Episode 3 - Makasih Dodit.
Hari ini aku pulang sedikit larut. Setengah sebelas aku baru sampai di rumah. Ah jangan bertanya macam-macam dan berpikiran yang aneh-aneh, aku pulang larut karena terkunci di UKS. Bagaimana bisa aku terkunci di UKS? Karena hari ini ada pelajaran Olahraga, pelajaran yang sangat aku benci, jadinya aku beralasan sakit kepala dan berakhir tiduran di UKS tapi pas terbangun langit sudah gelap dan pintu UKS terkunci, benar-benar sial. Untung saja ada pak Tardi –penjaga sekolah yang bersift malam- sedang berkeliling. Kalau tidak ada beliau, mungkin aku akan membusuk di sana. Eh tidak ding, bercanda. Palingan terkurung sampai pagi.
Namun dunia memang sepertinya sangat membenciku. Lihat bagaimana mesranya Reksa dan Dira yang sedang tertawa bersama karena buku di depan mereka.
Kuhela nafas lelah. Ok, aku akui ini memang bukan pertama kali aku melihat mereka seperti ini, bahkan setiap hari aku melihat mereka bermesraan ria tanpa menghargai perasaanku. Dari pagi sampai malam, mereka terus saja berdekatan seperti lintah dan darah. Menyebalkan.
Ingin rasanya aku menjerit kesetanan, namun balik lagi. Aku siapa? Aku bukanlah siapa-siapanya Reksa yang pantas untuk merasakan sakit hati dan cemburu. Namun... lagian, siapa juga yang menginginkan rasa sialan ini untuk hadir di hatiku? Kalau aku boleh memilih, aku lebih memilih Dodit dari pada pemuda itu. Meski pikiran Dodit sangat amat rusak –mesum- tapi tidak apa-apa, dari pada setiap hari harus merasakan sakit terus menerus? Bahkan aku sendiri kagum sama hatiku yang masih terus mencintainya padahal setiap hari dia hancur.
Kupijit pangkal hidungku yang terasa berdenyut nyeri, melangkah ke arah tangga tanpa sapaan. Ya meskipun aku sudah tinggal di rumah ini selama 6 bulan lebih, mereka masih menganggapku tak kasat mata. Bagaimana? Hebatkan aku?.
Melemparkan tas di meja belajar, berjalan ke arah kaca lemari, menatap pantulan diriku yang sangat mengenaskan. Mata sayu, rambut acak-acakan, dasi sudah menceng kekanan, jas yang terikat di pinggur, seragam yang berantakan. Aku lebih mirip pengemis dari pada seorang pelajar SMA, dan wajahku yang terlihat sedikit tirus dari sebelumnya.
Sepertinya tinggal di rumah ini memang pembawa dampak buruk bagi hidupku, bukan hanya hati tapi juga berat badanku. Bolehkah aku berbicara Miris untuk hidupku sekarang?.
"AARRGGHHH!!" teriakku frustasi, berjalan ke arah ranjang dan membanting tubuh di sana, bergelung ke kiri, menutup mata, supaya otakku sedikit ke refresh besok pagi, agar isinya tidak terus-terusan mengeluh. Ngeluhin hal yang tidak penting. Ya! Tidak penting.
Perlahan, kesadaranku sedikit demi sedikit mulai menghilang di gantikan warna hitam.
.
Keningku mengkerut melihat tante Rahma yang sedang memeluk Dira, sebenernya bukan hal aneh, cuman wajah tante Rahma yang berseri-seri seperti habis mendapatkan lotre yang membuatku bingung dan heran.
Menarik kursi di depan tante Rahma, di samping Reksa. Duduk dengan heran, mengambil roti tawar dan mulai memakannya. Mataku melirik Reksa yang menatap kedua orang itu –tenta Rahma serta Dira- dengan wajah yang sangat bahagia. Seketika dentuman menyesakkan hadir di sana yang kutekan dalam-dalam. Memilih bertanya.
