Amel-1
"Kalian tahu, gue sekarang lagi di mana?" Itu pesan yang kukirim mengawali pagi sepi di ruang obrolan Kedaluwarsa. Grup itu Amanda yang menamainya. Karena geng kami terbentuk dari sisa-sisa teman yang lebih dulu membuat geng.
"Bodo, Mel. Palingan lu lagi stand by di gedung DPR. Liputan demo." Kardini yang membalas pertama kali. Penghuni lain seperti Denisa, Mella, apalagi Amanda pasti belum online.
"Ih, najong! Gue ogah kalau disuruh liputan di tengah massa begitu. Bisa-bisa gue penyok di TKP."
"Ada yah, wartawan kayak lu. Pasti yang jadi pimred lu cepat strok entar dibantah mulu sama bawahannya." Sepertinya cuma Kardini yang punya banyak waktu untuk membalas pesan-pesanku. Anak itu benar-benar menikmati hidupnya menjadi MLM. Nggak peduli sama timbangan yang angkanya makin naik begitu dia beridiri di atasnya.
"Beruntungnya Mas Ardhi kagak segitunya. Dia always kalem kalau sama gue. Lagian, Beb, media gue majalah perempuan. Bukan majalah politik. Kagak bakal angkat berita-berita yang begonoan."
Bukan nggak mungkin memasukkan berita yang lagi tranding saat ini. Cuma, majalah tempat aku mengais rupiah tidak terlalu membesar-besarkan. Buktinya kemarin si Afini cuma setor foto-foto mahasiswi dengan sepanduk-sepanduk bertuliskan kalimat sensitif. Tinggal tugas si Puput mengulas nanti.
"Terus lu di mana emangnya?"
"Di Matraman, dong. Di Gramedia." Nyatanya aku duduk termangu di bawah JPO: Jembatan Penyeberangan Orang, karena Gramedia belum buka. Bukan karena kerajinan, tapi sudah malas meladeni Emak yang ngebet banget ngomongin menantu. Sengebet Mas Ardhi yang mau tahu siapa Wanipiro, penulis tread penuh misteri yang sempat viral selama sebulan kemarin.
"Ngapain lu pagi-pagi gini ke Gramedia?"
"Gue mau liputan si Wanipiro. Novel Tokoh yang Hilang hari ini launching. @Denisa mau titip buku kagak?" Soal baca novel, Denisa nomor satu dalam geng kami. Kedua Mella, ketiga Amanda. Aku sama Kardini cuma pemuja oppa-oppa Korea.
"Boleh, Mel. Tokoh yang Hilang masih harga diskon bukan? Kalau iya, beliin gue satu sama KKN di Desa Penari. Adik gue ngincer, tuh."
"Siap, Den."
"Tapi uangnya belakangan, yak." Sudah bisa diprediksi kalau Denisa. Sejak kuliah dulu dompetnya jarang basah oleh angka-angka rupiah.
"Santuy, Den. Eh, @Mella lu kagak mau liputan di mari? Lumayan buat naikin rating acara lu."
"Mella sibuk sama adiknya kalau jam segini, Beb."
Baru saja aku memasukkan handphone ke tas ransel cokelat yang sudah tiga tahun belakangan menjadi teman sejawat, notifikasinya muncul lagi.
"Mel, gue boleh titip pertanyaan nggak?" Itu pesan dari Denisa.
"Pertanyaan buat siapa?"
"Buat Wanipiro, masa buat Simpelman?"
"Aji gile, Den. Meski mengabaikan kuliah demi ikut audisi menyanyi, ternyata lu masih berjiwa jurnalis. Mau tanya apa lu?"
Denisa tertarik dengan dunia menyanyi sejak ikut klub panduan suara di kampus. Sampai-sampai dia sering lupa jadwal kuliah. Dan banyak mata kuliah yang nunggak karena nilainya nggak mencukupi.
"Tanyain, persisnya kampus yang dijadiin setting itu di mana? Terus tokoh yang hilang itu apakah seseorang kenalannya?"
"Eh, busyet. Gue meski mau liputan, sedikit pun belum tahu isi novel Tokoh yang Hilang. Kasih bocoran dong, Den!"
Sejak dulu aku terbiasa SKS. Sistem Kebut Semalam, bahkan kadang sejam kalau kepepet banget. Soal hari ini, sebenarnya aku sudah mengantongi beberapa pertanyaan yang disediakan Afini sejak kemarin. Dia mengertiin aku soal malas baca di layar ponsel, apalagi yang model tread.
"Gue sih, curiga. Novel Tokoh yang Hilang itu ditulis Kamia. Tapi ini dugaan gue."
"Sumpeh lu?"
"Iya. Kejadian-kejadian waktu kuliahnya mengingatkan gue ke Kamia. Waktu kita dapat tugas matkul Jurnalistik Online, kita diminta bikin blog berkonten jurnalistik. Ingat kagak lo?"
Ah, itu Matkul Pak Dendis yang kalau telat lima belas menit nggak boleh ikut kelas. Bisa saja ikut, tapi terbilang absen. Kejam, kan?
"Iya, gue inget. Waktu itu blog Kamia jadi kasus."
"Persis. Kasus sama dekan. Gara-gara Kamia membahas pencalonan dekan menjadi wali kota. Itu dibahas di novel Tokoh yang Hilang, Mel. Selain kita berenam, siapa yang tahu cerita itu?"
