Episode 12 - Apa Yang Terjadi?
Aku berhenti bersedih, menanti kebahagiaan yang sedang menanti kembali, dan tak kan menunggu takdir.
Karena aku tau, bahagia itu sebuah pilihan, bukan sebuah jawaban.
Rintihan kesakitan lirih memecahkan kesunyian di salah satu rumah minimalis bergaya modern, langkah terseok-seok mengiringi rintihan di ruangan yang gelap. Tanpa berniat menekan saklar lampu agar cahaya terang menerangi langkahnya.
"Loe mau cepet sembuh?" pertanyaan yang tiba-tiba datang di iringi ruangan yang langsung terang berhasil menghentikan langkah kaki Dina.
Kepalanya menoleh, menatap pria yang membuatnya terkejut.
"Bisa gak, datengnya gak usah tiba-tiba? Kayak jalangkung aja," katanya kesal, kembali menyeret kakinya kearah dapur –berniat mengambil air putih.
Purnama mengikuti langkah kaki Dina dengan tenang, tanpa merasa terganggu dengan ucapan gadis itu.
"Kaki loe kalo gak di operasi bakal berubah bentuk, dan kalo itu terjadi, semua aktifitas loe bakal terganggu. Boro-boro kuliah, kerja aja kamu gak akan bisa."
Dina menghela nafas kesal, matanya melirik Purnama dengan bengis, meski dia tau, kalau tatapannya akan berbuah sia-sia.
"Gua bisa kok minjemin uang biar kaki loe sembuh."
Dina berhanti melangkah, menatap Purnama semakin tajam.
"Gua bilang minjemin. Loe bisa balikin uang itu pas loe gajian. Gimana? Di cicil?"
Tatapan Dina semakin tajam, tanpa berniat mengurangi intensitas tatapannya, Dina berujar. "Kenapa loe pengen banget gua operasi?" tanyanya tajam, melipat kedua tangannya di depan perut.
Purnama mengangkat bahunya acuh. "Gua hanya gak ingin punya kenalan yang cacat."
Dina mendengus jengkel, "Kalo gitu, loe gak perlu sok-sokan kenal sama gua."
"Sayangnya gua orang gak kayak gitu." Shautnya cuek, kembali berjalan. "gua bukan orang yang pinter akting."
Dina mendengus kesal mendengar jawaban aneh yang keluar dari bibir pria itu.
"Gua gak butuh belas kasihan loe." Katanya masih dengan suara yang tajam.
Purnama menghentikan langkahnya, kepalanya menoleh tanpa membalikkan badan, menatap Dina dengan ekor matanya.
"Loe gak mikir? Loe baru aja bilang kalo loe gak belas butuh kasian gua, itu artinya, loe gak ingin di kasihani orang lain. Tapi loe sama sekali gak tau maksud perkataan loe barusan."
Dina mengrenyitkan kening, merasa aneh dengan perkataan pria itu. Namjun bibirnya masih bungkam.
Purnama membalikkan badanya, menatap Dina dengan pandangan mencela. "Kalo loe pincang, loe bakal dapat tatapan kasian dari semua orang yang ngeliat loe. Sekarang terserah loe mau milih yang mana. Dikasihani satu orang atau dikasihani seribu orang."
Dina terdiam, tatapan matanya yang tajam perlahan memudar, pikirannya bercabang, memikirkan Purnama yang benar adanya.
Kenapa? Kenapa adik dan kakak pintar sekali berbicara? Kenapa adik dan kakak memiliki pilihan yang sulit tapi juga pas dengan kondisinya sekarang.
Dina mendesah frustasi, adik dan kakak memang pandai dalam memojokkan orang.
.
Dira melangkah kan kakinya di koridor rumah sakit yang di penuhi dengan orang berlalulalang. Sebuket bunga Yellow Tulip dan Primrose kedua bunga yang memiliki arti berbeda. Yellow tulip bermakna kesatuan cinta atau harapan cinta sedangkan primrose cinta abadi, ada juga yang melambangkan putus asa. Namun Dira membawa bunga itu dengan artian yang pertama.
Dia ingin orang yang sedang terbaring dalam brangkar merasakan cinta yang abadi darinya. Dia tidak mau berharap terlalu muluk, dia hanya ingin mamanya sadar dan kembali dengan senyuman ceria seperti dulu.
