Episode 10 - Hari Tersial

Saat putih menjadi hitam, saat suka berubah duka, saat senyum berubah tangis, saat cinta berubah dendam, saat bahagia berubah kelabu dan saat hati telah di penuhi dendam serta amarah, tidak akan ada yang bisa menggantikannya, tidak akan ada yang bisa merubahnya, tidak akan ada yang bisa menghancurkannya. Hanya dia dan keinginannya yang mampu merubahnya. Hanya ketulusan yang mampu menghapusnya.

Seorang gadis berjalan tertatih di lorong yang gelap. Sampah berserakan, suara cicitan tikus menemani langkahnya. Seolah tidak perduli akan bahaya yang bisa menimpanya; Seorang gadis, masih memakai seragam SMA, berjalan sendirian di lorong yang kumuh. Oh tentu saja bisa mendapatkan ancaman apapun. Tapi sekali lagi, dia tidak perduli. Sungguh, dia tidak perduli. Yang dia inginkan, secepatnya sampai ke kost, mengistirahatkan tubuhnya di sana.

Getaran di saku kiri rok sekolah yang dia pakai sama sekali tidak membuat gadis itu untuk berhenti hanya sekedar mengangkat atau mencari tau siapa yang menelphonenya.

Helaan nafas tertahan keluar dari bibirnya saat melihat beberapa pria yang terlihat mabuk; jelas terlihat dari cara jalan mereka yang sempoyongan serta perkataan yang melantur.

Tidak mau membuat keadaan lebih runyam, gadis itu dengan segera bersembunyi di lorong rumah yang jauh lebih kecil dari lorong yang tadi, -tapi muat untuk di masuki-, menunggu para pria mabuk lewat.

Suara tapak kaki yang bersahut-sahutan sama sekali tidak membuatnya merinding, gadis itu menghela nafas lelah, menempelkan kepalanya di dinding, memejamkan matanya yang terasa sangat berat. Dia baru tau kalau kehidupan memang jauh lebih kejam dari ekspetasinya selama ini.

Keluyuran di malam hari tanpa kendaraan memang jauh lebih rawan. Di tambah kondisinya yang tidak bisa di bilang baik-baik saja. Matanya menatap jam tangan yang melingkar.

Jam tiga dini hari dan dia baru pulang dari pekerjaanya yang kedua. Rasanya dia ingin menjerit frustasi.

Saat dirasa para pria mabuk tadi sudah jauh dari tempatnya, gadis itu keluar dari tempat persembunyian dan kembali menyeret kekinya. Dia ingin berlari, atau berjalan cepat agar lekas sampai di tempat kost, tapi melihat kondisinya sekarang dia harus bersabar untuk berjalan tertatih.

Dia memang sudah berobat ke dokter tadi siang –di paksa Dodit- dan meminum obat yang dokter itu kasih, tapi rasanya, badannya sama sekali tidak berubah. Bisa di katakan malah lebih buruk –mengingat dia tetap bekerja di saat kondisinya seperti ini- jadi, seharusnya Dodit sudah mengerti, kalau ke dokter atau tidak, itu akan sama saja. Toh dia tidak akan menyia-nyiakan harinya hanya tiduran di tempat kost. Oh ayolah! Dia bukan tuan putri lagi sekarang.

Sesampainya di tempat kost, gadis itu dengan pelan –berusaha tidak menimbulkan suara- membuka pintu dan menutupnya. Berjalan terseok kearah kamar yang untungnya dekat dengan pintu.

Memasuki kamarnya yang memang tidak di kunci dan kembali menutupnya, merebahkan tubuhnya di atas kasur yang keras tapi cukup nyaman. Tanpa mengganti pakaian, dia menyamankan dirinya di atas tempat tidur. Tidak perduli sebentar lagi ayam akan berkokok.

Empat jam berlalu dengan singkat, dering ringtone alarm dari hp yang memang di pasang mengacau tidur nyenyak seorang gadis yang baru merasakan 'kenikmatan' dari tidur.

Dengan pasrah dan 'sedikit' tidak rela, gadis itu membuka matanya, meraih handphone yang berada di sebelah bentalnya, mematikan alarm dan bersiap untuk turun dari ranjang, berjalan kearah toilet, mengantri dengan beberapa penghuni kost yang lain.

"Muka loe kusut amat, Din." Sapa seorang gadis lain yang menyadari kehadiran gadis tadi –Dina-.

Dina tersenyum manis menanggapi perkataan gadis yang lebih tua 3 tahun darinya.

"Pulang larut lagi ya, tadi?" tanya gadis tadi.

Dina mengangguk lemah dengan bibir mengerucut. "Iya nih. Loe tau sendiri jam pulang gua," jawabnya dengan kekehan. "kak Lana semalem gak masuk ya?"

Orang yang di panggil Lana hanya mendengus. "Gua udah sign out dari sana. Loe tau sendiri gua harus fokus sama kuliah. Lagian hasil dari kerja di Café udah cukup kok. Toh uang kuliah masih di biayain sama nyokap."

Dina mengangguk-angguk dan sesekali menguap. "Tapi gua heran deh, kenapa loe mau kerja disana? Secara nyokap loe kan selalu ngasih uang bulanan." Tanya Dina tidak habis pikir dengan pikiran teman satu kostnya ini yang kebetulan juga teman satu pub, -sampai kemaren-.

"Hehe, Nyari tambahan aja sih. Loe kan tau gua ini orangnya boros." Jawaban itu membuat Dina mendengus geli.

"Huu... dasar. Loe itu cocoknya jadi pacar CEO, biar apa-apa keturutan." Sahut gadis lain di depan Lana yang sejak tadi menyimak pembicaraan.