"Ada apa ya? Kok pada ceria?" tanyaku menatap satu persatu orang di sini dengan wajah heran.
Tante Rahma tersenyum manis, senyuman yang memberi dampak buruk bagi feelingku.
"Dira sama Reksa jadian."
Seketika mulutku berhenti mengunyah mendengar perkataan tante Rahma, dadaku semakin berdentum menyesakkan, dentuman yang jauh lebih sakit dari pada sebelumnya. Aku kira, aku sudah merasakan rasa yang paling sakit waktu mengetahui kalau Reksa mencintai Dira, namun perkiraanku salah. Ternyata ada rasa sakit lain yang jauh lebih mematikan dari pada waktu itu.
Dengan susah payah kutelan roti di dalam mulutku, berusaha menyunggingkan senyum yang semoga saja tidak terlihat terpaksa. "O-oohh... bagus dong," jawabku seadanya. "Anu.. aku berangkat sekolah duluan, aku lupa, hari ini piket. Permisi." Sambungku dan segera pergi dari sana tanpa menatap wajah mereka satu persatu yang sama sekali tidak penting. Ya tidak penting! Karena mereka hanya akan menambahkan luka di hatiku ini. Aku membenci mereka semua. Aku sangat membenci mereka.
Sekuat apapun aku berusaha menahan air mata ini, tapi mereka tetap keluar dan berjatuhan dengan bebas. Bahkan isakan pilu keluar begitu saja dari bibirku.
Kenapa patah hati rasanya sangat menyakitkan? Kata orang, jatuh cinta akan membuat orang bahagia, tapi kenapa aku malah merasakan yang sebaliknya? Kenapa yang aku rasakan hanya sakit, sakit dan sakit? Tidak pernah sekalipun aku merasakan bahagia dari rasa cintaku ini. Apa karena cintaku ini salah?.
Isakanku semakin menjadi, tidak perduli orang-orang di halte kini menatapku seperti apa, aku hanya ingin menghilangkan rasa sakit dan sesak ini, tapi kenapa rasa itu tidak kunjung hilang?.
Busway berhenti. aku berdiri dengan malas dan masuk kedalam bus, mengambil tempat duduk di tengah yang deket jendela, menahan agar isakanku berhenti, namun seberapa kuat aku menahan, isakan itu tidak kunjung berhenti.
Kutepuk-tepuk dadaku berharap rasa ini hilang dan isakanku berhenti, namun sekuat apapun aku memukul dada, rasanya masih tetap sama menyesakkan, bahkan lebih menyesakkan dari sebelumnya.
Tanganku terkulai lemas, berhenti memukuli dada, memilih menatap jalanan yang lenggang. Busway berhenti di halte depan sekolahku, tapi aku tak ada niatan untuk berdiri dari kursi, aku masih terus duduk di busway, mengikuti kemanapun busway ini pergi. Tidak perduli raut heran dari pak supir karena aku tak kunjung turun.
Tidak ada isakan, tidak ada air mata, mereka seakan sudah lelah untuk keluar. Dan aku juga sudah lelah untuk menghadapi kehidupan ini.
Bus yang kutampangi berhenti. Mataku yang sejak tadi tidak fokus langsung buyar, menatap sekeliling, melihat terminal tempat istirahatnya busway sebelum kembali berkeliling.
"Neng sebenarnya mau kemana?"
Mataku menatap pak supir bus yang menatapku dari kaca spion dengan pandangan yang sulit di diskripsikan.
"Emh. Gak tau pak, ini ongkosnya." Kataku mengulurkan uang sepuluh ribu dan turun, berjalan tanpa tau arah.
Aku bahkan tidak perduli kalau aku sudah jauh dari sekolah, apalagi rumah ayah. Tapi itu tidak penting sekarang, aku hanya butuh menyendiri. Getaran di ponselku sejak tadi ku abaikan tanpa melihat siapa yang menghubungiku. Aku benar-benar hanya butuh sendiri.
"Lihat, siapa yang sedang berjalan sendirian, Bro."