Apa harapannya terlalu muluk? Sepertinya iya, namun itulah yang dia harapkan sekarang. Dia tidak tau lagi mau berharap apa di saat kondisi keluarganya sedang memburuk seperti ini.
Langkahnya tiba-tiba terhenti, tangannya terjulur kedepan bibir, menghalau suara yang ingin keluar. "Uhuk, uhuk, uhuk."
Helaan nafas tertahan saat matanya menangkap warna merah terang di telapak tangannya, pandangannya sedikit mengabur, namun Dira mencoba untuk tetap berdiri tegak. Perlahan jari-jemarinya menangkup, menutupi darah di telapak tangannya. Senyuman miris hadir di bibirnya.
Tak mau berlarut lebih lama, Dira kembali melangkahkan kakinya, berjalan mantap tanpa memperdulikan rasa pening di kepalanya yang semakin menjadi.
Sepuluh langkah dia kembali menghentikan laju jalannya, kepalanya tertunduk, giginya menggigit bibir bagian bawah menahan rasa sakit yang semakin menjadi. Mendongakkan wajah, berharap rasa yang menyiksa menghilang, namun itu sia-sia. Rasa sakit di kepalanya semakin jadi. Tak butuh waktu lama tubuhnya limbung kebelakang.
.
"Gua... gua masih ingin ngejar cita-cita gua." Kata Dina dengan kepala menunduk dalam, menyembunyikan rasa malu yang menghinggapinya.
Purnama menaikkan salah satu alis dengan wajah angkuh. Seandainya saja Dina tidak sedang dalam mode 'meminta tolong' mungkin gadis itu sudah menonjok wajah di depannya.
Sedangkan Nila menatap Dina bingung dan berganti menatap adiknya dengan tatapan tajam, menyalahkan kenapa Dina bersikap seperti ini. Yang di tatap hanya menghendikkan bahu cuek.
Menahan napas sejenak sebelum kembali berbicara. "Dengan kondisi normal."
Tiga kata itu menjawab raut kebingungan Nila. Berbeda dengan Purnama yang melengkungkan senyuman puas.
"Baiklah, ayo kita kerumah sakit, obati kaki loe sekarang juga. Makin cepat makin baik."
Dina mendongakkan wajah, menatap Purnama bingung, dalam benaknya penuh dengan Tanya, pria itu tidak mengejeknya atau mempersulit keadaanya? Mengingat seberapa keras kepala dirinya kemaren.
"Ayo, malah bengong. Yee..."
Dina memanyunkan bibirnya sebal mendengar perkataan sinis pria itu. Nila tersenyum manis melihat 'keakuran' kedua adiknya.
"Sabar dong, gak sabaran banget sih jadi orang. Katanya dokter, tapi kok kayak gini."
"Yee, malah ngajak rebut. Ayo ah, gua lagi males debat."
"Iya, iya pak dokter. Iya!" serunya geram, mengikuti purnama yang sudah melangkah terlebih dahulu, matanya memincing, hatinya penuh dengan kata-kata mutiara mendoakan Purnama, kalau tidak ingin di bilang mengumpat.
.
Kenyritan di dahi Dina Nampak saat matanya melihat kerumunan orang di lorong koridor, matanya sedikit mencuri lihat untuk mengetahui ada apa, tidak mungkin orang kecelakaan, kalau orang kecelakaan pasti di brangkar bukan di lantai apalagi ini di lorong yang cukup jauh dari lobby, mengarah ke ruangan ICCU.
Tidak memperdulikan Purnama yang masih berjalan lengkap dengan celotehan menyebalkan pria itu. Dina lebih tertarik melihat kerumanan di sampingnya daripada menanggapi ocehan tidak penting Purnama.
Sedikit lagi, sedikit lagi dia bias melihat apa yang terjadi, Namun sebelum matanya berhasil menangkap objek perhatiannya, semua orang sudah membopong orang itu, seluruh tubuhnya tertutupi oleh badan mereka.
Sedikit berdecak karena tidak bisa melihat apa yang dia inginkan. Namun sesuatu yang tergletak di lantai mengambil alih raut kecewanya, dengan hati-hati kakinya melangkah kearah sebuket bunga Yellow Tulip dan Primrose.
Mencium aroma bunga itu dengan wajah tenang. Kedua bunga yang di sukai sang adik dan mamanya meskipun dia tidak tau arti kedua bunga ini.