Dan Dina hanya terkekeh sembari mengangguk membenarkan. "Bener, CEO yang udah bakotan tapinya." Sahutnya di iringi galak tawa hampir semua orang yang ada di sana. Sedangkan orang terkena 'bullyan' dadakan hanya mencibir kesal.

.

.

.

Di lampirkan tali rancel ke pundak sebelah kanan, dengan terburu-buru Dina keluar dari kost, berlari sekencang yang dia bisa –mengabaikan kakinya yang masih sakit- untuk mencapai halte yang akan membawanya ke sekolah.

Mulutnya komat-kamit tidak jelas, dalam hati dia mengutuki semua orang yang mengajaknya mengobrol saat tadi di depan toilet yang berakhir seperti ini. Di buru waktu yang tidak bisa di ajak negosiasi. Kalau kalian bertanya apa yang dia benci saat ini, tentu saja waktu.

Kenapa? Karena waktu terasa sangat sedikit untuknya tertidur, karena waktu terasa sangat sikat untuknya berbincang-bincang, karena waktu pula dia harus berlari-larian seperti ini untuk menuju halte. Oh dia sama sekali tidak tau diri. Kalau dia sendirilah yang membuat waktu terasa singkat.

"TUNGGUUU!!" teriaknya cempreng saat matanya melihat bus jurusan kearah sekolahnya ingin bergerak.

Menambah intensitas larinya, Dina mengejar Bis yang kembali terdiam, menunggunya.

Nafasnya memburu tidak teratur, tangannya mencengkram erat besi di sampingnya saat sudah di dalam bis. Menghembuskan nafas jengkel entah untuk siapa.

Menghembuskan nafas tertahan merasakan rasa ngilu yang berdenyut dari kakinya, memejamkan mata sejenak untuk menetralisir rasa sakit yang dia rasakan tanpa mengetahui ada seseorang yang menatapnya dengan dahi mengkerut.

Mata orang itu menatap Dina dari ujung rambut sampai kaki, dan berhenti di kaki kiri yang terlihat di perban. Mendengus mencemooh akan perbuatan gadis itu yang seolah tidak perduli dengan kondisi kakinya.

Mencolek pundak Dina yang berdiri di depannya beberapa kali sampai gadis itu menoleh kearahnya.

Merasa ada yang mencolek pundaknya, Dina menolehkan kepala dengan raut jengkel, meski beberapa detik selanjutnya berubah menjadi senyuman yang manis.

"Hey bocah, gak baik nguping perkataan orang." Kata seseorang membuyarkan semua kemelut di benaknya.

Kepalanya menoleh ke kanan, melihat celana kain yang tertangkap di indranya, mendongak, menatap orang yang berdiri menjulang di depannya.

Dengusan sebal keluar dari bibirnya. "Sory, gua gak merasa lagi nguping perkataan orang. Gua sejak tadi emang udah di sini, loe aja yang marah-marah gak jelas kayak orang gila." Sahutnya cuek, kembali menutup matanya, tidak perduli dengan lelaki di sampingnya yang sedang menahan kegeraman.

"Loe gak pernah di ajarin sopan-santun sama nyokap bokap loe ya? Seharusnya loe itu bicara yang sopan sama gua. Loe tau? Gua lebih tua dari loe, bocah." Kata pria tadi berkacak pinggang, menatap Dina tajam yang sama sekali tidak membuat gadis itu merasa ketakutan. Yang ada Dina mendengus mencemooh.

Mengangkat kepalanya dari lekukan kaki yang menyembunyikan wajahnya dan menatap pria di sampingnya dengan pandangan malas. "Iya kakek, maaf sudah membuat kakek merasa terhina kalau kakek ternyata sudah tua."kata Dina menekan kata tua dan tersenyum miring, mengabaikan decakan jengkel yang keluar dari bibir pria itu.

Merasa percuma berdebat dengan gadis tidak punya sopan-santun serta etikat meminta maaf karena telah menguping –menurutnya, tapi memang iya, pria itu mendudukan dirinya di samping Dina, kepalanya menengadah kelangit, memandang bintang yang bersinar.

Hening melanda, dua insan manusia berbeda gender dan usia asik dengan dunianya sendiri. Dina yang mencoba menggali ingatannya ingin mengetahui kesalahannya sehingga keluarga besar yang selalu dia hormati membohonginya secara talak.

Sedangkan pria di samping Dina menatap langit yang berhamburan bintang dengan pandangan menerawang, ingatannya memutar memory indah dirinya dengan sang kekasih yang harus putus hanya karena restu orang tua.

"Kadang, hidup itu gak pernah adil." Gumam pria tadi –yang sampai sekarang masih belum tau siapa namanya- lirih, namun terdengar jelas di telinga Dina.

Kontan, gadis itu menoleh, mendapati pria tadi yang menjulang di sampingnya berubah menjadi duduk di sampingnya yang tidak dia sadari.

Dalam hati Dina mengangguk, mengiyakan apa yang di ucapkan pria itu benar adanya. Dunia itu tidak selamanya merasa adil akan hidup kita. Entah karena kita yang memiliki pikiran sempit akan dunia atau memang dunia tidak pernah adil untuk kita? Entahlah.

"Hanya orang berakal sempit yang bilang dunia itu gak Adil." Kata Dina tidak sadar diri kalau akhir-akhir ini dia selalu mengeluh dunia itu tidak adil. "dunia itu adil, dengan baik dan buruknya. Pas di atas, loe merasa seolah gak butuh dunia, tapi pas di bawah, loe malah seenak udel ngatain dunia gak adil. Sebenernya, yang gak adil itu dunia apa nasib?" sambung Dina mengerling malas. Menselonjorkan kakinya, menatap bintang di angkasa yang terlihat bersinar teduh.

