CHAPTER 9: MASK
Eve duduk sendirian di kelas. Ia mendadak tidak minat dengan pelajaran olahraga. Padahal jadwal hari ini adalah teknik menendang bola sepak, kegiatan yang paling gadis itu sukai. Netra emasnya kini hanya bisa memandang sendu ke arah jendela, mengamati teman-temannya melakukan teknik tendangan yang sebelumnya telah dicontohkan oleh sensei.
Bukan tanpa alasan ia menjadi pemurung seperti ini. Perasaan Ayaka Natsumi hari ini sedang kacau. Ia sampai harus repot-repot mengenakan masker dan berpura-pura terserang flu agar tak ada seorang pun yang bisa melihat wajahnya.
"Anak tolol! Pembawa sial! Mau jadi apa kamu kalau pulang larut malam begini hah?"
Kalimat itu terus terngiang di benak. Merebut tiap fokus gadis itu yang tengah berusaha mengerjakan tugas tambahan dari sensei. Ia mendesah kasar. Kesal dengan dirinya sendiri.
"Jika bukan karena anakku, aku tidak akan mau merawat anak pembunuh sepertimu."
Bibir Eve kini mulai bergetar. Ada isakan perih yang berusaha ia tahan agar tidak keluar dari sana. Aku harus kuat, aku tidak boleh menangis hanya karena beberapa bentakan kecil pikirnya berulang-ulang.
Kedua telapak tangan gadis itu pun tanpa sadar saling mencengkram kuat. Eve tengah berusaha menguatkan dirinya sendiri.
Suasana kelas yang sepi memang cocok dijadikan tempat untuk menangis dan menarik diri. Namun, rasa gengsi Eve terlanjur melambung tinggi. Ia tidak mau menangis karena baginya air mata adalah simbol kelemahan. Jika dia menangis, maka dia kalah.
"Apakah itu benar...? Di dunia ini ... tak ada yang benar-benar menginginkan aku?" gumamnya miris.
"Jika benar ... lalu kenapa aku harus lahir?"
Pertahanan Eve yang hampir runtuh itu seketika digagalkan oleh suara pintu kelas yang bergeser kasar. Suara tersebut sukses menarik gumpalan kecil air di pelupuk mata Eve kembali ke dalam penampungannya. Eve menoleh lalu menarik napas kaget.
Bagaimana tidak? Dari arah pintu masuk kelas, berjalan tergesa dua orang pria menuju ke arahnya. Salah satu dari mereka, yang memiliki tubuh lebih pendek langsung meraih tangan Eve dan menarik si pemilik untuk segera berdiri dari kursi. Mengabaikan buku dan pulpen milik sang gadis yang jatuh berhamburan ke lantai.
Sementara itu, di luar kelas tampak anak-anak dari kelas lain menonton dengan wajah cemas. Mereka tahu betul siapa dua sosok berandal yang kini tengah melabrak si gadis peraih nilai ujian masuk sempurna tersebut.
Tapi apa yang mau mereka lakukan dengan Natsumi-san? Begitulah rata-rata isi pikiran mereka.
"Mikey? Draken? Kenapa kalian ada di sini? Ini masih jam belajar," ujar Eve.
Dua pemuda yang dipanggil gadis itu kini saling berpandangan.
"Ikut kami ke belakang sekolah," desak si pemuda tinggi, Ryuguji Ken alias Draken. Ia berjalan mendahului Mikey dan Eve yang masih diam mematung di tempat.
"Minggir! Mikey mau lewat," ancam pemuda itu kepada para penonton yang sedari tadi menaruh atensi lewat jendela. Seketika kerumunan masa itu pun bubar. Mereka lari terbirit-birit bagai habis melihat anjing galak.
Tak sedikit dari mereka yang menyumpah serapahi dua berandalan itu dan mengasihani nasib Ayaka Natsumi.
"Awas saja kalau berani dengan Ayaka-chan!" ujar seorang pemuda seraya berlari menjauh.
