Episode 2 - Sahabat Terbaik

FYI. tentang sejarah peninggalan Jepangserta antek-anteknya, itu hanya karanganku saja. bangunan itu tidak ada di dunia nyata. itu aja Informasinya. XD

serta picture di atas itu Dira ya. kalau picture sebelumnya itu Dina. abaikan kalau kalian bingung. hahaha. #ketawanisata

Kulangkan kakiku menuruni undakan tangga satu persatu. rasa kantuk masih menempel erat di kedua mataku, mereka seakan enggan untuk pergi meski hanya untuk sebentar.

Suara galak tawa dari arah meja makan menghentikan langkahku untuk sesaat, namun aku kembali memilih untuk berjalan, menata hatiku agar tidak kembali merasakan iri untuk Dira.

"Kamu cantik sekali Dira," puji tante Rahma menangkup kedua tangannya di depan dada. Dia terlihat bersungguh-sungguh memuji kecantikan Dira.

Kuperhatikan Dira dari atas sampai bawah dan kembali ke atas. Dia memang berbeda, rambut yang biasanya di biarkan lurus kini di buat sedikit curly dan tergerai. Aku tersenyum manis saat melihatnya sedang menatapku, membalas senyumanku tak kalah manis dan kembali menatap tante Rahma serta om Irawan, sedangkan Reksa, jangan tanya bagaimana wajah pemuda itu, terlihat jelas di wajah dan matanya, kalau dia sedang memuja kakak kembarku itu. Dan aku hanya mampu tersenyum miris tanpa bisa melakukan apapun.

Terserah kalian mau menganggapku lemah atau apapun. Aku tidak perduli. Karena ini hidupku, aku yang menentukan, bukan kalian atau siapapun, karena pada akhirnya, aku lah yang bertanggung jawab.

Kubalikkan badan, berjalan kearah pintu utama tanpa menengok. Aku yakin, sekalinya aku menengok, entah apa yang akan terjadi pada hatiku, aku hanya ingin melindungi hatiku dari ke hancuran, hanya itu. Melindunginya di balik senyuman manis yang selalu bisa mengecoh siapapun, kecuali ketiga sahabatku. Karena mereka, sama sekali tidak bisa di bohongi dengan senyuman dan perkataan IM FINE.

Berjalan di trotoar seorang diri membuatku leluasa untuk menampilkan apa yang sejak tadi kutahan. Menutup mata, membiarkan air mata berjatuhan dengan leluasa, aku tidak bisa membiarkan air mata ini bertahan lebih lama, karena aku hanya sendirian, tidak ada seorangpun di sebelahku, mengingat ini masih terlampau pagi untuk berangkat sekolah.

.

Kumasukkan tas ke dalam laci, menyenderkan kepala di kaca, menatap halaman belakang sekolah yang di tumbuhi bunga dan beberapa pohon, tempat itu terlihat sangat sejuk, namun jarang di datangi, entah kenapa, mungkin mereka -para siswa/i- lebih suka datang ke kantin yang sangat sesak daripada halaman belakang sekolah, salah satu tempat favoritku dan ketiga sahabatku yang lain.

"HOY! Masih pagi udah ngalamun aja!"

Kukerjapkan mataku beberapa kali mendengar teriakan Aura.

"Tau nih, sibuk sendiri sama dunianya, di panggilin sampe gak denger," keluh Bilal mengerucutkan bibirnya sok imut. Aku bergidik ngeri melihatnya seperti itu. Meski hanya pura-pura.

"Jijik loe Bil, sok-sok-an imut, gak pantes tau sama muka tua loe." Kataku mengejek yang langsung di balas pelototan mata sebal. Aku terkekeh.

Kulepas earphone yang berada di sebelah telinga kiriku, sedangkan earphone yang ada di telinga kanan sudah terlepas, entah siapa yang melepasnya, yang pasti, salah satu dari ketiga sahabatku.

"Ini. Gua bawain roti dari kantin di asrama, loe pasti gak makan kan tadi di rumah?" kata Visa menyodorkan tiga roti kesukaanku yang 'ku ambil suka hati dan memakannya.

"Susu coklat kesukaan Dinandra. Khusus untuk Dina yang paling cantik sedunia," kata Aura meletakkan tiga kotak susu di depanku lengkap dengan gaya alaynya. Aku hanya terkekeh.

"Nih, kali aja loe seret," kata Bilal menyodorkan jus apel dan kelem kesukaanku.

"Ouh. Aku terhaaaru." Kataku mendramatisir keadaan, memanjangkan huruf 'A' setelah 'H'. dan kita bertiga tertawa.