"Sama kayak matahari dan bulan serta bintang. Saat matahari menyinari bumi, banyak manusia yang berkeluh kesah, tapi juga gak kalah banyak orang yang tersenyum ceria. Saat matahari menyinari bumi, pertanda sang cahaya angkuh masih membuka lembaran baru untuk mereka yang ingin merasakan indahnya dunia lebih lama. Tapi juga pertanda kalau sang cahaya angkuh membangunkan sebagian orang yang berkeluh karena dunia tidak mengijinkan mereka meninggal; meninggalkan dunia yang bagi mereka kelam, meninggalkan dunia yang hanya membuat luka di hati mereka semakin mendalam.

"Saat sang bulan tiba di iringi kemunculan bintang yang bersinar teduh; yang bersinar dengan kekuatan mereka untuk menyinari bumi yang gelap, untuk menyinari bumi yang memiliki banyak warna. Meski sinar mereka tidak seberapa, tapi banyak orang menyukai malam, tentu ada juga yang membencinya.

"Benci karena mereka harus pulang saat pekerjaan belum selesai yang berakhir lembur. Benci saat mengobrol dengan orang terdekat harus di akhiri, benci saat harus pulang dan hanya sunyi yang menyambut, benci saat kegelapan mulai menunjukan euforianya. Tapi di hati mereka, mereka pasti merasa senang karena malam tiba, menggantikan sang caha angkuh.

"Bahagia karena mereka bisa merasa bebas, karena mereka bisa melihat indahnya langit saat gelap bertaburan bintang, lega karena siksaan fisik dan batin harus berakhir, lega karena hari ini mereka merasakan hal baru atau berhasil menyelesaikan yang mereka targetkan." Jeda Dina menatap pria di sampingnya yang berkedip beberapa kali, entah apa yang di benak pria itu saat ini. Tatapan matanya sama sekali tidak bisa Dina tebak.

"Jadi, yang tidak adil itu dunia atau nasib?" tanya Dina mengabaikan tatapan aneh yang di berikan pria itu. Kembali menatap bintang di angkasa yang berkedip-kedip menenangkan.

"Dunia itu adil di waktunya, sedangkan nasib, selalu membuntuti orang tanpa mengenal kata lelah. Yang bersalah bukan dunia, bukan juga nasib, tapi dirikita sendiri yang terlalu terlena dengan kesenangan yang tidak seberapa dan melupakan segala hal; melupakan dampak negative dari apa yang kita perbuat. So, gak ada yang gak adil di muka bumi ini. Semua pilihan pasti ada dampak negative dan positive, tergantung kita sudah memprediksi atau gak mau memprediksi dampak negative itu sendiri." Di akhir kata Dina tersenyum cerah. Kata-katanya tadi bukan hanya untuk orang di sampingnya atau siapapun, tapi juga untuk dirinya sendiri.

Hal yang paling mengenaskan ialah; saat kita bisa menceramahi orang dengan sempurna dan membuat orang itu menuruti ceramahan kita, tapi kita tidak bisa menjalankan. Tentu Dina tidak mau itu terjadi dalam hidupnya.

Pria di samping Dina tertegun mendengar ucapan Dina yang terasa menusuk egonya, apa yang di katakan gadis di sampingnya ini benar adanya. Egonya sebagai pria sejati dan orang yang lebih tua seakan menertawakannya karena di cermahi gadis yang jauh lebih muda darinya.

Pria itu mendengus. "Loe bicara seolah loe bisa ngerasain apa yang baru aja loe omongin." Katanya mencemooh.

Dina hanya tersenyum, mengabaikan nada sinis dan sarkastik dari pria di sampingnya. "Memang. Apa yang baru gua ucapin, itu semua pengalaman gua." Katanya tidak menyadari raut wajah pria di sampingnya yang berubah cengok, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.

"Dulu, gua selalu benci saat malam tiba, karena saat malam, gua harus pulang, karena saat malam, gua harus berpisah dari mereka, karena saat malam, gua merasa kedinginan dan sepi, karena saat malam, gua merasa menjadi orang yang lemah. Tapi di balik itu semua, gua suka saat malam. Gua bisa lihat bintang, gua bisa ngerasain udara malam, gua bisa ngerasa hembusan angin yang terasa sejuk, gua bisa ngerasain itu semua hanya saat malam." Kata Dina yang entah kenapa membuka isi hatinya pada orang asing. Toh itu juga bukan rahasia yang terlalu besar, sudah bukan rahasia umum lagi, bukan?!.

"Emang usia loe berapa sih? Gua curiga usia loe gak sepadan sama muka loe."

Mendengar perkataan dengan nada kesal yang tidak tertutupi itu sontak Dina terkekeh, kepalanya menggeleng geli.

Matanya mengerling kearah pria di sampingnya yang terlihat kesal. "Usia gua 'lapan lebas jalan."

Pria di samping Dina berdecak, merasa rendah karena baru saja di ceramahin anak bau kencur yang usia bahkan belum mencapai 'lapan belas. Dan kenapa juga dia berkeluh err bergumam –kalau tidak mau di bilang mengeluh, di samping gadis sok bijak di sebelahnya.

"Usia bukan hal paten tentang kedewasaan rupanya," katanya entah menyindir siapa, dirinya sendiri kah? Atau gadis di sampingnya? Yang jelas gumamannya itu di tanggapi kekehan geli dari gadis di sampingnya.

"Gua Purnama. Loe gak perlu tau nama belakang gua kan?"

Dina mendengus geli. "Dina. Gak, nama belakang loe gak penting buat gua. Gua bukan dekan sensus yang harus tau nama lengkap semua orang di negara ini." Katanya bergurau yang di jawab decakan jengkel dan Dina yang kembali terkekeh. Entah di bagian mananya yang lucu. Mungkin melihat wajah kesal pria di sampingnya hiburan tersendiri buatnya. Entahlah.

