Episode 14 - Kemantapan hati
Cinta itu bermula dari hati.
Membicarakan soal cinta, tidak akan pernah ada habisnya. Aku mencintainya dari hatiku yang terdalam, aku pun tidak tau sejak kapan aku mulai mencintainya, dia tidak pernah mengumbar senyum menawan yang membuat hatiku berdentum cepat, dia tidak pernah berbicara manis yang membuatku merona, dan dia juga tidak pernah berusaha untuk membuatku tersenyum.
Tapi satu yang aku tau, cinta hadir bukan karena itu semua, melainkan karena adanya prasaan nyaman, adanya prasaan di hargai, adanya prasaan yang membuatmu merasa bahagia meski kelakuannya sangat menjengkelkan.
Cinta hadir bukan dari perkataan gombal atau perlakuan manis. Itulah yang aku tau darinya tentang prasaan ini. Prasaan yang tumbuh dengan sendirinya.
Angin berhembus kencang, daun-daun berguguran, terombang-ambing terbawa kencangnya angin sebelum jatuh ke tanah yang di lapisi rerumputan hijau. Semua itu Nampak terekam di kaca jendela rumah sakit yang mengarah lurus ke taman.
"Dulu Ayah sama Bunda menikah karena perjodohan. Gak ada kata Cinta di antara mereka berdua. Seiringnya waktu yang terus berjalan Bunda mulai merasakan jatuh cinta sama ayah, tapi beda sama ayah yang masih mencintai mentan kekasihnya.
"Awalnya hubungan ayah baik-baik saja sama bunda meski tidak ada kata cinta di hati ayah untuk bunda. Seperti kata banyak orang, hubungan yang di alndasi tanpa cinta akan goyah saat ada angin menerpa. Di sini angin yang dating mantan kekasih ayah atau yang sekarang menjadi isrti kedua ayah.
"Sama seperti ayah, dia juga tidak bias mencintai orang lain selain ayah. Hingga mereka berdua memutuskan untuk berselingkuh di belakang bunda. Tepatnya 8 tahun lalu. Awalnya aku marah, aku kecewa sama ayah. Tapi aku balik lagi berpikir. Apa yang mau di marahin? Apa yang di kecewain? Toh semuanya sudah berubah.
"Kalopun ayah di suruh memilih, sudah pasti ayah memilih istri keduanya ktimbang kita dan bunda. Jadi aku memilih opsi kedua, menerima semuanya.
"Aku tau itu berat. Tapi mau bagaimana lagi? Cinta di paksa, cinta tidak bias di atur, dan cinta tidak bisa di kehendaki. Kita tau pasti cinta itu hadir dengan sendirinya.
"Kalau ada yang bilang cinta hadir karena terbiasa, aku tidak percaya. Buktinya ayah, dia sudah terbiasa dengan kita dan bunda, tapi dia tidak bisa mencintai bunda selayaknya pria mencintai wanita. Ayah—"
"Itu karena ayah tidak ingin melupakan cintanya di masalalu. Dia selalu terbayang-bayang dengan cintanya di masalalu. Dengar Dira, seseorang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melupakan sesuatu, dia pasti akan berhasil asal tidak di sertai penyesalan. Tapi saat seseorang tidak ingin dan tidak mau melupakan sesuatu sampai kapanpun, dia tidak akan bisa melupakannya." Potong Dina cepat. Tangannya terkepal erat.
Tadi setelah selesai berbicara di taman rumah sakit, keduanya memilih untuk menjenguk bunda mereka. Jangan bayangkan bagaimana reaksi Dina waktu melihat sang bunda tercinta. Gadis itu menangis deras, memeluk tubuh bundanya yang terbaring lemah di rumah sakit. Dan tidak lama setelah itu, orang yang terbaring di brangkar perlahan membuka mata, membuat semua orang yang ada di sana terkejut bukan main, sedangkan Dina semakin menangis kencang, memeluk tubuh bundanya dengan erat, tidak ingin melepaskannya lagi.
Dan setelah adegan itu, Dina serta bunda dan Dira memilih di ruangan sang bunda, semua orang pergi teratur dari ruangan itu, meninggalkan ketiga orang di dalam sana. Dina di sebelah kanan brankar, Dira di sebelah kiri brankar. Menatap bundanya dengan pandangan bahagia, meski air mata masih menetes di pipinya. Keduanya berbincang-bincang sebentar, sebelum Dina di usir oleh sang bunda untuk daftar di rumah sakit agar kakinya cepat sembuh dan mendapat perawatan yang baik. Bukan Dina kalau dia menurut dengan mudah, namun bundanya jauh lebih keras kepala di banding Dina yang berakhir di menangkan oleh kubu Dira dan bundanya.
Di sini sekarang mereka berdua. Dina duduk di atas brankar dengan baju khas rumah sakit, Dira duduk di kursi samping brankar sang kakak.
"Sampaikapanpun aku gak 'kan pernah merestui mereka. Apapun alasannya, aku tidak akan pernah memaafkan seseorang yang sudah berkhianat di tambah menyembunyikan fakta bunda masih hidup dariku." Katanya keras kepala penuh dengan rasa benci. Tatapan yang dulu selalu terlihat ceria dan polos kini berubah menjadi penuh emosi dan dendam. Dira tidak tau kalau sang kakak tumbuh menjadi seseorang yang pendendam seperti ini.
"Aku juga awalnya sempat berpikir begitu kak, tapi melihat ayah yang tersiksa aku jadi---"
"Tersiksa? Apanya yang tersiksa? Yang tersiksa di sini itu aku sama bunda. Kamu itu anak pria itu apa anak bunda? Kamu mikirin prasaan pria itu, tapi apa kamu mikirin prasaan bunda? Apa kamu tau prasaan bunda yang sebenernya bagaimana? Kamu tidak tau kan Dir? Kalau kamu bisa mikirin prasaan pria itu, coba kamu mikirin prasaan bunda kamu! Kamu juga wanita, dan besok akan menjadi ibu. Bagaimana prasaanmu waktu suamimu selingkuh sama orang lain saat kamu sudah menjadi seorang ibu?! Apa kamu akan nerima suamimu dan selingkuhannya semudah ini?!" Tanya Dina geram, matanya menatap nyalang sang adik yang diam membisu. Tidak tau menjawab apa.
Jujur saja, selama ini Dira memang tidak pernah memikirkan prasaan sang bunda, gadis itu lebih memikirkan prasaan sang ayah. Kepalanya menunduk dalam, kedua tangannya terkepal erat. Dia tidak bisa menjawab apapun. Karena yang di bicarakan sang kakak benar adanya.