Ada seribu satu alasan di dunia ini untuk membuatku membenci Dira, tapi bagiku cukup satu alasan yang membuatku untuk mengenyahkan rasa iri, jengkel dan benci yang terkadang timbul. Mereka bertiga. mereka bertigalah yang membuatku bertahan untuk tidak membenci Dira. Bukan karena mereka yang meminta, tapi karena, Dira tidak memiliki sahabat sepertiku. Sahabat seperti mereka bertiga yang selalu ada di sampingku di saat ke adaanku terpuruk sekalipun.

Aku tidak butuh seribu teman yang datang hanya saat butuh, aku juga tidak butuh seribu orang untuk menyayangiku. Bagiku, cukup ketiga sahabatku yang selalu ada di sampingku, maka aku akan bahagia, lebih bahagia dari orang yang di kerubungi seribu teman, seribu orang yang sayang padanya.

Mungkin ini terdengar kejam. Tapi jika ada yang menyuruhku memilih antara Ayah sama Dira atau ketiga sahabatku. Maka aku akan menjawab ketiga sahabatku. Meski esok harinya aku sudah tidak memiliki keluarga kandung lagi. Tidak apa. Sudah kukatakan, kalau aku hanya butuh ketiga sahabat somplakku.

.

Kita terus saja bercanda, tidak perduli kelas yang awalnya sepi berubah menjadi penuh dan ramai. Bilal terus saja mengoceh dan mengoceh, yang berhasil membuatku hampir pipis di tempat, begitu juga dengan Visa dan Aura.

"Ehem. Permisi, gua pengen duduk."

Sontak galak tawa dari kita berempat berhenti mendengar suara bass yang sudah kuhapal di luar kepala. Mendongak, menatap pemuda yang menatap kita berempat dengan wajah dingin, sangat berbeda saat dia bersama Dina. Aku hanya tersenyum miris melihatnya.

Kepalaku menggeleng, mencoba mengenyahkan pemikiran aneh yang baru saja datang.

"Nanti kita lanjut lagi. bye." Pamit ketiga sahabatku dengan cengiran dan duduk di kursinya masing-masing.

Kenapa aku bisa duduk dengan Reksa? Gampang. Karena tempat duduk ini wali kelas yang memilih. Satu bangku di huni satu orang cewek dan satu orang cowok, karena kebetulan nomor undian yang Reksa ambil waktu itu sama denganku, jadinya ya begini. Entah aku harus bersyukur atau mengutuk diri.

Taklama, bu Vivi datang dengan wajah datar andalannya, guru muda cantik yang sudah memiliki satu anak itu memandang satu persatu satu anak didiknya dengan pandangan nyalang yang membuat siapapun menundukkan kepala, termasuk Dira, tapi kecuali aku. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.

"Dira, ke ruangan ibu,"

Dahiku mengkerut mendengar perkataan bu Vivi, begitu juga dengan orang-orang di kelas. Menatap bu Vivi aneh.

"Saya bu?" tanyaku menjuding diri sendiri, karena garis besar yang ada di tangan bu Vivi mengarah ke arahku.

"Iya kamu. Siapa lagi memangnya?" tanyanya terdengar sinis.

"Anu... Maaf bu, saya Dina, bukan Dira. Dira kan duduk di depan ibu." Jawabku menjuding Dira yang duduk di barisan paling depan di tengah-tengah, tepat di depan bu Vivi.

Bu Vivi berdehem yang aku yakini sebagai bentuk rasa malunya. "Dina, ikut ibu."

Hampir seluruh murid menahan tawanya. Sedangkan aku menghela nafas sebal mendengar perkataan Bu Vivi yang selalu saja menyebutku Dira, ini bukan yang pertama, tapi tetap saja menjengkelkan.

"Baik," jawabku patuh, menekan rasa kesalku. Berdiri dari kursi dan berjalan keluar kelas, mengekori bu Vivi yang berjalan tegap, kedua tangannya di belakang dengan penggaris besar dan panjang, penggaris yang biasanya untuk memukuli kuku-kuku anak di kelasku kalau mereka melakukan kesalahan.

Bu Vivi masuk kedalam ruangan guru, duduk di singgah sananya, sedangkan aku masih berdiri di samping meja kerja beliau.

"Bawa ini, dan bagikan." Kata Bu Vivi menyodorkan kertas ulangan minggu lalu.

Kepalaku mengangguk hormat dan izin keluar. Namun belum genap dua langkah, bu Vivi kembali menyerukan namaku tanpa salah panggil.

"Maafkan ibu Dina kalau tadi salah memanggil nama kamu."