Raut wajahnya berubah sendu, kedua tangannya memegang erat buket bunga di depannya, menyalurkan rasa sakit yang bertalu di dadanya. Benaknya penuh Tanya, apa yang harus dia lakukan? Apa yang akan dia lakukan? Sejauh dan sekeras apapun dia berusaha untuk menghilangkan rasa sakit di dadanya hasilnya tetap sia-sia. Seberusaha apapun Dina untuk menghilangkan rasa sedih dan sepi di hatinya, semua itu sia-sia.
"Jangan pernah mengotori hatimu dengan kebencian, saying. Kebencian gak 'kan pernah menyelesaikan masalah kita. Yang ada, mereka justru membuat masalah kita menjadi rumit, mereka membuat kita menjauhi kasih sayang yang mungkin ada"
Sebait kata-kata Nila merasuk kedalam otaknya. Batin dan jiwanya bergejolak antara membenarkan dan menyalahkan. Perang batin yang menyiksa kembali hadir setelah kemaren Dina tekan dalam-dalam tidak mau berpikir lebih jauh.
Tapi sekarang mereka hadir lagi, mereka hadir tanpa di minta, mereka hadir hanya karena Dina melihat sebuket bunga kesukaan adiknya. Ingin rasanya Dina menjedukkan kepalanya kuat-kuat di dinding, namun di urungkan, dia tidak mau membawa penyakit lagi. Tidak, terimakasih.
"Elah, kirain loe di mana, ternyata di sini, kalo berhenti jalan bilang-bilang dong, gua tadi kayak orang gila ngobrol sendiri di jalan." Katanya ketus lengkap dengan tatapan jengkel, namun beberapa detik berikutnya tatapannya berubah menjadi bingung.
Kepalanya sedikit memiring ke kiri, mengangkat tangan kanan dan melambai di depan wajah Dina yang terlihat tanpa raga.
"Loe---"
"Apa yang bakal loe pilih kalo loe hanya punya dua pilihan. Masuk dalam gua yang gelap gulita apa pergi menjauhi gua meski loe tau di luar sedang ada hujan badai?" pertanyaan Dina menghentikan kalimat Purnama yang entah ingin berbicara apa.
Pria itu terdiam sejenak sebelum menjawab, pertanyaan gadis di sampingnya cukup membingungkan, siapa yang di maskud gua dan siapa yang di maksud hujan badai?.
"Gua gak suka gelap. Gua bakal milih menjauhi gua. Loe tau? Kegelapan selalu nutup mata gua dengan kegelapan. Gua gak bisa liat apa-apa selain hitam dan hitam. Kalo hitam udah nguasai mata gua, gua gak bakal bisa berpikir rasional. Bisa jadi, gua malah salah milih langkah, dan gua jatuh di jebakan yang dalam tanpa ada yang bisa nolong."
Mata Dina melirik Purnama masih dengan pandangan kosong, matanya mengerjap beberapa kali. Entah apa yang sedang dia pikirkan saat ini.
"Meski di luar lagi hujan badai, loe masih ingin di luar? Resikonya loe bisa sakit bahkan loe bisa aja mati di sambar petir."
Purnama tersenyum manis. Untuk pertama kalinya pria itu tersenyum manis dan tulus tidak seperti biasanya yang selalu menyeringai.
"Apapun resikonya, gua lebih milih di luar gua, kalo bisa, gua ingin jauh dari gua itu. Gak peduli kalo nanti gua sakit atopun mati, toh semua orang yang hidup pasti matikan? Semua orang yang hidup pasti ngerasain sakit. Jadi apa yang harus gua takuti? Di luar gua, gua bisa liat dunia luar jauh lebih indah yang gak bakal di liar di dalam gua. Di luar gua, gua bisa liat langit yang gak bakal di liat di dalam gua. Di luiar gua, gua masih bisa tersenyum di bawah guyuran badai. Karena gua tau, kalo gua dia luar gua, gua gak akan pernah salah langkah yang bikin gua jatuh ke dalam perangkap. Kalopun gua masuk di dalam perangkap, ada orang lain yang bisa nolong gua. Ada orang lain yang bisa liat gua, ada orang lain yang bisa bikin gua tersenyum. Dan pastinya, loe gak bisa ngerasain itu semua kalo loe di dalam gua."
