Episode 11 - Kebimbangan

Note : Oh iya, ini belum aku edit, gak keburu soalnya, aku mau ngasih tau aja kalau Nila sama Dina gak ketemu 2 tahun bukan 5 tahun, kalau ada kata yang nyelimpet lima tahun , maaf ya, XD

Saat aku menunduk, yang kulihat hanya hamparan ber-aspal melindungi tanah dari kekejaman manusia yang selalu menginjak-nginjaknya. Saat aku menengadah, yang ku lihat hanya sekumpulan awan yang melindungi langit dari asap dan debu. Saat aku menoleh ke belakang, yang kulihat hanya sekumpulan masalalu menyakitkan. Tapi... saat aku melihat ke depan, yang kulihat hanya sekelabat warna putih kosong tanpa noda. Haruskah aku melangkah ke depan? Melangkah ke depan yang pasti akan menimbulkan noda? Atau... aku harus berjalan ke belakang yang penuh dengan kegelapan? Ataukah, aku harus stagnan di tempatku berdiri?.

Hembusan angin menerpa lima manusia yang berdiri saling menatap, keheningan melanda tanpa ada niatan yang ingin memecahkannya dalam hitungan detik. Tiga orang di antara lima memiliki pikiran dan pertanya yang sama. Kenapa? Tapi seolah kedua orang di depan itu tidak mengetahui isi pikiran mereka, mereka berdua tetap diam.

"Kenapa kalian menyembunyikan hal sebesar ini dari Dina?" pertanyaan dengan nada lirih hasrat akan kebingungan dan ketidak percayaan memecahkan kesunyian yang beberapa menit terucap sesaat setelah kebenaran yang terjadi terungkap. Terungkap dengan jelas.

"Kita gak punya pilihan lain," jawaban tidak kalah lirih kembali memicu keheningan yang melanda.

Angin terus berhembus, menerbangkan surai kelima orang di atas gedung, seolah tengah mengejek tentang keheningan yang melanda.

"Kalau kalian bilang, Dina gak mungkin terluka," sambung Aura merasakan kpalanya berdenyut nyeri.

"Terluka? Apa kalian pikir yang terluka hanya sahabat kalian? Cewek gua juga terluka, semua orang terluka, tapi sahabat loe itu membuat Drama menjiji---"

PLAK.

Tamparan sukses mendarat dengan mulus di pipi satu-satunya pemuda yang ada di sana. Si korban memejamkan mata, merasakan nyeri dan panas yang menjalar di pipi. Sedangkan sang tersangka sama sekali tidak menunjukan raut bersalah sedikitpun.

"Gua dari kemaren pengen banget nampar loe kayak gini, bahkan gua berharap lebih untuk nampar pipi loe." Desisian penuh kekesalan mengiringi setiap kosa kata yang dia ucapkan. "loe selalu aja mikirin prasaan cewek loe. Apa loe pernah mikirin prasaan sahabat kita? Apa loe pernah sedikit aja mikirin prasaan sahabat kita? Yang ada di otak loe hanya pacar loe doang!" sambung Bilal penuh dengan emosi. Tangannya terkepal erat, menghalau tangannya yang ingin kembali melayang dan menubruk pipi putih pucat pemuda di depannya.

"Emangnya kenapa gua harus ngertiin prasaan sahabat loe, hah?! Dia itu egois! Gak mau nerima permintaan maaf orang lain, bertindak sesuka hati, melakukan apa yang di inginkannya."

Bilal tersenyum mencemooh. "Gak mau nerima permintaan maaf orang? Emangnya kapan kalian pernah meminta maaf? Emangnya kapan kalian pernah menghadangnya dan meminta maaf? Dan apa tadi? Loe bilang Dina selalu melakukan apapun yang dia mau?" tanyanya penuh dengan senyuman mencela. Kedua sahabatnya yang lain hanya membiarkan Bilal mengeluarkan apa yang di pendam gadis itu selama ini.

"Seharusnya loe bicara kayak gitu sama cewek kesayangan loe dan calon mertua loe. Bukannya mereka yang selalu melakukan semuanya sesuka hati? Melakukan apapun yang di inginkan mereka tanpa tau apa yang diingini Dina? Loe berucap seolah-olah yang salah di sini itu Dina." Sambung Bilal semakin sinis. Tatapan penuh kebencian dan kedengkian tersorot dengan sempurna.