Langkahku terhenti melihat lima orang berdiri menghalangi jalanku, mereka tersenyum sangat menyebalkan untukku sendiri.
Aku berusaha berjalan di samping kiri, namun salah satu mereka menghalangi langkahku. Berdecak kesal, berjalan ke arah kanan namun lagi-lagi salah satu dari mereka menghalangi langkahku. Kuhembuskan nafas lelah dan panjang, menatap mereka tanpa minat.
"Mau kalian apa?" tanyaku ogah-ogahan.
Mereka sekali lagi tersenyum semakin menyebalkan. Salah satu dari mereka yang berada di tengah maju satu langkah, berdiri tepat di depanku, menciptakan satu jengkal langkah sebagai pemisah.
"Mau kita? Kita hanya butuh tubuh loe manis," kata orang di depanku yang di sahuti tawa menggelegar dari ke empat temannya.
Tangannya yang mencoba menyentuh pipiku yang segera ku tepis kasar.
"Woho. Galak juga nih cewek cantik Bro. kira-kira kalo di ranjang makin galak gak ya?" tanya sinting orang di depanku menoleh ke arah temannya yang semakin terbahak.
"Minggir. Gua gak ada urusan sama kalian," kataku ketus, mendorong orang di depanku yang membuatnya mundur satu langkah dan bersiap untuk pergi, namun orang yang tadi berdiri di depanku menahan pergelangan tanganku. "LEPAS!" teriakku sebal, mencoba menarik tanganku yang di cengkram kuat.
"Gak semuda itu manis. Kita gak ngijinin loe pergi."
"Siapa yang butuh ijin kalian? Denger bodoh! Gua sama sekali gak butuh! Sekarang LEPASIN GUA!" jeritku frustasi. Kepalaku terasa pening seketika.
"Hahaha. Gak butuh dia bilang, Bray!" kata orang yang mencengkram lenganku dan di balas gelengan dramatisir ke empat temannya. Aku mendesis sinis, masih mencoba melepaskan cengkramannya di lenganku yang terasa sakit. Bahkan aku melihat warna kemerahan di daerah pria gila ini mencengkram lenganku. "emang sih loe gak butuh. Tapi ya loe gak bisa pergi sebelum loe layanin kita-kita," sambung cowok sarap itu dengan tawa menjijikan yang membuatku mual seketika.
"Loe kira gua pelacur? Lepasin gak? Atau gua jerit?!" kataku mencoba mengancam, namun mereka semakin terbahak. Gila! Mereka semua gila!.
"Jerit aja Baby. Percuma loe jerit juga, Gak bakalan ada yang denger. Di sini jarang di lalui kendaraan." Kata orang di depanku dengan seringai mengerikan.
Kepalaku menoleh ke kanan serta kiri, dan benar saja. Suasana di sini terasa sangat sepi, tidak ada satupun kendaraan yang melintas. Sial! Pantas saja mereka berani seperti ini, seharusnya aku sudah menduganya sejak tadi.
Sekarang, rasa takut menyelimuti seluruh otakku. Kugigit bibirku gusar. Kepalaku menggeleng keras-keras.
"Lepasin Gua," bahkan suaraku sekarang berubah lirih, terdengar merintih. Air mata sudah kembali berkumpul di depan mata, bersiap turun. Membayangkan nasibku selanjutnya membuatku benar-benar ketakutan. Lebih baik aku mati dari pada harus 'bermain' sama mereka. Tuhan! Tolong, sekali saja, kabulkan do'aku. Kirimkan orang untuk menyelamatkanku sekarang.
Mereka semua terbahak semakin kencang, sedangkan aku semakin di rudung ke takutan.
"Tenang aja manis, kita akan bermain 'basah-basahan' dengan lembut kok."
Kepalaku menggeleng keras. "Lepasin gua." Air mataku sudah berjatuhan. Rasa takut semakin mendominasi pikiranku sekarang. Tapi mereka malah terbahak semakin kencang.