Tubuhku berbalik, tersenyum dan menggeleng. "Tidak apa bu," jawabku seadanya. Memangnya apa lagi yang akan aku ucapkan? Aku bukan Dira yang bsa berbicara ketus dan terus terang kalau itu menurutnya baik. Meski ucapannya tajam, tapi dia sangat di kagumi hampir seluruh murid di sekolah ini.

"Dan juga, kenapa kamu selalu menolak mengerjakan soal di papan tulis dengan alasan tidak bisa? Tapi saat ulangan nilaimu selalu tertinggi. Ada apa?" tanya beliau yang sama seperti guru lainnya.

Aku hanya meringis, menunduk dan pamit undur diri tanpa menjawab perkataan beliau. Bukan tanpa sebab sebenarnya aku melakukan itu. Aku hanya ingin membiarkan Dira menjadi yang terbaik, menjadi perfect seperti apa yang dia ingini selama ini. Kalau aku melakukan kesalahan bodoh, maka bukan aku yang sakit, tapi Dira. Kalau Dira yang sakit, maka bukan hanya aku dan Dira, tapi Ayah juga akan ikut sakit, sama seperti SD dulu. Dan aku tidak berniat mengulangi ke salahan yang sama. Aku hanya tidak ingin merenggut cita-cita Dira. Hanya itu.

"Ulangan udah di bagiin nih guys. Yang dapat nilai jelek jangan nangis ya," kataku di ambang pintu dengan cengiran.

"Gak bakalan ada yang dapat nilai di bawah KKM kali Din, orang kita di kelas unggulan." Sahut Dodit, pria cuek yang selalu berhasil membuatku ingin mencekiknya dengan ulah iseng yang entah kenapa selalu datang ke otak mesum pemuda itu.

"Cie sok loe." Sahutku menjulurkan lidah.

"Melet-melet. Minta di cipok loe? Sini kalo pengen, aa' Dodit siap ngasih."

"DODIT ANGKASA SYAHPUTRA!!" teriak koor ketiga sahabatku menggema. Sedangkan aku hanya terbahak sembari memberikan lembaran kertas sesuai nama.

"Dodit, 4.5!" seruku kencang, melemparnya ke sembarang arah tanpa berniat memberikan ke sang pemilik. Kontras hal itu membuat semua orang yang ada di kelas berebut untuk melihat kertas Dodit, dan aku semakin terbahak.

Bagaimana tidak, mereka dengan gampangnya aku bodohin. Bagaimana mungkin anak kelas A mendapat nilai segitu? Paling sedikit itu 7, kalau dapat nilai segitu paling langsung di paksa pindah ke kelas Reguler.

"Ah Dina penipu. Huuu!" sorak kesal semua orang yang berhasil 'ku kerjain, sedangkan aku semakin tertawa bahagia.

"Salah siapa mau aja di bohongin. Iya gak Em?" kataku meletakkan hasil ulangan Emely ke mejanya, gadis itu hanya tersenyum dan menunduk. Gadis berkacamata dan pemalu itu kalau di ajak bicara selalu saja reaksinya seperti ini.

"Dira," kataku memberikannya ke sang pemilik. Nilai Dira tidak jauh beda dari Dodit, hanya selisih 5. Dodit yang 9,0 sedangkan Dira 9,5. Gadis itu nampak mendesah kecewa. Kutepuk pundak kirinya beberapa kali sebagai penyemangat.

Mataku terbelalak melihat kertas di bagian paling atas, sebelum Dira berhasil melihat dengan cepat ku remas menjadi buntalan dan mengantonginya, mengacuhkan wajah penasaran dari gadis itu. Dan kembali berkeliling untuk membagikan kertas itu.

"Nih," kataku menyodorkan kertas ulangan terakhir. 9,5 itu nilainya, sama seperti Dira, mungkin mereka jodoh, sampai nilai saja sama.

"Dapat nilai berapa loe Din?" tanya Dodit berjalan ke bangkuku.

Kertas ulangan yang sudah ku ambil dari kantong berencana ingin mengganti nilainya harus di tunda dulu.

"Seperti biasa, 80." Kataku berbohong, semakin meremas kertas yang kugenggam.

Jelas terlihat kalau wajah Dodit menyiratkan ketidak percayaan. Pemuda yang duduk satu bangku dengan Dira itu mencoba mengambil alih kertas remasanku. Aku masih mencaba mempertahankan kertas ulanganku.

Namun bagaimanapun aku berusaha mempertahankan kertas itu, akhirnya kertas yang sudah menjadi buntalan berada di genggaman tangan Dodit. Pemuda itu membukanya tergesa-gesa, sedangkan aku mencoba untuk mengambil alih kertas itu, meski usahaku gagal.