"Nyokap loe gak punya nama lain selain kata Purnama ya? –Ah biar gua tebak, loe pasti lahirnya di malam hari saat bulan purnama, makanya loe di namain purnama." Katanya dengan tawa membahana, puas menghina orang yang lebih tua darinya.

Purnama berdecak jengkel, meski bibirnya terangkat keatas melihat wajah gadis di sampingnya yang terlihat ceria. "Tapi sayangnya, opini loe harus gugur, gua lahir siang hari dan saat itu gak terjadi gerhana matahari. Indra cenayang loe kayaknya gak berfungsi dengan benar tuh rupanya."

Dina tertawa semakin terpingkal mendengar perkataan Purnama, di tambah mimik wajah yang terlihat jengkel. Well... Dina itu sepertinya mempunyai hobi menrtawakan orang yang sedang kesal.

"Kalau gitu, nyokap loe pasti hobi nonton bokep waktu hamil loe. Purnama, purnomo. A-nya di ganti O aja." Katanya semakin terbahak melihat wajah yang semakin kesal.

"Eh kak Purnomo." Sapanya tanpa prasaan yang membuat orang di panggil dengan seenaknya melotot jengkel.

"Nama gua Purnama Dina, Pur. Na. Ma." Katanya menekan kata yang tak di gubris gadis di depannya.

"Sama aja, beda A sama O ini, gak jauh beda lah. Kan depannya sama-sama P." sahut gadis itu di selingi cikikikan yang membuat orang mendengarnya berusaha menahan senyum.

Purnama berdecak jengkel. Namun tak lama, senyuman mencemooh mengukir indah di bibirnya. "Gitu ya." Katanya yang di jawab anggukan mantab gadis itu tanpa mengetahui apa yang ada di balik otak Purnama saat ini. "berarti, kalau Dina di ganti Dino itu sama aja kan? Toh depannya sama-sama D, dan bukannya A sama O gak beda jauh ya? Jadi seharusnya biasa aja dong? Iya kan Dino? Dino-saurus?" sambung Purnama yang membuat tawa orang mendengarnya meledak. Sedangkan Dina mengrenyitkan kening tidak terima. Meski begitu, dia tidak bisa berucap apapun untuk menyangkal perkataan Purnama, -meski dia ingin sangat ingin. Tapi tidak bisa.

'Sia!l' rutuknya jengkel. 'Ini namanya senjata makan tuan.' Sambungnya semakin tidak terima.

Purnama yang melihat wajah kekesalan di muka Dina hanya tersenyum geli. Berdiri dari duduknya, dan tanpa berucap apapun pria itu mendorong Dina untuk di bangkunya, seperkian detik Dina hanya mampu mengerjapkan matanya, namun entah di detik berapa Dina tersenyum geli melihat punggung purnama yang menjulang, rasa jengkelnya hilang entah kemana, di gantikan prasaan hangat yang menyusup hatinya, menimbulkan rasa aman dan terlindungi, prasaan yang untuk pertama kali dia rasakan.

Di waktu yang sama di tempat yang berbebeda, semua anak kelas XII A sedang asik dengan dunianya sendiri yang tidak lain sedang membaca buku sekolah. Seakan mereka semua terobsesi untuk menjadi juara 1 di kelas. Dan jawabannya sudah di pastikan Iya, siapa yang tidak mengingkan juara 1? Pasti tidak ada, terkecuali mereka yang tidak tau seberapa pentingnya menjadi juara 1.

Seorangan gadis yang terkenal dengan kunciran setengah di belakang mengalihkan tatapannya dari buku yang sedang dia buka, menatap pintu kelas yang tertutup rapat meski suara berisik dari luar kelas masih terdengar sampai indra pendengarannya samar-samar. Menanti seseorang yang mirip dengannya membuka pintu, melihatkan senyuman cerah tanpa dosa karena hadirnya yang selalu mepet dengan bel masuk.

Tapi sampai bel masukpun orang yang di tunggu tidak kunjung tiba, hatinya berdentum akan khawatir. Bagaimana kalau Dina terlmbat? Bagaimana kalau dia tidak masuk sekolah? Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengannya? Bagaimana kalau –dan masih banyak kata negative yang berawal bagaimana.

Pintu perlahan terbuka, mata gadis itu menatap intens pintu itu, seolah orang yang ada di balik pintu itu nyawa tambahan untuknya.

"Pagi anak-anak."

Helaan nafas kecewa meluncur begitu saja dari bibirnya ketika retina matanya menatap orang yang bukan sedang dia tunggu. Rasa khawatir semakin memenuhi otaknya, meski gadis itu mencoba untuk terlihat biasa saja.

Gadis itu berdiri dari duduknya, menatap guru yang sedang menatap lembaran di meja depan kelas –khusus untuk guru.

"Beri hormat, dan berdoa dalam hari sesuai kepercayaan masing-masing." Katanya lugas, menundukkan kepalanya beberapa dan kembali mendongak, begitu juga dengan yang lain. Dan kembali duduk. Matanya sesekali menatap pintu kelas yang tak kunjung terbuka.

"Ok, ibu akan memberikan lembaran ulangan mingguan kepada kalian. Karena Dina hari ini tidak masuk, Dira, bagikan kertas ini kepada teman-temanmu."

"Dina absen?" bisiknya lirih yang masih terdengar oleh orang di sampingnya. Reksa –kekasih yang juga teman sebangkunya, seakan mengetahui kemelut di benak Dira menggenggam tangan gadis itu erat untuk beberapa saat, berusaha menenangkan sang kekasih yang sedang berpikiran negative.

'Dia pasti baik-baik saja,' kata reksa yang dapat di baca Dira dari tatapan mata pemuda itu. Sedikit sulit untuk mempercayai Dina baik-baik saja. Dira tau jelas, kakak kembarnya itu tidak akan absen kalau dia baik-baik saja. Tapi dia bisa apa? Dia saat ini tidak bisa berbuat apa-apa selain mempercayai kata 'baik-baik saja' yang jelas-jelas bullshit.

