Episode 13 - Kebahagiaan [ 2 ]
ini masih ada lanjutannya dengan bab kemaren. ternyata gak bisa tamat pas part ini. tapi part besok. karena romance di sana. dan tuntasan permasalahannya juga di sana. kalo di tamatin di sini gak enak. nanti guanya di bunuh Purnama, habis dia bagiannya dikit doang. wkwkwkwk. sorry ya kalo perkataan gua labil #nyadardiri. tapi gua coba untuk menyesuaikan alur dan tema. kalo tiba-tiba romance nanti guanya yang jijay. soalnya gak pas. wkwkwk. sampai di part besok. aku usahain minggu-minggu ini. tinggal nunggu hari aja kok. see you guys.
Aku berhenti bersedih, menanti kebahagiaan yang sedang menanti kembali, dan tak kan menunggu takdir.
Karena aku tau, bahagia itu sebuah pilihan, bukan sebuah jawaban.
Awan yang tadi terlihat sedikit ke abu-abuan kini berubah menjadi cerah ceria, sengatan mentari di luar terlihat sangat ganas, bersiap membakar siapapun yang keluar dari persembunyian.
Getaran dari handphone mengalihkan kefokusan Dina, meletakkan kembali buku pelajaran yang sudah di tumpuk rapi ke atas meja, mengambil alih handphone di saku sekolahnya.
For : Purnama.
To : Dina.
Nanti langsung kerumah sakit, hasil ronsen kaki loe sudah jadi.
Tanpa basa-basi dan langsung to tho point typekal Purnama. Dia memang belum lama mengenal Purnama, masih hitungan hari, meski begitu Dina cukup tau sifat dan watak pria itu. Salah satunya to tho point.
Tanpa membalas pesan tadi Dina kembali menyaku handphonenya dan memasukkan buku-buku pelajaran kedalam tas. Mengambil tongkat kaki, berjalan tertatih.
Dengan sigap Aura, Visa dan Bilal berjalan di samping Dina, mengamit lengan kiri Dina yang tidak memegang tongkat kaki. Senyuman lebar hadir di wajah mereka, seolah kejadian tadi pagi tidak pernah terjadi.
"Habis ini mau ke mana?" Tanya Bilal mengambil alih rancell Dina dan memeluknya.
Dina tersenyum lembut. "Mau ke rumah sakit. Nyembuhin kaki biar gak makin parah."
Ketiga sahabatnya mengangguk kompak. "Kita temenin yah? Kan gak enak kalo ke rumah sakit sendirian. Nanti di kira anak ilang loh." Perkataan Visa di tanggapi toyoran Aura. Dina terkekeh melihat interaksi ketiga sahabatnya.
"Loe kira Dina mau ke pasar malem?"
Aura memanyunkan bibirnya sebal, namun sedetik kemudian bibirnya tertarik ke atas. Tersenyum jail.
"Eh kalian tau gak?"
"Gak." jawab ketiga sahabatnya cepat.
Aura memanyunkan bibirnya, kali ini di iringi tatapan tajam yang mengancam. Sedangkan ketiga orang itu hanya terkikik tidak berdosa. Mendesah kecil mengetahui tatapannya tidak berfungsi sama sekali.
"Semalem gua liat model di tembak sama cowok sekelas kita di pasar malem loooohh," kata Aura jail, matanya melirik Bilal geli, sedangkan yang dilirik hanya mampu meneguk air liurnya susah payah.
"Model? Siapa?" Tanya Visa kebingungan yang di angguki Dina. Matanya melirik Aura yang tersenyum geli dengan mata yang mengarah kearah Bilal. Seketika senyum jail ikut terpampang di wajah cantiknya.
"Ouh, Bilal toh. Ada yang jadian tapi gak ngasih tau. Hemm, begitu ya?" sambung Visa menutupi senyuman geli di bibirnya dengan tatapan tajam.