Perkataan Purnama seakan menohok jantungnya. Detakan demi detakan yang melambat semakin menyiksa relung hitinya. Tangannya bergetar membuat bunga yang di genggam jhatuh kelantai, tanpa di sadari air mata lolos dari kelopak matanya yang entah sudah berapa puluh liter mengeluar tetesan air asin.
Purnama mengerjapkan matanya beberapa kali, tangannya menggaruk kepala bagian belakang dan membalikkan badan, tidak ingin melihat seseorang yang sedang menangis, tidak ingin melihat seseorang yang sedang rapuh. Karena Purnama paling benci melihat seseorang yang rapuh. Karena itu mengingatkannya betapa rapuhnya dia dulu saat kedua orang tuanya selalu bertengkar dan akhirnya memilih bercerai.
Meskipun kedua orang tuanya telah resmi bercerai, mereka masih terus beradu mulut, merebutkan hak asuh. Hal itu berdampak pada psikologis mereka berdua. Purnama menjadi anak yang pendiam dan selalu menyendiri, buku tak pernah lepas dari genggaman tangannya, sedangkan Nila menjadi anak yang urak-urakan, selalu membuat masalah dengan siapapun dan menjadi langganan masuk ruangan BK (Bimbingan Konseling).
Hal itu terus berlanjut sampai mereka kuliah. Nila perlahan-lahan berubah, menjadi sering di rumah dan menghabiskan banyak waktu dengan adiknya, karena hal itu, hubungan mereka yang dulu sangat renggang –seperti orang yang tidak saling kenal di suruh tinggal rumah- kalau mereka berpapasan pun tidak ada yang peduli. Mereka hidup dengan dunia masing-masing.
Namun itu dulu, sekarang lebih tepatnya setelah Nila berubah, mereka menjadi kakak-adik seperti umumnya. Dan hal itulah dia paling benci melihat orang rapuh apalagi menangis.
Di lain sisi Dina masih merenung atas perkataan Purnama, kepalanya menunduk dalam. Sedikit banyak—tidak semua apa yang di katakana Purnama benar adanya. Kenapa kita harus takut sama rasa sakit kalau semua orang pasti pernah merasakannya, kenapa kita harus takut akan mati? Toh semua manusia yang hidup pasti akan meninggal.
Benar, apa yang di katakana Reksa dan Nila benar, dia terlalu drama Queen. Dia tidak mau memikirkan prasaan keluarganya, dia tidak mau mendengarkan penjelasan keluarganya, yang lebih penting. Dia tidak mau tau alasan kenapa keluarganya mengabaikannya, dia tidak mau tau tentang itu semua, karena dia merasa, dialah yang paling menderita.
Bukan keluarganya yang menjauh, tapi dirinya lah yang menjauh. Bukan keluarganya yang tidak menyayanginya, tapi dia sendirilah yang membuat temeng siapa-siapa saja yang bisa menyentuhnya.
Benar, ini semua bukan salah keluarganya, tapi bukan juga salahnya. Sisi egois dan tidak mau tau lah yang menyebabkan ini semua ini terjadi. Seandainya, seandainya dan seandainya. Tapi kata seandainya tidak akan pernah berguna untuk apapun kalau tidak di awali dengan kata 'lakukan'.
.
Pagi ini terasa berbeda untuk semua orang, Dina kembali duduk di bangkunya, menimbulkan banyak Tanya di benak semua orang di dalam kelas, termasuk ketiga sahabatnya, Dira serta Reksa.
Saat pertama kali mereka menginjkan kaki di ruang kelas mereka semua mempunyai reaksi yang sama, mematung di depan kelas untuk beberapa detik sebelum kembali berjalan di bangku masing-masing dengan tatapan yang mengarah lurus ke arah Dina. Seolah tidak mendapat tatapan apapun sang objek asyik membaca buku.
Deritan kursi di Tarik tidak mengambil kefokusan Dina. Di luar dia terlihat tidak perduli tentang apapun saat ini, tapi siapa yang menyangka kalau batinnya bergejolak, bimbang antara mengutarakan apa yang ingin dia ucapkan atau memilih diam, menunggu seseorang untuk memulai berbicara terlebih dahulu.