Sebuah tangan mengacung keudara, memberi tau sang guru ada yang ingin bertanya. "Kenapa Dina absen bu?" tanya Visa tanpa menyembunyikan nada heran dan bingung yang bercampur cemas.

Guru yang ada di depan kelas tersenyum manis mendapati pertanyaan yang sudah dia prediksi saat seseorang di sebrang meminti ijin untuk tidak masuk sekolah.

"Dia di suruh pak kepala sekolah datang ke rumah sakit sebagai wali sekolah kita untuk memberikan hasil pemeriksaan minggu kemaren." Kata bu Anggi yang membuat sebagian anak di kelas mengrenyit heran.

Seorang anak kembali mengacungkan tangan, mendahuli Visa yang ingin kembali berucap. Semua mata menatap orang itu.

"Bukannya perwakilan kelas kita sudah di berikan Dira kan bu? Dan kemaren Dira sudah mengasihnya ke Rumah sakit, iya kan Dir?" tanya Dodit menoleh kebelakang, menatap Dira yang mengangguk.

Bu Anggi berdecak, mengelabui anak di kelas ini memang sangat sulit. Kalau bukan karena permintaan Dina di tambah permohonan yang tidak bisa di tolak oleh siapapun, dia tidak akan mau repot-repot mencari alasan seperti ini.

"Ibu tadi bilangnya perwakilan sekolah, bukan perwakilan kelas. Ada berkas yang tertinggal, jadi pak kepala sekolah menyuruh Dina untuk rumah sakit." Kata bu Anggi mengangkat buku Sasiologi, membalikkan badan. "buka halaman 26." Sambungnya tidak memberi ijin untuk siapapun kembali mengajukan pertanyaan. Guru cantik yang masih muda itu sedikit khawatir kalau kebohongannya akan terbongkar sebentar lagi kalau dia masih memberi ruang untuk anak didiknya bertanya.

Sementara para murid yang mendapat lampu 'merah' dari sang guru menghela nafas, belum puas akan jawaban guru muda itu. Tapi mau bagaimana lagi? Mereka tidak mau mengambil resiko 'di keluarkan dari kelas hanya karena bertanya'.

.

Dina merengut dalam diam, mengalihkan tatapannya dari pria di sampingnya yang tersenyum geli, tidak merasa berdosa telah membawa kabur anak orang.

"Gak usah ngambek, nanti gua beliin ice cream sampe toko-tokonya deh." Kata orang di depan Dina yang memakai jas berwarna putih, jas kebanggaan bagi siapapun yang memakainya, jas yang membutuhkan otak pintar dan keras kerja hanya untuk memakainya. Jas yang dengan sendirinya mempunyai lambang 'terhormat' tidak kentara.

"Kaki adikmu cidera parah, sepertinya ada tulang sedikit retak di bagian tumit. Kalau bisa, dia harus berada di rumah sakit selama sebulan untuk penyembuhan total."

Kontras mata Dina melotot horor mendengar perkataan pria lain yang berjas putih di ruangan sedang yang hanya mempunyai satu berangkar, satu meja dan kursi serta satu nakas –di atasnya ada vas bunga lengkap denga bunga plastik, entah untuk apa, di samping kirinya.

"Urus aja, tapi dia bakal sem---"

"Gak, gua gak mau di rawat. Gua mau pulang aja." Kata Dina berniat turun dari ranjang sebelum sebuah tangan mendorongnya untuk kembali tiduran di brangkar dengan kasar. Dina menggeram jengkel.

"Apa sih? Gua mau balik tau, loe gak usah ngalang-ngalangin deh. –Dan oh iya dok, saya bukan adiknya dia." Kata Dina kembali duduk ingin turun namun lagi-lagi tangan yang besar dan lebar mendorongnya untuk kembali tiduran di brangkar.

Ingin rasanya Dina merengek ingin pulang, tapi segera di tepis. Oh ayolah, dia tidak akan melakukan hal itu di depan orang asing. Tidak terimakasih. Meski dia rasanya ingin melakukannya saat ini juga.

"Dengerin apa yang dia omongin kenapa sih? Kaki loe retak, Dino. Kalo di terusin bisa-bisa sendinya geser atau malah yang lebih parah otot kaki kiri loe hancur, yang berakhir loe gak akan bisa berjalan normal selamanya. Loe mau pincang?!" tanya Purnama geram melihat tingkah laku gadis keras kepala sok dewasa yang sedang memasang wajah kesal, namun matanya memanas seolah ingin mengeluarkan lelehan larva berwarna putih.

"Gua gak peduli ya. Gua mau pulang, ada banyak hal yang gua urus. Dan kalo gua di sini selama sebulan, gua bisa ketinggalan banyak pelajaran, yang berarti gua gak akan bisa dapet beasiswa di perguruan tinggi nantinya. Gak ada waktu buat ngamburin duit di sini." Katanya keras kepala, ingin kembali duduk namun dengan segap tangan besar Purnama kembali mendorongnya.

"Coba loe pikir deh, buat apa loe dapet beasiswa kalo kaki loe pincang? Kalo loe pincang, semua orang bakal mandang rendah diri loe. Percaya sama gua. Orang gak normal di luar sana hanya akan di pandang sampah meski otaknya genius sekalipun. Semua orang itu pura-pura sok merasa prihatin, tapi yang sebenarnya, mereka itu mencemooh saat loe berbalik membelakangi mereka.

"Loe hanya akan di manfaatin Din. Loe ngerti gak sih? Gak usah keras kepala jadi bocah. Nyokap loe ngidam batu kali punya anak kayak loe."

