Episode 1 - [Perbandingan]
"Kenapa harus pindah sih, Yah? Enakan juga di rumah sendiri." Protesku yang entah untuk keberapa ratus kali, menatap Ayah yang sedang memasukkan semua bajuku ke dalam koper biru kesayanganku. sedangkan aku duduk di kasur king size, memeluk boneka panda yang sangat besar, menatap gerak-gerik Ayah dan bik Nar yang sedang memasukkan semua bukuku ke dalam kardus.
"Kamu sama Dira gak bisa tinggal di sini sebelum Ayah nyelesaiin sesuatu." Jawab Ayah yang selalu sama saat aku menanyakan hal yang serupa.
"Tapikan Yah, aku bisa tinggal di sini tanpa ganggu apapun, kalo Ayah ingin aku selalu di kamar, aku akan di kamar, tapi aku gak mau pindah ke rumah tante Rahma." Aku masih berusaha untuk membatalkan keinginan Ayah tertampan sedunia menurutku.
Ayah menghentikan aktifitas mengepak baju-bajuku, manatapku dengan pandangan tegas dan kesal. "Ayah bilang gak, artinya gak. Gak ada yang bisa ngerubah keinginan Ayah agar kalian pindah ke rumah tante Rahma!"
Keningku mengkerut mendengar perkataan Ayah yang sedikit membentakku, beralih menatap bik Nar yang sedang menatapku dengan pandangan aneh.
"Tapi Ayah---"
"Gak ada tapi-tapian. Sekali aja menjadi anak yang penurut seperti kakak kamu bisa gak? Usia kalian itu sama, hanya terpaut menit, tapi kenapa sifatmu jauh lebih kekanakan? Cobalah bersikap dewasa!"
Kugigit bibir bawahku keras mendengar perkataan Ayah. Sudah hal biasa Ayah selalu membandingkanku dengan Dira, Aldira Putri Kurniawan. Tapi rasanya masih saja menyesakkan. Aku sangat benci saat di banding-bandingkan seperti ini. Kapan Ayah melihatku sebagai Dina? Dinandra Putri Kurniawan? Bukan selalu Dira, Dira dan Dira.
Kapan Ayah akan berhenti membuatku menjadi bayangan Dira? Kapan Ayah menghentikan perkataanya tentang perbandingan? Kapan Ayah akan...
"Terserahlah," kataku cuek, terdengar tidak perduli. Andai saja Ayah menajamkan pendengarannya, aku yakin maka dia akan mengetahui rasa kecewaku di balik kata itu. Andai Ayah sedikit lebih peka dan perhatian kepadaku, dia akan tau kalau aku sangat membenci kata-katanya tadi.
Kutarik selimut di bawah kaki sampai atas kepala dan bergelung di bawahnya, tidak perduli decakan sebal yang aku tau keluar dari bibir orang tua satu-satunya yang 'ku miliki di dunia ini, mengabaikan rasa sakit di dalam hatiku.
.
Pagi harinya aku sudah melihat beberapa orang masuk ke dalam kamarku, mengangkuti kerdus-kerdus, tanpa memperdulikan raut kesalku.
Do'aku tidak terkabul, padahal aku berharap agar selalu malam, atau minimal, paginya lebih lama dari biasanya, tapi yang terjadi malah kebalikannya, aku malah merasa kalau paginya datang terlalu cepat.
Sebenarnya aku tidak masalah kalau pindah, cuman yang jadi masalahku kenapa pindahnya harus kerumah tante Rahma? Bukan karena tante Rahmanya galak atau apa, bukan itu. Cuman, salah satu orang yang menghuni di rumah tante Rahma, siapalagi kalau bukan anaknya? Reksa Sebastian, pemuda tampan yang di kagumi hampir semua siswi di SMA BUKTI NUGRAHA, pemuda yang aku sukai namun dia menyukai saudara kembarku. Mengenaskan? Memang! Karena itulah aku mati-matian membatalkan keinginan Ayah. Namun sayang seribu sayang, usahaku gagal total.