"Gini aja deh, gimana prasaanmu kalo kamu lihat Reksa selingkuh? Apa kamu akan menerimanya? Bagaimana?!"
Dira semakin bungkam mendengar pertanyaan kakaknya. Bagaimana kalu Reksa selingkuh? Apa dia juga bisa menerima semua ini dengan lapang dada? Apa dia bisa dan mampu melihat Reksa jalan berduaan dengan orang lain? Tidak. Jawabannya dia tidak akan bisa merelakan hal itu terjadi.
Melihat gelengan sang adik Dina menyeringai sinis. "Kamu yang baru pacaran aja gak rela, gimana sama bunda yang udah nikah dan punya anak? Apa kamu sama sekali gak mikirin prasaan bunda? Prasaan orang yang melahirkan kita?" pertanyaan Dina terasa menohok jantungnya. Begitu tepat dan menyakitkan. Dia merasa menjadi anak paling tidak berguna.
Dia memang selalu datang ke rumah sakit untuk menjenguk bundanya sekaligus ceck up, membawa bunga kesayangan wanita itu yang juga bunga kesayangannya. Merawat sang bunda dengan telaten, menunggu sang bunda dengan sabar untuk siuman, menceritakan berbagai hal yang dia rasakan ke sang bunda. Tapi semua tidak akan berguna kalau dia tidak memikirkan prasaan sang bunda.
Apa karena ini sang bunda tidak mau siuman saat dia datang? Saat di jenguk semua sanak saudaranya? Apa karena tidak ada yang memikirkan prasaan sang bunda hingga wanita itu enggan membuka meskipun sedetik? Prasaan bersalah menghujam jantungnya, kali ini jauh lebih menyakitkan dan menyesakkan. Apa yang selama ini telah di lakukan dan pikirkan? Apa?!.
"Aku bahkan milih bunda menceraikan suaminya daripada melihat bunda di madu. Aku tidak akan dan tidak akan pernah memaafkan mereka, meski mereka bersujud di kaki bunda sekalipun. Meski semua orang akan merestui hubungan mereka dan bunda memaafkan mereka, aku tidak akan pernah memaafkan mereka sampe aku mati. Dan aku juga ragu, apa saat nanti aku mati, memaafkan itu akan terlontar dari bibirku. Orang yang menghianati istrinya itu orang yang sangat aku benci. Saking bencinya, aku rela masuk ke dalam neraka dari pada memaafkan mereka. Never!"
Perkataan Dina yang penuh dengan aura kebencian membuat ke empat orang di luar ruangan itu meremang. Wanita dan pria paruh baya yang sedang di buat topic pembicaraan menampilkan ekspresi sedih yang teramat dalam. Kedua pemuda di samping mereka hanya bisa meneguk air liurnya susah payah. Berbeda dengan wanita berpakaian rumah sakit yang tidak jauh dari mereka, tersenyum sinis begitu mendengar perkataan sang anak. Tersenyum sinis untuk kedua orang paruh baya di depan pintu rumah sakit yang sedikit terbuka.
Wanita berpakaian rumah sakit melenggang pergi, niatnya untuk menghampiri sang anak dan berbicara banyak terurungkan. Masih banyak waktu, tapi tidak untuk kali ini. Dia yakin anaknya butuh waktu untuk menerima apa yang sekarang terjadi.
Purnama berdehem canggung sebelum berbicara, mengalihkan kefokusan semua orang di depannya. "Maaf, saya dokter Purnama, saya ingin mengecek kondisi pasien saya."
Seolah tersadar di mana mereke berdiri, ketiga orang itu menyingkir, mempersilahkan Purnama untuk masuk. Mengangguk pelan atas di ijinkannya masuk, Purnama berjalan dengan tenang melenggang ke dalam, seolah perkataan Dina beberapa detik lalu tidak pernah terjadi dan tidak pernah dia dengar.
Dina mengalihkan tatapannya ke seseorang yang baru saja masuk. Matanya memincing melihat seringai yang terasa janggal di bibir pria itu.
"Ngapain loe senyum kayak gitu? Kayak keren aja." Sungutnya memandang tajam Purnama, yang di pandang semakin melebarkan seringaiannya.
Dira menoleh, menatap pia ber jas putih berjalan kearah mereka, kembali menolehkan kepalanya, menatap sang kakak yang semakin cemberut. Keningnya berkerut. Merasa heran. Baru pertama kali dia melihat kakaknya menampilkan ekspresi seperti ini.
"Emangnya mau ngapain lagi kalo gak meriksa otak loe? Eh kaki loe maksud gua." Candanya yang mendapat tatapan semakin tajam. Namun itu sama sekali tidak memberikan efek. Purnama adalah satu-satunya orang yang kebal dengan deathglear mematikan Dina.
"Ngapain loe melotot kayak gitu? Kayak punya mata aja." Sambung pria itu di sertai seringai menyebalkan –menurut Dina.
"Kalo gua gak punya mata, ini apa?!" tanyanya mulai terpancing emosi, jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya menjuding kedua bola matanya yang semakin melotot. Memperlihatkan kalau dia memang mempunyai kedua mata.
"Loh itu mata toh, gua kirain itu jidad. Habis loe gak punya jidad sih." Sahutnya cuek, menghendikan bahu acuh.
Dina semakin melotot berang. Berniat memukul pria itu dengan tangan kiri serta kanan yang tertancap infus. Gerak reflek Purnama yang terlalu cepat membuat Dina hanya mampu memukul angin.
Menggertakkan giginya menahan Emosi Dina mengambil bental yang di buat senderan ke arah Purnama, namun lagi-lagi bental itu tidak bisa mengenai tubuh Purnama. Pria itu tersenyum mencemooh.
Tanpa berpikir dua kali, Dina melempar benda di atas nakas kea rah Purnama, namun sayangnya benda persegi panjang yang pipih berwarna cream itu dengan talak menabrak dinding, menimbulkan bunyi 'PRAK' sedikit nyaring.
Untuk sesaat semunya hening, Dina membuka bibirnya lebar-lebar penuh keterkejutan sebelum teriakan nyaring membahana memanggil nama Purnama dengan sebutan 'Purnomo'.
"Ganti handphone gua, Pur. Ganti!" sambungnya tidak terima, kedua matanya menatap handphone pemberian sahabatnya dengan tidak percaya.
Purnama mencebikkan bibirnya kesal. "Hoy, hoy, hoy. Sadar diri, siapa yang ngelempar tuh barang ke gua? Gua gak pernah di lempar sama barang itu ya. Dan lagi, jangan manggil gua Pur! Loe kira gua kucing apa?!"
