9 | Melodi dan Kebaikan Hatinya
ENTAH apa yang salah dengan hari Senin. Rasanya setiap Senin pagi, persendian Nura begitu sulit digerakkan. Malas mengambil kendali jiwa dan tubuhnya sehingga yang Nura ingin hanya tiduran di atas tempat tidur. Seusai shalat subuh Nura kembali tertidur sehingga berakhir bangun kesiangan.
Dengan napas sedikit memburu, Nura berhenti di tempat biasa. Agak terkejut saat melihat Sahal masih berdiri di sana padahal hanya tersisa lima belas menit menuju pukul tujuh. Sebentar lagi gerbang ditutup dan upacara bendera segera berlangsung.
"Lo ke-kesiangan juga?" tanya Nura dengan napas putus-putus.
Bola mata Sahal kontan berputar. "Enggak ada angkot lewat dari tadi," tukasnya. Padahal sebenarnya ia memang sengaja melewatkan beberapa angkot yang lewat hanya untuk pergi bersama gadis di sampingnya itu.
"Masa, sih?" Nura menegakkan tubuhnya yang semula membungkuk. Melirik Sahal sejenak sebelum meliarkan gerak bola matanya guna mencari keberadaan angkutan umum. Namun, netranya justru menangkap sebuah motor matic merah melaju dan kemudian berhenti tepat di hadapannya.
Sahal yang tahu siapa pemilik motor tersebut refleks menghela napas. Selagi iris pekatnya berputar ke arah Nura, gadis itu tampak terkejut begitu Virga menaikkan kaca helmnya. Sahal sadar kalau hari ini, keputusannya menunggu Nura adalah salah.
"Bareng, ayo!" titah Virga. Memberi isyarat agar Nura menempati jok di belakangnya.
Sekilas, Nura melirik Sahal yang tampak mematung dengan ekspresi datar andalannya. Merasa tak enak meninggalkan teman sebangkunya itu.
Kendatipun kecewa juga cemburu, Sahal tentu saja tidak ingin Nura dihukum berdiri di depan peserta upacara gara-gara datang terlambat. Alhasil, akhirnya ia memberi isyarat kepada Nura untuk mengambil posisi di belakang Virga.
"Deptil aja, yuk!" ajak Nura seraya menarik lengan sweater abu-abu yang Sahal kenakan.
Kening Sahal berkerut.
"Dempet tilu, elah! Udah mau jam tujuh ini. Nanti lo kesiangan."
Mendengar itu, Sahal berdecak. Sementara Virga tersenyum miring di tempatnya.
"Gue ini tipe taat aturan, asal tahu aja." Mendorong tubuh Nura guna mendekat ke arah motor Virga, Sahal kemudian mengalihkan tatap ke arah ujung jalan. Mencari keberadaan angkutan umum.
Taat aturan apa? Kemarin dia manjat dinding juga buat ikut kabur sama gue. Nura tak sempat lagi melihat raut wajah Sahal sebab Virga langsung melajukan motornya, sedetik setelah tubuhnya terhempas di belakang sosok itu.
"Mulai besok, kita berangkat barengan aja. Bisa? Gue jemput lo di tempat tadi nanti."
Sesaat Nura larut dalam kelu. Berpikir barangkali fungsi pendengarannya sedang dalam kondisi error. "Gimana, Vir?" tanya Nura memastikan. Selagi debaran aneh dalam dadanya lagi-lagi beraksi. Bersama Virga ia selalu merasa begitu melayang.
Menaikan kembali kaca helmnya, Virga mengulang kalimat yang sama. Yang kemudian mendapat anggukan setuju dari gadis yang kini duduk di belakangnya.
Senyum Nura masih saja mengembang bahkan saat motor Virga memasuki area parkir sekolah. Masih ada tiga menit sebelum bel masuk berbunyi. Tiba-tiba saja, ia ingat dengan Sahal. Mungkin laki-laki sedingin salju itu benar-benar akan datang terlambat.
"SOAL pembulian Yara, lo kok enggak bilang?"
