CHAPTER 17: HAPPY OLD DAYS
Tokyo, Juli 1999
Matahari bersinar terik pagi ini, membuat kolam ikan di pekarangan dojo seakan bening seperti cermin. Seorang gadis kecil berambut pendek sedari tadi tengah asyik menyodok daun teratai dengan kayu. Bibirnya tersenyum jahil ketika ikan-ikan koi yang tengah tidur di bawahnya terganggu.
“Jangan begitu, nanti ikan-ikannya protes kalau diganggu terus loh.” Pemuda jangkung bersurai hitam tiba-tiba jongkok di sebelah gadis itu. Ia menatap si lawan bicara dengan pandangan asing, tapi senyum manis tak urung muncul di wajah.
“Kamu tidak mau mereka datang ke rumahmu sambil marah-marah kan?” Sano Shinichiro namanya. Tubuhnya sudah rapi, mengenakan atribut seragam geng motor kebangaannya.
“Enggak.” Si gadis kecil bukannya takut, dia justru menatap penuh minat. “Kakak ini ... anggota geng motor ya?”
Shinichiro pun mengangguk sambil menunjukkan deretan giginya.
“KEREN BANGET! APA ITU ARTINYA KAKAK SANGAT KUAT?” Gadis kecil itu kini berdiri sambil sesekali melompat, membuat si pemuda jangkung jadi gemas sendiri. Anak tertua Keluarga Sano itu sebenarnya tidak tahu dari mana datangnya anak perempuan ini.
Tapi satu hal yang pasti. Anak itu pasti murid baru dojo kakeknya.
“Tentu saja aku sangat ku—“
“Dia sangat payah. Tidak bisa bertarung. Tidak bisa merayu wanita. Jomblo sejak dalam kandungan pula,” potong Mikey yang muncul diikuti seorang gadis kecil berambut pirang. Entah bocah itu datangnya dari mana, tapi ia sudah rapi mengenakan karategi sama seperti si gadis kecil.
“MIKEY-KUN!” seru si gadis kecil bersemangat.
“Hargai kakakmu sedikit, dong,” gerutu Shinichiro sambil mengacak rambut adiknya kesal, “aku kan sedang berusaha menjadi keren di hadapan anak ini.”
Mikey mendecih. Dia tak habis pikir dengan kelakuan kakaknya. Bahkan gadis kecil yang mengekori Mikey pun geleng-geleng kepala.
“Kak Shin, aku tahu Kakak itu bodoh. Tapi jika hilang harapan pada wanita, jangan merayu anak kecil juga dong,” kata si gadis pirang.
Mendengar kalimat pedas adik-adiknya, Shinichiro pun berakhir duduk berjongkok di pojokan dojo sambil menyembunyikan wajahnya di antara lutut. “Astaga, kenapa aku malah ditindas oleh bocah-bocah SD?”
“Ayaka, kau datang terlalu pagi,” ujar Mikey, ia langsung beralih ke teman barunya. Bocah itu mengabaikan sang kakak kesayangan di pojokan begitu saja.
Gadis yang dipanggil pun langsung celingukan. Dirinya baru sadar kalau keadaan dojo masih sepi. Tak ada satu pun murid yang sudah datang. Maklum, ini adalah hari pertamanya datang latihan setelah kesulitan membujuk sang nenek untuk diizinkan bergabung ke pelatihan karate milik Keluarga Sano.
“Oh iya.” Mikey bicara lagi. “Karena kau sudah menjadi murid asuhkanku jadi kau harus punya nama bule.”
Dahi Ayaka mengernyit, pertanda bingung. Ia tidak diberitahu tentang hal ini sebelumnya, terlebih dirinya harus memiliki nama ala orang bule. “Kenapa?”
Si bocah berambut pirang berjalan mendekat, lantas membisikkan sesuatu di telinga Ayaka sambil sesekali melirik saudarinya.
“Kau lihat saudariku? Dia namanya Emma. Selama ini dia sedih karena hanya dia saja yang memiliki nama orang bule,” bisik Mikey yang anehnya masih bisa didengar orang lain, “temanku, Baji saja mengubah namanya jadi Edward.”
“Bodoh! Masih kedengaran tahu!” Emma protes. “Lagipula bukan itu alasanku sedih, Mikey!”
Ayaka masih tidak paham. Tak banyak nama bule ala Eropa yang menyangkut di dalam benaknya kecuali Harry Potter. “Jadi sekarang namaku Harry Potter?”
Netra Mikey membelalak. “Hah, mana bisa? Bagaimana kalau Christiano Ronaldo?”
Emma terkekeh, tanpa sadar ia malah ikut terjerumus ke dalam permainan kakaknya. “Konyol, itu nama pemain bola. Bagaimana kalau—“
“Eve.” Shinichiro ikut bersuara. Entah sejak kapan ia sudah duduk bersandar di tiang engawa sembari melipat lengan. “Itu nama yang bagus bukan?”
🌼
Tokyo, Juli 2003
Eve menatap fokus ke depan, tepat pada samsak yang dipegang oleh seorang pelatih. Satu embusan napas pun ia keluarkan sebelum pada akhirnya melesat dan berputar di udara. Bagai menghentikan waktu, gerakan itu terlihat sangat lambat bagi para murid dojo yang menonton.
BRUK! Kaki gadis itu sukses melayangkan tendangan hingga pak pelatih terdorong beberapa langkah. “Hari ini kau juga bagus, Eve,” pujinya yang langsung disambut oleh tepuk tangan para murid.