"Emang dia yang salah," kata Reksa tidak mau di salahkan yang menurutnya benar.

Bilal semakin geram mendengar perkataan pemuda di depannya. Batinnya menjerit, kenapa Dina bisa menyukai pemuda model seperti orang itu, sedangkan tangannya berteriak ingin meninju wajah yang menurutnya songong.

Tahu kesabaran Bilal sudah di ujung batas, Aura menepuk pundak gadis di sampingnya, berusaha menenangkan agar tidak terpancing emosi. Walau bagaimanapun, dia tidak mau ada pertumpahan darah.

"Coba loe pikir deh Rek, loe bayangin kalau loe di bohongin sama kedua orangtua dan saudara satu-satunya yang loe miliki. Loe bayangin, bokap loe nikah dan udah punya anak berumur 5 tahun, apa yang bakal loe lakuin? Apa loe yakin langsung bisa nerima gitu aja? Apa loe yakin, loe masih bisa hidup sama orang yang udah bohongin loe besar-besaran?" pertanyaan Aura menohok tepat di ulu hati kedua orang di depannya. Mereka bungkam, tidak tau harus menjawab apa.

Bilal yang melihatnya semakin melebarkan senyuman mengejek. Kalau Bilal bukan seorang gadis, sudah di pastikan wajah Bilal akan babak belur. Tapi sayang, seorang Bilal itu gadis, dan Reksa sangat memegang teguh untuk tidak menyakiti seorang gadis, menyakiti fisik.

"Loe gak tau rasanya jadi Dina Reks, loe gak akan tau meski loe udah punya niat untuk tau apa yang dia lakuin." Visa mengambil suara, seolah semakin memojokan sepasang kekasih yang terdiam membisu.

"Loe hidup dengan limpahan kasih sayang tanpa harus membaginya, loe hidup dengan kasih sayang orang tua tanpa cela. Sedangkan Dina? Dia harus membagi kasih sayang, oh gak--- lebih tepatnya, dia hidup tanpa kasih sayang. gua gak nyalahin loe kalo loe berpikiran ini semua salah Dina. Ya. Gua akui ini semua memang salah Dina. Salah Dina yang selalu diam saja saat di abaikan, salah Dina yang selalu menuruti kemauan kalian, salah Dina yang selalu percaya tanpa curiga sama kalian. Tapi apa juga salah Dina saat kepercayaan yang dia pegang teguh menghianatinya?" sambungnya menatap kedua orang di depannya yang semakin tidak bisa berkutik melakukan apapun. Menghela nafas panjang dan lelah.

"Dina itu kayak buku yang terbuka, di luar dia terlihat sangat terbuka, tapi ternyata banyak rahasia di dalam buku itu. Seandanya salah satu di antara kalian mau membuka lembar demi lembar buku itu, mungkin ini semua gak akan terjadi. Terus, apa itu masih salah Dina? Salah orang yang bahkan menjadi korban? Gua bener-bener baru tau kalo ada korban yang menjadi tersangka. Ibaratnya, ada orang yang di perkosa, dia memakai pakaian yang lengkap, tertutup dan sopan, tapi kenapa loe bisa berpikiran kalo si korban itu yang menjadi tersangka? Apa salah bajunya? Salah jalannya? Salah wajahnya? Padahal gadis itu sangat pemalu dan memakai pakaian yang sopan. Tapi kenapa masih ada orang yang menyalahkan si gadis, kalo gadis itulah yang memnacing si pelaku agar memperkosanya. Dunia memang kejam." Dengan begitu, Visa melangkah menjauh dari atap yang di ekori kedua sahabatnya. Membiarkan kedua orang itu merenung.

.

"Kak Nila?!" bukan, itu bukan suara Purnama, melainkan suara seseorang yang sedang di gendong pria itu.

"Dina?!" sahut wanita yang di panggil Nila nampak terkejut mendapati orang yang sudah lama tidak dia lihat.

Matanya tanpa sengaja melihat perban di kaki kiri gadis itu. Keningnya mengkerut. "Kaki kamu kenapa?" sambungnya mengabaikan tatapan bingung yang di layangkan satu-satunya pria di dalam rumah itu.