Kamia memang tidak banyak bicara. Ngomong sama anak kelas sepentingnya saja, tapi dengan geng Kedaluwarsa, Kamia bisa bicara sebebasnya. Walau kadang terbangun sekat-sekat tertentu yang bikin kami kesusahan menembus pola pikirnya. Termasuk soal konten yang Kamia buat tentang dekan waktu itu.
Tapi, Amanda juga jauh dari kemungkinan menjadi dalang di balik Tokoh yang Hilang. Mana ada menantu menjelek-jelekkan mertuanya. Apalagi dia sudah hidup nyaman dengan Karel, suaminya yang super tampan itu. Anak emas Pak Dekan.
"Kalau beneran Wanipiro itu Kamia, gue bakal maju paling dulu buat tanya. Ke mana saja dia selama empat tahun? Bisa-bisanya meninggalkan kuliah di waktu-waktu penting jelang skripsi. Sedang kita yang mau lulus kudu nunggu hampir DO."
"Lu sih, Mel, keasyikan kerja. Lupa sama kuliah." Kardini menimpali di percakapan teks itu.
"Lagian, Mas Ardhi bilang ijazah sudah kagak penting. Toh, gue sudah jadi karyawan tetap. Emang Ijazah kalian sekarang keguna?"
"Honestly, no," jawab Denisa.
"Apalagi gue? Cuma nyenengin Bokap-Nyokap yang idealismenya PNS. Buktinya gue gagal mulu ikut ujian PNS."
Di ruang Kedaluwarsa, pembahasan bisa melebar ke mana saja. Dan kadang tidak penting-penting banget. Kalau kata Mella, demi melestarikan persahabatan yang kadung terikat.
"Eh, Mel. Kabarin kita yak, kalau beneran Wanipiro itu Kamia."
"Pasti. Sudah dululah, gue mau sarapan. Entar asam lambung gue keburu naik."
Aku mengakhiri percakapan dengan mematikan data seluler. Kalau masih menyala, fokusku pasti terbelah, kemudian ponsel menjadi dominan.
Ketoprak menjadi pilihan untuk agenda mengganjal perut kali ini. Bukan karena ingin atau doyan, lebih dikarenakan itu makanan satu-satunya yang mangkal di depan gerbang Gramedia. Yang lain cuma jualan minuman, sedang aku butuh makanan.
Menunggu si Mamang mengulek kacang dengan berbagai keluarga ketroprak, seperti ketupat, tahu, sayuran, dan mihun, aku seperti flashback zaman tugas mata kuliah Jurnalistik Televisi.
Amanda seperti mengepalai kami secara alamiah. Mungkin karena sifat keras yang didukung kecerdasannya, menjadi satu kesatuan dengan Kamia. Dua orang itu kalau sudah satu kelompok, kelas menjadi cetar membahana pembahasannya. Kamia hobi baca, terutama nonfiksi, apalagi berita. Itu seperti konsumsi sehari-hari.
Dalam tugas mata kuliah Jurnalistik Televisi kami berenam berada dalam satu kelompok. Mencari berita sungguh-sungguh berita. Prinsipnya seperti yang dikatakan Pak Nanang, "Manusia digigit anjing itu biasa, tapi kalau manusia gigit anjing ini baru berita."
Kalau kata Kamia, "Lihat segala peristiwa dari sudut pandang berbeda kalau mau dijadikan berita."
Sedang Amanda pandai mengait-ngaitkan sesuatu dengan banyak hal, dan hebatnya bisa diterima nalar. Kalau membuat makalah, buku apa saja bisa Amanda jadikan referensi yang syaratnya minimal lima buku per makalah. Yang penting bukan novel, Amanda pasti bisa jadikan sebagai rujukan.
"Neng, ketropaknya."
"Makasih, Mang!" Aku tersenyum menyambut santapan pagi ini.
Zaman kuliah dulu, makan di pinggiran seperti tidak pernah sendiri. Seminim-minimnya berdua atau bertiga, tapi kami lebih sering berenam.
"Nggak boleh ada yang lapar di antara kita." Begitu kelakar Amanda yang memastikan satu makan, yang lain juga. Sistem bayarnya sumbangan.
Berapa pun uang yang dimiliki, bersama kami pasti bisa makan, bisa kenyang. Dan yang sering mengeluarkan uang sejumlah besar memang Amanda sama Kardini. Kadang Kamia. Yang lain sumbangannya recehan.
Ah, masa-masa itu membuatku rindu. Rindu diskusi sampai tegang-tegangan sehabis itu traktiran.
"Mang, biasanya jam berapa Gramedia bukanya?"
"Jam sembilan, Neng."
Oh, sebentar lagi berarti. Arloji di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 08.41.
Kamia, aku akan menangkapmu!
=============
01 Oktober 2019
Tigaraksa Tangerang
Menulis ini sambil lihat-lihat daftar mata kuliah zaman kuliah.
Ingat, cerita ini dua kali sehari. Eh, salah. Dua hari sekali update-nya. Jangan bosan dapat notif dari aku, yah. 😘😘😘
Wardah T.
FB: Wardah Toyibah
IG: Wardahfull
Twitter: wardahfull
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top