🍀
24jam terlewati dan Sakura hanya bisa menatap layar ponsel dengan harapan seseorang menghubunginya. Setelah pertemuan mereka terakhir kalinya pun Itachi sama sekali tidak menghubunginya.
"Apa dia baik-baik saja?"
Sakura merasa khawatir, tentu saja. Bagaimana tidak saat orang yang sekarang terus berada dalam pikirannya tiba-tiba menghilang walaupun baru seharian. Entah kenapa Sakura merasa ada sesuatu tapi....
"Kau memikirkan apa sih Sakura, mungkin dia sedang sibuk." Sangkal Sakura guna meyakinkan diri sendiri dari berbagai dugaan yang tidak-tidak.
"Berfikir positif oke!" Yakinkan diri bahwa ia harus berpikir baik tidak boleh berpikir yang menjurus kesesatan.
"Sakura."
Mendengar suara yang sangat dikenalinya tidak membuatnya pergi melainkan meyakinkan diri jika saat ini ia benar-benar harus menghadapinya.
"A, Sai."
Sai, mantan kekasihnya tersenyum miris melihat Sakura serta panggilan itu. Terasa menyakitkan.
"Aku yakin kau akan kesini jadi sejak kemarin aku menunggu disini."
Jawaban Sai tidak membuat Sakura terharu saat ini. Mungkin dulu ia akan merasa seperti itu tapi tidak untuk sekarang. Dan ia bersyukur Sai masih ingat salah satu tempat favoritnya jadi ia tidak perlu datang menemuinya.
"Begitu... Syukurlah."ujar Sakura yang mengangguk pelan dengan senyuman kecil.
Melihat bagaimana mata itu tidak lagi berbinar untuknya membuat senyum Sai hilang seketika. Jadi inilah akibat ulahnya membuat Sakuranya kini telah pergi.
"Maafkan aku telah menghancurkan semuanya Sakura."sesal Sai sungguh-sungguh.
Mendengar itu Sakura hanya bisa tersenyum. Mungkin saat baru mengetahui ia merasa hancur karena merasa dibodohi, tapi sekarang ia sudah damai dan menerima semua yang sudah terjadi. Entah itu melepaskan atau pun harus melupakannya.
"Sai," Sakura berujar dengan menatap pria itu sesaat sebelum kembali menjatuhkan pandangannya kepada sungai di depannya sedangkan Sai hanya diam dengan segala kesiapannya untuk mendengarkan perkataan atau keputusan Sakura.
"Mungkin aku yang salah telah hadir dan mencintaimu,"
"Sakura--"
Sakura menghentikan Sai berbicara dengan tawa kecilnya. Gadis itu ingin Sai mendengar dari sudut pandang dan perasaannya saat ini, itu saja.
"Salahku tidak pernah bertanya kepada Ino tentang pria yang selalu di ceritakan nya itu dan pada akhirnya aku melukainya."
"Sakura..."
"Aku hanya ingin kau tau Sai jika aku benar-benar mencintaimu."
Dan Sai ingin sekali memeluknya namun dalam hati ia terus berteriak menolak karena ia tidak berhak setelah apa yang diperbuatnya.
"Waktu berlalu dan mungkin aku hanya bayang-bayang untuk menutupi perasaan masa lalumu." Sakura menoleh menatap Sai dengan senyuman kecilnya. "Kalian pantas bahagia dan aku sudah berdamai dengan perasaanku."
Melihat wajah penuh luka dan mendengar perkataan Sakura membuat Sai kembali merasakan betapa jahatnya ia melukai Sakura hingga seperti ini. Semua salahnya.
"Tapi aku..."
"Meskipun jika aku bertahan semua akan terluka Sai, aku tidak ingin seperti itu." Dan Sakura benar-benar tidak ingin memberi kesempatan yang ia sangat tau akan berakibat buruk untuk mereka. Baik ia, Sai maupun Ino.
"Tatap aku," Sai menarik Sakura hingga berhadapan dan mencoba melihat kedalam mata hijau favoritnya itu. Ia ingin memastikannya namun yang terlihat hanyalah luka disana membuat Sai perlahan melepaskan genggamannya.
"Apa tidak ada lagi harapan? Kita akan menikah." Dan Sai benar-benar bersikeras untuk tetap bersama namun Sakura menggeleng menjawabnya.
"Kita harus terima jika kisah kita berkahir dan ada Ino yang sangat mencintaimu Sai, tidak pernah berubah."
"Bagaimana denganku, bagaimana denganmu?"
Mendengar itu entah kenapa terasa lucu saat ini. Kenapa sekarang Sai baru mencemaskan'nya?