Kalau saja asrama yang di bangun sekolahku untuk semua murid, bukan hanya untuk murid yang dari luar kota saja, aku pasti sudah memilih tinggal di sana dari pada tinggal di rumah tante Rahma yang sudah ku pastikan, akan banyak makan sakit hati sekaligus cemburu.
Kuraup wajahku kasar sebelum turun dari ranjang ke sayanganku dan berjalan gontai ke arah kamar mandi setelah mengambil handuk kimono serta baju yang akan kupakai nanti.
30 menit aku sudah selesai dengan rutinitas pagi yang sudah menjadi kebiasaan. Berjalan ke arah meja rias, mengambil catok dan sedikit meng-curly rambut hitam kecoklatanku. Setelah rapi, aku turun ke bawah dengan senyuman manis, menyembunyikan kekecewaanku tentang keputusan sepihak Ayah.
"Pagi semua," sapaku seceria mungkin, duduk di sebelah Ayah, di depan Dira yang sedang meminum susu putih.
"Pagi," jawab mereka serempak yang sedang sibuk masing-masing, Ayah sibuk dengan korannya, sedangkan Dira sibuk dengan buku, meski bibirnya mengunyah nasi goreng buatan bik Nar. Kuhendikkan bahu tidak perduli, mengambil roti bakar dan mengolesinya dengan slai strawberry. Sudah terbiasa dengan sifat cuek kedua manusia di depanku
"Pagi juga non Dina,"
Aku tersenyum manis menampilkan gigi putih ku mendengar sapaan balik bik Nar.
"Cepat selesaikan makanan kalian, tante Rahma sudah nunggu di rumahnya."
Aku hanya bergumam malas menanggapi perkataan Ayah, dengan sengaja, melambatkan mengunyah roti, sedangkan Dira terlihat tidak perduli dengan ultimatum yang baru saja ayah ucapkan.
"Ayah bilang cepat! Kenapa kalian malah seperti ini?"
"Kenapa? Ayah sudah gak sabar ngeliat kita keluar dari rumah ini? Atau Ayah ingin membuang kita?" tanya Dira terdengar sangat sinis, namun wajahnya yang datar dan matanya yang masih tertuju dengan buku di tangan kirinya sangat berbeda dengan kata-katanya barusan.
Kutelan rotiku kasar merasakan aura mencekam yang keluar dari tubuh orang di depanku. Kalau aku boleh menebak, Dira juga pasti pernah protes dengan keputusan Ayah ini.
"Bukan gitu Dira, Ayah hanya takut tantemu menunggu terlalu lama, gak enak kalau---"
"Ayo Din, gua udah selese makan, "
Mataku menatap nasi goreng di piring Dira yang terlihat masih banyak dan mengangguk, mengambil beberapa tumpuk roti bakar dan berjalan di belakang Dira, menengok ke belakang, melihat Ayah yang sedang menggeleng kepala. Raut wajah Ayah sama sekali tidak bisa di tebak.
"Mau?" tawarku menjulurkan roti dua tangkup yang di ambil kasar dan mengunyahnya tanpa mengucapkan apapun. Aku hanya tersenyum manis melihatnya seperti ini.
Pintu mobil tertutup mengalihkan kefokusanku, ku tatap Ayah yang sudah duduk nyaman di samping kemudi, tak lama mobil pun berjalan dengan kecepatan sedang.
Selama perjalanan, tidak ada perkataan apapun di dalam mobil. Dira sedang sibuk dengan buku di tangannya, ayah sibuk dengan koran yang mungkin tadi belum selesai beliau baca, pak Min sibuk menatap jalanan yang lenggang dan aku sendiri sibuk mendengarkan musik lewat Airphone, menatap jalanan yang basah karena hujan semalam.