Dina mendelik galak. "Gua gak peduli. Gantiin handphone gua!" serunya tidak perduli dengan perkataan Purnama yang sedikit aneh.
"Dih ogah. Beli sendiri sono. Punya kaki kan? Loe tadi bilang punya mata kan? Jadi sono gih, gih, gih. Beli."
"Eh begok, kaki gua lagi sakit. Mana bisa beli? Itu tanggung jawab loe. Ganti sekarang!"
"Diiiiih." Serunya tidak terima. "Loe kira gua babu loe? Lagian loe emang bisa sakit? Penyakit aja takut deket-deket sama loe. Sebelum mereka berhasil bikin loe sakit. Paling mereka langsung koid."
Dina kembali mendelik galak. "Loe kira gua virus penyebar mematikan?!" sahutnya berteriak nyaring.
Tidak perduli dengan teriakan Dina, Purnama mendehendikan bahu cuek. "Siapa yang tau? Lagian gua gak bilang kalo loe penyebar virus mematikan. Loe sendiri yang bilang."
Rasanya Dina ingin sekali menerjang tubuh pria itu, mencincangnya dan membuangnya ke rawa-rawa yang penuh dengan buaya kelaparan. Tapi sayangnya itu semua hanya bisa di lakukan dalam hayalan.
"Loe nagajak gua berantem?"
"Gak, gua ke sini mau meriksa kaki loe. Kan tadi gua udah bilang. Kok loe dodol banget sih jadi orang. Padahal gua baru aja bicara kayak gitu tadi, eh udah lupa."
Dina menggeram emosi. Giginya saling mengetat, menahan emosi yang sudah berada di ubun-ubun. Berbeda dengan semua orang yang menonton pertunjukan aneh di depannya. Mereka ber empat menahan tawa melihat wajah Dina yang berubah-ubah, seiring dengan suasana hatinya. Dina memang sudah berubah, tapi kepolosannya dalam menyembunyikan emosi khususunya terhadap Purnama nol besar.
Mereka kembali mendebatkan hal yang jauh dari topic utama, saking jauhnya tidak ada yang tau apa debatan selanjutnya.
.
Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari. Hari berganti dengan bulan. Sudah 4 bulan sejak incident di rumah sakit di mana Dina marah-marah tidak jelas akan kedatangan Purnama berlalau.
Sudah 4 bulan di mana Dina mengatakan tidak akan pernah memefkan ayahnya dan istri pria itu. Dan sudah 3 bulan ibunya menyandang status janda.
Kehidupan mereka memang tidak sekaya di saat bersama sang ayah, tapi tidak juga jatuh begitu dalam. Mereka hidup dengan pas-pasan. Kedua orang tua sang bunda yang memang sudah meninggal hanya meninggalkan rumah minimalis berlantai dua dengan taman mini di garasi yang memang tidak di plaster semen. Masih tanah berwarna merah di lindungi rerumputan hijau yang Nampak terawat. Stepping tone yang berbentuk bulat tertata dengan rapi, dari garasi menuju lantai depan rumah. Memudahkan sang penghuni untuk melangkah tanpa harus repot-repot menginjak tanah.
Serta sudah 1 bulan Dina keluar dari rumah sakit. Biayaya rumah sakit seluruhnya di tanggung pihak sang ayah meski Dina sudah menolaknya dengan mentah-mentah. Namun perkataan sang bunda yang menyuruhnya untuk menerima membuatnya bungkam. Tidak bisa berbicara apapun, walau hati dan egonya masih ingin menolak.
Seperti rumah pada kebanyakan saat pagi menjelang. Suara gaduh dari dapur di iringi tapak kaki yang bersahut-sahutan dan omelan demi omelan, saling tidak terima di salahkan memenuhi kediaman baru Dina.
Dina terus saja mengoceh menyalahkan sang adik yang salah memasang alrm, sedangkan Dira yang tidak terima di salahkan ikut menyalahkan sang kakak dan berakhir dengan pertengkaran saling menyalahkan sembari turun dari tangga.
Wanita berpakaian rapi ala kantoran yang memakai celemek di dapur hanya mampu menggelengkan kepala. Sudah terlalu biasa mendengar pertengkaran kecil kedua anaknya yang memilih ikut dengannya dari pada sang ayah.
Dira sesekali menginap di rumah sang ayah agar tidak menjauhkan jarak di antara mereka, sedangkan Dina sama sekali tidak mau menginjakan kaki di rumah itu. Pernah sekali dia di suruh sang mama untuk menginap di rumah sang ayah namun yang terjadi selanjutnya adalah kemarahan sang anak.
Sejak saat itu tidak akan ada yang menyuruh Dina untuk menginap di rumah sang ayah. Maka dari itu Dira yang akan selalu menginap di rumah sang ayah. Seminggu dua kali, itu paling minimal.
"Sudah jangan bertengkar. Cepetan makan, nanti kalian ketinggalan bis." Lerai sang bunda lembut, meletakkan nasi goreng di hadapan sang anak masing-masing.
Dina segera melahapnya dengan cepat, membuat sang Bunda menggelengkan kepala akan sifat anaknya satu itu.
"Akhu nanthi di jemhphut ayhah," kata Dira dengan mulut yang penuh nasi goreng. [Aku nanti di jemput ayah,]
"Jangan bicara saat makan, nanti kesedak."
Dira menampilkan cengirannya dan kembali melahap sarapan di depannya dengan lahap seperti sang kakak yang tidak perduli dengan ucapannya barusan.
Meraih segelas susu coklat dan meneguknya cepat, tidak perduli cairan berwarna coklat itu keluar dari jalur bibirnya, membuat cairan kental itu menetes dari dagu dan berakhir mengori seragam yang di pakai.
Dina berdiri dari kursi, mengelap bibirnya yang basah dan melenggang pergi. "Aku berangkat Bun. Kita ketemuan di kelas Dira. Bye semua." Serunya melenggang pergi dengan lari.
Dira dan sang bunda yang melihat hal itu hanya mampu menggelengkan kepala. Tidak lama setelah Dina pergi, bunyi klakson yang sudah sangat di hapal kedua orang di meja makan memecahkan kesunyian.
"Aku berangkat Bun,"
"Iya hati-hati. Good luck ya ujiannya."
Dira tersenyum manis sebelum melenggang pergi dengan lari kecil, berbeda dengan Dina yang berlari kencang –tadi.
.
"Hari ini kamu check up kan, dek?" Tanya Dina sembari berjalan di atas trotoar.
Dira mengangguk. "Iya." Jawabnya lemas, tangan kanannya menghapus pelu di kening akibat cuaca panas yang di kirim dari sang mentari.