Dina mengerutkan keningnya tidak mengerti. "Bilal? Loe jadian sama siapa Bil? Kok bilang-bilang?" Tanya Dina dengan wajah polos semakin memantapkan acting abal-abal Visa. Sedangkan Aura, senyumnya semakin melebar. Puas mengerjai Bilal.
"Bu-Bukannya gua gak mau ngasih tau, cuman..."
"Cuman apa?" Tanya Visa masih setia dengan tatapan yang tajam. Mengintrogasi.
Dina meringis melihat tatapan salah satu sahabatnya, meski tatapan itu bukan untuknya.
Visa dan Aura tertawa terbahak melihat wajah pucat Bilal, tangannya memegangi perut yang bergejolak menahan geli. Orang yang di buat candaan seketika mengeluarkan aura membunuh.
"Kalian berdua mau mati ya!" katanya menekan setiap kata, bersiap menerjang kedua sahabatnya, namun gerak reflex kedua orang itu yang begitu cepat, membuatnya ikut berlari dengan sampah serapah menyuruh Aura dan Visa berhenti.
Dina mengulum senyum manis melihat kelakuan ketiga sahabatnya yang sama sekali tidak berubah. Melangkah kan kaki perlahan dengan mata yang menatap lurus kearah Visa yang sudah tertangkap. Bukan perkelahian yang terjadi, tapi saling bercanda satu sama lain. Bahagia itu tidak susah dan mahal. Asal kalian bias menikmati hidup yang kalian jalani, kalian pasti akan merasa bahagia di balik semua penderitaan yang sedang berlangsung.
.
"Purnama kenalin, mereka sahabat gua. Aura, Visa dan si model Bilal." Kata Dina memperkenalkan sahabatnya satu persatu yang langsung kecentilan tidak punya etika.
"Visa kak," kata Visa dengan gaya manja, tangan kanannya terulur, sedangkan tangan kiri melilit rambut dengan kepala yang menunduk malu-malu. Dina seketika merinding jijik.
Aura menepis tangan Visa dengan kasar menggantikan tangannya, menggenggamnya dengan erat. "Aura kak," kata gadis itu dengan kerlingan mata menggoda, bibir bagian bawah di gigit sensual.
Dina semakin merinding jijik melihatnya. Bilal memutar kedua bola matanya malas. Menepis tangan Aura kasar di gantikan tangannya. "Bilal," katanya kali ini dengan senyuman manis tanpa ada tambahan apapun. Dina menghembuskan nafas lega melihat kelukuan Bilal yang beda sendiri, namun apa yang terjadi selanjutnya membuatnya ingin mati saja.
Bilal dengan santainya mencium bibir Purnama tanpa merasa malu. Tidak sadar diri kalau dirinya telah di miliki oleh seseorang.
"Ehm, sadar Bil, inget Dodit, Bil. Kasian dia di rumah." Kata Visa menghentikan senyuman lebar di bibir Bilal.
Purnama hanya mampu meringis mendapati perlakuan ganjen seperti itu. Mungkin hanya Dina yang mempunyai otak paling waras di antara ketiga sahabatnya.
Tidak mau terjadi apapun lagi, Purnama dengan cepat berdiri di samping Dina, mencodongkan wajahnya kearah telinga gadis itu. "Loe gak punya sahabat yang punya otak dikit apa?"
Dina meringis mendengar perkataan Purnama. Sebenernya dia tidak rela sahabatnya di katain seperti ini, tapi dia bias apa saat mata kepalanya sendiri melihat adegan aneh yang tadi berlangsung secara live.
"Kalian bicara apaansih? Kok bisik-bisik gitu? Kalian gak pacaran kan?" pertanyaan dari Visa menghentikan bisikan Purnama yang ingin berlanjut.
"Loe ngomong apan sih? Ngaco banget dah. Gak kok. Kita hanya temenan." Jawab Dina dengan senyuman lebar. Purnama memilih diam dan menggandeng tangan Dina, menyeret gadis itu untuk segera ke ruangan sang sahabat. Dari pada meladeni orang-orang gak jelas seperti mereka yang bias saja membuatnya mati muda.