Matanya bergerak-gerak, dia sangat bimbang saat ini. Bibirnya terbuka namun kembali tertutup, beberapa detik setelahnya kembali terbuka namun kembali menutup. Hembusan nafas tertahan ia keluarkan. Bagaimana cara mengatasi rasa menyiksa seperti ini?.
Jelas gengsi lebih mendominasi apapun saat ini, kalian ingat beberapa hari kemaren? Saat dia mendapat incident tertabrak? Jelas bukan kalau hari itu marah-marah tidak jelas. Gengsi-lah yang mendominasi keraguannya untuk berbicara 'maaf'.
Menutup bukunya dengan lembut, di masukkan kedalam laci. Keplanya menunduk dalam, dia tidak siap, sungguh, tidak sekarang.
Dina berdiri dari kursi mengambil tongkat kaki yang dia sender-kan di dinding, berjalan tertatih ke arah ketiga sahabatnya yang masih menatapnya, tatapan yang terasa asing untuknya, tatapan yang tidak bisa dia deskripsikan.
"Kalian kenapa?" tanyanya kebingungan, dengan serempak ketiga sahabatnya menggeleng, menimbulkjan kenyritan heran di keningnya. Tidak ingin berpikir yang pasti tidak akan ada jawabannya. "ada yang mau gua bicarain nih, bisa ikut bentar?"
Tanpa melirik satu sama lain ketiga orang itu memilih berdiri dan berjalan berdampingan, meski begitu hening menyelimuti perjalanan mereka, yang lagi-lagi membuat Dina semakin kebingungan. Dia merasa asing dengan suasana yang terjadi sekarang. Asing yang seakan mengejeknya.
Apakah ini yang dirasakan Dira dan ayahnya saat dia berlaku dingin? Apakah rasanya sangat menyiksa seperti ini? Kenapa? Kenapa dia harus merasakan prasaan bersalah seperti ini? Apa hanya dia saja yang bersalah di sini? Apa hanya dia saja yang melakukan kesalahan? Kenapa? Kenapa rasanya semenyakitkan ini? Kenapa rasanya seperti di lempari batu besar yang menghempit jalur pernapasan? Kenapa rasanya harus semenyakitkan ini?.
Oh semua orang juga tau, kalau bukan hanya dia yang bersalah, semua orang juga tau kalau bukan dia yang memulai, tapi kenapa rasanya semenyakitkan ini? KENAPA?!.
Tanpa di ketahui ketiga sahabatnya, air sebening Kristal berjatuhan dengan deras, isakan yang ingin keluar dari bibirnya di tahan, mencegah untuk memecahkan keheningan yang terasa sangat menyiksa. Tangan kirinya yang memegang kayu tongkat kaki mengerat, mencengkram, ingin menyalurkan rasa sakit di hatinya.
Sesampainya di taman sekolah yang sepi, mereka duduk dalam diam, tatapan mata mengarah lurus kedepan masih tidak menyadari air mata yang semakin deras mmerembes keluar dari mata Dina.
Dengan kasar tangannya menghapus air mata yang masih setia mengalir bak anak sungai kelebihan air. Meski itu sia-sia namun Dina terus dan terus menghapus air mata yang berjatuhan.
"Loe tau Din? Kita semua ngerasa bersalah sama keluarga loe, meski kita juga tau kalau hal itu gak perlu, tapi entah kenapa, rasa bersalah masih saja menggrogoti batin kita," ucap Bilal memecahkan keheningan.
Dina diam, tidak tau harus berbicara apa, tangannya yang berada di pipi terasa kaku. Bersalah? Kenapa?.
"Loe pasti bingung kenapa kita merasa bersalah sama keluarga loe. Loe inget? Perkataan kita waktu itu saat loe duduk di ayunan? Sikap loe sama keluarga loe itu kita yang nyuruh. Seharusnya kita gak nyuruh loe buat ngelakuin itu, seharusnya kita gak bicara kayak gitu. Jujur, gua ngerasa jadi sahabat yang jahat. Di luar sana, sahabat selalu mengarahkan sahabatnya ke jalan yang benar. Tapi kita malah nyuruh loe ke jalan yang salah. Gua malu." Sambung Bilal menundukkan kepala, menatap tanah berbalut rerumputan hijau pendek terawatt.
Dina masih bungkam, dia kebingungan, tentu. Siapa yang tidak akan kebingungan mendapati perkataan seperti itu tiba-tiba? Bahkan air matanya pun langsung berhenti.