"Kami tidak akan main-main dengan kalian!" Seorang pemuda lainnya menyahut sambil mengintip dari balik tembok dengan kaki bergetar hebat.
Draken bersiul lalu menoleh ke belakang. "Kau banyak penggemar juga ya, Eve."
Eve memutar bola mata malas. Sementara Mikey langsung menarik lengan gadis itu setelah keadaan lorong benar-benar sudah sepi. Tidak seperti biasanya, Sano Manjiro kali ini lebih banyak diam. Ia terus-terusan memasang wajah serius sejak memasuki area sekolah.
Ayaka Natsumi menenggak saliva begitu menyadari itu. Namun, semua sudah terlambat. Nasi telah menjadi bubur. Kini mereka bertiga sudah berjalan keluar dari kelas. Banyak sepasang mata yang mengamati, baik guru maupun murid. Tak ada yang berani mendekat apalagi membentak. Mereka semua tahu betul siapa sosok Draken dan Mikey di wilayah tersebut.
"Oei! Oei lihat itu! Kakke da yo na!" bisik seorang pemuda yang kebetulan sedang bolos pelajaran bersama dua orang teman kelasnya. Mereka baru saja kembali dari kantin.
"Apanya?" Salah satu temannya yang dari tadi sibuk menyeruput minuman kaleng seketika tersadar dari lamunan. Netra hijaunya memandang sang kawan kebingungan.
"Itu Mikey-kun dan Draken-kun kan? Pemimpin dan wakil Geng Tokyo Manji," lanjut si pemuda dengan mata berbinar.
"Eh tapi kenapa dia menyeret seorang gadis ya? Bukankah itu Ayaka Natsumi?" bisik kawan yang satunya, heran. "Oei, Chifuyu! Bukannya kamu adalah anggota Tokー"
Pemuda yang sedari tadi sibuk menyeruput minuman kaleng mendadak hilang dari posisi. Langkahnya langsung bergerak begitu menangkap surai panjang anggun milik Ayaka Natsumi di pandangan. Tentu saja hal itu menimbulkan tanda tanya besar di benak dua kawannya.
🍀
Langit mendung di hari itu. Pohon-pohon di area belakang sekolah tampak kering kerontang tanpa dedaunan hijau. Suhu udara memang makin dingin dari hari ke hari sejak menyentuh bulan Desember. Di sinilah sekarang Eve, Draken dan Mikey berada.
Kedua pemuda itu menyudutkan Eve ke dinding, tak memberi celah bagi gadis itu untuk kabur. Eve pun hanya bisa diam sambil menunggu teman masa kecilnya mengeluarkan suara.
Mikey menghela napas. "Buka maskermu, aku ingin bicara," katanya.
Netra Eve terbelalak. Lantas ia menggeleng.
"Oei, cepat buka. Lagipula sejak kapan kau pakai masker?" desak Mikey, mulai tak sabar.
"Aku tidak mau, Mikey!" balas Eve. Suara gadis itu seketika meninggi, seakan sedang berusaha menyembunyikan sesuatu.
Mikey dan Draken paham akan hal itu. Mereka sudah mengenal gadis di depannya cukup lama. Dan satu hal yang pasti, Eve akan bertingkah seperti seekor tikus yang terpojok tiap kali sedang menyembunyikan sesuatu.
Kali ini Draken yang bersuara, "Jangan begitu, Eve. Kau mau dianggap tidak sopan?"
"Pembicaraan ini tidak penting. Aku akan kembali ke kelas!" elak gadis itu seraya melangkahkan kaki kanannya, hendak pergi. Namun lengan kokoh Sano Manjiro langsung bergerak cepat, bersandar ke dinding agar tak ada jalan bagi temannya itu untuk kabur.
"Jawab," katanya dengan nada menusuk.
Kening Eve seketika mengerut, stres. Kepalanya saat ini dipenuhi dengan berbagai suara yang mengganggu. Seketika dadanya pun terasa berat. Ingin rasanya ia menumpahkan semua amarah di saat ini juga. Jadi yang ia lakukan pertama kali adalah membuka kasar masker yang dikenakannya lalu menatap nyalang ke pemuda di depan.