Pada akhirnya, Dodit melihat nilai kertas ulanganku yang sebenernya. Sesaat wajahnya tercengang dengan sigap aku ingin mengambil kertas itu, namun tangan lain lebih dulu mengambilnya.

Tubuhku berbalik, berniat memarahi orang itu, namun tidak ada kata satupun yang berhasil lolos dari tenggorokanku. Dengan kasar aku mengambil kertas ulanganku menatap tajam dua pemuda itu.

"Gak baik ngambil barang orang tanpa permisi," kataku sinis, duduk di bangku, mulai mengeluarkan bolpoin berwarna dan mulai menggoreskan tinta mengubah menjadi 8,0. Sedangkan 0 yang satunya 'ku buat menjadi wajah beruang, mencoret-coretnya.

"Dapat nilai berapa Din,?" tanya Dira menatapku dan kertas dengan dahi mengkerut.

"Biasa, 80. Gak bisa nambah kayaknya," kataku dengan cengiran yang membuatnya tersenyum tipis, mengambil kertas ulanganku dan menggeleng dramatis.

"Selalu aja di coret-coret kayak gini," katanya mengembalikan kertas ulanganku dan melangkah ke arah bangkunya sedangkan aku hanya mengangkat bahu cuek, memasukkannya ke dalam tas rancel, mengambil susu yang masih kusisakan dua di dalam laci meja.

Mataku melirik dua pemuda yang masih berdiri di sampingku dengan wajah yang seakan menuntut jawaban, aku hanya mengangkat alis sok polos, memilih mengabaikan mereka.

"Kenapa loe bohongin Dira?"

Mataku melirik Dodit dan Reksa yang menatapku minta jawaban. Ku putar kedua bola mataku mendengar perkataan Reksa yang di angguki sama Dodit.

Kenapa aku bohongin Dira? Simple. Karena aku tidak ingin merusak cita-cita Dira yang ingin perfect. Aku hanya tidak ingin melihatnya murung saat tau kalau nilaiku di atasnya .

Meski aku tau betul kalau tidak ada orang di dunia ini yang perfect seperti ke inginannya, tapi Dira sangat terobsesi dengan namanya perfect. Aku tau keputusanku ini salah, tapi tidak apa-apa, asal aku tidak melihat wajah kecewanya. Percayalah, melihat dia murung karena angka itu sangat menyebalkan.

Meski Dira selalu mendapatkan apa yang aku mau, seperti ; perhatian Ayah, perhatian para keluarga besar sampai cinta dari Reksa. Tapi bukan berarti karena hal itu aku bisa membencinya kan? Masih ingatkan kalau Dira itu satu-satunya saudaraku di rumah?.

"Bukan urusan kalian," jawabku cuek, melempar kotak susu ke dalam bak sampah di belakangku paling ujung, berdekatan dengan loker yang jarang di pakai anak-anak, mereka cendrung memakai loker yang berada di luar kelas.

"Bukan urusan gua?" tanya Reksa sengit.

"Emh,"

"Loe---"

"Siang semua!" sapa pak Bukti, -memotong perkataan Reksa yang entah apa- guru sejarah yang di benci hampir semua anak, bagaimana tidak, guru itu selalu memberi tugas yang aneh-aneh, dan tidak pernah menerangkan yang ada LKS, ibaratnya, datang hanya memberi tugas dan setelah itu langsung pergi. Benar-benar guru yang keren.

"Siang pak," jawab kami malas.

Dodit berjalan ke arah mejanya, namun sebelum dia duduk di kursinya, matanya menatapku dengan pandangan aneh yang ku balas tatapan polos. Dia mendesah lalu duduk dengan tenang di kursinya.

"Bapak ke sini mau memberi tugas buat kalian semua." Kata pak Bukti yang langsung di jawab protesan. Namun guru itu seakan tidak perduli. "Tugasnya perkelompok. Perbangku ya. Tugasnya merangkum bangunan atau apapun yang masih berkaitan dengan sejarah. Bebas kalian mau merangkum apapun. Tugasnya di kumpulin besok, hari ini kalian bisa langsung pulang, karena para guru ada meeting penting. Itu saja. Sampai jumpa besok."

Sontak semua anak mengeluh sebal, mengutuk pak Bukti seenaknya.

Mataku melirik pemuda di sampingku yang sedang mencangklongkan tas rancelnya, berdiri bersiap berjalan.

"Tunggu. Kita mau ke musium apa?" tanyaku menatapnya penuh tanya.

Pemuda itu mengrenyitkan alis dan mengangkat bahunya. "Gak tau, gua mau pergi sama Dira, soal tugas ini bisa di kerjain nanti malem. Loe gak punya kesibukan kan kalo malem?"