Orang yang di seret hanya terdiam, tidak berniat membuka suara sedikitpun. Dina cukup tau kondisi untuk tidak membrontak.
Ketiga sahabatnya di belakang asyik berdebat, mempertanyakan apa benar Dina dan Purnama hanya berteman? Karena di mata mereka saat ini, kedua orang itu terlihat lebih dari teman. Lagian sejak kapan Dina mau di sentuh oleh orang lain? –Melupakan fakta kalau Dina di seret- apalagi Dina hanya terdiam tidak membrontak, missal membentak seperti dulu saat Dina di Tarik sama orang kakak kelas.
.
"Kaki adalah bagian tubuh yang paling rentan mengalami tegang otot, dan nantinya tegang otot ini dapat menyebabkan cedera kaki, yang dapat terjadi pada semua bagian kaki, misalnya jari kaki, pergelangan kaki, atau telapak kaki. Walaupun sebagian besar cedera kaki akan menyebabkan nyeri dan pembengkakan, serta dapat sembuh dengan sendirinya, beberapa cedera dapat berkembang atau memburuk dan menyebabkan gejala lain, seperti pendarahan atau infeksi. Oleh karena itu, setiap cedera kaki akan ditangani dengan metode yang berbeda, tergantung pada penyebab, gejala, dan tingkat keparahannya.
"Nah karena tumit Dina yang sudah sangat parah, tidak ada opsi selain operasi." Perkataan dokter di depan papan putih yang entah bernama apa dan gambar ronsen kaki Dina yang di terangi cahaya lampu, di hentikan dengan pertanyaan Aura.
"Kenapa dokter bilang tidak ada opsi lain? Kan masih banyak opsi-opsi yang lainnya. Seperti terapi atau apapun itu."
Dokter di depan hanya tersenyum mendengar pertanyaan Visa, pertanyaan yang sama persis dengan pertanyaan Dina kemaren waktu mau di ronsent.
"Sebelum saya menjawab pertanyaan Anda, saya akan menjelaskan beberapa hal tending cidera."
" Pertama saya akan menjelaskan tentang Myofibril. Myofibrilitu Terdiri atas serabut-serabut otot (miofibril) yang dapat bergerak satudengan yang lain. Dikatakan serabut-serabut tersebut bergeser satu dengan yanglain yang disebut "sliding action". Otot menempel pada tulang, danbagian yang menempel pada tulang disebut tendo atau tendon. Tendon ini terdiriatas jaringan ikat yang kuat dan tidak elastis. Pada waktu kontraksi otot, yangberkontraksi adalah bagian otot yang tebal dan berserat (disebut sebagai bagianbelly (perut). Bagian tendon tidak berkontraksi karena berfungsi sebagai tempatmenempel ditulang. Bila mengadakan suatu gerakan dalamolahraga, maka otot akan berkontraksi berulang-ulang sesuai dengan cabangolahraga tersebut.
Suatu gerakan berulang-ulang dilakukan akan beresiko terjadi suatu cedera. Cedera ini dapat menimpa, otot, tulang, sendi, ligamen, tendo, dan lain-lain. Tergantung dari cabang olahraganya, maka cedera tersebut juga akan spesifik untuk cabang tersebut. Misalnya pada olahraga renang, gerakan lengan pada sendi bahu yang berulang-ulang akan dapat menyebabkan cedera pada ligamen dan tendon otot sekitar bahu.
Benturan kaki pada tanah pada lari jarak jauh akan menyebabkan cedera pada telapak kaki. Begitu pula gerakan tubuh yang tiba-tiba dan cepat atau berganti arah, akan membebani persendian dan otot. Otot dapat menjadi robek serabutnya atau robek pada tendon. Bila robekan terjadi pada belly otot, maka proses penyembuhannya akan relatif cepat, karena bagian belly tersebut penuh dengan pembuluh darah. Banyaknya aliran darah akan menyebabkan pasokan makanan lebih banyak, sehingga cepat sembuh.