"Terus? Loe kira tinggal di rumah sakit itu gak pake duit? Gua gak bodoh! di lihat dari bangunannya aja gua tau kalau rumah sakit ini rumah sakit nomor satu di sini. Sori, gua bukan kalangan dari kalian." Katanya semakin sarkastik, berniat kembali duduk namun kembali di dorong oleh tangan besar dengan kasar. Dina menggeram semakin jengkel.

"Kalo yang loe pikirin hanya biaya rumah sakit, gua bisa nanggung sebulan penuh."

Dina tertawa mengejek. Matanya memincing tajam. "Loe kira gua pengemis yang lagi minta uang? Heh! Pak dokter yang kaya, maaf-maaf aja, gua gak butuh duit loe. Sama sekali gak butuh. JADI SIMPEN AJA DUIT LOE ITU!!" jeritnya frustasi. Kenapa dia tidak mengerti juga? Kenapa dia selalu melakukan apa yang dia mau? Apa semua pria itu seperti itu? Melakukan apapun yang mereka suka, setelah bosan di buang begitu saja?!.

"Gua gak bilang loe itu pengemis, Dina! Gua gak bilang dan gak pernah bilang! Apa susahnya sih hanya nerima dari berian orang lain? Apa susahnya sih, ha? Itu juga demi kebaikan loe juga!"

Dina mengepalkan tangannya, matanya semakin memincing tajam. "Kebaikan? Kebaikan apa menurut loe? Kebaikan karena loe udah bayarin rumah sakit ini sampe gua sembuh, terus habis itu di buang gitu saja?! Semua pria itu sama aja! Gak loe, gak si brengsek itu! Kalian bilang demi kebaikan! Tapi kebaikan apa?! KEBAIKAN APA?!"

Mereka terus bersiteru tidak memperdulikan ada orang lain di dalam sana, seorang suster yang berdiri tak jauh dari dokter yang menangani Dina menoleh kearah pintu saat suaranya mendengar pintu terbuka pelan.

"Dina," panggilan lirih dengan nada sendu menyentak tiga orang di ruangan pemeriksaan. Mata mereka menatap orang yang berdiri di ambang pintu. Pria yang sudah terlihat tua namun nampak masih gagah dan sehat menatap orang di atas brangkar yang membuat keributan di rumah sakit tempatnya bekerja.

Dina melengos tidak perduli. Menatap dinding berwarna putih dengan pandangan datar. Seketika atmosfir yang tadi tegang karena dua orang saling memaki berubah menjadi hening yang mencekam.

"Ada apa dengannya?" tanya pria itu tanpa mengalihkan wajah dari sang cucu yang tidak perduli akan keberadaanya.

"Oh dokter Lee. Begini, teman dokter Purnama mengalami cidera di kakinya yang cukup serius, menurut saya, dia harus di rawat di rumah sakit selama kurang lebih sebulan untuk mengembalikan retakan tulang di tumit kiri. Tapi dia tidak mau di rawat inap." Kata dokter yang tadi menangani Dina sedikit heran akan seniornya di rumah sakit ini yang tumben-tumbennya menanyakan pasiennya.

"Ada apa denganmu, heh? Setelah keluar dari rumah dan sekarang masuk ke rumah sakit karena cidera. Habis itu tidak mau di rawat. Otakmu itu kamu taruh mana? Apa kamu tidak tau sebarapa rawannya kaki yang retak?!." Kata pria tua tadi sarkastik dengan nada geram.

"Bukan urusanmu. Urus saja urusanmu sendiri." Sahut Dina acuh tak acuh, masih menatap dinding yang sama.

"Bukan urusanku heh? Coba tanyakan sama kakimu ini, apa dia bisa sembuh tanpa urusanku? Kamu tanya sama kakimu ini, apa dia bisa sembuh tanpa perawatan intensif?! Apa kamu benar-benar cucuku?!"

Dina mendengus mencemooh, matanya beralih menatap pria tua yang sudah berdiri di sebelah dokter yang menanginya dengan pandangan tajam. "Cucu? Siapa yang cucumu? Sepertinnya anda salah orang. Kasian sekali. Mending urus ingatanmu itu, apa anda punya cucu seperti saya? Adakah?!" tanyanya tak kalah sinis dan kembali menatap dinding.

"Apa itu tata cara sopan santun berbicara sama orang yang lebih tua?"

"Buat apa?" tanyanya memotong perkataan mantan kakeknya. "apa tata cara sopan-santun masih berlaku di dunia saat kebohongan yang sangat besar terpampang di depan mata. Saya rasa kebohongan itu cukup menggambarkan kalau tata cara-sopan santun yang sering kalian gembor-gemborkan itu hanya bualan. Tidak penting."

"Dina! Kamu tidak tau apa yang terjadi sebenarnya-"

"Ya! Saya memang tidak pernah dan tidak akan tau apa yang sebenarnya terjadi. Kalian hanya menganggapku menekin di rumah kuburan itu. Kalian hanya menganggapku boneka bernyawa yang bisa di atur dengan seenaknya dan di buang seenaknya pula! Seharusnya seorang boneka tidak mempunyai prasaan, kan! Seharusnya boneka tidak mempunyai prasaan! Tapi sayangnya, boneka kalian yang satu ini punya prasaan. Boneka kalian ini mempunyai prasaan yang bisa hancur kapan saja.!

"Apa kalian pernah berpikir aku punya prasaan? Tentu! Tentu tidak akan ada yang berpikiran. Karena seorang boneka itu tidak pernah dan tidak akan mempunyai prasaan yang seharusnya di jaga. Bukankah begitu?" tanyanya dengan mata memerah sempurna. Kabut putih menyelimuti retina mata yang membuatnya memburam. Tak butuh waktu lama untuk kabut itu menurunkan hujannya. Menurunkan hujannya untuk kesekian kali di iringi kilatan petir emosi.