"Tunggu! Kalian saling kenal?" pertanyaan yang sejak tadi di tahan keluar juga. Memasang wajah bingung yang sama sekali tidak tertutupi. Memotong apapun yang ingin di ucapkan Dina untuk menjawab pertanyaan Nila.

Kedua orang yang tadi saling pandang kini berganti menatap Purnama. Dina mengangguk sedangkan Nila hanya tersenyum manis, cukup untuk membenarkan apa yang di tanyakan sang adik.

"Oh? Emang kalian kenal di mana?"

"Udah, itu gak penting. Sekarang yang penting, kenapa Dina bisa kamu gendong? Dan kenapa juga kakinya diperban kayak gitu?"

Purnama mendengus mendengar perkataan sang kakak. Membalik badan tanpa berniat menjawab.

Nila yang melihat kelakuan sang adik mendengus kesal, meski begitu kakinya melangkah, mengekori kemana sang adik akan membawa teman lamanya –teman sesengsara- pergi.

Dina hanya mampu mengerutkan keningnya sebal, melihat kelakuan Purnama yang tidak menjawab perkataan kakak tersayangnya yang sudah lama pergi tanpa kabar.

"Kak, apa dia saudara kembar kakak yang sering kakak ceritain dulu?" tanya Dina menatap Nila di belakang Purnama. Nila menaruh jari telunjuk di depan bibir, pertanda untuk diam, sedangkan sang bahan gosip seketika berhenti melangkah, kepalanya menatap Dina dan Nila secara bergantian, menatap tajam.

"Apa?" tanya Dina sewot, tidak suka mendapat tatapan tajam yang seolah menelanjinginya.

Purnama menghela nafas kesal, kembali melangkah tanpa menjawab pertanyaan dari Dina, toh nanti dia bisa mengintrogasi kakaknya tentang apa yang baru saja Dina ucapkan, dia yakin, kakaknya pasti menjawab, kalau sang kakak tidak mau menjawab, dia mempunyai 1001 cara untuk membuat sang kakak menjawab.

Derap langkah kaki menggema di rumah minimalis yang nampak asri dari luar. Tidak ada percakapan apapun, hanya derap langkah yang saling bersahut-sahutan.

Suara bunyi pintu terbuka secara perlahan menggantikan sejenak derap langkah yang tadi saling bersahut-sahutan.

Dengan pelan mendudukan Dina ranjang kamar yang masih kosong, seperti kamar yang di peruntukan untuk tamu.

"Selama kaki loe masih sakit, loe harus tinggal di sini, gak ada kata protes apapun. Mengerti?" katanya otoriter, sama sekali tidak menimbulkan celah untuk Dina protes, tapi Dina tetaplah seorang Dina.

"Gak, loe kira loe siapa? Emangnya gua gak punya rumah sampe harus tinggal di sini?" tanyanya mencebikkan bibir kesal, melipat kedua tangan di depan dada, berpose menantang.

Purnama mengerlingkan matanya malas, seolah sudah tau kalau gadis di depannya pasti akan memprotes. "Gua emang bukan siapa-siapa, tapi mulai hari ini gua jadi dokter loe. Gua yang bakal langsung nangani kaki loe kalo ada apa-apa. Dan gak ada kata bantahan lagi. bye." Jawabnya melenggang pergi, membiarkan Dina mengerutkan keningnya sebal, meski tidak ada kata bantahan apapun. Bukannya dia menerima, tapi dia tidak mempunyai celah untuk protes lebih lanjut.

Nila yang sejak tadi menyender di dinding bercat caramel tersenyum geli. Interaksi yang sangat unik. Melangkahkan kakinya dan duduk di tepi ranjang sebelah Dina, menatap kaki gadis itu yang di perban.

"Kaki kamu kanapa bisa bengkak kayak gini?" tanya Nila menatap lurus kaki Dina, seolah menelanjangi kaki yang di perban, mencari tau apa yang terjadi.

"Di sempret mobil kak. Waktu itu jalannya sambil bengong, jadinya gini deh," katanya dengan kekehan kecil.

Nila mengerutkan keningnya, meski sedetik kemudian senyuman geli kembali terpampang di bibirnya.