Pada tendo, maka terjadi hal sebaliknya, yaitu penyembuhan bersifat lama karena aliran darah dibagian tendon tersebut tidak banyak. Misalnya sering terjadi pada tendon Achilles, yaitu tendon otot betis yang menempel pada tumit. Cedera ini sering terjadi pada gerakan berlari, meloncat-loncat dan berganti arah tubuh secara tiba-tiba. Cedera ini sering terjadi pada sprinter (100m, 200 m lari). Semacam cedera yang terjadi dapat berupa robekan total maupun sebagian.
Achilles tendinitis Pada robekan total maka otottersebut akan lumpuh, tidak dapat digerakkan karena otot tersebut tidakmenempel pada tulang. Pada robekan yang sebagian (partial), gerakan masih dapatterjadi, tetapi terasa sakit. Selain kedua cedera tersebut, ada pula cederayang disebut Achilles tendinitis, yaitu suatu radang, yang disebabkan karenapemakaian yang berlebih. Dalam kasus ini, tendo tersebut tidak robek, atautetap utuh, tetapi terjadi robekan-robekan halus pada serabut tendo tersebut.
Gejalanya adalah rasa sakit pada gerakan biasa, apalagi bila lari atau meloncat. Bila terjadi pada sendi bahu yang lain, sehingga bahu terasa sakit pada setiap gerakan. Dapat juga terjadi tendinitis pada bahu tersebut. Pengobatan cedera tendo ini dapat bermacam-macam. Bila robek total, maka harus dioperasi, disambung kembali, kemudian di gips, tidak boleh bergerak beberapa bulan. Pada robekan yang kecil, operasi tidak diperlukan. Disini penting untuk menyadarkan atlet bahwa tendo tersebut sudah lemah, sehingga lebih baik jika berganti olahraga.
Pada cedera tendinitis, istirahat adalah terapi yang paling baik. Bila kaki tidak dibebani, artinya tidak lari, tidak loncat, maka cedera akan sembuh. Dapat juga dilakukan fisioterapi untuk mempercepat penyembuhan. Biasanya melakukan stretching (peregangan) pada tendo tersebut akan sangat membantu penyembuhan."
"Nah apa yang di alami Dina, dia mengalami cedera Achilles, di mana robekan di tumitnya mengalami robekan total yang mengharuskan untuk di operasi."
Visa, Aura dan Bilal mengangguk paham.
"Jadi, kapan kaki Dina bias di operasi dok?" Tanya Aura.
Sang dokter tersenyum manis dan lembut. "Besok. Semestinya lebih cepat lebih baik, hanya saja karena hari ini saya harus melakukan sesuatu, jadi, operasinya akan di laksanakan besok."
"Kira-kira, berapa biaya operasi kaki Dina dok?" kali ini pertanyaan dari Bilal.
"Kalian tidak perlu khawatir. Semua biaya sudah di tanggung sama dokter Purnama."
Ketiga sahabatnya kompak menatap Dina memincing, meminta jawaban. Sedangkan sang tersangka hanya tertawa canggung.
"Terimakasih dok, kalau begitu saya permisi dulu. Maaf sudah mengganggu." Pamit Dina melarikan diri dari tatapan tajam yang mampu mendirikan bulu kuduknya.
Setelah mendapat anggukan dari sang dokter, Dina dengan segera keluar dari ruangan yang di ikuti ketiga sahabatnya.
"Loe utang jawaban Dina."
"Jawaban apa?" Tanya Dina sok-sokan polos. Dalam hati gadis itu mengutuk bibir ember sang dokter yang dengan gambling berbicara seperti tadi.
"Gak usah sok-sok an gak ngerti Din-dan-dun. Jawab aja pertanyaan kita."