"Rawat dia di sini, berikan fasilitas terbaik." Katanya berlalu, mengabaikan senyuman mencemooh yang hadir di bibir cucunya. Cucunya yang tidak pernah dia perhatikan.

"Pengecut," lirihnya namun berhasil memberhentikan kaki kakeknya yang ingin melangkah lebih jauh. "kalian semua pengecut! Pengecut! Kalian hanya bersembunyi dalam kebohongan, setelah kebohongan terbongkar kalian memilih menjauh tanpa mau menjelaskannya! Kalian semua pengecut! PENGECUT!!" teriaknya murka, melempar bantal kearah kakeknya yang dengan talak mengenai kepala pria tua itu.

Merasa belum puas melampiaskan rasa dendam dan kecewanya, tanpa pikir panjang Dina mengambil Vas bunga, berniat melempar kearah kakeknya sebelum sebuah tangan menggenggam tangannya yang memegang vas, menahan agar vas yang berada dalam genggaman tangan Dina tidak menjadi meluncur dengan sempurna mengenai tubuh kakek kandungnya.

Matanya melirik kearah Purnama yang memasang wajah serius. Dengan lembut mengambil vas bunga dari genggaman tangan Dina dan menjauhkan dari jangkauan gadis itu dengan cara memberikan vas bunga ke tangan sang sahabat yang segera di tangkap.

"Nggak papa. Loe gak mau di rawat di sini gak papa. Gak ada yang bisa ngelarang loe kan, heum?!" tanyanya seolah mereka memang sudah mengenal luar dalam. "kalau gitu, ayo gua anter pulang. Seenggaknya, loe harus istrahat seharian penuh." Sambungnya mencoba memahami, meski pada kenyataanya dia sama sekali tidak memahami apapun. Apapun tentang gadis di atas brangkar. Dia hanya mengikuti insting. Hanya itu.

Dina menatap pria itu dengan pandangan sendu. Tidak mendapat balasan perkataan sarkastik dari Dina yang pertanda lampu 'hijau' Purnama dengan segera mengangkat tubuh Dina dengan gaya bridyle seperti yang di lakukannya beberapa waktu lalu saat memaksa Dina ikut turun dari bis.

Membawanya keluar dari ruangan yang sedikit mencekam. Mengabikan pandangan dari kakek Dina yang tidak dapat di artikan dengan mudah. Terus membawanya menjauh dari rumah sakit, mengabikan kalau dalam hitungan menit dia akan melakukan operasi untuk pasiennya.

Sebut saja dia gila. Tapi melihat sisi rapuh gadis keras kepala, sok dewasa dan nyebelin seperti Dina mampu membuatnya tidak bisa berpikir dengan jernih. Kalau di tanya, ada apa? Dia juga pasti tidak tau. Ada apa. Hanya satu yang dia dan dia yakin itu benar, kalau dia ingin melindungi gadis yang nampak tegar dari luar tapi rapuh dari dalam. Dia ingin menyangga tubuh mungil di dekapannya yang sedang menahan tangis. Alasannya? Tidak ada alasan pasti atau bisa di sebut, belum ada alasan pasti.

.

Bunyi bel terdengar seantero sekolahan, semua murid yang pada awalnya merasa malas-malasan langsung kembali segar seperti ikan yang sudah kehabisan air namun kembali di guyur air dengan banyak yang tidak tanggung-tanggung. Melegakan dan menyenangkan secara bersamaan.

Berbeda kelas berbeda prilaku, seperti kelas XIIA yang sedang mengerubungi meja salah satu teman mereka, hanya karena ingin mengetahui keberadaan seseorang, ingin mengetahui keberadaan teman satu kelas mereka yang selalu nampak ceria dan konyol.

"Dina gak ngangkat telpon loe, Vis?" tanya salah satu murid yang duduk di meja –entah siapa, menatap Visa dengan pandangan heran. Matanya beralih menatap Dira yang juga sedang memegang handphone, terlihat seperti berbicara sama seseorang di sebrang sana.

"Apa?! Kaki Dina patah? Kok bisa kek?" seru gadis itu tidak menyadari perkataanya yang sedikit keras itu mengalihkan tatapan semua mata kearahnya.

Seolah tidak perduli, gadis itu kembali berujar. "Terus bagaimana? Apa dia ada di rumah sakit?"

Terdiam sejenak, seakan menunggu orang di sebrang menuntaskan perkataanya.

"Begitu ya, apa gak sebaiknya kita kasih tau yang sebenarnya aja, Kek?" tanyanya lirih lengkap dengan wajah sendu. "Bukan begitu, aku hanya gak mau hubungan kita sama Dina semakin merenggang." Sambungnya masih dengan nada lirih. "Baiklah. Terserah apa kata kakek, aku ikut saja."

Menghela nafas tertahan, dan kembali terduduk yang tadi tidak sadar dia sudah berdiri saat berseru.

Reksa menggenggam tangan sang kekasih, menatap wajah kekasihnya dengan senyuman lembut, berusaha menenangkan, meski Reksa sendiri ragu apa senyumannya dapat mengusir rasa yang hinggap di hati kekasihnya.

Dalam hati Reksa mengutuk Dina yang menurutnya terlalu Drama queen dalam menangani masalah. Oh dia tidak sadar diri justri dirinya yang drama king. Membentak gadis hanya karena merasa kesal dan kecewa. Apa itu namanya kalau bukan drama king?!.

"Dina patah tulang?" tanya gadis lain berkuncir dua di bawah.

Tidak mempunyai jawaban lain selain jujur Dira memilih mengangguk.

"Apa itu parah?" tanya gadis lain yang sejak tadi meminum jus apel.

Dira menggeleng. Semua orang tidak berhak tau kondisi Dina, kalau gadis itu yang memilih menyembunyikan rahasia ini, maka dia juga akan menyembunyikannya.

