Chapter 5 Part 9

"Pergi dan lupakan aku saja, oke?" suara Chelsea lirih. Ia tak tahu harus mengatakan apa setelah beberapa menit tenggorokannya terasa kering dan ia sulit bernapas.

Jika kau ingin dia bahagia, pergi dan lupakan dia, okay? Atau dia akan menghilang selamanya!

Kata-kata Haruka semalam terngiang di detik-detik akhir. Chelsea ingin meledak. Seandainya ada pengatup yang siap ditarik, Chelsea mungkin akan cepat-cepat berada di tengahnya dan terbang sejauh penutup itu pergi. Tapi kenyataannya ia tidak bisa. Ia terjebak di dalam botol kosong yang ia tutup sendiri dengan pengatup bertanda Yakuza.

Ryu tak menjawab. Pria itu tak mengatakan apa-apa yang membuat Chelsea tak tahan lagi untuk segera pergi. Berdiri di tengah keraguan dan kelemahan yang ia benci hanya semakin menyatakan perasaan yang sebenarnya. Perasaan yang sesungguhnya. Dan saat ia menyadari itu,  ia tahu kalau ia tak bisa pergi kemanapun.

"Asuka," panggil Ryu. Ada selipan nada getir yang terdengar.

Dengan sekuat tenaga, Chelsea menahan cekatan yang entah bagaimana terasa semakin sakit di tenggorokannya.

"Bisakah aku tetap mencintaimu tanpa orang lain tahu itu?"

Bibir Chelsea gemetar. Kenapa hanya mendengar suaranya Chelsea sangat tahu kalau ia merindukannya sampai ia ingin menangis? Ia merindukan Ryu sampai ia tak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Ia merindukan Ryu tapi ia tahu kalau itu terlarang.

Mendadak, sobekan luka di tangan Chelsea meringsut perih. Dengan sekali gerakan, ia buru-buru pergi dan meninggalkan Ryu yang entah bagaimana bisa menyatakan kata-kata itu.

"Bisakah aku tetap mencintaimu tanpa orang lain tahu itu?"

Langkah Chelsea terhenti di koridor yang sepi. Dadanya masih sesak seirama dengan pikirannya. Tanpa sadar, lantai bening yang dilihatnya samar-samar berkabut. Dan tak terasa, air mata sudah menggenang.

Kenapa Ryu? Apa hanya padamu aku mencintai sampai sesakit ini?

***

"Kalau mereka ditakdirkan bersama, aku yakin si sutradara pasti akan melakukan itu walaupun aktrisnya sekarat," ujar Yuki penuh semangat di tengah kelas. Ai memutar bola mata sambil mendengus.

"Memang begitu bukan setiap cerita cinta? Ah, aku sudah bosan mendengar cerita mainstream seperti itu," sahut Ai sambil mengibaskan tangan.

"Tapi ini berbeda! Kau harus mengetahui cara si aktor mencintai wanitanya dan itu sangat... romantis," suara Yuki berubah lembut dan lama kelamaan berubah menjadi seperti lamunan.

Ai mendengus, saat matanya hendak berputar lagi, pandangannya terperosok pada seorang gadis yang muncul dari ambang pintu dengan langkah gontai.

"A---Asuka!" teriak Ai dengan nyaring, diikuti tolehan kepala orang-orang yang serentak mengarah kearahnya.

Tangannya terperban tebal, lingkar hitam di matanya tertampak cukup jelas, dan langkahnya gontai seperti tak semangat. Ai dan Yuki buru-buru menyambar Chelsea dengan penuh tanya.

"A---Asuka... kau. . .ada apa?" tanya Ai sembari mengangkat tungkai kacamata dengan alis berkerut samar meneliti tampilan gadis itu. Yuki mengerutkan dahinya seribu lebih tebal, wajahnya cemas.

"Ya! Apa yang terjadi dengan tanganmu? Kenapa bisa begini? Siapa yang melakukan ini? Apa Ryu tahu tentang ini?"

Chelsea tak menjawab langsung. Sebelah tangannya memegangi perban sambil tersenyum rendah.

"Aku tidak apa teman-teman, kalian tenanglah."

Ai berdecak, "kau ini. Kau bilang tidak apa-apa, tapi matamu habis menangis begini! Ada apa sebetulnya, Asuka?"