"Ini yang mau kau lihat, hah?!" sentak Eve frustrasi.
Pupil gelap Mikey tampak mengecil. Ia kaget bukan main begitu melihat sudut bibir kawannya yang terlihat membiru.
"Si bangsat tua itu memukulmu lagi, huh?" Emosi Mikey naik pitam. Suaranya semakin terdengar dalam dan mengerikan.
"Mikey, dia nenekku!" jawab Eve, menyentak.
"Sekali bangsat ya tetap bangsat!" Mikey marah. Tanpa sadar ia jadi berteriak. Kesal. Lantas ia pun mengepalkan tinjunya dan melayangkan pukulan penuh amarah ke dinding di sebelah Ayaka Natsumi.
"Ah, sial. Mikey...." Draken melirik ke arah lapangan. Rupanya di sana teman-teman sekelas Eve yang sedang berolahraga telah datang menonton. Masing-masing dari mereka membawa peralatan olahraga seperti tongkat golf dan pemukul baseball.
"Apa-apaan kalian, Anjing?! Beraninya dengan anak gadis!" Fuyuki Nobuhiko, si ketua kelas mengumpat sambil mengacungkan tongkat baseball ke depan.
"Eve-chan, kau baik-baik saja?" tanya Taneda khawatir. Dia adalah gadis yang duduk di depan bangku Eve.
Eve tidak menjawab. Dia sudah terlanjur badmood.
"Eh, tunggu dulu. Kenapa wajahmu memar, Eve?" Fuyuki membetulkan letak kacamatanya seraya mengamati teman sekelasnya itu. "A-apa hubunganmu dengan preman-preman ini...?"
Mikey menatap Eve sekali lagi sebelum akhirnya beralih ke sekumpulan anak di depan. Ia tersenyum miring seakan menantang. "Dia tidak ada hubungan apa-apa dengan kami. Kami cuma iseng, soalnya kami berengsek! Mau protes?!"
Hening. Tak ada yang berani bersuara. Teman sekelas Eve mematung di tempat sembari memikirkan kata-kata Mikey yang terdengar mengerikan.
"Ayo, Mikey. Kita pergi dari sini," ujar Draken lalu berjalan ke arah sebaliknya dari kerumunan. Mikey pun diam dan mengikuti langkah lebar kawannya itu di belakang.
Mereka paham bahwa keduanya tak bisa terang-terangan membongkar hubungannya dengan Ayaka Natsumi. Jika ada rumor menyebar, gadis itu lah yang akan kena getahnya.
Eve perlahan jatuh terduduk ke tanah. Ia memegangi keningnya yang berkedut panas. Gadis itu stres bukan main. Dia kesal dengan sisi lemahnya. Lantas Ayaka Natsumi meminta teman-temannya untuk meninggalkan dirinya. Ia ingin sendirian ... meski sebenarnya ia sedang membutuhkan bahu untuk bersandar.
"Eve?" Seorang pemuda tampak ngos-ngosan. Ia lalu berjongkok di depan gadis yang dicarinya. Lalu netra hijaunya terbelalak kaget. Ia fokus mengamati lebam biru di sudut bibir Eve.
"Apa Mikey-kun yang melakukan ini?" tanya pemuda itu hati-hati. Namun gadis di depan tak menjawab.
"Ah, aku dengar semuanya. Maaf tidak bisa membantu, tapi kurasa kamu sedang ingin sendirian kan?" Chifuyu Matsuno jadi canggung sendiri. "Kalau begitu ... aku akan pergi sama seperti temanー"
GREP! Tangan Eve otomatis menangkap lengan seragam Chifuyu kuat-kuat. Ia tidak mengerti kenapa dirinya melakukan ini. Tapi yang jelas, Eve ingin ditemani oleh pemuda itu.
Ya, hanya dengan Chifuyu.
"Maukah kamu diam di sini bersamaku?"
つずく。
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top