"Lihat Bray. Dia makin cantik kalo nangis kayak gitu, gua makin gak sabar."
Mendengar perkataan salah satu dari mereka yang mempunyai tato di seluruh tangannya membuat air mataku semakin tak sabar untuk berjatuhan.
"Kalian lagi ngelakuin apa?"
Sontak kepalaku menoleh ke belakang, menatap pemuda yang sedang berjalan ke arahku. Seketika senyumku mengembang melihat orang yang sangat aku kenal. Dodit.
"Dit. Tolongin gua." Rengekku yang terdengar menjijikan. Seumur-umur, aku baru pertamakali merengek sama orang seperti ini. Terlebih lagi sama Dodit, pria mesum yang selalu membuatku senewen.
Dodit tersenyum manis. "Apa imbalannya?"
Mulutku sukses menganga lebar. Sialan ini bocah! Kalau aku lagi tidak dalam bahaya, sudah ku tendang bokongnya sampai dia menjerit kesakitan.
"Peritungan banget sih loe," gumamku lirih, Mengerucutkan bibir. Dan Dodit dengan seenaknya tertawa keras.
"Dramanya udah selesai?"
Kepalaku kembali menatap pria yang sedang memasang wajah malas menatapku dan Dodit bergiliran. Mataku melirik Dodit penuh permohonan dan harapan.
"Drama? Loe kira gua lagi syuting film pembunuhan?"
Aku meringis jengkel mendengar perkataan Dodit. Nih anak bisa serius sekali saja tidak? Kenapa tingkahnya semakin hari semakin menjengkelkan? Hey! Aku lagi dalam bahaya siaga 3, tapi dia malah berbicara nyeleneh seperti itu? Bener-bener minta di gorok.
"Bacot loe. Kalo gak mau nyawa loe melayang, mending pergi jauh-jauh." Kata pria yang mencengkramku sinis.
Dengan santai Dodit menggulung lengan kaos panjang biru dongker yang ia kenakan sampai siku dan menjawab santai. Terlalu santai dan menyebalkan menurutku.
"Loe yakin bisa bunuh gua? Gua punya nyawa melebihi kucing looohhh."
Kepalaku rasanya semakin berdenyut sakit. Bodoh! Stupid! Dan seribu kata makian bersemayam dengan indah di kepalaku.
"Banyak cincong banget sih loe. Ras, hajar dia." Kata orang yang mencengkramku.
Dan orang yang di panggil Ras maju, berjalan mendekati Dodit. Orang yang tadi menghalangi jalanku saat aku berjalan ke kiri.
Mulutku menganga melihat Dodit berhasil melumpuhkan lawannya begitu saja. Bahkan aku tidak tau bagaimana dia melakukan itu. Selihatku tadi, si Ras ini mau nonjok wajah Dodit yang ber ending orang ini jatuh di trotoar dengan tangan memgangi juniornya, wajah kesakitan nampak hadir di wajahnya. Aku ikut meringis. Pasti sakit tuh burung. Sabar ya burung, moga aja gak kapok dan akhirnya terbang. Eh tunggu! Aku mikir apa sih? Ataga DINA! Loe gila ya?!.
Geraman dari orang sebelahku yang semakin mencengkram erat lenganku membuatku sedikit merintih kesakitan. Tapi orang ini sama sekali tidak perduli.
"Jin. Hajar dia, kalo perlu sampe nyawanya ilang."
Kutelan salivaku susah payah mendengar perkataan orang biadab di sebelahku. Beralih menatap Dodit yang menatapku terlihat khawatir. Eh? Benarkan?.
Orang yang tadi menghalangi jalanku di sebelah kananpun maju, wajahnya terlihat sangar, ada tato menyeramkan di pipinya, dan goresan di dahinya yang terlihat seperti orang habis kebacok, melihatkan seberapa 'sangar'nya dia.
Jin dan mbak Yul versi Kriminal, melayangkan tangannya ke arah perut Dodit, namun Dodit dengan sigap memundurkan tubuhnya ke belakang hingga Jin itupun hanya memukul angin.
