TOMODACHI
Cinta seperti bunga liar. Dia bisa tumbuh di tempat-tempat paling tersembunyi(anonim)
Mentari masih setia memberikan teriknya. Saat Adzan Ashar berkumandang, aku mempercepat langkahku keluar dari pagar besi Alam Bahasa.
Sesampainya di depan pagar, kepalaku menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari Pak becak langganan kami yang sering mangkal di depan Alam Bahasa.
Aku biasanya dengan mudah menemukannya sedang tertidur di atas becak merahnya. Namun kali ini aku sedang tidak beruntung. Kulihat jam tanganku. Sudah hampir sepuluh menit aku berdiri disini, tidak ada satu pun becak yang lewat.
Kulihat Anting, rekan guru seperjuanganku keluar lewat pintu FO bersama Daichi dan Toshi. Sore ini aku dan Anting bertugas mengantar mereka berdua Field Trip ke kolam renang UNY.
Kebetulan profesi mereka berdua mengharuskan mereka bergelut dengan air. Daichi adalah seorang pelatih Polo Air, sedangkan Toshi sebagai pelatih renang atlit PON. Dari kejauhan kudengar riuh rendah suara anak-anak JICA terutama para wanita sedang menyoraki Daichi dan Toshi.
Samar kudengar mereka berpamitan akan double-date denganku dan Anting. “Ada-ada saja tingkah anak-anak muda itu,” pikirku. Tiba-tiba Toshi bertanya padaku, “ Keke, apa bahasa Indonesia having a date with someone?”
“ Berkencan” jawabku singkat. Aku masih sibuk mencari becak yang akan mengantar kami. Jadi aku tak terlalu menghiraukan pertanyaannya.
Lalu dia berteriak dan melambai pada teman-temannya, “Aku akan berkencan dengan mbak Keke Chan”
Aku menoleh padanya dan bertanya, “Keke Chan? Bukan Keke San? Apa bedanya?”
Toshi hanya menjelaskan bahwa Chan berarti “manis” wajahnya seperti anak-anak katanya.
Aku hanya mengangguk-angguk saja mendengarkan penjelasannya.
Anting menawarkan pada kami untuk berjalan sampai ke jalan Gejayan dan mencari becak di sana. Dan benar saja. Saat kami tiba di jalan Gejayan, ada dua becak yang sedang berjalan berurutan.
Daichi langsung melambaikan tangannya dan memanggil kedua becak itu. Setelah mereka berhenti, aku menarik tangan Anting untuk masuk ke becak yang terdekat dengan kami berdua. Tanpa kuduga, Toshi memprotes pembagian becak kami.
“Bagaimana bisa guru dengan guru? Murid dengan murid?” Karena Keke guru saya, Keke duduk dengan saya.”
Aku mencoba berkelit, “ Maaf ya….wanita duduk dengan wanita…Laki-laki duduk dengan laki-laki.”
Daichi hanya tersenyum saja menanggapi protes temannya. Sementara Anting yang sudah masuk ke dalam becakku, segera menyebutkan tujuan kami, “Kolam renang UNY nggih, Pak!”
Ayo segera ikut atau kalian mau tetap disini?” ejek Anting pada mereka berdua saat becak kami sudah mulai dikayuh kencang oleh pengendaranya.
Mereka berdua tak punya pilihan lain selain melompat ke dalam becak jika tidak ingin ketinggalan jauh dari kami.
Sesampainya kami di kolam renang, aku dan Anting segera mencari pelatih renang dari UNY. Aku menyampaikan bahwa ada dua murid Alam Bahasa yang berasal dari Jepang ingin mengamati dari dekat kegiatan atlit di sini.
Namun sayangnya di UNY tidak ada cabang Polo Air. Jadi hanya Toshi saja yang mendapatkan pengetahuan tambahan dari hasil Field Trip kami sore itu. Meski belum mendapatkan info tentang Polo Air di Yogyakarta, Daichi tetap menceburkan dirinya ke dalam air dan mengajak Toshi ikut bersamanya.
Mereka pun tak lelah bermain air hingga senja memerah. Bisa dibayangkan betapa aku dan Anting laksana dua orang ibu yang sabar menunggui anak-anaknya yang sedang berenang di kolam. Benar-benar menggelikan.
Keesokan hari di kelas yang kedua, ternyata aku kembali bertemu Toshi. Jatahku hari itu mengajarkan materi tentang “ Perasaan.”
Saat aku sedang mempersiapkan kartu-kartu tentang “perasaan”, Toshi memandangi jari-jari tanganku.
Walau pandanganku menunduk memperhatikan kartu, aku sempat mengamati arah pandangannya karena dia menekuri jari tanganku cukup lama.
Aku melontarkan sebuah pertanyaan yang membuatnya kaget, “ Ada yang salah dengan jari saya, Mas Toshi?”
Dia terhenyak malu saat tahu aku memperhatikan aktivitasnya. “Tidak...maaf mbak Keke, saya mau Anda coba cincin ini,” serunya sambil melepaskan sebuah cincin perak dari jari kelingkingnya.
Tanpa pikir panjang aku mencobanya dan ternyata cincin itu pas berada di jari manis tangan kiriku. Dia tersenyum penuh arti. Namun aku sedang tidak ingin membahasnya. Fokusku kali ini hanya ingin mengajarinya tentang rasa senang, sedih, marah, cemburu, sakit hati, dan lain-lain.
