Chapter 7 Part 4
Apa yang harus kulakukan?
Hampir setengah jam matanya tak beranjak dari kekosongan pikirannya. Menatapi langit biru Jakarta yang bersih dari awan, sambil berharap kalau semua yang tadi ia dengar, itu hanya khayalan.
Tapi, aku ingin kau benar-benar melupakannya, pergi dari kehidupannya... selamanya, kau dengar itu?
Seakan pemilik suara itu bukan seperti yang ia tahu sewaktu terakhir bertemu, seakan pemilik suara itu bukan berasal dari ayah Ryu, bukan dari siapa-siapa. Atau ini hanya keinginannya untuk takut kalau semua yang ia kira benar terjadi?
Kalau saja ia ia tak pindah... Kalau saja waktu itu keadaan ekonominya baik-baik saja... Apakah rasa sakit akan terasa begitu menyiksa seperti ini?
Chelsea ingin melihat Ryu, Chelsea ingin memeluknya, merenggutnya hingga tak ada lagi penghalang. Chelsea ingin selamanya bersamanya dan Chelsea ingin selamanya mencintainya...
Bisakah ia melakukannya?
Sekarang, sudah beribu-ribu mil jauhnya dari Jepang, sedangkan ia sama sekali tak akan bisa pergi dari Jakarta diam-diam karna ia semakin tak ingin menambah masalah jadi lebih konyol.
Lalu, sekarang?
Seketika dada Chelsea terasa sesak, matanya berkabut dan ia berusaha melepaskan napas yang hendak keluar dari tenggorokannya yang tercekat.
Kalau saja aku tahu bahwa hari itu adalah hari terakhirku melihatmu, mungkin saat itu aku siap untuk terakhir kali mencintaimu.
***
Lupakan.
Lupakan.
Selamanya.
Chelsea menarik napas dalam-dalam. Paru-parunya yang nyaris kosong, ia penuhi lagi dengan udara segar. Chelsea memejamkan mata, merasakan sakit pening, dan goresan luka yang tak terlihat itu.
Lupakan...
Ia menarik napas lagi. Hidungnya tersumbat, lehernya terasa tercekik.
Jangan menangis...
Sudah berapa hari ini?
Chelsea melirik kalender di ponselnya, menerka dengan kekuatan ingatan yang penuh lalu mendengus.
Sudah hampir seminggu.
Sudah hampir seminggu juga semuanya ia perjuangkan untuk melupakan Ryu. Sangat sulit, bahkan ia tak tahu apa ia bisa melakukannya. Walaupun seminggu juga, di sekolah barunya di Jakarta, sudah bertemu dengan kawan baru, bahkan bertemu Janice dan Fitri, Chelsea selalu mengesalkan hatinya yang selalu tiba-tiba teringat lagi.
Jika sudah seperti itu, Chelsea terkadang suka kalap dan memukul dadanya sendiri sampai ia bisa merasakan dirinya sakit. Gemetar dan meringis menangis karna ada alasan yang pasti. Bukan alasan kalau sebetulnya ia sangat...
Chelsea mengerang sekali lagi. Ia mengangkat wajah dengan kesal kearah cermin di toilet sekolah.
Wajahnya merah, napasnya tersengal dan berat. Matanya terpancar perasaan gelisah, marah, dan kecewa. Kecewa yang besar sampai ia sendiri ingin menangis melihat pancaran perasaan yang terpancat dari matanya.
Begitu menyedihkan dan menyeramkan.
Bahkan perasaan rindu bisa menyakitinya, lalu perlahan-lahan membunuhnya. Bukankah cinta memang pembunuh yang paling hebat?
Chelsea meremas tangannya sampai kuku-kukunya menusuk ke kulit telapaknya. Tanpa sadar, segumpal emosi yang tertahan, perlahan-lahan meluap, mengaburkan pandangan, hingga sampai saatnya Chelsea merasa lemas dan terduduk dengan pasrah.
Air mata bergulir pelan. Dadanya semakin sesak.
Kenapa cinta dan penyesalan terasa begitu menyakitkan? Kenapa cinta, harus sampai membuatku seperti ini?
***
"[Setahuku begitu]" ujar suara di sebrang telpon sana.
Chelsea tersenyum mendengarnya. Sambil berjalan dari koridor ke taman sekolah, suasana sore yang hangat mengantar jam pulang sekolah hari ini.
Sudah 5 bulan semenjak saat itu, dan rasanya, sekarang tersenyum adalah hal yang Chelsea sukai. Walaupun ia sudah hampir berhasil mengubur semua kenangan dan penyesalan itu, tapu masih ada setitik harapan dalam hatinya kalau suatu saat nanti ia berharap bertemu dengannya.
Walaupun tidak mungkin, tapi setelah tersakiti seperti itu, apalagi yang bisa ia tunggu selain harapan adalah satu-satunya hal yang ia punya?
"Rasanya aku ingin ke Tokyo lagi.."
"[Ya! Aku sangat merindukanmu! Apalagi sudah berapa lama kau akhirnya baru menelpon aku? Sudah... hampir enam bulan, bukan?]" suara Yuki yang cempreng entah kenapa membuat Chelsea tersenyum sendiri. Kemudian ia teringat sesuatu.
"Yuki," jeda sejenak untuk meyakinkan dirinya sendiri, "apa kabar, Ryu?" kata-kata itu meluncur dengan sekali cekatan yang membuat dadanya sedikit terasa sesak. Ia tak pernah tahan untuk tidak menanyakan itu.