"Apa yang di ucapin Bilal emang bener Din. Kita malu sama loe, gak hanya sama loe, tapi kita juga malu sama keluarga loe. Rasanya kita gak punya muka lagi." Kata Visa dengan helaan nafas berat. Matanya menatap langit mendung yang menyejukkan.
"Kenapa?" pertanyaan bernada kebingungan dengan suara yang serak menyetakkan ketiga sahabatnya dari rutinitas masing-masing.
Dengan kompak mereka menoleh ke arah Dina, menatap gadis itu yang jelas terlihat habis menangis. 'Kenapa? Kenapa dia menangis? Apa kakinya sesakit itu?' seperti itulah benak Visa, Aura dan Bilal.
"Kenapa kalian merasa malu? Kenapa kalian merasa bersalah? Emang apa yang terjadi?" pertanyaan beruntun kembali menyetakkan ketiga sahabatnya dari pikiran masing-masing. Ingin rasanya mereka bertanya kenapa Dina menangis, namun di urungkan.
"Kita tau dua hal yang gak loe tau Din. Kiita tau dua hal yang pasti bikin loe makin hancur. Kita dua hal yang seharusnya gak kita tahu." Aura mengambil alih permbicaraan.
Dina menatap Aura dengan pandangan bingung. "Dua hal? Apa?"
Aura tersenyum miris, "Sayangnya kita gak bisa ngasih tau loe. Kita gak ada hak."
"Maksud loe apa gak ada hak? Kalo kalian tau sesuatu yang penting, seharusnya kasih tau gua, bukan malah nyembunyiin kayak gini. Emangnya apa yang terjadi? Apa yang kalian tau? Jawab gua! Apa yang kalian tau?!"
Ketiga sahabatnya memilih bungkam dengan pandangan menatap sepatu masing-masing.
Dina menggretakkan giginya merasa kesal. "Apa kalian juga mau bohongin gua? Apa kalian juga mau ngejauh dari gua, hah? Kalo kalian udah bosen ama gua, bilang! Gak kayak gini!"
"Jangan salah paham dulu, Din." Ucap Aura menatap Dina lembut, berharap dapat menghilangkan emosi yang kini melanda sahabatnya.
"Kalo kalian gak mau gua salah paham. Kalian harus kasih tau gua apa yang terjadi!"
Namun mereka bertiga kembali diam. Dina semakin menggertakkan giginya kesal.
"Fine. Kalau ini mau kalian, fine. Terserah!" kata Dina penuh emosi, berdiri daru duduknya di kursi taman, melangkah menjauhi ketiga sahabatnya dengan langkah yang cukup lebar untuk menimbulkan rasa nyeri di pergelangan kakinya. Tapi Dina tidak perduli, gadis it uterus melangkah cepat.
Bilal berdiri duduknya melihat langkah sahabatnya yang terlihat susah payah, air mata jatuh begitu saja dari pipinya.
"Loe harus tau Din, bukannya kita gak sayang sama loe lagi, bukannya kita gak percaya sama loe lagi. Tapi loe berhak tau dari keluarga loe langsung, bukan kita. Itu hak mereka untuk ngasih tau. Kita hanya tau apa yang terjadi, tapi kita gak tau alasan di balik itu." Ucapan Bilal menghentikan langkah kaki Dina. Gadis itu berdiri mematung, ingin mendengar lebih jelas.
"Iya Din, kita hanya gak ingin hubungan loe sama keluarga loe semakin hancur. Loe tau Din? Mereka sayang sama loe, mereka juga perhatian sama loe, tapi mereka gak tau apa yang harus mereka lakukan. Mereka gak tau cara nunjukin kasih sayangnya ke loe. Sampai yang terjadi mereka terlihat acuh tak acuh sama loe." Sambung Aura ikut berdiri. Air matanya juga berjatuhan.
Visa ikut berdiri, tangannya menghapus air mata yang terus terjun. "Mereka bener Din. Mereka ngelakuin itu semua karena mereka percaya sama loe, mereka yakin kalo loe gak bakal bawa nama baik keluarga kalian hancur. Mereka yakin kalo loe bakal baik-baik meski apapun yang terjadi, mereka juga tau kalo loe itu orang yang kuat. Karena itu mereka terkesan acuh tak acuh sama loe Din. Tapi sebenernya, mereka sayang sama loe Din."