Dina meneguk air liurnya susah payah. Matanya berkeliling, menatap setiap sudut rumah sakit, berusaha mencari apapun yang bias mengalihkan kefokusan ketiga sahabatnya.
Sontak kakinya berhenti saat matanya menangkap Dira dengan pakaian rumah sakit yang baru kelouar dari ruangan – mata Dina memincing membaca ruangan di belakang Dira- matanya seketika membelo.
Ruangan Dr. kirana Sp.P atau yang di kenal dengan Spesialis Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi (Paru). Dalam benak Dina timbul penuh Tanya. Tidak mau menduga yang tidak ada ujungnya, Dina segera melangkah, menghadang langkah kaki Dira, mengabaikan perkataan semua sahabatnya yang tidak ada masuk kedalam telinga.
Perlahan Dira mendongak saat matanya menangkap sepasang kaki dan tongkat kaki menghadang jalannya. Matanya terbelalak. Terkejut.
"Apa yang loe lakuin di ruangan dokter paru-paru?" tanyanya langsung, tidak memperdulikan tatapan terkejut dari sang adik. Rasa keingin tahunya sangat besar untuk saat ini.
Dira membuka bibirnya, berniat berbicara, tapi yang keluar dari bibirnya hanya helaan nafas tanpa suara. Suaranya seperti tercekat di tenggorokan. Gadis itu sama sekali tidak menyangka kalau kakaknya akan bertanya seperti itu, tidak lebih tepatnya. Dia sama sekali tidak menyangka kalau kakaknya bisa ada di sini mempergokinya baru keluar dari ruangan dokter.
"Gua harap loe gak bohongin Dira. Loe gak akan nambah kebohongan yang lain kan?" seakan tau apa yang ada di dalam pikiran adiknya, Dina bertanya hal yang sangat tepat. Menghentikan pemikiran Dira untuk mencari alasan lain tanpa berucap jujur.
Namun perkataan Dina tadi menohok hatinya. Dia tidak punya pilihan lain selain menjawab jujur.
Kepala Dira mengangguk lemah. "Gua bakal cerita, tapi gak di sini. Di taman rumah sakit."
Tanpa berpikir dua kali, Dina menyetujui permintaan sang adik. Berjalan kearah taman rumah sakit dengan diam tanpa ada satu di antara mereka yang memecahkan keheningan itu.
Aura, Visa dan Bilal memilih menjauhi mereka dari pada mengikuti dua saudara itu. Mereka bertiga memilih berjalan kearah pintu masuk dan keluar. Mereka bertiga sangat tau apa yang akan terjadi nanti. Tapi mereka yakin, kalau Dina pasti baik-baik saja. Untuk kali ini, mereka tidak akan ada di samping Dina saat gadis itu sedih.
Bukan karena mereka tidak menyayangi Dina lagi, tapi karena mereka tidak sanggup melihat wajah terluka dan penuh salah dari Dina seperti mereka kemaren. Tidak.
.
Angin membelai lembut wajah kembar identic yang sedang duduk di taman rumah sakit, menerbangkan helaian rambut mereka berdua.
Dina memilih Diam dari pada memaksa adiknya untuk berbicara. Dia mencoba mengerti dan memahami apa yang ada di dalam benak sang adik meskipun Dina sama sekali tidak tau dan tidak memahami apapun.
"Gua ngidap penyakit tumor paru-paru."
Beberapa patah kata yang keluar dari bibir Dira sukses membuat Dina terkejut bukan main. Bahkan mata yang tadi sempat terpejam menikmati udara di rumah sakit langsung terbuka lebar dengan kepala menoleh cepat kearah Dina.
"Gua gak lagi bercanda atau apapun, Din. Gua serius. Penyakit yang oma derita itu nularnya ke gua."
Dina terdiam dengan bibir sedikit terbuka. Tidak. Dia tidak bisa percaya begitu saja. Dira yang dia tau selalu sehat-sehat saja. Gadis itu seperti orang pada umumnya. Hanya saja Dira tidak boleh kelalahan dan banyak aktifitas.