"Dasar kamu ini," katanya mengacak surai hitam kecoklatan milik Dina. "Tapi kamu udah gak datang ke club malam lagi kan?" pertanyaanya hanya di jawab senyum tipis sebelum berujar.

"Dulu waktu habis MOS sih gak, cuman akhir-akhir ini iya." Jawabnya lirih, sebenarnya dia tidak mau mengatakan hal ini, tapi entah kenapa, bibirnya selalu berucap sebelum di perintah oleh sang pemilik. Hal ini selalu terjadi saat mereka bersama dulu.

"Kenapa? Ada yang terjadi?" tanya Nila lembut, mengelus punggung tangan Dina, berusaha membuat rileks. Dia tau benar apa yang terjadi dengan kehidupan Dina, setidaknya waktu dulu, waktu mereka masih menjadi sahabt di club malam, namun sudah lima tahun mereka tidak bertemu, dan pasti ada hal baru yang menimpa gadis di depannya. Gadis yang sudah di anggap adiknya sendiri.

"Entahlah, aku hanya merasa bingung," ungkapnya dengan senyuman manis. Namun Nila tau jelas kalau itu bukan senyuman manis, itu senyuman pahit.

"Gak ada hal yang harus kamu tutupi dari aku, Din. Kalau ada apa-apa panggil aja aku, ya? Aku keluar dulu." Katanya mengacak surai Dina, berniat menjauh namun tangannya yang di genggam menghentikan niatannya.

Kembali duduk, menatap Dina serius. Menunggu apa yang akan di ucapkan gadis itu.

Menahan nafas beberapa detik dan menghembuskannya secara perlahan, tidak ada yang salah kalau dia bercerita dengan Nila, kan? Tidak akan ada yang berubah, kan?.

"Sebelum aku cerita, aku mau denger tanggapan kakak dulu. Apa yang kakak lakuin kalau kepercayaan kakak hilang? Kakak merasa di bodohi, merasa di permainkan, dan kakak merasa gak di anggap?"

Nila mengrenyit mendengar perkataan gadis di depannya, namun beberapa detik setelah dia berpikir, senyuman tipis terukir indah di bibirnya, dia tau apa yang menimpa gadis di depannya, meski dia tidak tau apa yang sebenarnya terjadi, tapi cukup tau inti yang di rasakan gadis di depannya.

"Aku? Aku akan memaafin mereka. Dengar Dina, aku emang gak tau apa yang sebenarnya terjadi, tapi... saat kepercayaanmu hilang, cobalah lagi untuk percaya, cobalah untuk membuka mata lebih lebar, jangan terlalu bertumpu pada kesalahan orang, tapi cobalah untuk mengerti apa, kenapa dan mengapa.

"Dulu aku pernah bilang, kan? Saat seseorang mengabaikanmu, mereka pasti punya alasan tersendiri, saat seseorang menyayangimu, mereka pasti mempunyai alasan tersendiri, dan saat seseorang menjahatimu, mereka pasti mempunyai alasan tersendiri. Di balik itu semua, ada alasan tersendiri kenapa mereka melakukan hal itu.

"Nggak ada manusia yang ngelakuin sesuatu tanpa alasan, kan? Jangan terlalu berlarut sama kesedihan, karena saat kamu tau apa yang terjadi, kamu sudah terlanjur terlambat, kamu sudah terlanjur menjauh, sampai saat itu tiba, hanya ada penyesalan.

"Jangan pernah mengotori hatimu dengan kebencian, sayang. kebencian gak 'kan pernah menyelesaikan masalah kita, yang ada, mereka justru membuat masalah kita menjadi rumit, mereka membuat kita menjauhi kasih sayang yang mungkin ada.

"Saat kepercayaanmu hilang, cobalah lagi untuk percaya, meski kepercayaan itu gak 'kan seperti dulu, meski kepercayaan itu hanya setipis kertas. Tapi cobalah untuk melindungi kepercayaan itu dari hujan yang bisa merobeknya kapan aja.

"Kamu masih muda, masih banyak warna dunia ini yang belum kamu jamah dan tau, masih banyak rasa di dunia ini yang belum kamu pahami dengan benar.

"Hal yang paling benar adalah, dengarkan kata hatimu. Apa saat kamu merasa dan melakukan hal itu mereka tenang? Mereka bahagia? Mereka damai? Atau mereka resah?"