Keningku mengkerut mendengar perkataanya, "Loe lebih mentingin pergi sama Dira dari pada ngerjain tugas? Loe gila?!" tanyaku tidak habis pikir sama jalan pikiran pemuda di sampingku.

"Gak. Jalan sama Dira jauh lebih penting dari pada apapun," katanya dan pergi begitu saja.

Nafasku tercekat mendengar perkataanya. Jalan sama Dira lebih penting dari apapun?. Kurasakan sesuatu di dalam dadaku berdetak lambat, detakan yang sangat menyesakkan dada.

Dia lebih perduliin Dira dari apapun? Jadi... sebesar itu ya rasa cintanya buat Dira?!. Aku tersenyum masam, memejamkan mataku, berharap air mataku tidak turun hanya karena ini.

"Dina. Kita pergi dulu ya. See you next day." Kata Aura yang ku balas anggukan dan lembaian tangan, tidak ada senyuman tipis tersungging di bibirku. Di susul kedua temanku yang lain. Sekarang aku sendirian di kelas yang sudah sepi.

Kuhela nafas berat, memasukkan susu, air putih dan roti ke dalam tas. Berjalan keluar kelas dengan pelan.

Berjalan dan terus berjalan hingga aku sudah tidak tau berapa jauh kakiku melangkah, sampai 'ku rasakan pegal di tumit langkahku baru berhenti. Mataku menatap warung di pinggir jalan, mampir ke sana, memesan es teh, duduk di bangku panjang yang memang di sediain sama pemilik warung. Mengamati orang-orang yang sedang bercengkrama dengan temannya.

"Oh ya? Masak sih tempat angker itu peninggalan orang Jepang dulu?" tanya seseorang yang masih memakai seragam SMA lengka,p bertanya sama temannya yang memakai kaos oblong putih namun rok SMA masih melekat di pinggangnya.

"Iya, gua denger sih kayak gitu. Peninggalan negara Jepang yang gak ke urus. Lagian, tempatnya angker gitu, siapa juga yang mau ngurusin tempat kayak gitu,"

"Iya juga sih. Terus loe sama cowok loe gimana? Masih lanjut?" perkataan berikutnya 'ku abaikan, memilih berpikir tentang peninggalan Jepang yang terbengkelai.

"Peninggalan Jepang?" gumamku lirih. Apa itu saja ya buat tugas pak Bukti? Tapi kan aku tidak tau di mananya tempat itu.

"Ini neng es tehnya,"

"Oh iya buk makasih. Eh buk, boleh numpang nanya sesuatu gak?" tanyaku mencegah si ibu pemilik warung ini untuk pergi.

Ibu itu  mengrenyitkan kening namun kepalanya masih mengangguk.

"Boleh neng, mau nanya apa?"

"Anu... itu... tadi aku sempet denger soal peninggalan orang Jepang, ibu tau tentang tempat itu?" tanyaku penuh harap.

Si Ibu tersenyum manis, "Tau neng, tapi ibu teh gak begitu paham. Kalau neng mau, neng tanya sama pak Basuki, dia teh tau banyak tentang tempat itu."

"Pak Basuki?"

Si ibu mengangguk. "Iya neng, paling sebentar lagi pak Basuki ke sini, tunggu aja neng."

Aku hanya mengangguk mendengar perkataan Ibu itu. Pak Basuki yah? Ok lah, aku tunggu. Tanpa Reksa juga aku bisa ngerjain tugas ini, aku tidak butuh orang seperti itu, kalau sendiri masih bisa. Dasar cowok, di mana-mana, cowok pasti seperti itu. Menyebalkan. Dan sayangnya, kenapa aku malah suka sama dia?.

Tak berapa lama ada orang yang memasuki warung, seorang bapak-bapak, mengenakan baju koko berwarna biru pucat, kopiah menempel pas di kepalanya dan sarung bermotif kotak-kotak. Orang ini terlihat sangat alim.

Aku lebih memilih mengabaikan orang itu dan mengaduk-ngaduk es teh sembari menunggu pak Basuki. Semoga saja dia datang ke sini, kalau tidak, entahlah, mungkin aku tidak akan mengumpulkan tugas.

"Maaf, adek mencari saya?"

Kepalaku mendongak, menatap pria yang tadi aku katai alim berdiri di depanku. Keningku mengkerut. Apa dia pak Basuki?.

"Bapak...?"

"Ah, saya Basuki,"

Aku tersenyum manis mendengar perkataanya. Untuk kali ini do'aku di jabah. Menjabat uluran tangan pak Basuki dan mengangguk. "Saya Dina pak. Begini, saya ada tugas dari sekolah, merangkum sejarah yang ada di Indonesia. Nah kebetulan tadi saya denger orang bicara soal bangunan angker yang katanya peninggalan orang Jepang, terus saya tanya sama ibu itu, orang yang mengetahui banyak hal tentang bangunan itu katanya bapak. Kalau boleh minta tolong, saya ingin di antar ke bangunan itu dan menjelaskan tentang bagunan itu pak. Apa boleh?" tanyaku penuh harap.