Usai membubarkan diri dari barisan upacara dan berjalan menuju kelasnya, Melodi tiba-tiba saja datang menghampiri. Melontar tanya yang membuat bahagia dalam hati Nura mendadak layu. Muram seketika melukis diri di balik wajah manis gadis itu. Sampai sekarang, Yara belum mau kembali bersekolah dan Nuryani juga tidak diperbolehkan berjualan seperti biasanya.
"Lo tahu dari siapa?" Alih-alih menjawab, Nura justru balik melempar tanya.
"Sahal cerita ke gue." Seluruh murid sudah masuk ke kelas masing-masing, menyisakan Nura dan Melodi di depan pintu masuk kelas Nura.
Sepintas Nura melirik ke dalam kelas. Agak terkejut saat melihat Sahal sudah duduk anteng di dalam. Entah bagaimana caranya laki-laki itu bisa lebih dulu sampai di kelas padahal jelas-jelas ia datang lebih dulu ke sekolah.
"Keliatannya aja dingin dan enggak banyak omong. Tapi, ternyata dia ember juga ke lo tentang masalah gue." Nura berdecak. Kembali menatap Melodi di hadapannya. Bukan apa-apa, ia hanya tidak suka seandainya harus merepotkan Melodi. Terlebih-lebih Melodi ini tipe setia kawan dan tidak suka melihat sahabatnya kesusahan.
"Tapi, bagus gue tau. Nanti gue bilang ke bokap biar Yara bisa sekolah di SD Hansa, terus nyokap lo juga jualannya di kantin sekolah kita aja." Sekilas, Melodi menatap gelang yang melingkar di pergelangan tangan Nura. Ia baru ingat kalau gelang yang Sahal pakai sama seperti gelang milik Nura.
Melihat gelang tali itu, mendadak Melodi curiga kalau Nura dan Sahal mempunyai hubungan khusus. Namun, cepat ia menepis pikiran negatif itu. Lagi, seingatnya Nura pernah cerita kalau gadis itu punya orang yang didamba sepanjang hidupnya. Melodi tidak tahu siapa itu, tetapi ia yakin kalau itu bukan Sahal.
"Tapi, Mel ...."
"Udahlah, gue enggak suka ya, lo bersikap kalo gue ini bukan siapa-siapa buat lo."
Setelah berkata demikian, Melodi berlalu. Meninggalkan Nura yang kemudian memilih untuk melangkah masuk ke dalam kelas. Jujur, ia merasa tak nyaman dengan semua kebaikan Melodi. Akan tetapi, setidaknya ia bisa bernapas lega kali ini.
"Lo kok udah di kelas aja? Gak ikut upacara, kan, lo?" tuduh Nura selagi tubuhnya terempas di samping Sahal.
"Bukan urusan lo!" ketus, Sahal menjawab.
"Lo itu ketua OSIS, harusnya jadi suri tauladan yang baik buat yang lain." Sambil mengeluarkan buku-buku jam pelajaran pertama hari ini, Nura berujar. Sesekali ia melirik Sahal yang tampak fokus dengan bukunya tanpa ingin merespons kalimatnya sama sekali.
"Jangan-jangan lo sebenarnya keturunan penyihir, terus punya mantra teleportasi. Iya? Atau lo punya kantong ajaib Doraemon? Lo bisa langsung muncul di sini gara-gara lewat pintu ke mana aja? Atau ...."
"Fantasi aja lo." Sahal berdecak seraya mendaratkan ujung penanya ke kepala Nura.
"Abisan, lo aneh tahu. Kok bisa lebih dulu ada di kelas? Terus tadi juga gak keliatan ikut upacara." Mengusap kepalanya yang jadi sasaran pena Sahal, Nura nyerocos. Sedikit cemberut.
Sementara Sahal tak ingin lagi merespon semua kalimat Nura sebab salam pengajar mulai terdengar. Hari ini ia cukup beruntung karena bertemu dengan Yosa di jalan tadi. Ayah Melodi yang juga pemilik SMA Hansa itu kemudian mengantarnya hingga sekolah, memberinya akses masuk kendati ia datang terlambat. Dengan alasan ada yang perlu dibicarakan, kemudian pria seusia ayahnya itu membawanya ke ruang guru.