Dina hanya mampu terdiam, menundukkan kepalanya, merenung apa yang baru saja di ucapkan Nila.

"Kalau ada api yang membakar rumah, bagaimana caranya memadamkan api itu? Apa menyiramnya dengan minyak tanah? Atau menyiramnya dengan air? Pilihan untuk memadamkan api itu ada di tanganmu sendiri. Banyak orang di dunia ini akan mengatakan 'aku tau apa yang kamu rasakan' tapi sejatinya, mereka gak tau apa yang kamu rasakan. Mereka hanya berbicara tanpa ada makna.

"Kalau kamu tersesat, carilah kompas di dalam hatimu, kompas gak akan pernah semakin menyesatkanmu kedalam hutan yang rimbun penuh dengan hewan buas." Sambungnya penuh dengan teka-teki, tanpa ada maksud untuk membeberkan apa yang baru saja dia ucapkan.

Dia memang sengaja melakukannya, dia ingin Dina sendirilah yang akan tau jawabannya, dia ingin, Dina sendirilah yang akan mengambil keputusannya tanpa ada ikut campur tangan orang lain. Dengan begitu, lambat laun Dina pasti akan tau apa yang harus dia lakukan kalau terjadi sesuatu dengan keputusannya sendiri.

"Aku keluar dulu ya Din, kalau butuh sesuatu jerit aja. Ok?" katanya dengan senyuman teduh, menenangkan sebelum keluar dari kamar.

Keningnya mengkerut melihat adiknya sedang menyender di dinding. Senyuman mencemooh hadir di bibirnya, meninju pelan lengan sang adik yang mendapat dengusan malas.

"Aku ingin ngintrogasi," katanya berlalu begitu saja, meninggalkan Nila yang sedang tertawa mengejek.

.

"Aku kan sudah bilang dari dulu, Mas. Seharusnya kita jujur, memberitau apa yang sebenarnya terjadi, kalau dulu mas gak ngabai-in nasehat 'ku, ini semua gak 'kan pernah terjadi." Kata wanita paruh baya dengan wajah penuh rasa bersalah. Meraup wajahnya yang terasa sangat kusut. Entah kenapa masalah ini menjadi semakin besar.

"Sudahlah Tari, kamu jangan terlalu menyalahkan suamimu, semuanya sudah terjadi, gak 'kan bisa terulang lagi meski kamu menyalahkan suamimu terus-menurus." Lerai wanita yang hampir menginjak angka 85.

"Bener kata ibu, mbak. Masalah ini gak 'kan selesai hanya dengan saling menyalahkan. Kalau saling menyalahkan, kita semua salah, kita semua yang udah bohongin Dina sampe dia marah, jadi orang yang berhak di salahkan ya diri kita sendiri." Kata gadis yang beberapa bulan lalu di panggil Dina dengan nama tenta Vivi.

Semua orang bungkam, hanya bunyi alat monitor atau EKG (Electrocardiogram) memecahkan kesunyian. Detak jantung yang terdengar normal dan diagram layar monitor yang menampilkan hasil normal tidak membuat siapapun tertarik untuk menengok ke brangkar yang di atasnya terdapat wanita paruh baya, di bagian hidungnya terdapat selang yang terhubung langsung dengan tabung oksigen.

Jari yang sudah bertahun-tahun terdiam, seolah tidak ada niatan untuk kembali bergerak. Namun sekarang secara perlahan bergerak-gerak, di susul kedua kelopak mata yang terbuka dengan perlahan. Matanya menatap sayu langit-langit dinding di depannya, pikirannya terbang entah kemana.

"Apa yang sekarang harus kita lakukan?" desah suara menginrtupsi pikiran wanita tadi, matanya melirik kekanan, melihat sekumpulan orang yang sedang duduk di sofa, matanya menatap satu persatu orang di sana tanpa ada ekspresi yang berarti. Tatapannya kosong, tanpa ada sinar apapun. Sekilas, mata itu terlihat seperti mata gadis yang sedang menjadi topik pembicaraan mereka.