Pikiran itu sontak membuat kekalutan Dina semakin jadi. Jangan bilang seluruh keluarganya menyepesialkan Dira karena gadis di sampingnya mengidap penyakit mematikan? Jangan bilang seluruh keluarganya lebih mementingkan dan menghawatirkan Dira karena dia mengidap penyakit itu? Jangan bilang--- tidak. Dira tidak mungkin mengidap peyakit mematikan itu kan? Dira tidak mungkin mengidap penyakit itu kan?.
"Gua ngidap penyakit ini saat umur gua 12 tahun."
Deg.
Jantungnya seakan berhenti berdetak mendengar perkataan Dira. 12 tahun? Bukankah itu saat papanya mulai memanjakan Dira dan mengabaikannya? Bukankah saat itu perubahan besar terjadi pada hidupnya? Saat dia di abaikan seluruh keluarganya terkecuali sang bunda? Bukankah saat itu dia merasakan yang namanya kesepian?.
Apa karena itu? Apa karena hal itu seluruh keluarganya berbuat seolah mengangapnya tidak ada? Hanya karena mereka ingin menyalurkan rasa sayangnya ke Dira untuk menyemangati gadis di sampingnya agar bertahan hidup? Apakah benar-benar seperti itu?.
"Saat itu gua merasa ketakutan, gua merasa kesepian. Meski semua keluarga ada buat gua, tapi gua merasa sebaliknya. Gua takut kalo sewaktu-waktu gua bisa mati kapan aja. Gua takut kalo pas gua lagi tidur besoknya gua gak bisa bangun. Gua benar-benar takut Din." Lelehan larva menetes dari mata yang sama persis dengan Dina. Mata yang menyiratkan penuh ketakutan dan kekalutan.
Dina mengepalkan kedua tangannya erat. Ternyata benar. Seluruh keluarganya mengabaikannya karena adiknya sedang sakit. Dia merasa menjadi kakak yang paling tidak becus di dunia.
Seharusnya dia tau apa yang menimpa adiknya tanpa di kasih tau dengan gambling sama keluarganya. Seharusnya dia bisa berpikir kalau adiknya pasti kenapa-kenapa samnpai seluruh keluarga besarnya mencemaskan Dira sebegitu besarnya. Seharusnya dia tidak bersikap kekanakan seperti ini. Tuhan! Rasanya Dina ingin mengahiri hidupnya saat itu juga.
"Gua minta maaf kalo penyakit gua ini bikin loe di asingkan. Gua gak maksud Din. Sungguh. Gua juga gak minta sama mereka untuk berbuat seperti itu. Gua... gua... gua—"
Dengan cepat Dina menarik tubuh bergetar sang adik kedalam pelukan. Memeluknya dengan erat, sangat erat. Dia tidak mau kehilangan lagi. Dia tidak mau kehilangan orang yang di cintai lagi. Cukup mamanya saja yang hilang, jangan adiknya. Jangan orang yang selalu ada untuknya. Jangan orang yang selalu membuatnya senewen namun juga tertawa. Jangan!.
Lelehan larva panas meluncur dengan bebas di pipi putih itu. Isakan tertahan keluar dari bibirnya.
"Maaf, maafin gua. Gua gak tau. Gua minta maaf ya dek." Terasa asing saat dia mengucapkan kata itu. Dek, seharunya kata yang biasa saja, namun Dina tidak pernah memanggil Dira dengan sebutan itu. Kecuali pas mereka masih kecil. Dia menyesal. Sungguh. Apapun akan dia lakukan untuk membuat sang adik bahagia. Apapun.
Dira mengeratkan pelukannya dengan isakan yang meluncur bebas. Kepalanya bersender di pundak sang kakak, mencari posisi ternyaman. Ini pertama kalinya mereka berpelukan seerti ini setelah dewasa. Hal yang sangat di rindukan gadis itu. Bisa memeluk kakaknya seperti ini. Memeluknya dengan bebas.
