Chapter 1 Part 1
Masa lalu memang ada, tapi untuk mengenangnya harus membuka lembaran rindu yang menyakitkan.
***
Ia menaruh koper kemudian menyapu pemandangan di sekelilingnya. Lantai kayu yang dipijaknya hangat menjalar dari telapaknya.
Cat tembok putih, lantai kayu bernuansa hangat. Seonggok jendela bertengger di salah satu dinding menghadap ke jalan. Semilir angin dingin menerpa tirai, kemudian memasuki ruangan. Chelsea bergidik sekali. Menoleh, melihat jendelanya yang terbuka.
Dengan langkah gontai, ia menutupnya.
Brug.
Apa yang baru saja kulakukan?
Ia menatap jalanan sepi di bawah sana. Langit malam sudah terbentang, di kota baru.
Setelah empat jam terbang, akhirnya ia sampai juga ke Tokyo. Namun, entah kenapa perasaan hatinya masih tak lega.
Seseorang mengetuk pintu kamar. Chelsea menoleh dan menemukan ibunya sedang melongok memasuki kamar.
"Makan malam dulu, Chels."
Sepiring nasi goreng dengan asap mengepul panas di atasnya. Chelsea menghampiri ibunya dengan perut keroncongan.
Dengan diam, ia menerima sepiring nasi hangat itu, kemudian menyuap sekali.
"Terimakasih, bu," ujarnya sekadarnya.
Selang diam di antara keduanya, ibu Chelsea nampak ragu menatapi putrinya.
"Dengar, aku tahu kau tidak menyukai disini. Tapi. . ." Ibu Chelsea menatap bimbang. Chelsea memperlambat kunyahannya, melirik ibunya sekilas.
"Aku baik-baik saja, bu."
Di antara keheningan, Chelsea menelan nasi, bersama dengan emosinya.
"Di sana, peralatan sekolahmu. . ." Ibu Chelsea menunjuk setumpuk peralatan sekolah diatas meja belajar.
Dan sebuah name tag disodorkan padanya. Chelsea termenung sejenak mengamati nama Jepangnya tercetak disana.
"Kartu pelajarmu."
Dengan ragu, Chelsea menerima benda itu.
"Nah, selamat malam. Bersiaplah untuk besok."
Ibunya bangkit, lalu meninggalkan Chelsea yang masih termenung menatapi kartu pelajar itu.
Seandainya aku bisa memilih.
Mungkin aku tidak akan ada disini...
***
"Chels, bawa bekalnya, ya!" seru ibunya dari dapur. Chelsea sedang memakai sepatu pantopelnya di beranda ruang tamu. Kulit sepatunya kaku, sehingga sulit untuk dipakai.
Dari ruang tamu, ia berjongkok, kemudian bergumam tidak jelas.
"Memang di Jepang tidak ada kantin?" balasnya berteriak.
"Tentu ada. Aku hanya ingin berhemat. Tahu, kan, lebih sehat bawa bekal. Lagipula, aku sedang senang memasak."
Chelsea menghela napas. Dalam hati berpikir, bawa bekal itu berat. Mana kali ini ia harus berjalan kaki selama sepuluh menit. Bukan malas atau apa, namun, untuk masuk sekolah di hari pertama ini rasanya sedang tidak berselera saja.
Namun dengan berat hati, Chelsea tetap memasukan kotak bekal dari tembaga itu ke tas ransel kotaknya. Dari pintu tengah, ibunya muncul tergopoh-gopoh.
"Chels, ingat jalannya, kan?" tanyanya sedikit khawatir. Chelsea yang hendak meraih panel pintu terhenti. Kemudian menoleh.
"Ingat."
"Kalau tidak tahu, tanya ya?"
"Iya."
"Masih ingat bahasa Jepang, kan? Nihongo? Ohayou?" sodetnya teracung-acung seraya ia mengucapkan kalimat itu.
Chelsea menggerutu dalam hati.
"Bu, aku masih ingat sepenuhnya. Tenang saja. Lebih baik kau memperhatikan buburmu, sepertinya aku mulai mencium bau gosong dari sini."
Kontan wajah ibunya terkejut, mulai tersadar, kemudian kembali terburu-buru ke belakang. Sambil melambaikan sodetnya ke udara ia berteriak, "hati-hati Chels!"
Chelsea hanya cekikikan kemudian berangkat.
***
Udara menyembur dingin. Cakrawala Tokyo bersih. Langit begitu cerah. Lampu lalu lintas bergerak lambat, bergantian dengan para pejalan kaki yang hendak menyebrang dengan para mobil di tengah jalanan Shibuya.
Chelsea mendongak, melihat langit kota. Ricuhnya jalanan menenggelamkannya pada perasaan rindu sewaktu di Indonesia.
Lampu berubah merah. Segerombolan pejalan kaki mulai menyebrang. Dengan langkah ringan, Chelsea kembali menyisiri pinggir jalan Tokyo. Di ujung belokan blok sana, gedung sekolahnya berada. Dari antara julangan gedung yang hampir menyentuh langit, Chelsea bisa melihat kepala gedung sekolah itu.