Yuki meneliti wajah Chelsea dengan ganas, "ya! Kau tentu habis menangis! Ah! Apa Haruka sialan itu yang..."

Gadis itu mengangkat wajah dengan raut menegang, "tidak, jangan di sini, dan jangan sekarang, Ai."

Chelsea memutar langkah melewati keduanya dan berjalan ke kursi dengan hening.

"Aku heran, kenapa dia akhir-akhir  ini?" gumam Yuki memandangi sahabatnya khawatir.

Ai mengamati Chelsea dari balik kaca mata sambil menerka, dengan suara kecil ia berucap, "tidak salah lagi, ini pasti karna Ryu."

***

Chelsea berusaha meraih sumpit dengan tangan kanannya. Tapi hampir tiga menit berlalu, ia tidak berhasil juga. Perban sialan, sumpit sialan, Haruka sialan, Ryu si...

Chelsea membanting sumpit ke meja dengan sekali gertakan. Ada satu emosi yang tak bisa ia sesalkan. Dan jika di sesalkan, itu hanya semakin membuatnya meringis.

"Asuka! Ada apa?" tanya Yuki terkejut. Ai menatapinya dengan cemas, mulutnya sibuk mengunyah makan siangnya.

"Aku tidak bisa makan dengan tangan diperban begini," sahutnya dengan nada kesal yang tertahan kemudian ia mencoba sekali lagi, perlahan-lahan... dan tetap saja. Ia membanting untuk yang terakhir kali.

"Kalau begitu jangan makan nasi, belikan imagawayaki (semacam panekuk) saja, Yuki," ujar Ai tanpa menoleh masih sibuk dengan kotak bekalnya. Chelsea mengendus beralih ke wajah Yuki yang terlihat menahan emosi.

"Memangnya aku pesuruhmu?!"

Ai menoleh datar, "terlihat seperti itu," ujarnya santai sambil terkekeh. Chelsea mengendurkan urat matanya, "sudahlah, aku beli saja sendiri, di mana belinya?"

Yuki dan Ai tertegun dan menoleh kompak ke arahnya, "eh, tapi kau... apa bisa, sendirian?" tanya Yuki ragu sambil mengamati perban di tangannya.

"Yuki, aku masih Asuka, tubuhku tidak apa-apa dan aku bukan lumpuh hanya karna tangan perban seperti ini, aku hanya..." kalimat menggantung itu entah kenapa lama-kelamaan terasa menyedihkan. Tanpa sadar matanya mengarah ke perban ditangannya dan kilasan wajah Haruka di malam itu muncul lagi. Seketika, mulut Chelsea terasa asam.

"Tersiksa?" timpal Yuki tiba-tiba. Chelsea meliriknya, "ya seperti itu. Ah, baiklah, tunggu aku di sini."

Chelsea beranjak dan mengarahkan kakinya ke kantin di samping gedung setelah Yuki memberitahunya. Koridor kantin siang ini tak ramai, hanya beberapa orang yang memiliki makan siang terlambat sama sepertinya. Setelah berkali-kali Chelsea membalas tatapan orang-orang yang mengamatinya bingung---dengan tangan perban segumpal---akhirnya ia tiba di konter panekuk itu dan membeli satu buah.

"Kau bisa melakukannya sendirian?" tanya suara berat di sebelahnya. Chelsea menoleh dan terbelalak. Tapi kali ini, saat matanya bertemu, ia tak bisa bermencak seperti biasanya. Ada semburat sedih bercampur kacau saat melihatnya.

"Aku bisa," jawab Chelsea sambil berpaling, lalu mengambil beberapa koin dari saku rompi---dengan susah payah---lalu memberikan dengan tangan kiri, kemudian menerima sebungkus panekuk itu dari penjual.

"Ternyata bisa," ujar Ryu sambil terkekeh. Alis Chelsea naik sebelah, kemudian ia segera beranjak ke tempatnya lagi.

***

Tahap pertahap smoga masih ada yg nunggu dan author kece ini jadi makin smangat nulisnya! Yoshh ganbatte!

P.s terimakasih sebnyak-bnyaknya utk para pmbaca setia yg (msh) menunggu🙌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top