Yuki menerka dengan nada tak pasti, "[entahlah Asuka. Sejak kejadian itu, seminggu kemudian kami mendapat kabar kalau semua keluarga Ryu yang ada di Tokyo pindah ke London, bersama keluarga ayahnya yang tinggal disana. Katanya sih, mereka hanya sementara disana untuk memberesi masalah di Tokyo, tapi sampai sekarang... mereka belum kembali...]" jelas Yuki.
Chelsea menelan ludah, "lalu, apakah Ryu... masih koma?"
Angin sore menerpa wajahnya. Dan rasanya, waktu melambat saat Yuki beranjak hening dari ujung sana. Degup jantung Chelsea mulai tak teratur. Karna setelah sekian lama, hari ini baru pertama kalinya lagi ia memiliki keberanian untuk menanyakan hal itu. Menanyakan hal yang membuatnya tercekik sendiri.
"[Sepertinya masih... Ryu di rawat di London sekarang, oh aku sangat merindukannya... Asuka, apa kau tidak merindukannya?]"
Leher Chelsea menegang, tapi buru-buru menyusut.
Apa aku masih boleh merindukannya?
"Aku..." udara sore menerpa lagi, duduk di taman seperti ini, tanpa sadar mengingatkan dirinya lagi sewaktu bertemu dengan Ryu karna bola basket yang mengenai kepalanya siang itu dilapangan basket.
Ia menelan ludah lagi, memaksakan seulas senyum, "aku sangat merindukannya..."
Sedetik, saluran telpon hening. Seakan ada aliran waktu yang memasuki ruang di antara Chelsea dan masa lalu lagi. Menaungi dan memunculkan beberpa kilasan-kilasan wajah Ryu, hari-hari itu, ciuman itu...
Chelsea memejamkan mata.
Jangan.
Jangan sekarang. Jangan menangis lagi.
"Tapi, aku tidak boleh merindukannya lagi..." hening sebentar, "Ryu dan aku, sekarang hanya kenangan yang pernah ada di Tokyo."
"Ryu dan aku, hanya sebatas musim yang muncul sekali seumur hidup."
***
"Chelseaa!!!" panggil seseorang yang berderap cepat dari belakangnya. Wajah Chelsea yang menunduk seketika terbangun dan menoleh menghadap gadis yang ngos-ngosan itu.
"Fitri? Ada apa?" tanyanya kebingungan karna melihat sobatnya itu menarik napas putus-putus dengan bahasa tubuh yang terlihat gelisah dan terburu-buru.
"Uh---itu---ah, di---depan gerbang---hoh, ada---yang mencarimu..."
Alis Chelsea terangkat, ia memutar lengan melihat arloji ditangannya, "siapa? Aku harus pulang sekarang, aku ada les..."
Tangan Fitri menghadang ucapan Chelsea, "ini penting, karna pria itu sangat---tampan," katanya masih sambil bernapas terputus-putus.
Chelsea semakin mengerutkan kening, "pria? Siapa?"
Dalam hati Chelsea menerka lagi. Akhir-akhir ini, siapa yang belum bertemu dengannya? Setelah mendapat kabar kalau dirinya akan pulang beberapa waktu lalu, beberapa teman lamanya langsung datang dan menemui dirinya di sekolah, rumah atau di mana pun itu yang pasti bertemu dengannya. Kepulangannya dari Jepang cukup menghebohkan semua orang. Termasuk teman lama yang sudah lama tak bertemu. Mungkin pria yang dimaksud Fitri adalah salah satunya, tapi Chelsea tak yakin ia memiliki teman pria 'setampan' itu. Dan yang aneh lagi, Fitri sudah pasti tidak mengenalnya. Kalau Fitri mengenalnya, seharusnya ia sudah menyebut-nyebut nama pria itu. Lalu, siapa? Apakah teman SD-nya? Hm, bisa jadi.
"Baiklah, sebentar saja, dan karna kau menyinggung tampan jadi... aku cukup penasaran," balas Chelsea setelah beberapa detik merenung. Fitri yang di depannya langsung menarik tangannya kasar, berlari menyusuri koridor yang sudah sepi menuju lobi sekolah.
Setelah beberapa detik berlari, membuat dada Chelsea terasa engap sedikit, ternyata di lobi sudah sangat ramai orang. Di teras sana, beberapa gadis sedang mengerubuti seorang pria yang hanya terlihat ujung rambutnya.
Chelsea mengerutkan kening lagi, sembari helai demi helai rasa penasaran mengerubutinya.
"Fitri, siapa?" tanyanya lagi pada temannya yang sedang membukakan jalan di antara kerumunan orang itu.
Siapa yang membuat semua orang sampai berkerumun seramai ini?
Fitri sampai di depan pria itu setelah ia mendorong kasar seorang gadis di depannya. Chelsea menyusul setelah tubuh Fitri menggeser ke kanan, dan setelah tiba di depan pria itu, mata Chelsea yang sudah jelas sekali melihatnya tiba-tiba menengang.
Sepintas, waktu terasa berhenti berputar.
Benar-benar berhenti.
Tubuh Chelsea melemas, degup jantungnya berpacu cepat. Benar-benar cepat sampai ia merasa kalau ini hanya mimpi.
Pria itu tersenyum, bangkit berdiri kemudian melangkah pelan mendekati dirinya.
Dengan suara berat, pria itu berucap, "Asuka-san, apa kabar?"
Chelsea meringsut, penglihatannya mulai kabur.
"R---Ryu..?"
****
Haeeee chapter terakhir yaaakk!! Yipii seneng bgt akhirnya sampai disini hehe. Okedeh, tenang tenang masih ada epilog, ayoo silakan di gulir lagiii😘
P.s terimakasih buat yg sudah menunggu😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top