"Apa itu sakit gak?" pertanyaan polos yang terlontar dari bibir Dina mampu mengalihkan Dira dari rasa kesal akibat cuaca yang terlampau panas.
Senyum manis tersungging di bibirnya sebelum mengangguk. "Iya, sakit banget malah. Tapi mau gimana lagi? Hanya itu jalan satu-satunya agar tetap hidup." Jawaban dengan senyuman miris seakan meremas jantung Dina detik itu juga.
Kepalanya menunduk, kakinya berbalut sepatu converse berwarna hitam menendang krikil di jalanan tanpa tenaga. "Aku gak tau. Aku gak pernah ngerasain,"
Dira tersenyum hangat, tangan kanannya merangkul sang kakak agar lebih dekat. "Justru kakak jangan sampe ngerasain hal itu. Rasa sakitnya berpuluh-puluh kali lipat dari apapun saat penyakit itu kambuh."
Dina melirik Dira lewat ekor matanya sebelum tersenyum manis. Keduanya memilih terdiam, menikmati cuaca yang terlampau panas.
"Kak, kenapa kakak benci banget sama Ayah? Dia kan ayah kita kak." Tanya Dira memecahkan keheningan.
Dina mendengus tidak suka. "Justru karena dia ayah kita, makanya aku benci dia."
Dira terdiam beberapa saat. "Seandainya, besok aku meninggal, apa kakak mau ngelakuin satu hal buat aku?"
Dengan Cepat Dina menoleh, menatap Dira dengan pandangan tajam. "Apa maksud perkataanmu itu?"
Dira menunduk, menghela nafas berat dan mendongak, berhenti berjalan untuk menatap dedaunan yang bergerak di terpa angin.
"Kakak tau kan kalau pengidap penyakit ini kemungkinan hidupnya kecil. Penyakit yang aku derita ini belum ada obatnya, dan penyakit yang aku derita ini penyebab nomor 3 kematian di dunia."
"Tapi gak berarti kamu bias bicara kayak gitu Dir. Mati gaknya seseorang itu tergantung Tuhan. Kamu gak berhak berbicara seperti itu. Lagian yang mempunyai nyawa kamu itu tuhan bukan para dokter apalagi peralatan medis!"
"Aku tau. Tapi apa salahnya ucapanku tadi? Aku hanya ingin mewanti sesuatu sebelum sesuatu yang buruk terjadi. Apa itu salah?!" Tanya Dina tak kalah sengit.
Mendengus, mengalihkan wajahnya kearah lain. Kediaman sang kakak di artikan sebagai 'ya' dari Dira.
"Aku hanya ingin kakak memaafkan Ayah dan nerima mereka. Semua yang terjadi bukan sal—"
"Kamu bicapa apa? Jangan pernah berbicara sesuatu hal yang aneh. Simpen aja kata-katamu itu." Potong Dina cepat sebelum adiknya selesai berbicara. Melangkahkan kaki terlebih dahulu, tidak perduli Dira yang masih beridiri di bawah pohon, menatap punggungnya nanar.
Dira mengambil handphone di saku seragam sekolah, mencari aplikasi Video sebelum di kirim ke e-mail seseorang, dan mulai berbicara sesuatu. Dia yakin, orang yang di tuju pasti akan melihatnya, dia yakin orang yang di maksud pasti akan membuka kirimannya. Meski saat itu tiba, dia sudah tidak ada di dunia ini, tapi tidak apa. Asal orang itu melihat serta mendengarnya.
Dina terus melangkah dengan cepat, wajahnya terlihat muram. Dia benci saat harus di ceramahi tentang orang yang tidak berhak untuk di bela. Dia membenci orang itu meski Dina sadar kalau yang di maksud adalah ayah kandungnya.
Tiba-tiba ada sesuatu yang membekap bibir dan hidungnya, seperti kain dengan bau wangi yang begitu menusuk. Mata Dina melotot sempurna. Gadis itu mencoba memberontak dan berusaha sebisa mungkin untuk tidak bernafas, namun tenaga orang yang sedang menyeret dan memasukkannya kedalam mobil jauh lebih kuat.
Kepala Dina menoleh kesamping saat mendengar bunyi pintu mobil yang tertutup. Tangan yang memegang handle pintu mobil dengan lemas terlepas. Matanya memincing tajam.
"Loe itu gak bisa nyapa orang lebih kasar lagi?" Tanya Dina kesal.
Orang di ajak bicara hanya menghendikkan bahu acuh. Menyalakan mobil dan mulai menjalankan. "Gua kira loe bakal pinsan. Padahal sapu tangannya tadi udah gua kasih obat bius."
Dina memutar kedua bola matanya malas. Kedua tangannya bersidakap di perut. "Loe kira gua sebodoh itu, hah?!" Tanya Dina semakin sengit.
"Emangnya loe gak kangen sama gua?"
Lagi dan lagi Dina memutar kedua bola matanya malas mendengar perkataan pria di sampingnya yang sangat amat tidak nyambung dengan pertanyaanya.
"Kabel di otak loe itu lagi rusak? Dari tadi pertanyaan gua gak ada yang loe jawab bener."
Pria itu hanya melirik Dina sekilas. "Jawab aja sih pertanyaan gua." Sahutnya cuek, mengabaikan delikan sinis Dina.
Mengabaikan rasa jengkel yang semakin menjadi Dina menghela nafas berat. "Dokter Purnomo yang terhormat, buat apa gua kangen sama orang gila kayak loe?"
Purnama tersenyum tipis mendengar perkataan Dina yang semakin sensi. Entah kenapa, menggoda Dina, membuat gadis itu kesal itu hobi terbarunya. Hobi yang dia sendiri tidak tau sejak kapan hobi itu muncul.
"Padahal gua kangen sama loe, loh Din."
Dina mengangkat salah satu alisnya, tatapan matanya penuh cela. Fikiran negative bekerja ekstra untuk mencari niat terselubung dari perkataan manis tadi.
"Kangen pengen liat loe wajah kesel loe." Katanya di iringi derai tawa puas dan cukup keras.
Dina mendecih kesal. Benar kan apa yang ada di pikirannya. Pasti pria itu ada niat terselubung dari perkataan tadi. Seorang Purnama yang berbicara manis dengan Dina. Huh! Sampai kiamat ke enam muncul, itu tidak akan pernah terjadi kalau tidak ada hal lain yang menyertai.
"Gua tau kalo gua itu ngangenin. Bahkan wajah kesel gua itu bikin loe kangen. Wah. Gua gak tau sedahsyat itu pesona gua."