Pak Basuki tersenyum. "Tentu. Jarang ada anak muda yang ingin ke tempat seperti itu, bisa di katakan tidak pernah ada." Katanya dengan tawa.

Aku hanya tersenyum tipis dan menyeruput minuman yang masih setengah.

"Ngomong-ngomong, adek ini dari sekolah mana? Kok seragamnya saya baru liat."

"Saya dari sekolah SMA BUKTI NUGRAHA pak."

"Loh? Kok bisa sampai sini? Jaraknya kan jauh dek, berpuluh-puluh kilo meter lho."

Aku tersenyum canggung mendengar perkataan pak Bukti.

"Jarang ada anak muda seperti kamu, mencari tugas sampai seperti ini,"

Aku semakin tersenyum canggung. Aku sampai sini bukan karena tugas, tapi karena ingin menyalurkan rasa sakitku pada kaki. Kataku dalam hati, tanpa berniat menyuarakannya.

"Yasudah. Ayo ikut bapak, nanti keburu semakin sore," katanya bangkit dari bangku.

Sore? Tanyaku dalam hati, melirik jam tangan yang kupkai dan mendesah lelah. Pantas saja kakiku rasanya mau copot, ternyata sudah jam 3 lebih.

"Iya pak," jawabku mengikuti beliau dari belakang.

"Kenapa bangunan itu tidak di rawat Negara pak?" tanyaku mengambil Handphone dan mulai merekam percakapan untuk bahan makalah.

"Bagaimana mau di rawat Negara, orang yang mengetahui tentang bangunan itu hanya segelintir orang dek, dan terlebih lagi, bangunan itu menyimpan banyak misteri, kalau malam sering terdengar orang berteriak kesakitan, menangis atau yang lainnya. Karena itu lah kalau malam tidak akan ada yang berani keluar dari rumah."

"Kenapa begitu pak?"

"Menurut orang yang pernah menantang peraturan ini, orang itu selalu di ganggu mahluk halus, bahkan setelah orang itu menceritakan yang dia alami, orang itu menjadi gila dan tak lama meninggal. Karena itulah tidak ada yang berani keluar rumah. Bukan hanya satu dua kali, tapi berkali-kali dek."

Bulu kudukku berdiri merinding mendengar perkataan pak Basuki.

"Kalau begitu, kenapa bangunan itu tidak di musnahkan saja pak?"

"Banyak yang mencoba untuk merobohkan bangunan itu, namun bangunan itu seperti tidak bisa di robohkan. Dari alat yang di pakai buat merobohkan tiba-tiba oleng, remnya blong yang berakhir alat itu menabrak rumah warga dan mesinnya tiba-tiba mati. Sejak saat itu, tidak ada yang berani untuk merobohkan bangunan itu. Jadinya di biarkan saja."

"Apa kalo kita masuk ke dalam tidak akan terjadi apa-apa pak? Emh, takutnya nanti saya tidak bisa pulang," kataku takut-takut.

Pak Basuki tertawa kencang mendengar perkataanku. Aku hanya antisipasi saja, tidak ada yang salah kan?. Kalau tau begini, lebih baik tadi aku tidak usah sok-sokan nanya. Aish.

"Tidak dek, niat adek kan hanya mencari tau tentang bangunan itu, tidak ada niatan jelek. Jadi tidak masalah. Bapak sering masuk ke sana, dan tidak pernah terjadi hal yang aneh-aneh. Semuanya tergantung niat dari dalam hati kita."

Aku mendesah lega mendengar perkataan pak Basuki.

"Bangunan itu di temu sama siapa pak?"

"Bangunan itu di temu pertama kali sama pak Sura, selaku orang yang pertama kali membangun desa di tempat ini. beliau sudah meninggal lama. Kata pak Sura, bangunan ini di bangunan sama kolonel Jepang pada tahun 1943, di mana ayah pak Sura menjadi budak kerja rodi tentara Jepang. Banyak ornamen khas Jepang di dalam sana yang masih ada, tidak ada yang tau arti ornamen itu untuk apa, namun warga kampung tidak ada yang berani untuk mendekat, mengingat seangker apa tempat itu." Kata pak Basuki dengan tawa membahana.

Aku meringis, entah apa yang di tawakan pak Basuki, mungkin karena warga kampung yang penakut?. Entahlah. I don't know.