Tanpa di ketahui kedua saudara itu, lima orang yang beridiri tidak jauh dari mereka tersenyum haru. Akhirnya, akhirnya apa yang ingin mereka lihat, sekarang terpampang dengan jelas. Mereka bahagia. Sangat bahagia. Tidak ada yang lebih membahagiakan lagi saat melihat keluarga mereka kembali menyatu.
.
Entah sudah berapa lama kedua saudara kembar identic itu saling berpelukan, smapai akhirnya Dira memilih melepaskan pelukan sang kakak dan menghapus air matanya dengan senyum geli terpampang indah.
"Kakak cengeng, gini aja nangis." Ledek Dira tidak tau diri.
Dina mendengus geli. Kedua tangannya menghapus sisa air mata di pipi tembemnya. "Kayak loe gak aja, dek." Kata Dina menoyor pelan kepala sang adik.
Dira terkekeh. Kekehan yang sudah lama tidak dia lihat. Apakah karena dia tidak begitu peduli lagi dengan Dira waktu itu sampai membuat adiknya menghilangkan tawa indahnya ini? Kakak macam apa dia ini.
"Oh iya, ada satu hal yang kakak berhak tau."
Dina mengerutkan keningnya tidak mengerti. Satu hal? Apalagi? Apa ada hal lain yang di sembunyi--- perkataan kedua sahabatnya tiba-tiba hadir di benaknya. Benar, ada dua hal.
Dira menghela nafas panjang dan mnghembuskannya hati-hati. Dina berhak tau hal yang terjadi, Dina berhak tau apa yang terjadi.
"Bunda... dia masih hidup." Kata Dira lirih di akhir kalimat. Meski begitu Dira yakin kalo Dina mendengarnya terbukti dengan mata sang kakak yang melotot tidak percaya.
"Waktu itu, waktu kakak lagi keluar rumah, Ayah pulang bawa wanita yang dia cintai, Bunda gak terima dan akhirnya mereka debat sampe akhirnya penyakit jantung bunda kumat. Aku Ayah dan mama cepat-cepat membawa Bunda ke rumah sakit, meski kita semua liat kakak ada di garasi rumah. Tapi kita gak ada waktu buat jelasin semuanya. Waktu kita semua sampai di rumah sakit, keadaan Bunda sudah anfal. Dokter bilang nyawa bunda tidak terlolong. Karena itu aku pulang ke rumah sama keluarga yang lain dan bilang sama kakak kalau Bunda meninggal.
"Awalnya memang seperti itu. Tapi pas bunda mau di mandikan sama pihak rumah sakit, tiba-tiba mata Bunda terbuka, tapi itu tidak lama, Bunda hanya sadar satu jam dan kembali pinsan. Kata dokter, Bunda mengalami mati suri, dan sekarang Bunda koma. Gak tau sampai kapan Bunda betah dengan komanya.
"Bukannya kita semua gak mau ngasih tau kakak, tapi waktu itu keadaan kakak lagi down, jadi kita milih buat mundurin waktu untuk ngasih tau yang sebenarnya. Tapi saat kakak sudah bisa nerima keadaan kita semua jadi ragu buat bilang yang terjadi. Dan akhirnya kita gak akan ngasih tau kakak sampai Bunda sadar. Tapi ternyata sampe sekarang Bunda gak juga sadar. Kalau gak sekarang aku ngasih tau kakak, kapan lagi? Aku gak tau Bunda bakal sadar atau gak. Aku gak tau."
Dina kembali terdiam seribu bahasa. Pikirannya berkecamuk mencerna semua informasi mengejutkan dari sang adik. Tangannya bergetar hebat dan saling menangkup untuk menghilangkan getarannya, tapi itu tidak membuahkan hasil yang maksimal.
"Mungkin kita ngambil keputusan yang salah kak. Tapi... kita lakukan semua ini untuk kakak."