Ia berbelok, langkahnya melambat ketika melihat sebuah gerbang besar dengan papan nama di atasnya bertuliskan "International School of Tokyo" beserta kanji-kanji kuno di bawahnya. Chelsea menatap sejenak, menghela napas, kemudian melihat gedung sekolah beserta taman dan lapangan berserakan begitu luasnya. Lapangan hampir penuh.
Kembali teringat saat pertama kali Ospek di Jakarta. Betapa ia mulai pelan-pelan menginginkan momen itu kembali terputar. Betapa ia merindukan suasana Jakarta yang sumpek dan macet. Ramainya kenangan, pelan-pelan ia telan dan menghadap ke depan.
Masa lalu memang ada, tapi untuk mengenangnya harus membuka lembaran rindu yang menyakitkan.
Chelsea memasuki lapangan yang sudah ramai barisan murid baru. Koridor memanjang, mengelilingi sekolah. Bendera berkibar di antara udara pagi. Dengungan murid yang mengobrol mulai menguar. Seorang pria bermata sipit setengah botak menaiki mimbar yang ada di depan. Matanya menjelajah mengamati mereka.
Pria tua itu memperkenalkan diri, mengucapkan salam.
"Jadi setelah ini kalian masuk ke kelas dan di sana kalian akan dijelaskan peraturan dan tata tertib di sekolah ini, bagaimana kegiatan di sekolah ini berlangsung dan kebiasaan-kebiasaan yang ada di sini..."
Chelsea menghela napas lagi. Tentang peraturan dan mengenai hal sebagainya, ia sudah bosan.
Namun tiba-tiba seseorang mencolek pundaknya. Chelsea menoleh cepat ke barisan sebelahnya, mendapati seorang gadis manis berkuncir dua sedang tersenyum padanya.
"Hai," sapanya.
Chelsea mengerjap kemudian tersenyum tipis, "hai."
Gadis itu mengibaskan poninya ke samping. Mata kubilnya sangat imut. Seperti personel AKB48.
"Seharusnya anak kelas dua tidak perlu mengikuti acara ini," bisiknya di antara keramaian.
"Dari mana kau tahu aku anak kelas dua?" tanya Chelsea sambil mengangkat sebelah alis.
Gadis itu tersenyum, di ikuti sekitar matanya yang berkerut, "kau kan pakai rompi, seragam sah sekolah. Kau anak baru, kan?"
Chelsea mengangguk. Masih merasa takjub. Kemudian gadis itu dengan riang mengulurkan tangan.
"Aku Senoo Yuki. Baru pindah dari Kyoto," ungkapnya sambil tersenyum. Chelsea mengamati tangannya sejenak, kemudian tersenyum ragu.
"Aku..," nyaris Chelsea mengucapkan nama Indonesianya, "ah. Asuka. Matsumoto. Asuka Matsumoto."
Yuki mengangguk paham, "kau berada di kelas mana, Asuka-san?"
Chelsea mengedarkan pandangan ke arah rentetan gedung yang memagari sekelilingnya. Sambil berpikir sambil mengingat.
"2-A," jawab Chelsea. Mata Yuki berbinar seketika.
"Wah! Asuka-chan! Kita sekelas!" kata Yuki penuh tenaga. Rasanya, keriangan gadis itu bisa menjalar memasuki hati Chelsea. Tanpa sadar, Chelsea tertular ikut tersenyum juga.
"Eh, seandainya aku sudah bisa menemukan Ai di sekitar sini."
Yuki mulai berjinjit, membuat kuncirannya ikut melompat-melompat. Matanya mencari-cari sosok yang ia maksud diantara lautan manusia itu.
"Siapa Ai?"
Yuki menunduk sejenak, kemudian mulai berbisik sambil melirik ke kanan dan ke kiri dengan tatapan penuh rahasia.
"Temanku. Nanti ku kenalkan. Hei, bagaimana jika kita kabur dari sini?"
Chelsea merenggangkan alis, sedikit ingin tertawa akan rencana gila teman barunya. Yuki menaikan alis beberapa kali, seperti menyetrum Chelsea untuk setuju padanya. Dengan setengah tertawa, Chelsea meragu.
"Bagaimana caranya?"
"Eh-yo, aku ini sudah tahu gosip-gosip tentang sekolah ini. Terlebih cara keluar, kabur dengan aman. Aku punya kenalan kakak kelas disini," ia kembali menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Chelsea terkikik.
"Baiklah, kita coba. Aku juga sudah mati bosan disini."
Dengan wajah riang, kembali Yuki menggaet lengan Chelsea yang tanpa sadar mulai melarutkan emosinya pada rencana gilanya itu.
**
Part ini aku rombak habis-habisan.
Btw, kalo masih ada yg baca sampai sini, aku sgt terimakasih loo^^
Bersyukur juga akhirnya bisa revisi part ini haha setelah sekian lama ga nyentuh Tokyo Kiss lagi. Yeaa^^
Semoga di part ini masih ada yg baca dan tinggalin jejak ya!
Arigatou!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top