Aku tersenyum melihat kegesitan Dodit. Aku tidak pernah yangka, pemuda termesum di muka bumi ini ternyata bisa tinju juga ya? Wah-wah. Hebat!.
Si Jin itu kembali melayangkan tinjunya, kini ke arah wajah Dodit, Dodit segera mengkap kepalan tangan si Jin itu, memberikan senyuman mengerikan –senyuman yang baru pertama kali 'ku lihat- dan memutarnya ke belakang. Si Jin itu tidak menyerah, pria menyeramkan itupun mengayunkan kakinya kebelakang, mungkin ingin 'bersalaman' sama juniornya Dodit, tapi pemuda itu sepertinya sudah mengetahui gerak-gerik sang lawan.
Dodit pun mendorong tubuh si Jin ke Trotoar, membuat suara DUK. Tanpa canggung-canggung, Dodit menginjak pantat si Jin, lebih spesifiknya lagi, menginjak pantat 'tengah' Jin, membuat pria itu mengerang kesakitan.
Kepalaku menggeleng. Sepertinya Dodit tau betul kelemahan seorang pria, nyatanya begitu kedua orang itu mendapatkan 'salaman' di bagian burung, mereka terus mengerang ke sakitan.
Pria biadab di sebelahku semakin mencengkramkan tangannya di lenganku, membuatku sukses menjerit kesakitan. Rasanya seperti kebas (mati rasa).
Tanpa kuduga sebelumnya Dodit sudah berdiri di depan pria biadab ini dan menendang burung pria itu sampai pria itu terjatuh ke trotoar dengan posisi telentang, padahal tadi pria biadab itu baru saja menyuruh anak buahnya yang lain untuk menyerang Dodit, tapi Dodit sudah terlebih dahulu menyerang pria biadab itu.
Tanpa belas kasihan Dodit menginjak burung pria itu, menekannya, membuat orang itu semakin mengerang ke sakitan. Antara kasian dan kesal melihat pria itu di siksa seperti ini.
Mataku menatap dua pria –temen si biadab- yang lari tunggang langgang tanpa menoleh kebelakang.
Erangan kesakitan membuatku kembali terfokus sama pria di bawah yang 'terongnya' masih di injak-injak sama Dodit. Sedangkan wajah Dodit terlihat sangat mengerikan sekarang.
"SIAPA YANG NYURUH LOE GANGGUIN CEWEK GUA?!" teriakan Dodit membuatku membatu. Cewek? Siapa? Aku? Sejak kapan aku dan dia jadian?.
"Ampun... gua... g-gua gak tau... k-kalauh... d-dia cew-cewek loe. Am-ampun." Rintih pria di bawah Dodit yang masih di 'salamin' sama Dodit.
"GAK TAU LOE BILANG?!" teriaknya semakin kencang. Tanpa sadar langkah kakiku mundur menjauhi Dodit yang mirip orang kerasukan. Dia benar-benar bukan mirip temanku selama ini yang selalu mesum. Bahkan wajah Dodit lebih menyeramkan dari pada Zombie yang ada di film. Aku bersumpah tidak ingin melihat wajah menyeramkan Dodit lagi.
"Am-ampun bang," rintih pria yang masih di 'salamin' dengan hangat sama Dodit. Wajahnya terlihat pias.
"Sekali lagi gua liat loe dan temen-temen loe gangguin cewek gua. Gua gak akan segen-segen ngebunuh burung kebanggan loe ini sampai gak bisa berdiri. Inget itu baik-baik." Kata Dodit tajam, menghentikan 'pemberian' ke pria itu, namun belum dua detik kaki Dodit menyentuh lantai, pemuda itu kembali menginjak 'cabe' kuat membuat sang empu berteriak sangat keras.