SELESAI jam pelajaran terakhir, Sahal melihat Virga datang ke kelasnya. Dengan mantap, ketika kelas mulai kosong Virga masuk ke dalam kelas, berdiri tepat di samping meja Nura. Lagi, untuk ke sekian kalinya ia melihat saudara tirinya itu mengajak Nura jalan bersama.
Kesal dan cemburu sisa tadi pagi masih tertinggal dalam dada Sahal. Sebabnya dalam satu gerakan saja, Sahal bangkit. Derit kursi dan meja cukup keras terdengar. Lantas laki-laki pemilik lesung pipi itu berjalan tergesa keluar ruangan dan menutup pintu dengan tambahan sedikit tenaga dalam. Seluruh pergerakan Sahal tentu mengundang kerut bingung di dahi Nura. Sementara Virga hanya tersenyum puas di tempatnya.
"Lo kenapa?" Begitu beberapa langkah kakinya meninggalkan kelas, pertanyaan Melodi adalah hal yang menyambut Sahal kemudian. Dengan cukup rinci, gadis itu mengamati raut Sahal yang tampak tak seperti biasanya. Kali ini, ekspresi datarnya tampak dihiasi aura negatif.
"Enggak apa-apa."
"Bokap udah ngobrol sama lo, 'kan?" tanya Melodi.
"Hm."
"Terus bilangnya gimana?" Cukup tak sabar Melodi bertanya.
"Gue mungkin harus pindah ke Bandung. SMA Hansa di sana ada asrama. Gue bisa tinggal di sana."
Begitu kalimat itu menembus gendang telinga, Melodi sesaat membisu. Jelas saja, ia tidak ingin Sahal jauh-jauh darinya. Sejengkal pun Melodi tidak akan rela melepas Sahal pergi. Namun, Melodi tidak ingin egois. Jika dengan begitu Sahal bisa jauh lebih aman, Melodi mau tidak mau harus sepakat dengan saran ayahnya.
"Tapi, gue enggak mau." Akan tetapi, kalimat Sahal membuat salah satu alis Melodi terangkat. "Ada banyak hal penting yang enggak bisa gue tinggal di sini." Salah satunya ...
"Kalian belum pulang juga?"
... Nura. Orang yang beberapa hari terakhir ini berhasil mengalihkan semua dunia yang dimilikinya.
Cemburu hinggap di dada Virga kini. Selalu, melihat Sahal dekat dengan gadis yang dicintainya membuat emosinya sukses meletup-letup. Terlebih-lebih ketika Melodi dengan begitu lembut mengaitkan lengannya di lengan Sahal. Akrab. Dekat. Sebuah hubungan yang begitu ingin ia jalin juga dengan gadis itu.
"Gue sama Sahal mau pulang bareng. Lo mau ikut?" tawar Melodi.
"Dia bareng gue, oke?!"
Seketika Nura melirik Virga begitu jawab dari pujaan hatinya itu menjawab tanya Melodi. Kemudian ia merasa sela-sela jemarinya dilengkapi oleh jemari Virga. Saat itu, jantungnya terasa meledak. Sesaat jiwanya begitu melayang, terbang bebas di antara indahnya gemawan di horizon sana.
"Oh, ya udah kalo gitu." Sebelum menarik Sahal menjauh, Melodi sempatkan diri untuk melirik pergelangan tangan Nura dan Sahal silih ganti. Lagi, ia ingin berpikir positif tentang hubungan Sahal dan Nura. Tapi, muram yang tercoret di wajah tampan Sahal begitu melihat manisnya perlakuan Virga kepada Nura, membuat putri tunggal pemilik Hansa Groups itu cukup peka dengan semuanya.
Tak hanya Melodi, kejadian ini membuat Sahal juga Virga sadar kalau cinta mereka sama-sama bertepuk sebelah tangan.
Bandung, 21 Oktober 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top