CHAPTER 18: CHRISTMAS EVE

Eve duduk bersandar di kursi sambil mengembuskan napas lelah. Hari ini ia telah gagal. Tatapan kecewa dari neneknya terus terbayang di benak. Jika saja ia tidak melupakan tugas Sejarah, sekarang dirinya pasti sudah duduk di dalam mobil bersama Ume. Pergi merayakan Natal ke Osaka.

Saya sudah mengerjakan semua tugasnya, Nek,” kata gadis itu antusias. Mereka tengah duduk di sofa ruang keluarga sore itu.

Ume menaikkan sebelah alisnya. Tak langsung percaya, lantas tangannya bergerak mengorek isi tas cucunya. Diperiksanya satu per satu buku catatan Ayaka.

Eve terdiam memperhatikan sang nenek. Beribu-ribu skenario telah ia ciptakan di dalam benak hingga jantungnya berdebar hebat. Satu yang ia inginkan lebih dari apapun. Apresiasi.

Namun, si wanita paruh baya seketika menghentikan gerakan begitu netranya menangkap isi buku catatan Sejarah. Lalu ia hempaskan buku itu ke wajah cucunya dengan kasar. Alhasil suara nyaring pun tercipta.

PLAK!

“Pembohong tidak pantas jadi bagian keluarga,” ucap Ume ketus. Wanita itu pun langsung beranjak pergi dari ruangan sembari membawa koper. Meninggalkan sang cucu seorang diri di rumahnya yang besar.

Bulir-bulir bening tak kuasa dibendung lagi begitu memori tadi sore terputar bagai sebuah film. Ayaka Natsumi mengisi malam Natal dengan tangisan parau. Ia telah mengacaukan semuanya. Semua kesempatan untuk “dianggap ada” yang ia punya.

Jika boleh jujur, Ayaka Natsumi sangat menderita. Ia begitu kesepian. Ada bagian-bagian kosong di dalam hatinya yang ia sendiri tidak tahu harus ditambal dengan apa.

“Aku sendirian ... aku sendirian....” Kalimat tersebut tak luput ia ucapkan di sela isakan tangis.

Suhu udara semakin dingin, tapi tampaknya Eve belum berniat bergelung di dalam selimut. Ia masih terlena dengan rasa pedihnya. Gadis itu membiarkan hatinya disayat-sayat oleh segala ingatan yang ia punya hingga rasanya mau gila.

Lantas begitu butiran kapas dingin jatuh melewati jendela, waktu dirasa berhenti. Ayaka Natsumi langsung teringat dengan seseorang. “Fuyu...”

Orang yang akhir-akhir ini membuat hatinya merasa hangat. Orang yang entah bagaimana selalu ada di sisinya. Tatapannya, senyumnya, suaranya, Eve merindukan orang itu. Ia ingin sosok itu ada di sampingnya sekarang.

“Chifuyu.”

Eve menghapus air matanya kasar. Ia bulatkan tekad malam itu.

“Aku harus bertemu Chifuyu,” katanya lalu segera menyambar mantel dan baju hangat dari dalam lemari. Tak lupa sepasang sarung tangan pun ia kenakan.


🌼


Ayaka Natsumi berlari keluar rumah tanpa ragu. Ia tembus barisan salju yang menggila tanpa ampun. Ia rasa hidungnya mulai membeku, tapi rasa rindunya jauh lebih besar.

Jalanan kota Tokyo di malam Natal rupanya dipenuhi oleh sepasang muda-mudi yang berbahagia. Saling bergandeng tangan dan menyalurkan afeksi. Namun, di tengah samudra manusia penuh cinta itu, Eve sendirian.

Langkahnya makin tergesa. Tak terhitung jumlah pejalan kaki yang ia tabrak dan sikut karena menghalangi jalan. Berkali-kali juga ia diteriaki klakson mobil karena menyebrang tidak tahu kondisi.

Saat ini ia begitu rindu. Rindu dengan sosok Matsuno Chifuyu.