"Bukan apa yang harus kita lakukan, tapi bagaimana kita bisa melakukannya, Wan. Kita jelas tau apa yang harus kita lakukan, tapi kita gak tau bagaimana cara meminta maaf, dan menjelaskan semuanya." Kata wanita berusia 85-tahunan yang sangat di kenal wanita paruh baya di atas brangkar.

Kening wanita di atas brangkar mengkerut, berpikir, apa yang sedang mereka bicarakan, meski begitu, dia tidak ada niatan untuk membuka suaranya, di lain sisi karena tenggorokannya terasa kering dan sakit, dia juga tidak mau membuat mereka tau kalau dia sudah sadar.

"Anak itu terlalu keras kepala, meski kakinya sedang terluka parah, dia bahkan sama sekali gak mau datang ke kita untuk mengobati kakinya. Ya tuhan. Sifatnya benar-benar mirip kak Meri." Desah Vivi meraup wajahnya frustasi, menyendrkan tubuhnya di badan sofa, menatap langit-langit kamar yang untuk saat ini menarik perhatiannya.

Kepalanya menoleh kebrangkar, dimana tempat kakaknya sedang di rawat, mendesah berat melihat mata kakaknya masih terpejam.

"Apa dia akan baik-baik aja?" tanya Tari lirih, dia sama sekali tidak menyangka, kalau kehadirannya di rumah kecil yang dulunya bahagia begitu berdampak besar. Meski dia bukan ibu kandung Dira dan Dina, tapi dia sangat menyayangi kedua anak itu dengan tulus, meski dia sama sekali tidak tau dan mengenal Dina.

"Dia pasti baik-baik saja. Dia ada tangan yang benar." Kata pria berusia 90-an menjawab pertanyaan lirih Tari.

"Meski dia ada di tangan salah dokter terhandal di rumah sakit ini, tapi kita gak kenal orang itu, pa. kita gak tau persis watak, sifat dan asal-usul keluarga pria itu. Siapa tau dia punya niatan jahat, kan?" tanya Kurniawan sedikit was-was dengan putri sulungnya.

"Kalau dia orang jahat, dia gak mungkin bawa Dina kerumah sakit kan, kak? Berpikir logis ajalah." Sahut Vivi sedikit kesal dengan tingkah kakak iparnya. Entah kenapa, rasa jengkel tiba-tiba menelisik di hatinya, dia sendiripun tidak tau apa sebabnya.

"Benar apa yang di katakan Vivi, Wan. Kalau orang itu punya niatan jahat, orang itu gak akan bawa Dina kerumah sakit." Sahut wanita berusia 90-tahunan membenarkan perkataan anak bungsunya.

"Siapa yang tau?" sahut Kurniawan masih belum mempercayai perkataan keluarganya.

Vivi yang mendengar perkataan kakak Iparnya mengrenyitkan keningnya sebal. Bibirnya terbuka, ingin menjawab, namun suara barithone yang sudah di kenal mengintrupsi keinginanannya.

"Sudahlah, kalian jangan bertengkar. Ini Rumah sakit, bukan meja hijau. Gak ada yang perlu di debatin." Lerai pria berusia 90-an sembari menghela nafas lelah. Entah sejak kapan kehidupan rumah tangga anaknya berubah menjadi kacau seperti ini.

Apa karena mereka terlalu memfokuskan perhatian dan kasih sayangnya ke Dira serta Meri, sampai anak yang seharusnya manis dan penurut berubah menjadi pembangkang serta keras kepala seperti ini?. Memang benar kata orang, jangan pernah menyimpan kebohongan terlalu lama, nanti kalau terbongkar seperti gunung yang sedang meletus.

.

"Kamu mau tanya apa?" tanyanya dengan santai, mengubah kata yang seharusnya 'Intorgasi' menjadi 'tanya'.

Purnama mendengus, "Banyak yang mau aku tau, yang pertama, kamu jelasin dulu, dimana kamu kenal Dina?"

Nila tersenyum miring, memandang adiknya dengan pandangan menggoda. "Hoy, hoy. Hoy. Sejak kapan kamu suka kepo sama kehidupan orang?" tanyanya menggoda menaik-turunkan alis lengkap dengan senyuman miring.

Purnama kembali mendengus. "Udah sih. Tinggal jawab aja apa salahnya?! Toh gak ngerugiin siapa-siapa."

