Amel-2
"Mel, wa Emak kagak dibaca?" Suara memekakkan telinga begitu panggilannya dijawab.
"Oh, Amel matikan handphone-nya, Mak. Emang ada apaan?"
"Ya sudah, kita ngobrol di wa saja."
Sejak Ayah meninggal, Emak menjadi orang tua tunggalku. Waktu itu aku masih semester delapan, dan Ayah meninggal seminggu sebelum Abang wisuda. Momen paling menyedihkan. Masih ingat betul saat Abang berulang kali menghapus air mata meski bibirnya tersenyum lebar.
Foto laki-laki berkemeja putih dengan leher yang terlihat panjang muncul di ruang obrol bersama Emak.
"Siapa, Mak?" tanyaku lekas-lekas meski sudah tahu apa tujuan Emak kirim foto itu.
"Cakep kagak?"
"Kagak." Maaf, seleraku bukan cowok ceking yang kentara banget dari leher panjangnya.
"Itu temannya si Mizwar. Lu coba kenalan, deh. Emak kirim nomor wa dia, ya?"
"Nggak usah, Mak. Amel nggak suka."
"Lu kagak ngiri apa sama Ala? Dia udeh mau brojol dua, dan lu pacar pun kagak ada. Cobalah kenalan sama ini, siapa tahu jodoh." Emak kumat lagi. Membanding-bandingkan anak sendiri dengan anak saudaranya.
Ala itu sepupuku dari Emak. Usianya sepentaran denganku, tapi jodohnya lebih dulu datang ketimbang aku. Dan ini selalu menjadi pembahasan utama waktu kumpul keluarga. Apalagi waktu ada acara pernikahan, aku menjadi sasaran utama dalam pembahasan bertajuk, 'Kapan Amel Nyusul?'.
"Masa iya, Mak, cari jodoh segitu amet. Amel kudu pacarin satu-satu cowok di dunia ini?"
Pada usia 27 dengan status bebas—pantang menyebut single, apalagi jomlo—pembahasan orang sekitar selalu berkaitan dengan pertanyaan, 'kapan nyusul? Kapan Nikah?'. Kurasa mereka berbakat jadi jurnalis tanpa harus kuliah Jurnalistik.
Emak nggak balas lagi pesan terakhirku, dan itu membuatku ingin memundurkan waktu. Kembali pada zaman-zaman idealisme yang mendominasi tentang nilai bagus, kuliah lancar, dan selalu happy bersama teman-teman.
Mengingat tentang teman, tidak banyak kawan kuliah yang bertahan sampai sekarang selain Grup Kedaluwarsa. Denisa, Kardini, Mella, dan Amanda. Sebenarnya Kamia juga. Tapi anak itu menghilang sejak semester delapan.
"Lu sudah punya teman kelompok?" Waktu itu masih mahasiswa baru. Kamia dengan jaket hitam dan celana denim sama warna menanyai Denisa yang cenderung menyendiri. Duduk di pojok kelas sambil menyelipkan pelantang di telinga.
"Belum." Denisa terkesan cuek awalnya.
"Hai, aku Amanda. Berhubung pipiku tembam, dan mama tiriku bilang mirip sama Manohara, kalian boleh panggil aku Mano," sela Amanda yang duduk di kursi depan Denisa. Kamia tersenyum samar. Saking samarnya, bahkan bibirnya seperti tak bergerak.
Amanda lebih periang, tangannya dijulurkan ke Denisa dan Kamia. Begitu masing-masing menyebutkan nama, Amanda berkelakar lagi, "Kita bikin kelompok, yuk. Aku belum punya, dan aku... sedikit kesusahan sama mata kuliah Bahasa Inggris."
"Boleh." Denisa menyahut lebih dulu, yang diamini dengan anggukan Kamia.
"Eh, kita boleh gabung nggak?" Kardini menghampiri mereka bertiga sambil menunjuk aku sama Mella yang menoleh. Dia mengajukan diri dengan mengatasnamakan 'kita'—termasuk aku dan Mella di dalamnya.
Kamia awalnya diam, kemudian mengangguk dan berkata, "Boleh. Kebetulan kelompoknya harus enam orang."
"Dan... yang lain sudah punya kelompok masing-masing. Kita ini sisa." Kalimat terakhirnya, Amanda ucapkan dengan pelan.
Begitulah kami berkelompok sampai hari ini. Terbentuk karena sisa dari kelompok-kelompok di kelas. Tidak hanya pada satu mata kuliah, hampir seluruh mata kuliah di semester satu itu, kami dikelompokkan alam. Berkelompok karena harus. Bukan sekadar ingin. Tapi lama-lama harus itu berubah ingin. Ingin terus menerus bersama, saling mendukung, sampai membuat kesepakatan pencapaian bersama. Cepat wisuda!
"Kita ini orang-orang expired." Kardini yang menisbahkan pertama kali saat duduk di warung Mang Indomie. Dipanggil begitu karena si Mamang menjual mi rebus yang sering dijadikan tempat melepas lapar oleh kelompok Kedaluwarsa.
"Kalau gitu, kita namai kelompok kita expired. Gimana?" Denisa yang tidak bisa mengucapkan huruf R dengan jelas terdengar fasih dalam berbahasa Inggris.