Purnama memincingkan matanya, alisnya berkedut mendengar perkataan narsis gadis di sebelahnya. "Gua baru tau kalo loe itu selain keras kepala juga PD loe setinggi langit ya. Gak takut jatoh?"
Dina mendengus sinis. "Buat apa loe nyulik gua?"
"Eh, gua gak nyulik loe, ya. Enak aja! Emang ada untungnya kalo gua nyulik loe? Yang ada gua kesusahan kalo nyulik mahluk astral kayak loe."
Dina mendelik tidak terima. "Kalo loe gak nyulik gua, trus apa namanya? Nyumpel hidung gua pake sapu tangan yang di kasih obat bius. Dimana-mana, itu namanya penculikan!"
Purnama memutar kedua bola matanya malas. "Gua itu ngajak loe jalan, sebagai salam perpisahan."
"Salam perpisahan?" Tanya Dina melupakan rasa kesal yang sejak tadi meletup-letup. "Tapi gak gitu juga kali, Bro. ngajak jalan sih, ngajak jalan. Tapi gak pake cara kurang kerjaan itu!"
Purnama tersenyum tipis. "Biar loe gak ngelupain gua kalo gua udah jauh nanti."
Dina memutar kedua bola matanya bosan. "Harus banget kayak tadi?"
"Harus! Orang abstrak kayak loe itu harus di jemput dengan cara mainstream."
"Serah apa loe kata dah." Kata Dina malas menyahuti perkataan aneh Purnama. Berapa banyak panggilan Purnama yang di berikan untuknya? Tadi mahluk astral, sekarang manusia abstrak. Emang dia seaneh itu apa?!.
"Emang loe mau pergi kemana?" Tanya Dina menatap Purnama yang focus menyetir. Entah dia akan di bawa kemana.
"Gua bakal ke LA. Pihak rumah sakit nyuruh gua buat kerja di sana. Gak lama sih, paling lima ato tuju tahun."
"Selama itu?" Tanya Dina tidak percaya.
Purnama melirik Dina geli, senyum jail terpampang indah di bibir. "Kenapa? Takut kangen?"
"Dih!" seru Dina memundurkan tubuhnya, membuat punggungnya menempel di kaca mobil. Wajahnya terlihat jijik. "Otak loe gesrek ke dengkul kayaknya."
Purnama terbahak melihat wajah dan prilaku gadis itu yang terlihat polos sekaligus kekanakan. Dia tidak percaya Dina di sampingnya ini sama dengan Dina yang menceramahinya tempo hari. Salah satu hal yang membuat Purnama senang sekali mengerjai Dina adalah ekspresi gadis itu yang terlampau jujur.
"Emangnya loe gak bakalan kangen sama gua? Yakin?"
Dina merinding jijik mendengar perkataan Purnama. "Kalo Deddy Corbuzier ada di sini. Dia pasti udah bilang gini. 'Ngaca dulu deh'."
Purnama kembali terbahak. Benarkan apa yang dia katakan, Dina itu mahluk terunik dan terpolos yang pernah dia kenal. Gadis itu bisa berubah menjadi gadis yang dewasa, tapi dalam sekejap, dia berubah menjadi anak remaja yang tidak tau seberapa kejamnya dunia ini.
"Lagian kenapa jug aloe harus ngasih tau gua, kalo loe mau ke LA? Itu kan gak ada hubungannya sama gua. Gua bukan siapa-siapa loe ini."
Purnama mengangguk. "Entahlah. Gua juga gak tau. Gua hanya ingin ngasih tau loe aja. Siapa tau nanti loe bakal nyari gua saat gua udah pergi, dan loe bakal nangis tuju hari tuju malam dan ngutuk gua gimana?"
Dina memasang wajah termalas yang dia punya. "Ucapan loe itu, kayak loe itu penting banget buat gua."
Purnama terbahak. "Gua itu penting buat semua orang."
"Not for me."
"Sekarang iya. Siapa tau lusa gua bisa jadi mahluk yang terpenting buat hidup loe."
Dina semakin memasang wajah malasnya. "Loe gombal? Gak cocok banget."
Purnama mendengus geli. "Gua gak gombal. Gua hanya bicara fakta!"
Dina tersenyum sinis. "Percaya gua percaya." Sahutnya sarkastik.
Purnama mengangguk puas. "Gua emang selalu di percayai semua orang."
"Please deh Pur, loe itu kepentok apaan sih tadi? Otak loe geser kemana? Loe yang sekarang itu gak kayak Purnama yang biasanya."
"Jangan panggil gua Pur, loe kita gua makanan ayam? Panggil aja Nam!" katanya jengkel. "Dan apa loe tadi? Gak kayak gua bisanya? Emang gua yang biasanya kayak gimana? Loe bicara seolah udah kenal gua sejak lahir."
Dina berdecak jengkel. "Whatever. Emang kapan loe berangkatnya?"
Purnama melirik Dina sekilas. "Hari ini, dua jam sebelum ini. Kenapa? Loe mau ngenter gua ke bandara?"
"Mimpi!"
Prunama terkekeh mendengar sahutan sarkastik gadis di sampingnya.
"Loe mau nyulik gua kemana sih? Dari tadi gak nyampe-nyampe. Heran!"
"Sabar elah. Jadi orang itu harus sabar. Sabar itu bagian dari iman."
"Tau! Bayi baru lahir juga tau kalo sabar itu bagian dari iman."
"Dih, sotoy banget sih loe jadi orang! Tau darimana kalo bayi yang baru lahir itu tau sabar sebagian dari iman? Emangnya loe udah survey langsung?"
Dina mengrucutkan bibirnya kesal. "Terserah loe mau ngomong apa dah. Jawab pertanyaan gua! Loe mau bawa gua kemana?!"
Purnama mendengus geli. "Gua hanya mau nunjukin pohon rumah di area perbukitan. Agar nanti kalo gua tinggal rumah pohon itu tetep ada yang bersihin."
Dina mendelik sinis. "Loe kira gua marbot?"
"Gua gak bicara kayak gitu. Loe sendiri yang ngomong."
Dina mendengus kesal. Ingin rasanya dia menjitak kepala pria di sampingnya yang sangat mengjengkelkan.
"Tempatnya enak kok buat sendirian. Gua tau kalo loe itu lagi pengen sendiri, kalo loe mau, loe bisa dateng ke sana kapanpun loe mau. Di jamin gak bakal ada yang nemuin loe."
Dina mengerutkan keningnya heran. "Darimana loe tau?"
Purnama tersenyum manis, senyuman tulus yang jarang di tampilkan pria itu. "Semua orang itu pasti butuh sendiri saat dia lagi ada masalah yang gak bisa di selesaiin dengan mudah."