Nila menggeleng pelan, senyuman manis hadir di bibirnya, menggantikan senyuman miring. "Ngerugiin Dina, kalau kamu mau tau, Nam. Kalau aku cerita apa yang ingin kamu ketahui, jelas itu ngerugiin Dina."

Purnama menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Aku janji gak bakal bocorin apapun deh kak, aku hanya penasaran. Banget malah." Katanya mencoba membujuk.

Nila mengangkat salah satu alisnya, menatap adiknya lekat-lekat. Sejak kapan Purnama mau memanggilnya 'kak'? –Selain waktu mereka masih kecil- Sejak mereka dewasa, Purnama tidak pernah memanggilnya kak, hanya saat-saat tertentu saja Purnama akan memanggilnya dengan embel-embel Kak.

Nila mengangkat bahunya tidak perduli. "Kalau kamu mau tau, tanya aja sendiri sama orangnya. Aku gak mau jawab."

Purnama bedecak jengkel mendengar perkataan kakaknya. Seandainya sifat Dina tidak seperti kakaknya –keras kepala- sudah di pastikan dia sudah bertanya sejak tadi.

"Aku hanya heran sih. Tadi waktu di rumah sakit, aku melihat kakeknya Dina, mereka terlihat erm apa ya, gak akur lah. Dan kalau Dr. Lee itu kakeknya Dina, seharusnya kan Dina hidup lebih dari kecukupan, tapi..." kata-katanya menggantung begitu saja, tidak berniat kembali meneruskan cerita, pria itu lebih tertarik untuk menganalisa apa yang terjadi sebenarnya.

Sejauh apapun dia berpikir keras, tidak clue apapun untuk menerangi pikiran semrawutnya kali ini. Selain kalau Dina keluar dari rumah, selain itu? Nothink. Tidak apapun yang masuk kedalam otaknya untuk menjadi alasan kenapa Dina keluar dari rumah?.

Seharusnya ini memang bukan urusannya, dia tidak berhak ikut campur, namun entah kenapa dia sangat penasaran dengan kehidupan gadis itu. Apa ini karena perkataan gadis itu tempo hari wkatu pertama bertemu, yang gadis itu berbicara sok dewasa, atau karena dia merasa simpati? Entah. Dia sendiri bingung sama apa yang dia lakukan sekarang. Alasan pasti di balik perbuatannya sekarang masih menjadi rancu. Dan Purnama sama seklai tidak berniat mencari tau lebih lanjut.

Nila kembali mengangkat salah satu alisnya mendengar perkataan gantung adiknya.

"Baiklah, Baiklah. Kamu menang. Dengerin baik-baik, dan jangan motong perkataanku, kalau kamu memotongnya, aku gak bakalan lanjutin." Katanya melengoskan wajahnya kearah lain, berpose ngambek.

Purnama mengerutkan keningnya, merasa jijik dengan sikap alay kakak kembarnya. Memilih mengabaikan sikap lebay kakaknya, dia mengangguk sebagai bentuk jawaban.

Terdiam sejenak, berpikir darimana dia akan memulai perkataanya. "Waktu itu, di hari pas bokap nyokap cerai, aku pergi ke club malam, rencananya aku hanya ingin ngibur diri. Saat sampe sana, aku lihat anak kecil masih di bawah umur duduk sendirian di salah satu kursi. Kamu tau kan aku itu orangnya gampang penasaran? Jadinya aku samperin dia. Awalnya sih, dia gak ngubris kehadiran ku, dia lebih tertarik sama gelas wine di tangannya dari pada ngeliat orang yang ada di sebelah dia.

"Aku semper mikir, kalo dia salah satu ehm di sana, tapi ngeliat pakaiannya, pikiran itu pergi jauh-jauh. Yang ada di otak ku saat itu dia anak urakan, gak tau aturan, ya sejenis anak gak bener lah.

"Ya kamu mikir aja, anak di bawah umur ada di club malam, apa coba kalau bukan anak gak bener, iya kan?" pertanyaan Nila hanya di jawab kediaman Purnama, dalam hati pria itu mengiyakan perkataan sang kakak.

Purnama menatap kakaknya dengan dahi mengkerut, saat beberapa menit setelah kakaknya mengucapkan pertanyaan itu, wanita itu lebih memilih untuk diam dengan pandangan menerawang dari pada melanjutkan ceritanya yang bahkan baru dimulai. Sedikit kesal, Purnama berdehem untuk mengembalikan nyawa kakaknya yang entah melayang kemana.