Tak lama, mobilpun berhenti bergerak. Mataku menatap rumah bergaya modern berlantai dua dengan dinding bercat putih. Banyak bunga di halaman serta beberapa pohon yang sedikit tinggi. Rumah tante Rahma terlihat asri dan nyaman, meski aku tau, kalau nanti aku mungkin tidak betah tinggal di rumah ini.
Kudorong pintu mobil dan berdiri di samping mobil, mengamati rumah yang akan 'ku tempati. Kuhela nafas lelah, menatap Dira yang sedang memincingkan matanya, menatap belakangku. Kubalikkan badan dan seketika nafasku terasa tercekat di tenggorokan, jantungku berdentum cepat.
Pemuda itu berjalan semakin mendekat ke arahku, atau aku bisa katakan mendekati Dira karena Reksa melewatiku begitu saja tanpa perlu ber say HI ria. Dan aku juga tidak butuh HI-an darinya.
Kulangkahkan kakiku memasuki pagar rumah tante Rahma, mengabaikan ayah dan Dira yang masih setia di samping mobil, menyalimi tante Rahma dan om Irawan yang sedang tersenyum manis ke arahku. Namun senyuman mereka tidak di tunjukkan untukku, aku tau, karena senyuman itu untuk Dira serta anak mereka semata wayang.
Jangan mengasihaniku, karena aku sudah terbiasa dengan ke adaan seperti ini. Percayalah, aku bahkan sudah berteman akrab dengan tidak ke adilan, ketidak anggapan dan tersingkirkan. Yah, aku sudah terbiasa, jadi tidak perlu mengasihaniku hanya untuk seperti ini.
"Ayo masuk ke dalam, Dira." Kata tante Rahma lembut, menarik tangan Dira, menggenggamnya, dan aku hanya tersenyum manis. Ini semua sudah pernah aku rasakan, jadi aku tau bagaimana harus bersikap, cukup diam dan mengabaikan rasa ngilu di hatiku.
Kembali kupasang Airphone yang tadi menggelantung di leherku, menyetel musik beat dengan volume kencang. Aku hanya perlu tidak mendengarkan mereka yang sedang berbicara dengan Dira.
Bukan bermaksud tidak sopan, Aku hanya ingin melindungi hatiku dari rasa iri yang nantinya mungkin akan berubah menjadi benci apalagi dendam. Aku masih bisa berfikir untuk tidak dendam dengan saudaraku sendiri, saudaraku satu-satunya. Orang yang aku punya selain Ayah.
.
"Tante sudah memasak makanan ke sukaan kamu Dira. Makan yang banyak ya," kata tante Rahma mengambil piring di depan Dira menaruh nasi dan lauk pauk yang cukup banyak.
"Sudah tante, itu kebanyakan," kata Dira sopan, bibirnya meringis melihat porsi kuli.
Sedangkan aku mati-matian menahan tawa.
Mengambil nasi dan lauk pauk se adanya, meski aku tau, kalau di meja makan ini sama sekali bukan lauk ke sukaanku, atau bisa di bilang sebaliknya, karena aku membenci ikan selain cumi dan udang, namun sayangnya, kedua lauk kesukaanku itu tidak terhidang di meja makan ini yang penuh dengan ikan laut.
Aku hanya mengambil sayur, sambal dan tempe di antara banyak lauk yang di hidangkan, namun tidak ada satupun di antara mereka yang menanyakannya, bukan berarti aku ingin di tanyai, tapi... Entahlah. Sekarang aku tau, seberapa kuatpun aku berusaha menyingkirkan rasa iri ini, aku tidak akan berhasil, tidak akan pernah berhasil. Dan apa yang ada di dalam otakku tadi benar. Rumah ini memang terlihat asri, namun aku tidak betah tinggal di sini, sama sekali tidak betah! Padahal aku di sini belum ada sehari.
Setelah makan malam, aku memutuskan untuk tidur di kamarku, berusaha memejamkan mata, meski hasilnya nihil, akhirnya aku memutuskan untuk ber-line ria dengan ketiga sahabatku, mencurahkan rasa kesalku seharian ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top