Dina terdiam, tidak tau harus menyahut apa.
"Lagian kak Nila juga di sini kok, dia gak ikut gua. Jadi loe bisa curhat ke dia apapun yang loe mau."
Dina lagi-lagi hanya terdiam. Entah apa yang sekarang ada di benaknya, Purnama memilih mendiamkannya dari pada mengajaknya berbicara. Dia tau kalau gadis di sampingnya masih bingung dan tidak tau apa yang harus dia lakukan.
Tak lama mobil yang sejak tadi bergerak berhenti di area perbukitan yang masih asri, suasana sejuk dan damai menyambut kedatangan Purnama dan Dina.
Kedua orang berbeda usia dan gender itu turun dari mobil, menatap area perbukitan yang sangat asri, kota tempat mereka tinggal memang asri, tapi tidak seasri perbukitan ini. Perbukitan yang terlihat belum terjamah oleh tangan-tangan nakal manusia.
Purnama menoleh, menatap Dina yang sedang memejamkan matanya, terlihat sangat menikmati udara segar di perbukitan itu. Senyum tipis terpampang tulus di bibirnya.
"Dina." Pangilannya membuyarkan kesenangan gadis itu yang sedang menikmati udara di sana.
Kepala Dina menoleh, menatap Purnama kesal. "Apa?!"
"Gimana menurut loe?"
Dina menaikkan alisnya tidak mengerti. Purnama mendengus geli.
"Area perbukitan ini, gimana menurut loe?"
"Oh," sahutnya paham. Kepalanya menatap kesekeliling yang di penuhi pohon hijau. "nyaman. Dari mana loe tau tempat ini?"
Purnama menghendikkan bahu, berjalan melewati Dina, berjalan kearah perbatasan Bukit, duduk tenang di sana tanpa takut dia bisa saja terjatuh ke jurang di bawah sana yang terlihat mengerikan. Kedua kakinya menjuntai, tatapan matanya terarah lurus jurang di bawahnya.
"Gak sengaja sih, waktu itu gua lagi jalan-jalan dan yah sampe sini tanpa ada unsur kesengajaan." Kata Purnama tidak peduli Dina mendengarnya atau tidak.
Dina yang memang sejak tadi mengikuti langkah pemuda itu hanya mengangguk paham, ikut duduk di samping Purnama, menjuntaikan kakinya, matanya menatap awan di atas yang terhalangi oleh pohon-pohon besar.
"Kadang gua heran sama diri gua sendiri."
Dina menoleh kearah Purnama yang sedang berbicara. Entah apalagi sekarang yang sedang di buat topic.
"Gua juga kadang bingung sama diri gua sendiri."
Dina memiringkan kepala, menatap wajah pria itu yang sedang menunduk, menatap jurang di bawah.
Purnama menoleh, menatap Dina yang masih memiringkan wajahnya. "Kenapa gua bisa nyaman loe? Padahal loe itu orang asing buat gua. Loe hanya anak sok dewasa yang nyeramahin gua."
Dina semakin mengerutkan keningnya tidak mengerti.
"Loe tau? Gua itu salah satu orang introvert. Gua hanya akan ngerasa nyaman sama orang yang udah gua kenal lama. Tapi loe itu beda, loe itu satu-satunya orang yang bisa bikin gua nyaman di pertemuan pertama. Padahal cewek ah maksud gua, mantan gua itu butuh perjuangan buat deketin gua. Tapi loe, loe bahkan gak ngelakuin apapun buat bikin gua nyaman sama loe."
Dina mengerjapkan matanya beberapa kali. Apa pria di sampingnya ini benar-benar Purnama? Pria yang selalu mengejeknya? Pria yang selalu membuat dia naik darah setiap mereka ketemu dimana dan kapanpun itu.
Dina menutup matanya tidak mengerti, mengalihkan wajahnya kearah jurang di bawah.
"Loe itu bicara apa sih, Pur? Gua gak ngerti. Serius." Kata Dina merasa canggung dengan situasi yang sekarang terjadi.
Purnama tersenyum manis. "Gua juga gak ngerti. Gua selalu bicara dan Tanya sama diri gua sendiri. Tapi gua gak nemuin jawaban yang pasti. Gua hanya nemuin pertanyaan tanpa jawaban. Pas gua lagi Tanya sama sahabat gua, dia malah ngasih jawaban yang sangat aneh. Loe tau orang yang nanganin kaki loe itu? Dia sahabat gua. Dan loe tau jawaban apa yang dia beri waktu gua Tanya tentang hal ini?" pertanyaan Purnama hanya di jawab gelengan kepala bingung Dina. Bahkan pria itu tidak memperdulikan panggilan aneh yang di sebutkan gadis itu barusan. "Dia bilang, kalo gua jatuh cinta sama loe."
Dina membelokan matanya mendengar perkataan Purnama. Purnama terkekeh tanpa melihat wajah shock gadis di sampingnya.
"Awalnya gua ngerasa kalo apa yang dia ucapin itu hal yang konyol. Tapi seiring semakin ke sini, gua gak bisa ngabaiin perkataanya lagi. Tepatnya saat loe mulai ngejauh dari gua, gua ngerasa ada yang kosong, ada yang kurang. Padahal saat gua putus sama mantan gua waktu itu, gua gak ngerasain apapun selain kesal.
"Gua udah bilangkan, kalo loe itu orang yang aneh? Saking anehnya, loe nularin virus itu ke gua."
Dina terdiam mendengar perkataan Purnama, meneguk ludahnya susah payah saat melihat tatapan pria itu yang terasa asing. Tatapan yang tidak pernah di berikan oleh siapapun. Tatapan yang baru pertama kali dia liat.
"Dan gua sadar. Kalo apa yang dia ucapin itu benar. Entah sejak kapan gua ngerasain ini ke eloe. Gua gak ngerti."
Dina menggaruk tengkuknya canggung. Merasa aneh dengan atmosfir yang sedang berlanjut. Dalam hati terus bertanya kapan suasana ini berakhir. Jujur ini pertama kalinya dia mendengarkan perkataan seperti ini.
"Tapi loe tenang aja Din. Gua gak nyuruh loe buat bales apalagi jawab prasaan gua ini. Gua bicara kayak gini, karena gua hanya ingin loe tau apa yang gua rasa sebelum gua pergi. Gua hanya gak ingin nyimpen prasaan ini lebih lama."