Nila melirik adiknya malas, menghela nafas jengah dan kembali berujar. "Aku gak tau kapan terakhirnya aku deket sama dia, kedeketan itu ngalir gitu aja, aku bahkan sampe sekarang masih bingung kapan awalnya aku deket sama dia." Katanya dengan senyuman manis, matanya kembali menerawang membuat Purnama bedecak jengkel. Nila yakin Purnama ingin mengintrupsi perkataanya yang muter-muter tidak jelas dari pada berbicara langsung ke inti. Sedikit senang merasa berhasil mengerjai sang adik.

Memilih untuk menyudahi acara maju-mundur cantik, wanita itu kembali berujar. "Aku ketemu sama Dina di club malam, anak itu di luar terlihat biasa aja, tapi dalemnya gadis itu rapuhnya luar biasa. Anaknya senti mentil kalau ada yang membahasa masalah keluarga, kasih sayang apalagi cinta. Dina orang yang pandai menyembunyikan prasaanya. Seperti yang kamu tau, gadis itu hidup tanpa kekurangan harta, tapi dia hidup penuh dengan kekurangan kasih sayang.

"Awalnya dia hidup baik-baik aja, sampe Mamanya meninggal, keadaanya berubah setelah itu, papanya yang selalu pergi keluar kota, saat di rumah pun, papanya lebih memilih bermain dengan saudara kembarnya, nggak merduliin keberadaanya. Setiap mereka bertemu, yang di lakuin papanya pasti banding-bandingin Dina sama saudara kembarnya.

"Dan pas nilai akademik Dina lebih tinggi dari saudara kembarnya, ayahnya nyuruh Dina nyembunyiin nilai akademiknya. Gua sempet gak habis mikir sama apa yang ada di otak bokapnya Dina waktu itu. Seharusnya kan dia bangga punya anak yang cerdas, tapi kenapa dia malah seolah 'membuang' emas ke tempat sampah." Katanya menyipitkan matanya pertanda sedang menahan rasa kesal, bibirnya di gigit gemes dengan tangan yang terkepal kuat.

Purnama menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia juga bingung sama apa yang di pikirkan ayahnya Dina, kenapa pria itu membuang anak segampang itu? Apa semua pria yang sudah beranak itu selalu bertindak sesuka hatinya? Oh, dia sangat berharap kalau nanti dia sudah mempunyai anak, dia tidak akan berprilaku minus seperti itu.

"Gak cuman bokapnya Dina yang bersikap kayak gitu, seluruh keluarga besar Dina kayak gitu, apapun yang di lakuin Dina itu menurut mereka gak kasat mata dan berharga." Sambungnya menghembuskan nafas panjang. "itu yang aku tau, tapi pas dulu, kalo sekarang aku gak tau, 2 tahun aku gak ketemu lagi sama dia... kalo kamu emang penasaran banget, mending tanya langsung ke Dina, dia lebih tau daripada aku."

Purnama mendengus. "Iyalah, kan dia yang punya hidup." Katanya keki, berdiri dari duduknya dan berlalu begitu saja, mengabaikan kakaknya yang sedang tersenyum geli. 

yeee udah mau end yee... setelah cerita tamat, the end, finis, dll... aku jadi bisa lebih terfokus sama Young wife, sory readers yang nunggu ceritaku lain buat update, nunggu bang ilham balik hijrah dulu ya, hahaha. *digampar massa* tapi aku usahain ngetik, meski satu jam hanya ngetik beberapa huruf aja.

kemungkinannya part ini hanya tinggal 1/2 part lagi bakal selesai. and then yang nunggu romance, part besok romance muncul. sory kalau cerita ini ancur. kan aku udah ngasih tau dari awal, kalo cerita ini bakal ancur, DAN CERITA INI BERGENRE SAD ENDING. sebenernya gak tega sih, tapi emang udah alurnya kayak gini, dan emang udah aku persiapin sejak awal kalai cerita ini SAD ENDING. XD #nyengirtanpadosa

wokeh, segini aja dulu ya, see you next day and see you next chapt guys. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top