Ingin rasanya Dina menjerit dan menampar wajah semua keluarganya yang menyembunyikan rahasia sebesar ini kepadanya. Bundanya yang dia sangka sudah meninggal ternyata masih hidup. Bundanya yang dia sangka telah tiada ternyata masih bernyawa. Dan dia tidak tau sama sekali tentang hal ini.
Bahu Dina bergetar hebat. Dia marah, iya. Dia sangat marah. Dia tidak bisa menerima hal yang tidak masuk akal ini. Dia tidak mampu untuk mencerna semuanya.
"Apa yang mereka lakukan, itu karena mereka sayang sama loe." Perkataan sahabatnya tadi pagi waktu di taman sekolah kembali terngiang dalam benaknya.
"Apapun yang mereka lakukan, mereka pasti mempunyai alasan tersendiri kenapa mereka melakukan hal itu." Perkataan Nila waktu kemaren ikut terdengar di telinganya. Seolah membantunya untuk bersikap dewasa.
"Tapi waktu itu keadaan kakak lagi down, jadi kita milih buat mundurin waktu untuk ngasih tau yang sebenarnya. Tapi saat kakak sudah bisa nerima keadaan kita semua jadi ragu buat bilang yang terjadi. Dan akhirnya kita gak akan ngasih tau kakak sampai Bunda sadar. Tapi ternyata sampe sekarang Bunda gak juga sadar." Perkataan Dira tadi kembali terngiang di benaknya.
Bukan. Mereka melakukan hal ini bukan karena ingin dia tidak tau, tapi mereka tidak ingin Dina kembali down. Meski apa yang mereka lakukan salah. Tapi sepertinya itu hal yang wajar. Kalau Dina berada di posisi mereka, Dina juga pasti akan mengambil keputusan itu, terlepas dari benar atau salah.
Dina meraup wajahnya yang terasa sangat kusut. Kenapa menjadi serumit ini?.
"Kak, aku mohon, jangan jauhi kita lagi. Kita minta maaf kalo apa yang kita lakukan salah. Ya. Dan emang apa yang kita lakukan salah. Tapi please jangan jauhi kita lagi." Kata Dira menggenggam erat tangan Dina, tidak ingin melepasnya lagi.
Dina membalas genggaman tangan sang adik meski tidak kuat, tapi cukup untuk menghibur dan meyakinkan adiknya kalau dia tidak akan menjauh. Tidak. Cukup satu kali dia melakukan kesalahn. Tidak untuk dua kali.
Kesalahan terjadi untuk di pahami bukan untuk lakukan lagi. Kesalahan hadir agar kita tidak melakukan kesalahan yang sama. Kesalahan ada agar kita menjadi orang yang tegar dan belajar dari kehadiran kesalahan itu.
"Gak. Aku gak akan pergi lagi." Katanya mengubah bahasa kesehariannya. Menarik sudut bibirnya keatas. Senyuman yang terasa canggung dan berat untuk awalan, tapi tak lama senyumannya berubah menjadi senyuman tulus. Senyuman tertulus yang hadir dari lubuk hatinya.
Saat kita sudah mengerti apa yang terjadi. Kita akan merasakan hal yang sangat luar biasa. Saat kita sudah mengerti apa yang harus kita lakukan, kita akan merasakan beban hidup yang seakan menghempit hilang tak terbebakas. Saat kita sudah mengerti akan arti hidup. Kita akan menemukan kebahagiaan yang selalu kita cari selama ini.
Ya. Bahagia bukan hal yang sulit dan mengeluarkan uang yang banyak. Bahagia itu selalu hadir menjadi pilihan. Tapi kita sering gelap mata untuk tidak melihat sinar terang dari kebahagiaan itu sendiri. Kita malah lebih terfokus ke penderitaan, menyalahkan orang yang menyebabkan kita menderita. Tidak berniat seincipun untuk melihat kebahagiaan yang selalu ada di samping kita.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top