Dalam hati Dina bersyukur sama apa yang diucapkan Purnama. Pria itu tidak memintanya menjawab bahkan membalas prasaanya kan? Jadi itu bukan masalah besar. Karena Dina sendiri tidak tau apa yang dia rasa ke Purnama. Teman? Sahabat? Kakak? Entahlah. Lagian itu bukan hal yang penting sekarang ini.
Hening menyelimuti kedua manusia yang sedang duduk di atas bukit. Keduanya seakan enggan untuk memecahkan keheningan yang terjadi. Namun suara ringtone di handphone Dina berhasil memecahkan keheningan di sana.
Dina menatap ponselnya sejenak sebelum mengangkat panggilan dari nomor yang tidak dia kenal.
"Halo?"
"Apa ini dengan saudari Dina? Kakak kandung dari pasien Aldira?"
Seketika prasaan aneh menelunsup tidak nyaman di hatinya.
"Iya, benar. Ini siapa dan ada apa dengan adik saya?"
Terdengar suara lain dari sebrang telpon, entah apa. Mereka berbicara tidak jelas, namun suara yang penuh kecemasan itu sedikit menggelitik rasa aneh di hatinya yang semakin menjadi. Prasaan takut dan khawatir.
"Saya tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi lewat telephone. Apa anda bisa dating ke rumah sakit? Saya sudah mengehubungi orang tua anda, tapi tidak ada yang menjawab."
"Iya. Saya akan kesana secepat mungkin."
Sambungan terputus. Dina kembali menyaku handphone ke rok sekolah, kepalanya menoleh, menatap Purnama yang sedang menatapnya dengan bingung.
"Gua harus ke rumah sakit sekarang. Sory. Gua duluan." Kata Dina berdiri dari duduknya, berlari menjauh dari Purnama yang menatap punggungnya heran. Matanya terus menatap gerak gerik Dina yang terlihat sedang menelpone seseorang.
Gadis itu tidak membiarkannya bicara, itu aretinya Dina tidak ingin dia ikut ke rumahsakit. Dia cukup sadar akan hal itu. Mungkin Dina tidak ingin membiarkan dia tau apa yang sedang terjadi sekarang. Kalian tau? Semua manusia mempunyai rahasia yang harus dia jaga. Bahkan kalau bisa, jangan sampe ada yang tau tentang rahasia itu. Dan Purnama mengharagai hal itu.
.
Dina sampai ke rumah sakit dengan taxi, setelah membayar taxi sesuai argo, gadis itu segera berlari ke bagian resepsionis, dimana ruangan adiknya. Setelah mendengar jawaban dari sang suster, Dina kembali berlari sekencang dia bisa. Prasaanya mengatakan ada yang tidak beres dengan adiknya. Dan itu hal yang sangat tidak mengenakan.
Batinnya terus berusaha menolak prasaan-prasaan negative yang timbul. Dia berusaha untuk berfikiran positive. Dia tidak mau hal negative memengaruhi otaknya, dia tidak mau kalau apa yang dia rasakan ini benar. Tidak. Sebelum dia membehagiakan adiknya, dia tidak mau kehilangan Dira.
Namun harapannya hilang seketika saat mendengar penjelasan dokter. Dia tidak tau kalau hidup adiknya sesingkat ini.
Air matanya berjatuhan dengan deras. Semua memory tentang Dira mulai keluar masuk kedalam otaknya. Senyumnya, tawanya, marahnya, kesalnya. Entah kenapa sekarang menjadi hal yang sangat menyakitkan. Sangat menyakitkan.
Saat kalian kehilangan adik yang kalian sayangi sebelum membahagikannya itu sesuatu hal yang sangat menyakitkan. Memory tentangnya terasa mencekik, tangisannya terasa meremas jantung dan tawanya terasa sangat memilukan.
Tangannya mengambil handpnone di saku rok sekolah. Ingin menghubungi sang bunda tentang apa yang terjadi, namun tangannya berhenti saat ada satu notice dari sang adik. Dengan ragu dan gemetar, tangannya mengklik notice itu.
Wajah Dira terpampang di layar handphonenya. Senyuman yang di tampilkan gadis itu terasa sangat menyayat relung hatinya.
"Aku tau saat kakak ngeliat video ini, pasti saat itu aku sudah tidak ada di dunia ini. Tapi aku hanya ingin kakak tau satu hal. Gelap gak akan pernah bisa ngusir kegelapan. Hanya 'terang' yang bisa mengusir kegelapan. Kebencian gak akan bisa pernah bisa menyelesaikan sebuah masalah. Hanya kesabaran dan cinta yang bisa.
"Aku hanya ingin Tanya satu hal sama kakak. Saat kakak kecil, saat kakak masih suka bermain hal yang menjengkelkan. Apa ayah pernah memarahi kakak sampai kakak membenci kakak?
"Saat kakak melakukan hal yang di luar batas, apa ayah pernah memaki kakak tanpa prasaan? Saat kakak melakukan kesalahan yang fatal, apa Ayah pernah memukul kakak? Saat kakak berbohong sesuatu sama ayah, apa ayah pernah menuntut kakak untuk berbicara jujur?.
"Kak, apa kakak mau menghilangkan semua memory kita saat masih kecil hanya karena ini? Aku tau menurut kakak ini bukan sebuah 'hanya' tapi ini jauh dari kata 'hanya'. Kakak waktu itu bilang sama aku, apa aku pernah memikirkan prasaan bunda? Tapi apa kakak juga pernah memikirkan prasaan ayah?.
"Aku tau ayah bersalah, aku jelas-jelas tau. Tapi coba kakak berpikir. Kalau kakak berada di posisi ayah. Di suruh menikah dengan orang yang kakak tidak cintai sama sekali, meski kakak sudah mencoba untuk mencintai, tapi hasilnya tetap tidak bisa. Apa yang akan kakak lakukan? Apa kakak akan bertahan untuk suami dan anakmu? Apa kakak akan dating sama seseorang yang berhasil merebut hatimu?.
"Kak, sebuah prasaan itu tidak bisa dating hanya karena terbiasa atau saling mengenal. Kalau cinta datang dari itu. Sudah berapa banyak sahabat yang berakhir menikah dan damai? Jawabannya sudah pasti iya kan?
"Aku tau kebanyakan cinta datang dari keterbiasaan. Tapi itu untuk seseorang yang belum mencintai seseorang. Tapi kalau itu di lihat dari sisi seseorang yang sudah mencintai orang lain. Maka hukum alam itu pun gak akan gunanya.
"Kak, kebahagiaan seseorang gak bisa kita atur dan kita pilih. Cinta juga sama. Cinta gak akan bisa kita pilih untuk siapa cinta itu datang. Gak kak. Cinta hadir tanpa permisi. Sama seperti apa yang ayah rasakan.