Setelah puas, pemuda itu terlihat sedang menghirup napas dalam-dalam dan mengeluarkannya. Wajahnya menoleh ke arahku. Senyuman konyol hadir di wajahnya. Aku bahkan hampir terjungkal melihat senyuman ala Dodit yang kembali hadir, menghilangkan wajah mengerikannya. Astaga! Apa dia punya penyakit ganda?!.
"Gak perlu ada yang di takutin lagi Dina. Mereka sekarang gak bisa macem-macemin loe lagi."
'Emang sih mereka mungkin gak akan macem-macem lagi. Tapi loe itu lebih nyeremin dari mereka Dit, pernah ngaca gak sih?' gumam hatiku ketar-ketir, menatap pemuda yang sudah berdiri di sampingku. Mengantongi kedua tangannya di celana kain kotak-kotak yang dia pakai di bawah lutut.
Berjalan bersisian tanpa berniat menyuarakan apa yang baru saja ku batin.
"Emang loe mau kemana sih? Pergi kok masih pake seragam sekolah. Gak takut kalo ada satpol PP apa?"
Seketika semua kemelut tentang sebarapa 'mengerikan' Dodit pun hilang mendengar perkataan pemuda itu.
"Gua lagi gak minat sekolah," jawabku lesu, kembali mengingat tentang Dira dan Reksa yang sekarang jadian. Ngomong-ngomong soal jadian, kenapa Dodit bilang kalau aku pacarnya? Ah mungkin itu hanya untuk gertakan agar para pria 'kurang kerjaan' itu tidak mengangguku lagi.
"Gak minat?" tanyanya terdengar sangat heran. Aku hanya mengangguk malas menanggapinya, mengabaikan tatapan menyelidik Dodit yang terlayang ke arahku. "Loe lagi ada masalah ya?"
Sontak kepalaku menoleh ke arah Dodit dan menggeleng. Mencoba menyangkal perkataan Dodit meski seratus persen benar.
"Denger ya Dina. Kalau ada apa-apa, mending bicarain sama orang terdekat. Kayak keluarga, sahabat atau siapapun. Kecuali pacar. Loe kan Jones, jadi gak mungkin punya pacar." Kata Dodit kembali menyebalkan. Orang ini benar-benar minta mati ya?!.
"Loe kan cewek Din. Kenapa loe gak curhat aja sama keluarga loe? Sahabat loe? Daripada luntang-luntung di jalan sendirian kayak gini. Untung aja tadi ada gua. Kalo gak ada gua gimana? Loe yakin masih utuh sekarang?"
Mataku melirik Dodit ngeri membayangkan kalau saja Dodit tidak hadir. Mungkin setelah aku bisa kabur dari mereka, aku akan langsung terjun ke kandang buaya. Biar sekalian tinggal nama di batu nisan. Itupun kalo ada yang tau aku mati.
"Udah gak usah di pikir. Yang penting sekarang loe udah aman. Mending sekarang loe mampir dulu ke rumah gua, nanti gua anterin loe pulang. Gimana?" tawaran Dodit nampak menggiurkan.
Tanpa berpikir panjang aku mengangguk menyetujui idenya. Dan aku baru tau, kalau rumah Dodit ternyata jauh dari sekolah. Tapi kenapa dia malah milih sekolah itu? Memangnya yang deket rumahnya tidak ada sekolah yang bagus apa? Biarlah! Itu bukan urusanku.
"Dit," panggilku berhenti melangkah. Dodit yang belum tau aku berhenti melangkah pemuda itu masih berjalan, namun setelah beberapa langkah pemuda itu berhenti, berbalik, menatapku dengan dahi mengkerut. "Makasih ya udah nolongin gua." Sambungku dengan senyuman manis.
Dodit tersenyum konyol dan mengangguk. "Inget, gua nolongin loe gak gratis." Perkataanya membuatku mengrenyitkan kening. Maksudnya? "loe harus nemenin dedek gua masuk gua sebagai imbalannya."
"DODIIITTTTTT!" teriakku berang yang di balas tawaan membahana darinya. Dia ini benar-benar ya... Percuma bilang makasih kalau begini caranya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top