Sejujurnya ia sendiri tidak mengerti kenapa kerinduannya ini begitu besar. Ayaka kesulitan menerjemahkan apa yang dirasa. Ia tak ahli dengan perasaan, otaknya sudah penuh sesak oleh rumus eksak dan hapalan teori demi memuaskan ego sang nenek.

Ayaka ingin lepas. Ayaka ingin bebas. Ayaka ingin hidup untuk dirinya sendiri mulai dari sekarang. Persetan dengan semua titel “anak teladan” dan piala-piala kosong yang didapatkannya karena toh, aslinya Ayaka ingin menjadi berandalan. Girl boss.

Setelah mengarungi jalanan yang sesak, langkah Ayaka kini sukses mencapai daerah yang sepi. Tak jauh di depan, sebuah bangunan gereja nan megah berdiri. Lampu dan hiasan Natal yang mengelilingi sukses membuat bangunan tersebut seolah menjadi pusat rotasi semesta di sana.

Eve berjalan cepat ke depan pekarangannya sambil mengatur napas. Dadanya terasa berat karena dipaksa lari tanpa henti.

“Eh, Eve? Apa yang kau lakukan di sini?” Mikey ada di sana. Begitu juga dengan Draken.

Eve kaget. Sejak hari di mana kedua preman itu menerobos masuk ke sekolahnya, Eve belum bicara lagi dengan mereka. Canggung pun menyelimuti ketiga remaja itu.

Namun, bukan Mikey namanya kalau tidak cerewet. “Aku tanya sekali lagi, kenapa kau ada di sini? Apa kau tidak lihat gereja ini sudah dipenuhi para sampah keroco? Kalau kamu terluka, nanti bagaimana?”

“Aku ... aku mau ketemu Chifuyu,” jawab Eve, tak peduli dengan pasukan Black Dragon yang kini memenuhi pekarangan gereja sembari melayangkan tatapan garang. Tapi satu hal yang ia sadari, kedua kawannya—Chifuyu dan Takemichi—baru saja dijebak oleh Kisaki.

Kalau sudah begini, apa yang harus ia katakan pada Mikey?

Mikey membelalak kaget. “Chifuyu? Berarti memang benar ada yang aneh di sini.”

“Kau maju saja, Mikey. Yang di sini biar aku urus,” ucap Draken tenang. Baginya, para sampah dari Black Dragon bukanlah masalah besar.

“Tidak, Kenchin. Aku harus melindungi Eve!” tolak pemuda bersurai pirang itu. Ia pun buru-buru menangkap lengan gadis di sebelah dan membawanya ke balik punggung.

“Mikey, hentikan!” Eve tiba-tiba melepas pegangannya dari lelaki itu, “tolong jangan anggap aku lemah terus. Aku bisa melindungi diriku sendiri!”

Marah dan khawatir bercampur jadi satu. Mikey hampir saja lepas kendali kalau bukan karena Draken yang menepuk pundaknya.

“Eve bisa, Mikey,” kata Draken, “kau harus percaya padanya.”

Netra gelap Mikey lantas menatap nanar Ayaka. Teringat di dalam benak akan hari-hari di mana ia hampir kehilangan Ayaka Natsumi. Mikey tidak suka. Namun, ia tahu ada orang-orang yang mungkin saja akan meregang nyawa bila ia tidak lekas ke dalam gereja.

Mikey tidak mau kehilangan siapa-siapa lagi.

BUAGH!

Di tengah pikiran kalut, tiba-tiba salah satu anggota Black Dragon terhempas ke belakang. Sebuah pukulan gagal ia layangkan ke kepala Mikey berkat tangkisan dan pukulan tangan milik Eve.

Draken dan Mikey pun melotot. Bagaimana bisa mereka lupa kalau gadis mungil di sebelah mereka bisa sekuat ini?

Eve pun tersenyum miring.

“Hmp! Jadinya, siapa yang melindungi siapa?” katanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top