"Setelah bertahun-tahun ayah dan mama berpisah, tapi hanya sekali bertemu rasa itu kembali hadir. Itu bukan kesalahan mereka. Mereka juga mungkin gak ingin prasaan itu hadir lagi. Tapi mereka bisa apa saat cinta datang? Cinta itu satu-satunya kelemahan seseorang.
"Kakak akan tau tentang hal itu saat kakak sudah merasakan cinta. Mungkin aku terdengar menggurui, tapi aku hanya ingin keluarga kita utuh seperti dulu, meski itu tanpa ada aku. Aku mohon, maafkan mereka, setidaknya. Datanglah ke rumah kita dulu, menggantikanku. Aku hanya menginginkan hal itu. Aku mencintaimu, semoga kamu selalu bahagia. Maaf karena aku, kakak menjadi seseorang yang pendendam seperti ini. Maafkan aku."
Setitik air mata jatuh di pipi Dina. Tangannya bergetar hebat. Handphone yang di pegang terlepas begitu saja di susul tubuhnya yang ikut terduduk lemas di lantai dingin rumah sakit. Isakan lolos begitu saja dari bibirnya.
"Maafkan aku. Maaf, maafkan aku." Dina terus mengulangi perkataan yang sama dengan lirih. Suara derap langkah yang saling bersahut-sahutan tidak di perdulikan Dina. Gadis itu juga tidak perduli dengan seseorang yang memeluknya erat.
Isakan keluar dari bibir sang pemeluk yang terdengar begitu memilukan.
"Bunda. Dira pergi. Dia pergi dari kita untuk selamanya bun. Dira pergi sebelum aku berhasil bahagiain dia."
Sang bunda hanya mampu mengangguk lemah dan semakin erat memeluk tubuh anaknya di depan ruang ICU.
Tidak kata yang lebih indah dari memaafkan, dan tidak ada kata yang jauh lebih indah dari maafkan. Kedua kata yang terlihat sepele tapi mempunyai makna yang sangat dalam.
Memaafkan memang bukan hal mudah, apalagi saat kita berada di posisi yang terluka. Tapi cobalah untuk membuka mata kita, lihatlah dunia ini, lihatlah orang di sekitarmu. Mereka semua pasti pernah merasakan terluka. Tapi apa mereka menyimpan dendam?.
Dendam atau tidaknya seseorang. Itu tergantung orang itu sendiri. Memaafkan itu butuh waktu. Tapi waktu seberapalama pun kalian untuk berpikir, itu semua akan menjadi hal yang sia-sia saat orang yang dengan tulus meminta maaf sudah tidak ada di dunia ini lagi.
Dina akan mencoba melakukan apa yang di inginkan sang adik. Dina akan mencoba memaafkan ayahnya meski itu hal yang sangat sulit.
Percayalah. Di hianati dan di bohongi secara besar-besaran itu menimbulkan efek traumatic tersendiri untuk kembali mempercayai. Karena percayaan itu seperti permata. Sebagus dan seindah apapun itu, kalau permata itu sudah terjatuh maka akan penjadi kepingan-kepingan yang berserakan. Tapi Dina akan mencoba menggenggam kepingan-kepingan itu sepenuh hatinya. Dia akan mencoba kembali mempercayai sang ayah. Dia akan mencoba kembali menata hidupnya dengan baik. Dengan benar. Tanpa harus menyakiti siapapun. Tanpa merugikan siapapun. Dan tanpa merepotkan siapapun.
Sedangkan kedua orang di belakang Dina hanya berdiam diri dengan air mata yang terus berjatuhan. Dua orang yang di sebutkan keinginan Dira dalam video tadi.
The end.
Omake.
Bagaimana jika yang terjadi sebaliknya? Bagaimana saat itu tepatnya 4-5 tahun yang lalu sang bunda memilih menerima perselingkuhan sang suami, dan bagaimana jika sang Ayah memilih jujur terhadap Dina dengan apa yang terjadi. Apa semua ini akan terjadi? Apa semua kebohongan yang di balik kebaikan akan terjadi?.
Tidak. Semua hal itu tidak akan terjadi. Memang awalnya akan terasa menyakitkan, tapi itu jauh lebih baik dari pada menerima kebohongan yang rasanya jauh menyakitkan.
Sedikit apapun kebohongan yang tertutupi, lama-kelamaan kebohongan itu menjadi besar. Dan saat sudah menjadi besar, kebohongan itu akan berubah menjadi bom atom yang siap meledak kapan saja. Meledakkan seluruh orang yang di bohongi.
Kejujuran memang gratis, tapi terkadang kebanyakan orang memilih menutupi kejujuran itu dengan kebohongan atas nama label kebaikan.
Padahal kebaikan itu adalah sesuatu yang jujur. Karena semanyekitkan apapun kejujuran itu jauh lebih menyakitkan kebohongan yang di lebeli kebaikan.
.
"Iya Pur, ini gua lagi di rumah ayah. Bunda lagi dinas keluar kota, jadi gua di titipin di sini."
"....."
"Apa? Loe minta gua bunuh ya?"
"....."
"Sekali lagi loe ngomong kayak gitu. Gua gak bakal ngasih jawaban sama perkataan loe waktu di bukit itu."
"......."
"Dih bodo amat. Loe yang mulai."
"......"
"Sialan! Loe beneran mau gua bunuh ya?!"
"......"
"Heh, Purno—"
"Dina! Makan malamnya udah siap saying. Cepet turun. Nanti keburu dingin!"
Dina menjauhkan handphonenya dari telinga dan ikut berteriak. "Iya ma! Ini Dina udah mau turun."
Dina kembali mendekatkan handphonenya ke telinga, dan suara orang di sebrang yang sedang marah karena namanya di panggil setengah memenuhi gendang telinganya.
"Sssttt! Nggak baik-baik marah-marah kayak gitu. Nanti cepet tua loh Pur. Udah dulu ya, gua mau makan. Bye!"
Tanpa mendengarkan jawaban dari sebrang Dina segera mematikan handphonenya dan melemparnya ke king size. Berlari kecil menuruni tangga agar sampai ke bawah lebih cepat.
Sesampainya di bawah, Dina segera mengecup pipi tembem Lando dan mulai mengambil makanan di selingi canda tawa dengan ayah dan mamanya.
Awalnya memang akan terasa menyakitkan dan keterpaksaan. Namun saat kita sudah masuk kedalam semua rasa sakit itu akan hilang, rasa keterpaksaan itu akan di gantikan dengan ketulusan asal kita mau membuka mata dengan apa yang terjadi.
��4l�8a
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top