"Mereka hanya takut, kalo loe di manja, loe bakal menjadi orang yang bertanggung jawab, loe bakal jadi orang yang seenaknya sendiri, loe bakal jadi orang yang gak bisa di atur. Mereka hanya salah berpikir Din." Sambung Aura yang di sahuti anggukan kedua temannya.
"Kita hanya bisa ngasih itu Din, kita gak bisa ngasih tau yang lainnya. Maaf." Sambung Bilal.
"Kalo loe mau lebih tau apa yang sebenernya. Gak ada salahnya loe nyamperin Dira, tapi please, jangan pake urat, bicarain baik-baik. Gua yakin, dia pasti mau ngasih tau yang sebenernya Din." Kata Visa yang di sahuti lirikan Dina. Bukan lirikan tajam tapi lirikan keraguan. Melihat tatapan itu, mereka bertiga mengangguk kompak dengan senyum yang merekah.
Mungkin apa yang di ucapkan Visa benar, dia harus bertanya sama Dira, walau bagaimanapun, Dira jauh lebih tau dan berhak untuk mengutarakannya. Apapun nanti yang di katakana Dira, dia harus terima, apapun nanti yang di katakana Dira dia harus siap menerima.
Menghela nafas panjang dan berat Dina kembali melangkah, kali ini langkahan penuh kehati-kehatian tanpa emosi, tapi baru beberapa langkah, Dina kembali menghentikan langkahnya, kepalanya berbalik kearah sang sahabat yang masih menatapnya, memberi senyuman manis sebelum kembali melangkah.
Tidak ada kata terimakasih yang terlontar, tapi Dina yakin, ketiga sahabatnya pasti tau ucapan yang tidak terlontar itu.
Lorong demi lorong di lewati dengan tenang, banyak siswa dan siswi yang berkeliaran di luar kelas, melakukan aktifitasnya masing-masing.
Tiba di depan kelas, Dina lebih memilih berhenti dan menatap Dira yang sedang asyik mencoret-coret buku entah apa. Wajah Dira tampak lebih tirus dari bulan lalu sebelum dia memilih meninggalkan rumah, dan wajah yang pucat terlihat sepertri orang sakit. Ini hanya prasaanya saja, atau memang Dira terlihat sedang sakit?.
Masuk kedalam dengan langkah pelan, berdiri di depan meja Dira, membuat gadis itu mendongak, menatap Dina dengan dahi mengkerut. Dina sama sekali tidak mengucapkan apapun, matanya meneliti wajah yang serupa dengannya intens.
Benar, itu bukan hanya tebakannya saja, Dira memang sakit. Kalau dia sakit, kenapa dia harus kesekolah? Memangnya sejak kapan Dira sakit di ijinin untuk sekolah?.
"Apa?" merasa jengah dengan tatapan intens Dina, Dira lebih memilih bertanya, tapi Dina sama sekali tidak membuka mulutnya, gadis itu malah semakin menambah intensitas tatapannya.
"Loe mau ngomong apa?" lagi, Dira kembali bertanya, tapi Dina tetap bungkam.
Dira mengerutkan keningnya sebal, membalas tatapan sang kakak dengan sebal. Helaan nafas lelah keluar dari bibir Dina, gadis itu melangkah ke arah mejanya, mengabaikan tatapan kebingungan sang adik yang di layangkan.
Belum ada empat langkah dia menjauhi Dira, gadis itu terbatuk hebat membuat kakinya dengan spontan berhenti, menengok kearah sang adik yang sedang menutupi bibirnya dengan kedua tangan.
Sentakan kecil di bahunya membuyarkan semua kemelut di benak Dina, matanya beralih menatap pemuda yang baru saja menyenggol lengannya. Melihat Reksa terburu-buru dan menggendong Dira dengan gaya bridyle semakin memperkelut pikiran gadis itu.
Matanya terus menatap pergerakan Reksa sampai hilang di balik dinding. Dia tidak bodoh untuk tidak tau apa yang terjadi, tapi yang dia bingung, warna merah apa yang ada di telapak tangan adiknya? Tidak mungkin darah kan?.
"Selamat pagi semua."
Belum sempat Dina menemukan jawaban atas pertanyaan dalam benaknya, dia sudah harus rela meninggalkan kebingungannya tanpa ujung dan focus dengan materi pelajaran.
i
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top