Aku membuat ilustrasi agar dia menyebutkan perasaan sesuai ilustrasi yang kubuat. Kalimat pertama yang kubuat adalah, “Kemarin Anda ke kolam renang dengan mas Daichi, apa yang Anda rasakan?” “ Senang," jawabnya.
Ilustrasi yang kedua tentang ada anggota family yang meninggal tiba-tiba dan dia bisa menjawab bahwa perasaannya sedih.
Dilanjut dengan ilustrasi yang ketiga, “ Mas Toshi, pretend…Anda suka pada wanita, tetapi wanita itu berkencan dengan laki-laki lain. Bagaimana perasaan Anda?”
“Jealous, apa di Bahasa Indonesia?" tanyanya padaku.
“Cemburu,” jawabku.
Toshi kemudian mencoba mengikutiku membuat ilustrasi,
“Saya suka sekali pada satu wanita. Saya selalu ingat wanita itu. Saya tidak mau jauh dari wanita itu. Perasaan saya bagaimana, Keke?”
“Anda jatuh cinta, Mas Toshi," seruku sambil melebarkan senyumanku. Aku tiba-tiba ingat cincin miliknya yang berada di jari manisku.
Segera aku mencoba melepasnya karena ingin kukembalikan padanya. Namun dia mencegahnya, “Tidak mbak Keke, cincin itu bagus di jari Anda. Silakan pakai, mbak! Itu oleh-oleh dari Kota Gede. Spesial untuk Anda.”
Katanya meyakinkanku. Aku terdiam seribu bahasa. Aku merasakan keanehan pada setiap tingkah lakunya. Kami berdua terdiam cukup lama sampai bel berdering yang menandakan jam kedua kami telah usai.
Toshi meninggalkanku tanpa suara. Begitu juga denganku. Aku tak mampu berkata sepatah kata pun, bahkan untuk mengucapkan salam penutup kelas pun aku tak sanggup.
Aku berjalan gontai menuju ruang tengah tempat kami semua berkumpul saat istirahat.
Kulihat mbak Mie sedang duduk sendirian di sana. Aku mendekatinya dan bertanya tentang kebiasaan orang Jepang untuk memberikan sesuatu sebagai hadiah kepada teman. Aku berusaha mengorek info darinya tentang cincin yang kudapat dari Toshi dan apakah wajar memberikan benda tersebut kepada teman biasa.
Ternyata mbak Mie tahu sesuatu. Dia bilang bahwa Toshi sudah mempersiapkan cincin itu seminggu yang lalu. Waktu itu dia hanya bilang kepada teman-temannya bahwa cincin itu untuk wanita yang spesial.
“Untuk kanojo (pacar perempuan) Toshiya, tapi kami tidak tahu siapa dia. Dan itu Anda? ” tanya mbak Mie dengan pandangan menyelidik.
Penjelasannya membuat lututku lemas. Aku tidak tahu harus sedih atau bahagia mendengar semua ini.
Satu hal yang kutahu pasti bahwa guru tidak boleh menjalin hubungan khusus dengan murid selama mereka belajar di Alam Bahasa.
Dan aku harus menjelaskan semua ini pada Toshi.
Seperti mengerti akan kegundahanku, Toshi sudah menungguku di depan Alam Bahasa. Dia mencegat langkahku dan bilang, “ Keke, bisa bicara sebentar?”
Aku mengangguk dan kami duduk berhadapan di depan kursi taman. Dia kelihatan gugup namun mencoba untuk memecah keheningan di antara kami.
“ Keke, saya minta maaf. Saya tidak tahu kenapa saya seperti ini. Saya selalu pikir tentang Keke siang dan malam. Saya mau Keke simpan cincin itu.”
Aku menjawab lirih karena aku harus mengatur degup jantungku yang detaknya tidak beraturan,
“Ya, mas Toshi…Anda tidak bersalah. Dan saya akan simpan cincin ini. Karena Anda adalah tomodachi (teman) saya paling baik.”
Toshi terkejut mendengar jawabanku dan dia menekankan bahwa dia ingin aku hanya spesial untuknya seorang.
Walau terdengar kejam namun aku harus memberitahunya tentang peraturan di Alam Bahasa.
“Maaf Mas, saya tidak bisa menjadi orang yang spesial untuk Anda. Lebih baik kita menjadi becau best friend because you will never lose me.
"Kalau saya pacar Anda dan kita putus, maka Anda akan patah hati.”
Aku mencoba bergurau, walau gurauanku terdengar sangat menyedihkan di telingaku.
"And this language institution will not let us together or I will get the punishment.”
Toshi terdiam dan menatapku sedih. Aku kehabisan kata-kata untuk menghiburnya.
Yang kutahu seperti ada yang tercabut dari relung hatiku saat itu. Entah itu cinta atau hanya empatiku padanya. Kupasrahkan rasaku pada angin yang berhembus, berharap dia akan membawanya ke tempat yang tepat.
Cinta adalah sebuah tanaman unik yang merambat. Dia bisa saja tumbuh di tempat yang tak terduga. Dan saat kau mendapati bahwa dia telah tumbuh semakin subur,satu-satunya hal yang kaulakukan adalah tetap membiarkannya hidup. .
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top