Pak Basuki terus menceritakan asal muasal tempat itu, beberapa mitos yang pernah beredar karena bangunan itu sampai hal-hal yang di larang saat mendekati bangunan itu, seperti perkataan kotor, pikiran kotor, hati yang kotor –ini di maksud orang yang ingin mencari kekayaan, kesuksessan, ingin balas dendam sama seseorang dan sebagainya-.

Sampai hampir menjelang kiro'at baru selesai mengelilingi tempat itu, banyak foto yang ku ambil untuk melengkapi makalahku nanti. Isya' aku baru sampai di asrama putri menggunakan busway, karena di kota ini, tidak ada Taxi, adanya Ojek dan Busway, bahkan hanya beberapa orang yang mempunyai mobil. Ini semua sudah di terapkan sejak dulu. 

Kotaku masih bersih dari debu dan asap kendaraan. Tempatku tinggal menjunjung tingi adat budaya. Semua orang selalu mematuhi perintah di kotaku, karena di kotaku tinggal masih menggunakan kerjaan bukan bupati. Yang melanggar akan langsung mendapatkan sangsi dari sang raja. Dan yang ingin membeli mobil harus mengurus syarat-syarat yang meropotkan, serta menjawab semua perkataan sang raja yang tegas, meski sudah berusia lebih dari setengah abad. Namanya, Raja Suwala.

Orang paling adil, beliau menyelesaikan masalah dengan kepala dingin bukan dengan mebentak-bentak seperti orang kebanyakan.

Kembali lagi ke makalah yang sedang ku kerjakan. Kedua telingaku tersumpal earphone, mendengarkan penjelasan pak Basuki, tanganku mengetik kata demi kata dan memasukkan foto yang di perlukan.

Jam delapan aku selesai mengerjakan makalah itu, membawanya ke fotocopy di asrama yang di lengkapi print. Menyuruh abang penjaga fotocopy untuk mengeprint file yang aku ingin, sekalian di Kliping.

Setelah semuanya selesai, aku baru pulang ke rumah. Jam sepuluh lebih aku baru sampai di rumah tante Rahma. Membuka pintu, berjalan ke arah tangga, namun langkahku terhenti di ambang ruang TV, melihat Reksa dan Dira yang sedang bercanda.

Raut wajah kedua orang itu terlihat sangat bahagia, terlebih Dira. Gadis itu tersenyum manis, senyuman yang tidak pernah 'ku lihat selama kita tinggal bersama. Tersenyum miris dan berjalan ke arah tangga dengan langkah cepat. Rasanya sangat sesak melihat mereka bahagia seperti itu. Salahkan saja hatiku yang jatuh cinta sama orang yang mencintai saudara kembarku.

Kadang aku bertanya. Wajahku dan Dira sama, tapi kenapa Reksa bisa mengenali Dira saat aku dan Dira sedang berjalan bersisian? Aku bahkan pernah berharap kalau Reksa akan salah menilai, dan akhirnya dia tersenyum padaku, menghampiriku, tapi kenyataan pahit sangat talak menamparku saat Reksa tak kunjung salah menyebut. Nyesek. Yah aku tau.

.

Pagi harinya seperti biasa. Kediaman tante Rahma dan om Irawan tidak jauh beda dari hari-hari sebelumnya. Aku hanya memakan roti secara perlahan, sama sekali tidak minat untuk menelannya. Prasaanku kacau melihat kemesraan Dira dan Reksa di meja makan yang semakin jadi.

Mendorong kursi, berpamitan untuk pergi ke sekolah yang hanya di jawab anggukan, dan mereka semua kembali bercanda.

Kuhela nafas lelah. Aku tidak akan bertanya kapan aku akan berhenti menjadi bayang-bayang Dira lagi. Karena sekarang aku tau, pertanyaan itu hanya pertanyaan bodoh yang tidak akan ada yang bisa jawab kecuali sang waktu sendiri. Atau... aku tidak akan pernah berhenti menjadi bayangan Dira.

Duduk dengan tenang di kursi paling belakang, menatap orang yang memakai seragam SMA di luar jendela, tak banyak yang memakai busway. Mereka lebih memilih memakai sepeda ontel atau jalan kaki.

Tak lama busway yang kunaiki berhenti di halte depan sekolahku. Berjalan pelan memasuki pagar sekolah. Banyak yang sudah berangkat, tidak seperti kemaren saat aku berangkat yang pagar baru di buka. Bisa di katakan kemaren aku terlalu ke pagian.

Meletakkan tas di dalam laci meja, menatap halaman belakang sekolah yang sepi dengan bertopang dagu. Memasang airphone memutarnya secara acak. Lagu worth it dari Fifth Harmony mengalun dengan indah di telingaku. Lagu penghancur mood galauku dalam sekejap.