Kenapa?
"Aku sudah bisa berdamai dengan perasaanku Sai dan cobalah lupakan aku karena ada orang yang sejak dulu mencintaimu." Sakura merasa kegetiran saat mengatakan itu. Bagaimanapun ia juga benar-benar mencintai Sai sama seperti Ino.
"Aku tidak bisa."
"Kau bisa, buktinya kalian kembali bersama kan?"
Entah sindiran atau hanya ucapan saja dari Sakura membuat Sai kembali terdiam.
"Maaf sudah melakukan itu." Sesal Sai.
Namun siapa sangka saat ia berharap Sakura memukulinya dengan keahlian muaythai yang Sakura miliki justru Sakura tertawa sekarang.
"Sudahlah, semua sudah berlalu." Sakura sudah enggan membicarakan hal itu lebih jauh lagi karena ia sudah putuskan akan berdamai dengan masa lalunya. Lagipula untuk sekarang ia ada Itachi.
"Teman?"Dan Sai ikut tersenyum melihatnya. Walaupun ia berharap kembali tapi seperti apa yang dikatakan Sakura mungkin ini adalah jalan mereka yang harus diterima. Maka berusaha melakukan hal seperti Sakura, Sai mengulurkan tangannya kepada gadis yang sangat disayanginya itu.
Melihat itu Sakura pun ikut terkekeh dan membalas jabatan tangan Sai.
"Sepertinya lebih baik."
"Hn." Sai hanya bergumam dalam anggukannya. Setidaknya meskipun harus rela melepaskannya ia masih bisa melihat Sakura bahagia, meskipun tanpa dirinya.
.
.
.
Sasori kembali mengingat Itachi. Bukan karena menyukai pria itu, akan tetapi ia seperti pernah melihatnya tapi ia tidak ingat dimana dan kapan itu terjadi.
"Sepertinya aku pernah melihatnya dulu," ujarnya sambil mengetuk-ngetuk jarinya di meja. Otak cerdasnya nyatanya belum bisa menggali memori yang entah tersimpan di sel otak yang mana. Tapi sat melihat Itachi seolah ia tidak asing dengannya.
"Mungkin hanya perasaanku saja kan?" Sasori menggeleng berusaha mengenyahkan dugaan yang tidak bisa ditemukannya itu. Lagipula saat ini mungkin yang harus ia cemaskan adalah adik tersayangnya dan bagaimana menjelaskan kepadanya saat mereka sudah bertemu besok.
Suara ketukan mengalihkannya dan Sasori berujar masuk hingga seorang pria yang tidak lain asistennya menghampirinya dengan sebuah map coklat berukuran sedang.
Sasori mengambil map itu lalu membukanya.
"Ini..." Sasori tidak mampu mengatakan apapun selain menjatuhkan tatapannya pada sang asisten untuk meminta penjelasan.
Dan sang asisten hanya mengangguk seolah membenarkan jika apa yang sejak tadi dipikirkannya kini mendapati sebuah jawaban.
Jawaban yang mungkin akan membahagiakan Sakura tapi akan sulit dengan situasi saat ini.
.
.
.
Sakura melemparkan ponselnya begitu saja sesaat setelah mendapat panggilan dari sang kakak untuk jadwal pertemuan esok hari.
Rasa lelah dan khawatirnya kepada Itachi nyatanya kini harus bercampur dengan ketentuan yang akan terjadi besok.
"Apa yang harus aku lakukan?" Tanya yang ingin rasanya menghilang dan pergi kembali seperti dulu.
Malam sudah menyambut dan Sakura belum berniat untuk makan malam meskipun perutnya terus berseru menuntut diberi. Ia hanya terbaring di sofa dengan tangan yang menutup kedua matanya.
Kenapa aku tidak bisa mempunyai kisah cinta yang indah sih! Batinnya memprotes.
Bunyi bel yang terus berbunyi berkali membuat Sakura yang sedang tidak ingin diganggu terpaksa bangun dengan hentakan kekesalannya.
"Sangat mengganggu!"
"Apa aku mengganggu?"
"Ti--dak."
Pria yang seharian lebih dicemaskan kini ada didepannya, dengan senyuman hangatnya membuat Sakura tak kuasa langsung memeluknya erat.
Dan Itachi tersenyum menerimanya.
"Aku merindukanmu."
"Hm, aku tau." Jawaban Itachi membuat Sakura mendengus lalu memukul dada pria itu kemudian mempersilahkannya masuk.
Sakura berjalan terlebih dahulu di ikuti Itachi yang mengamatinya dengan langkah pelan.
"Bagaimana kabarmu?" Sakura bertanya saat Itachi duduk di sofa.
