8 | Pesona yang Tak Main-main

| GUE ketemu Om Fedrik.

Sahal tidak bisa tidur. Ia terjaga hingga subuh ini. Semalaman gelisah merundungnya tanpa ampun. Jujur saja, hatinya cukup gentar dengan ancaman yang Fedrik berikan. Sebab kembali ke rumah sang ayah adalah sesuatu yang cukup mengerikan ketimbang melihat adegan berdarah-darah dalam film thiller. Setiap kali kilas balik kejadian yang telah lalu membayang dalam kepalanya pun, terkadang membuat dadanya terasa begitu sesak.

Setelah memastikan pesannya terkirim, Sahal terpejam lama. Sebenarnya, cukup berat ketika lagi dan lagi mesti melibatkan orang lain dalam permasalahan yang ia hadapi. Namun, Sahal sadar bahwasanya ia tak setangguh itu untuk menghadapi orang-orang seperti Fedrik dan juga ayahnya. Sebabnya satu-satunya jalan hanya ...

Hansa Melodi
| Serius? Kok bisa?
| Ketemu di mana?

... meminta bantuan sahabat sejak SMP-nya, Melodi. Tepatnya, berlindung di balik kekuatan dan kekuasaan Yosa Hansa, ayahnya Melodi.

Hansa Melodi
| Ketemuan hayu!
| Gue tunggu di sekolah.

Sahal belum selesai mengetik pesan balasan saat pesan itu menyusul masuk ke room chat-nya. Ini hari libur, Sahal tidak mengerti kenapa putri tunggal pemilik SMA Hansa itu justru mengajaknya bertemu di sekolah. Namun, urung bertanya lebih jauh, Sahal hanya mengiyakan saja.

| Oke.
|Read

Hansa Melodi
| Ruang musik.

Kenapa ruang musik pula? Jika itu bukan Melodi, Sahal ingin saja protes.

Penat membuatnya tak lagi berniat membalas, Sahal melempar asal ponselnya ke atas tempat tidur. Lantas tubuhnya ikut menyusul, terempas di atas singel bed-nya yang—walaupun tak seempuk tempat tidur di kamarnya dulu—tetapi terasa jauh lebih nyaman. Sejenak ia mengangkat salah satu tangannya, menatapi gelang pemberian Yara dengan sendu.

Gundah perlahan meredup dalam dada Sahal. Kembali laki-laki dengan tinggi 185 cm itu menurunkan tangannya. Selagi kantuk mulai menggantung di peluk mata. Nyaris saja mata Sahal tertutup saat ...

"Virgaaaa, itu temennya nunggu di bawah!"

... suara Risti menembus dinding kamar kemudian menyentuh indra pendengarannya.

Entah dorongan dari mana, mendadak Sahal penasaran siapa teman Virga yang Risti maksud. Sebabnya, laki-laki bertubuh tinggi itu mengangkat sedikit kepalanya, mengintip dari balik jendela kamar guna memastikan. Saat itu juga hatinya mencelos tatkala sosok yang ia kenal jelas kini tengah berdiri di depan pintu rumah, menunggu Virga.

"Nura?"

MELODI Hansa. Gadis cantik bergigi kelinci itu sesaat menghentikan permainan gitarnya kala sosok yang sedari tadi ditunggunya mulai terlihat. Sahal dengan sweater abu-abu favoritnya tampak berjalan masuk ke dalam ruang musik, memangkas jarak sebelum mendudukkan diri tepat di hadapannya.

"Kenapa ruang musik?" pertanyaan itu lolos. Seperti biasa, ekspresi Sahal selalu terasa lebih dingin dari udara pagi.

Melodi mengangkat bahu. "Mungkin gue kangen lihat lo main gitar," celetuk gadis itu. Ia mengetuk-ngetuk badan gitar. Menyampaikan isyarat agar Sahal mau mengambil alih alat musik itu dari kuasanya.

Sahal menggeleng singkat. Mengundang kecewa tergurat di wajah cantik Melodi. Melodi hafal betul kalau dulu Sahal begitu suka dengan musik, terlebih bermain gitar. Namun,  kali ini laki-laki itu seperti enggan lagi mencium segala sesuatu berbau nada dan melodi.

"Jadi, apa yang Om Fedrik bilang?" Membenarkan posisi gitar di pangkuannya, Melodi kemudian melepas tanya. To the point sebab begitu penasaran.

"Dia bilang, Papa bakal ngehadiahi Hadi's Mall untuk siapa pun yang berhasil nemuin gue."