Kelas yang tadi lumayan sepi kini berubah ricuh. Mataku beralih menatap semua orang di kelas yang sedang sibuk dengan dunianya sendiri, bahkan ketiga temanku juga begitu, sepertinya mereka belum menyelesaikan tugas pak Bukti, terlihat dari wajah mereka yang frustasi, bukan hanya mereka, namun teman sebangku mereka juga menampilkan hal yang sama.

Aku hanya tersenyum tipis melihat wajah frustasi ketiga sahabatku, menikmati ke frustasian mereka. Sebut saja akau jahat, tapi itulah kenyataanya. Wajah frustasi mereka salah satu hiburan tersendiri buatku.

Dua orang berjalan bersisian masuk kedalam kelas menghancurkan mood senangku, seketika wajahku berubah menjadi muram, mengeraskan sedikit volume music yang sekarang sedang memutar lagu Sam Smith, I'm Not The Only One, seketika wajahku makin keruh, meski begitu, aku masih menikmati lagunya sampai usai.

"Astaga!" pekikkan orang di sebelahku yang masih bisa masuk kedalam gendang telingaku. Karena penasaran, kuturunkan Volume music demi mencari tau apa yang membuatnya berteriak seperti tadi.

Dengan seenaknya Reksa melepaskan Airphoneku, membuat benda itu menggelantung di leherku. Mataku memincing melihat kelakuannya yang sedikit menjengkelkan.

"Din, loe udah buat makalah yang pak Bukti suruh belum?" tanyanya dengan wajah panik.

Aku mendengus dan kembali memasang airphone di kedua telingaku. "Gak. Ngapain gua buat tugas? toh kalau temen kelompoknya sama sekali gak perduli," kataku sinis, mencari musik yang menghentak di handphoneku.

Sebenarnya aku tidak ada niatan buat berbicara seperti itu, namun rasa sakit dan jengkel yang masih menancap indah di hatiku tidak bisa di abaikan begitu saja. Hey! Aku bukan artis yang selalu bisa berakting kapanpun dan di manapun.

Terdengar desisan frustasi dari orang di sebelahku yang masih terdengar karena aku sudah mematikan lagu, ingin tau bagaimana reaksi dia.

"Ya sudah, mau gimana lagi? Bilang saja lupa ngerjain."

Perkataan Reksa tadi hampir membuatku berteriak murka. Kepalaku menggeleng dramatisir. Dina, sebenernya apa yang kamu sukai dari pemuda di sebelahmu ini? Kenapa prasaanmu sejak SMP sama sekali tidak berubah?! Batinku menjerit frustasi.

"Pagi semua," sapa pak Bukti berdiri di tengah-tengah kelas, di depan meja guru.

Kulepaskan airphone di telingaku dan mengalungkannya di leher, membuka tas rancel, memegang makalah tanpa ada niatan menaruhnya di atas. Aku hanya ingin mengerjai Reksa, agar dia tau seberapa jengkelnya aku. Itupun kalau dia peka.

"Bapak kesini cuman mau ngambil makalah. Dan yang tidak mengerjakannya silahkan berdiri di depan kelas sampai pelajaran saya nanti di mulai."

Reksa berdiri dari duduknya, bersiap untuk berjalan. Dengan cepat kutarik tangannya, menahannya untuk melangkah. Berdiri, mengeluarkan makalah di meja, mengabaikan raut tidak percaya dan bingung yang terpancar dari wajahnya. Aku tersenyum kecil tanpa di ketahui Reksa.

Melangkah, mengambil makalah yang sudah ada di meja semua anak. Memang ini tugasku sebagai wakil ketua kelas, mengambil atau menyerahkan tugas itu kewajiban seorang wakil ketua kelas, sedangkan tugas ketua kelas –Dira- hanya memimpin do'a, menyelesaikan masalah –kalau ada- dan mengheningkan kelas saat ada yang ribut pas jam pelajaran berlangsung.

Setelah semua terkumpul, ku serahkan buku tugas itu di meja guru, membuat pak Bukti keluar kelas. Seperti perkataanya tadi, dia hanya mengambil tugas, karena saat ini bukan jam pelajarannya, melankan pelajaran pak Wahyu – Bahasa Inggris-.

Setelah pak Bukti keluar dari kelas, tak lama pak Wahyu datang ke kelas. Sedangkan Reksa, pemuda itu sejak tadi hanya diam, seolah dia tidak habis melakukan kesalahan apapun. Bukannya aku ingin mendengar dia makasih atau bertanya tentang makalah itu, cuman... Ahk! Dia sangat menjengkelkan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top