"Nggak. Aku nggak setuju." Amanda menentang, dan berkata, "Lebih baik kita mencintai bahasa Indonesia. Jadi, kita pakai bahasa Indonesianya expired, berarti nama kelompok kita kedaluwarsa. Gimana?"
"Gue setuju sama Manda. Ini cara kita bertahan dari terpaan budaya luar yang mencoba menyisihkan budaya asli kita." Kamia seidealis itu dulu. Entah sekarang. Anak itu seperti ditelan bumi saja.
"Woy... kalian ngalamin apa yang gue alamin kagak, sih?" Pesan itu aku kirim di grup Kedaluwarsa. Kemudian kuteruskan foto yang Emak kirim tadi. "Masa Emak gue segitu putus asanya sama gue, sampai-sampai yang beginian mau dijodohkan sama gue."
Kardini menimpali lebih dulu dengan emotikon tawa. "Lu cocoknya sama Mas Ardhi, Mel."
"Mas Ardhi kagak bakal mau juga sama gue, Din."
"Gramedia sudah buka, Mel? Acaranya mulai jam berapa?" Denisa memutar kemudi obrolan kembali pada pembahasan semula.
"Sudah buka, Den. Gue sudah di dalam, lihat-lihat buku yang lagi heppening," balasku cepat. "Kalau acaranya sih, kayaknya baru mulai siang. Gue kayaknya yang kepagian datang."
"Pasti lagi menghindari Emak dan angan-angannya yang pengin lu segera dilamar." Kardini meledek seperti biasa.
"You know me so well, Din."
"Girl I need you, Girl I love you. Gue auto-nyanyi, dong. Mengenang masa-masa hitnya lagu ini. Hahaha."
"Enak banget ya, hidup lu. Kagak perlu didesak nikah. Sial banget gue." Kadang, melihat kehidupan orang lain itu sering menumbuhkan iri. Betapa enaknya kalau aku yang jadi mereka. Seperti aku yang iri dengan Kardini. Nggak perlu meladeni desakan orang tua supaya cepat menikah. Minimal punya pacar. Dia cukup pegang ponsel, mengurung diri di kamar, kemudian menjaring mangsa buat bisnis MLM-nya.
"Hidup ini enak di mulut orang, Mel. Kagak enaknya di kita."
"Good quote, Din!" Ah, Denisa turut memperkuat kubu Kardini.
"Woy, @Mella... buruan online, dong. Gue dikeroyok dua lawan satu, nih."
"Sori, Beb. Gue lagi riweh." Mella muncul dengan sebaris kalimat sebelum menghilang lagi. Dan itu membuatku malas meneruskan percakapan lintas teks. Kusimpan kembali ponsel ke tas, dan menyusuri rak khusus komik.
Dulu, yang mendekatkan Kamia sama Denisa adalah komik Jepang. Seperti aku yang dekat dengan Kardini karena dilem oleh hallyu wave, sedang Mella dan Amanda menempel satu sama lain karena pembahasan teori yang tak pernah ada habisnya.
Sebelum pindah ke rak novel, aku melewati kasir yang sedang melayani satu pembeli. Dia mengenakan celana denim hitam dengan kaus gelap yang dilapik kemeja fanel berwarna marun. Sekilas orang itu seperti Kamia kalau tanpa topi dan masker. Pasti orang itu sedang menyamar. Mungkin artis.
Mataku yang tidak terlalu lebar masih sempat menangkap warna kover yang ada di genggamannya. Sayang, mata minusku terlalu jauh buat menangkap judulnya.
Aku abaikan penglihatan barusan. Di dunia ini banyak cewek yang berpenampilan tomboi seperti Kamia. Mungkin salah satunya cewek barusan.
Sebelum sampai di rak novel, ada meja Best Seller yang menyusun beberapa judul buku. Mungkin itu yang paling dicari oleh orang. Salah satunya Tokoh yang Hilang. Kaver pastelnya menonjolkan tipografi yang ditulis menggunakan warna hitam. Kover itu persis seperti yang dibawa oleh cewek tomboi tadi.
Tiba-tiba aku menerka-nerka, mungkinkah yang baru saja kulihat itu Kamia?
Lekas-lekas aku tulis pesan sambil mengatur degup jantung yang tak keruan.
"Gaes, gue kayaknya lihat Kamia di sini, deh." Pesan itu segera dikirim tanpa membaca puluhan pesan sebelumnya.
"Serius lu, Beb?"
"Pastikan dulu, Mel. Lo beberapa kali bilang kalau lo lihat Kamia. Ujung-ujungnya zonk." Denisa membalas pesanku menuntut kepastian. Karena beberapa kali aku sering mengatakan melihat Kamia, ternyata begitu didekati bukan.
"Ini feeling gue doang, sih. Tapi baru kali ini gue nggak percaya pada pandangan tapi percaya sama feeling."
"Plis, Mel, kalau soal Kamia jangan cuma pakai feeling. Kita sudah terlalu lama mencarinya. Telepon, wa, email, akun media sosial, semuanya dia tutup. Kayak menutup akses kita buat berkomunikasi sama dia. Yang belum gue ngerti sampai sekarang, apa salah kita sampai Kamia menghindar begini?"
=======
03 Oktober 2019
Tigaraksa, Tangerang.
Selamat tidur. Dan jadikan tidurmu sebagai ibadah. 😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top