpura-pura perduli sama saya. Anda tau? Tingkah anda sungguh menggelikan. Dan ah... tentang tangan ini." Ucapku memandangi kedua tangan yang sudah berubah merah. Terkekeh kecil melihat darah yang terus keluar. "Saya bahkan gak ngerasain rasa sakitnya sama sekali. Saya justru ngerasain rasa sakit di hati." sambungku tanpa perduli kalau bahasaku sekarang berubah.
"Orang bilang. Pria yang di pegang itu janjinya, tapi sepertinya anda harus mengganti jenis kelamin sekarang. Karena ucapan anda sama sekali tidak bisa di pegang. Kasian anak buah anda mempunyai atasan yang hanya memikirkan nafsu birahi. Sungguh menjijikan. Saya malu punya Ayah seperti anda. Dan sekarang saya lega, karena Anda bukan lagi---"
"Stop Dina!"
Kepalaku menoleh kekiri, menatap pemuda yang berdiri beberapa langkah di belakangku. Tanpa merasa terganggu aku pun kembali melanjutkan "Karena Anda bukan lagi Ayah saya." Kataku dengan senyuman sinis, menatap pemuda yang sedang menatapku geram.
"Loe emang gak punya otak! Mana ada anak yang bicara sinis dan kasar sama Ayahnya sendiri?!"
"Apa peduli loe bocah?"
"Dina..."
"Apa? Loe berharap banget ya gua ngomong manis? Denger baik-baik ya. Gua bukan lagi saudara loe. Mulai saat ini gua yatim piatu. Gak punya siapapun. Gua anak buangan." Kataku dengan senyuman mengejek.
"Dina loe---"
Tanpa perlu mendengarkan apapun lagi, aku kembali berjalan ke depan. Membiarkan Delfinberteriak-teriak tidak jelas yang hanya ku anggap angin lalu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top