Apartemennya kecil dan Sakura sangat menyukainya. Meskipun saat ia pergi dulu sang kakak memintanya untuk tinggal di penthous miliknya namun ia ingin hidup mandiri dengan menikmatinya jauh dari kehidupan sebelumnya.
"Baik." Dan Itachi tidak tau betapa Sakura lega mendengarnya karena gadis itu kini pergi menuju pantry untuk membuat minuman.
Biasanya minum wine atau semacamnya saat udara dingin apalagi dengan kekasih sangat romantis bukan? Tapi entah kenapa saat ini Sakura hanya ingin menikmati coklat hangat dan berbincang hangat dengan Itachi.
"Ah, syukurlah." Sakura nyatanya merasa konyol karena menitipkan air mata saat seperti ini. Harusnya ia senang mendapati Itachi bersamanya saat ini kan, seharusnya ia bahagia tapi...
"Maaf."
...air matanya tidak bisa dibendung lagi saat dekapan hangat datang untuknya membuatnya lemah. Ia benci saat seperti ini. Ia paling benci menunggu dengan tidak kepastian dan ia kembali merasakannya saat bersama Itachi setalah Sai yang selalu melakukannya.
"Aku takut..." Sakura berujar pelan. Ia mencoba tidak terisak karena ia sangat benci akan dirinya yang seperti itu.
"Aku takut sesuatu terjadi kepadamu."
Dan Itachi tau ia melakukan kesalahan hingga membuat Sakura seperti ini.
"Ini salahku," Itachi membalikan tubuh Sakura hingga berhadapan dengannya. Kedua tangannya terangkat, menghapus air mata yang disebabkan olehnya.
Seharusnya ia tidak pergi menemuinya lagi, seharusnya ia tetap pada janjinya bersama Sakura.
"Mungkin aku yang kekanakan," Sakura berusaha menghapus air matanya dan tersenyum. Ia kembali berbalik dan mengambil cangkir berisi cokelat hangat namun tertahan oleh Itachi yang kembali membalikan tubuhnya dan kali ini bukan memelukanya kembali, tapi menciumnya dengan lembut.
Tatapan mereka bertemu saat kedua kening saling beradu dengan napas terengah-engah dan debaran yang menggila.
Sakura mengangkat tangan, mengelus sisi wajah kekasihnya itu dengan lembut.
"Bisakah malam ini bersamaku?"
Dan Itachi langsung kembali menciumanya setelah Sakura mengatakan itu.
Entah siapa yang memulai, dari satu persatu apa yang mereka kenakan berjatuhan seiring langkahnya yang kini terhenti pada tepian kasur.
"Kau yakin?" Itachi menatap intens Sakura dengan tangannya yang menyingkirkan helaian yang menutupi wajah kekasihnya ini. Bukan ia tidak mau, tapi ia tidak ingin Sakura menyesal setelahnya apalagi ini yang pertama untuknya.
"Aku mencintaimu."
Jawaban yang lebih dari kata atas pertanyaan Itachi membuat pria itu tidak ragu akan semua ini. Sakura mencintainya. Seharusnya ia tidak ragu dan takut Sakura akan berubah karena sejak awal Sakura adalah miliknya, sejak dulu.
.
.
.
Waktu menunjukan pukul tiga pagi dan Sakura masih terjaga setelah bangun sepuluh menit yang lalu karena rasa lapar.
Dengan segelas cokelat hangat yang kembali ia buat dan beberapa cokies dalam toples jadi andalannya saat ini. Tidak mungkin ia makan ramen saat seperti ini.
"Dia kelihatan lelah." Ujar Sakura saat melihat Itachi yang terlelap.
Setelah meminum dan memakan beberapa cokies Sakura memutuskan pergi mendekati jendela menatap langit yang nampak sedang turun salju.
"Akhirnya turun." Gumamnya sambil mengamati setiap butiran salju yang nampak dari balik jendela.
"Kenapa tidak tidur?"
Suara Itachi terdengar sangat jelas bersamaan kedua lengan yang memeluknya dari belakang.
Sakura menyandar pada dada Itachi dengan senyuman yang nampak jelas betapa ia bahagia saat ini.
"Hanya sedikit lapar."
"Maaf datang tidak membawa apa-apa." Ujar Itachi yang merunduk mengecup pipi Sakura lalu menatap jendela dimana salju mulai turun.
"Tidak apa, besok aku akan makan banyak." Sakura berujar dengan tawa kecil. Lagipula ini bukan salah Itachi tapi ia yang lupa makan karena memikirkan prianya ini.