"Kata kakek gak terlalu. Katanya sih waktu mau nyebrang ke rumah sakit Dina di sempret honda. Hanya perlu istirahat total selama sebulan, kakinya sedikit bengkak, dan itu memper sulit Dina untuk jalan," katanya dengan kebohongan yang nampak nyata.

Semua orang di kelas mendesah kecewa. "Kasian Dina kita, dia pasti merasa kesakitan, uuhh... gua gak tega. Gimana kalo sepulang sekolah kita tengokin Dina kerumah sakit? Biar Dina cepet sembuh. Gimana-gimana?" tanya gadis berkuncir dua yang tadi bertanya.

Hampir semua anak menyetujui idenya, namun sura Dira kembali mengintrupsi. "Gak bisa!" serunya yang membuat semua anak kembali menatapnya dengan heran. Mengutuk dirinya sendiri yang tiba-tiba berucap. Sebelum kembali menambhakan. "Err--- Dina harus di rawat secara intensif selama beberapa hari. Kata kakek kayak gitu," sambungnya kikuk yang di balas helaan nfas kecewa dari semua murid.

"Yah. Kalo gitu apa boleh buat? Mending jenguknya nanti aja, pas boleh di jenguk. Mending sekarang kita kekantin. Gua laper." Kata gadis yang tadi bertanya dengan Visa, menarik lengan kedua sahabatnya dan keluar kelas yang di ikuti hampir seluruh murid.

Sedangkan Visa, Bilal dan Aura menatap Dira dengan pandangan memincing.

Mengetahui arti tatapan ketiga sahabat kakak kembar sang kekasih Reksa berdiri dari duduknya, menggenggam tangan kekasihnya dan berlalu. Namun belum selesai kakinya melangkah keluar, kepalanya menoleh kearah tiga sahabat yang masih menatap mereka dengan pandangan yang sama.

"Kalau kalian ingin tau yang sebenarnya, mending ikut gua. Kita bakal jelasin yang jelas-sejelasnya."

"'Sa?!"

Tidak perduli keprotesan sang kekasih, Reksa menarik tangan Dira menuju tempat yang sepi, tempat favorit mereka. Atap sekolah. Dia sudah bertekad, akan menjelaskan semuanya, dia tidak ingin melihat wajah muram sang kekasih lagi, dia tidak mau melihat wajah mendung penuh rasa bersalah yang seharusnya tidak tampil di wajah sang kekasih, tapi wajah saudara kembarnya –itu menurut Reksa.

.

"Gua bisa duduk sendiri, Purnama! Yang sakit itu kaki gua bukan pantat gua." Protesnya merasa risih dengan perlakuan Purnama memangkunya di tambah tatapan aneh dari orang-orang yang satu bus dengannya. Rasanya dia ingin menenggelamkan dirinya di sungai yang penuh dengan buaya yang kelaparan.

"Gak perlu malu sama mereka. Gua hanya nyari yang simple. Nanti habis turun dari bis pasti gua gendong loe kayak gini lagi. jadi mending cari yang simple kan?"

"Siapa yang nyuruh loe gendong gua? Gua bisa jalan sendiri, begok." Inginnya Dina itu berteriak di depan muka Purnama lengkap dengan samph serapah, bukan mendesis jengkel seperti ini. Tapi apa daya? Dia tidak bisa melakukan itu. Kalau dia nekat melakukan hal itu, bisa di pastikan semakin banyak orang yang akan menatap mereka. Dan itu adalah pilihan tersial yang dia punya.

Purnama hanya tersenyum manis menanggapi desisan penuh kejengkelan dari orang yang sedang dia pangku.

Tiba-tiba Purnama berdiri yang membuat tangan Dina dengan spontan mengalung indah di leher pemuda itu.

"Berhenti di sini, bang."

Mendnegar perkataan itu di sertai bus yang perlahan berhenti membuat Dina menolehkan kepalanya kekiri dan kanan. Bukan! Ini bukan halte tempat kostnya, bukan pula jalan kerumah orang tua rumahnya. Dia tidak tau, dalam artian yang sebenarnya. Dia benar-benar tidak tau perkompleks-an tempat Purnama turun.

Dia baru pertama kali melihat perkompleks-an yang ramai di jam seperti ini, banyak anak yang main, dan entah ini memang hari sialnya atau dewa lagi mengutuk kalau hari ini itu hari tersial sepanjang sejarah hidupnya. Gadis itu benar-benar merasa malu yang sangat amat kali ini.

Seolah tidak perduli semua tatapan mata yang mengarah ke mereka, Purnama terus berjalan dengan angkuh layaknya pangeran yang sedang membawa ratunya pulang dari serangan iblis paling mengerikan. Oh Purnama, entah urat malumu sudah putus, atau kamu memang tidak pernah mempunyai malu?.

Hembusan nafas lega tertahan saat Purnama memasuki pekarangan rumah minimalis berlantai dua yang terlihat modrn, dari luar, rumah itu terlihat biasa saja, tapi tidak ada yang tau dalam rumah itu seperti apa.

Mungkin kalau orang yang sedang dalam gendongan Purnama itu bukan Dina, bisa di jamin orang itu pasti akan menganga takjub atau paling parah sampai mengeluarkan liurnya.

Tatanan rumah yang sangat menakjubkan, sangat memanjakan siapapun yang memasuki rumah ini.

"Oh, Nam, kamu sudah pulang?" perkataan seorang benada halus khas seorang wanita menghentikan acara 'takjub-menakjupi' terhenti segera. "kamu bawa siapa?"

Purnama membalikkan badannya, menatap wanita yang baru saja menegurnya. Senyuman manis hadir di wajah tampannya.

"Kak Nila?!" bukan, itu bukan suara Purnama, melainkan suara seseorang yang sedang di gendong pria itu.

"Dina?!"

t

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top