Ayaka Natsumi sudah kelas 6 SD sekarang. Tak lama lagi ia akan menginjak bangku SMP. Targetnya adalah menjadi kuat dari tahun ke tahun. Semua itu dia lakukan demi satu tujuan, yaitu menjadi teman yang pantas untuk Mikey.
“Oei, Eve!” Keisuke Baji berdiri santai di pekarangan dengan kedua tangan di dalam saku. Yang dipanggil pun menoleh.
“Keisuke!” Eve lantas berlari menghampiri lelaki bersurai hitam itu, tak peduli dengan pak pelatih yang terus memanggil karena masih ada dua gerakan lagi yang belum dipraktekkan.
Sudah biasa. Top 3 student dojo—Mikey, Baji, dan Eve—memang terdiri dari bocah nakal yang seenaknya sendiri.
Eve melompat turun dari engawa dan mendarat di hadapan kawannya yang lebih tua setahun itu. Lantas netra emasnya bertemu dengan netra asing yang sama emasnya. Gadis itu pun diam-diam memandang kagum tato harimau yang tercetak di leher si orang asing.
Kemudian Baji tersenyum sedangkan si orang asing langsung melayangkan tatapan yang seolah berkata, oi jangan bercanda!
“Kazutora, jadi ini bocah yang kemarin aku ceritakan,” jelas Baji yang tentunya mengundang tatapan bingung dari Ayaka Natsumi.
“Jangan bercanda, kau bilang bocah yang diceritakan Mikey itu saudaranya yang jago bertarung atau semacamnya, kan?” rengek si bocah asing, Kazutora, “tapi ... kenapa yang muncul malah gadis kecil berwajah bandel?”
Eve cemberut, ia tidak suka dengan anak ini. Kakinya pun bergerak cepat menginjak kaki lawan hingga suara rintihan keras terdengar. “AAAAAW!”
“Bacot!” sentak Eve sambil menggembungkan pipinya sebal. Perasaan kagumnya kini berubah jadi iri.
“Tuh kan, Baji! ini sih namanya anak gila!” Kazutora hampir saja memukul Eve jika saja Baji tidak langsung menahannya. Namun sayang, Baji tampaknya hilang fokus sehingga tidak menyadari Eve yang kini melayangkan tendangan ke perut sang kawan.
BUAGH!
“WOE, SAKIT! KURANG AJAR!”
Yah, mereka tidak akur, pikir Baji.
Mendengar keributan, pak pelatih langsung menghampiri ketiganya di pekarangan dojo. “Hei, apa yang kalian lakukan?!”
Baji tersentak kaget. Dia yang tahu betapa menyebalkannya lelaki paruh baya itu kalau sedang marah pun langsung menarik lengan Eve dan Kazutora. Bocah SMP itu membawa dua kawannya ke sisi lain kediaman Sano. Ke mana saja yang penting jauh dari jangkauan si pria tua tukang marah.
🌼
Pada akhirnya ketiga bocah nakal itu tiba di pekarangan lainnya. Di sana Mikey sedang duduk di atas motor Draken sambil mengayunkan kaki. Kemudian di sebelah mereka berdiri Mitsuya dan Pahchin. Fokus mereka langsung tertuju pada tiga anak yang baru datang.
Mikey turun dari motor begitu melihat presensi Ayaka. “Kenapa bawa Eve kemari? Kau tidak bermaksud melibatkannya dengan rencana kita, kan?”
Baji membelalakan matanya. Tebakan Mikey tepat sasaran. Tadinya bocah itu memang berniat membawa Eve untuk mengalahkan Black Dragon. Baji tahu sehebat apa kemampuan gadis itu. Begitupula dengan Mikey.
“Oh, semuanya sedang berkumpul? Kalian mau main apa?” tanya Eve polos, “aku boleh ikut?”
Mikey saling bertatapan dengan kawan-kawannya. Bocah itu tidak suka jika harus melibatkan Eve, meski sebenarnya temannya yang lain tidak ada masalah dengan itu. Lagipula mereka pernah melihat Pahchin dipukuli oleh Eve hingga tumbang hanya karena bocah kecil itu mengira Pah adalah musuh Mikey.
“Ya, kita akan main, tapi kau tidak boleh ikut, Eve.” Bukan Mikey, melainkan Kazutora yang bicara. Sontak saja Eve menoleh ke arah anak itu sambil melotot.
Eve cemberut sambil menghentak-hentak kakinya ke tanah. “Mikey! Dia siapa sih?! Sialan, tatonya keren banget. Aku juga mau satu untuk di jidat, tapi yang lebih keren!”
Mendengar permintaan aneh Ayaka, semua bocah yang ada di situ refleks merespon, “Tidak boleh!”.
Eve memang sangat kuat untuk seukuran anak seusianya, Mikey akui itu. Namun si bocah pirang khawatir gadis itu akan terluka. Terakhir kali Mikey membiarkan Eve bertingkah semaunya adalah ketika gadis itu membalas dendam pada para penindasnya.
Satu versus enam. Gadis itu menang. Ya, betul. Namun, pada akhirnya Eve berakhir dengan kepala bocor berkat hantaman batu bata yang tidak disadarinya.
Mikey tidak mau melihat Eve sekarat lagi. Mikey begitu menyayangi gadis itu sebagai bagian dari keluarganya sendiri.
“Kau tidak boleh ikut, Eve,” putus Mikey sepihak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top