"Hm," Itachi memutarkan tubuh Sakura hingga berhadapan dengannya lalu mengangkatnya, membuat Sakura langsung memeluk tubuh Itachi dengan kedua kakinya.
Tatapannya terpaut pada wajah cantik Sakura yang kini memerah membuatnya gemas hingga memajukan wajahnya, menggesekkan hidungnya dengan hidup mungil Sakura.
"Kau sangat cantik, tidak pernah berubah."
Mendengar itu Sakura memiringkan kepalanya dengan alis bertaut.
"Mana bisa aku berubah secepat itu?" Tanyanya. Mereka bertemu belum genap sebulan dan tidak mungkin kan wajahnya berubah kecuali saat tua nanti.
"Ayo kita tidur?" Itachi nyatanya melontarkan pertanyaan atau ajakan setelah mengecup sekilas bibir ranum yang sedikit membengkak karena ulahnya.
"Hm." Dan Sakura pun mengecup sekilas dan tersenyum dengan kedua lengan yang memeluk Itachi. Ia kini bak koala dan Itachi membawanya dalam gendongan kembali menuju ranjangnya.
"Aku tidak tau jika sweater ku saat dipakai olehmu sangat berbahaya." Bisik Itachi saat ia sudah merebahkan Sakura.
"Yak!" Sakura menarik Itachi dan kembali menciumnya karena ia sebenarnya malu. Bagaimana tidak, saat ini ia hanya menggunakan sweater yang menampilkan paha tanpa mengunakan apapun dibaliknya.
.
.
.
Shisui memandang tempat kemarin ia bertemu dengan Sakura. Netra kelamnya menjelajah pada setiap sudut gedung namun tidak mendapati Sakura. Padahal ia berharap gadis itu ada hari ini.
"Sepertinya aku akan mengejutkannya nanti." Ujarnya yang berbalik pergi meninggalkan gedung itu dengan senyuman.
Cinta kadang bisa datang saat pertama kali melihat ternyata itu benar dan terjadi kepada dirinya. Sebelum melihatnya dari selembaran foto ia pernah bertemu dengan gadis itu saat beberapa tahun lalu, saat musim semi.
Gadis dengan pakaian santai namun terlihat cantik apalagi rambutnya yang serupa dengan bunga sakura membuatnya semakin terlihat indah. Bagaimana angin menerbangkan helaian itu dan senyuman itu membuat jantungnya berdebar hanya dengan sekali melihatnya.
Ia berpikir itu hanya kebetulan walaupun kadang ia sering teringat kejadian itu tapi selalu ia tepis. Itu hanya kebetulan saja dan hanya sekali terjadi. Tapi siapa sangka saat sang Kakek memberikan selembaran foto membuatnya yakin jika cinta pandang pertamanya adalah nyata.
.
.
.
.
"Kenapa kau memperumit cucuku Madara sialan!"
Perempuan cantik dengan bibir merah itu mendengus kesal pada pria tua namun terlihat awet muda di depannya ini.
"Aku hanya ingin melihat bagaimana akhirnya Tsunade." Madara menjawab datar namun terdengar sangat menyebalkan bagi perempuan yang sekarang menggebrak meja didepannya.
Perbuatannya tidak membuat pria didepannya terkejut, tentu saja. Bagaimana ia sangat tau watak wanita ini dan itu bukan apa-apa baginya.
"Kenapa kau tidak memberikannya kepada cucumu satu lagi?"
Madara memutar gelas dimana cairan berwarna merah terlihat bergoyang didalamnya.
"Karena aku sudah memberikannya kepada Shisui terlebih dahulu ternyata dia menyutujuinya."
Mendengar perkataan itu tentu membuat wanita bertrempamen tinggi itu menarik kerah kemeja Madara dengan sekali tarikan dan menatapnya sengit.
"Kau masih dendam kepadaku kan?"
Madara tidak bergeming, tatapannya kini tertuju pada mata madu wanita yang sudah kembali terduduk di depannya.
"Anggap saja begitu."
"Batalkan sa--"
"Ini perjanjian orang tua kita."
Mendengar itu membuat Tsunade menghembuskan napas berat. Sesungguhnya ia benci memaksa cucunya seperti ini tapi semua ini ada dalam perjanjian orang tuanya dulu.
Melihat Tsunade yang diam membuat Madara menghela napas pelan.
"Ini tidak akan terjadi jika dulu---"
"Sudah lah aku akan terima keputusan cucuku saja." Ujar Tsunade yang enggan mendengar cerita masa lalu.
Madara mendapati keputusan itu hanya diam dan meminum minumannya tanpa mengatakan apapun lagi termasuk cerita masa lalu yang membuatnya terluka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top