Mendengar hal itu, mata indah Melodi kontan membulat. "Serius?" Melodi tahu mungkin kehilangan Hadi's Mall itu bukan perkara besar buat keluarga Sahal. Namun, tetap saja ia tidak tahu apa maksud Aryan melakukan hal ini. Entah benar-benar merasa kehilangan Sahal, atau justru karena tak ada lagi yang bisa pria itu jadikan mainan.

"Gue mungkin benar-benar bakal berakhir kali ini." Lesu, Sahal menunduk. Menatapi kuku-kuku tangannya yang agak berwarna biru.

"Gue bakal bicarain masalah ini sama Papi. Tapi, omong-omong lo kenapa bisa sampai ketemu Om Fedrik gitu? Ketemu di mana?" Kembali Melodi bertanya. Netranya sedikit melirik ke arah pergelangan tangan Sahal yang kini dihiasi gelang tali. Ia merasa seseorang pernah mengenakan gelang yang sama.

Sahal sebenarnya enggan bicara banyak hal. Sebab, selain memang malas untuk itu, ia juga sedang berusaha menghemat tenaga hari ini. Sejak kemarin, kondisinya tak jua memulih. Pleuritis-nya mungkin sudah tidak lagi mengganggu, tetapi demam dan rasa pening masih saja iseng bermain-main di tubuh ringkihnya itu.

Akan tetapi, merasa tak enak pada Melodi yang mau berbaik hati melindunginya, akhirnya Sahal pun menceritakan semuanya dari awal.

"GUE lebih suka aja, sih, jajanan pinggir jalan gini."

Entahlah, bagi Nura segala hal yang Virga miliki itu selalu tampak spesial di matanya. Bahkan bagaimana cara dia menikmati kupat tahu di pinggir jalan saja terlihat begitu memesona dalam pandangan Nura. Tak masalah bahkan jika latar mereka bukan kafe mewah berhias romansa. Karena wajah Virga saja sudah lebih indah dari sekadar hiasan artifisial.

"Lo enggak masalah, kan, makan makanan kayak gini?" Kembali Virga memasukkan suapan terakhirnya. Menatap Nura dengan serius.

Rencananya hari ini mereka akan mengumpulkan materi untuk majalah perdana mereka. Namun, karena berangkat terlalu pagi dan tak sempat menyicip sarapan, akhirnya Virga mengajak Nura makan terlebih dahulu.

"Enggaklah, gue juga sering borong jajanan kayak gini. Yang paling gue suka itu, ya. Batagor kuah, cireng bumbu, seblak ceker, cakue, cilok aci, pokoknya banyak banget, deh!"

Mendengar hal itu senyum lebar Virga tergurat, dan Nura meleleh dibuatnya.

"Lucu banget, sih, lo." Gemas, Virga mengacak poni rambut Nura. Membuat rona merah seketika melukis diri di pipi gadis itu. Jiwa Nura semakin melambung.

"Lagian, lo tahu enggak? Cowok ganteng kalau jajan di pinggir jalan itu, gantengnya nambah lima puluh persen," cetus Nura kemudian. Berusaha mengendalikan kegugupan.

"Masa, sih? Menurut lo gue ini ganteng?"

Ganteng banget, Ya Allah. Masa sih lo enggak nyadar? Jerit histeris Nura bertabuh ramai dalam kepala. Gadis itu mengangguk singkat. Malu-malu.

"Omong-omong, lo sama si Ketua OSIS jadian, ya?" Melupakan jawaban Nura, Virga melempar tanya lain.

"Enggak, kok. Enggak!" Nura menggelengkan kepala cepat. Tidak ingin ge-er sebenarnya. Tapi, sikap dan pertanyaan Virga membuatnya merasa kalau Virga menyukainya juga.

"Kenapa? Kalian cocok, kok."

Nura menyelesaikan makanannya. Meminum teh hangat miliknya hingga tandas. "Haha, enggaklah ... Sahal, kan, bukan tipe gue. Kita serius cuma temenan doang."

"Hm, baguslah. Seenggaknya dia enggak harus milikin semuanya."

Salah satu alis Nura terangkat. "Maksud lo?"

"Virga?"

Melupakan jawaban Virga, tatap Nura beralih ke arah sumber suara. Begitu pula dengan Virga. Seorang gadis cantik dengan ransel berwarna merah berdiri di hadapan mereka kini.

"Lo enggak ke sanggar?" tanya si gadis

"Enggak dulu kayaknya. Gue ada urusan." Laki-laki blasteran Indonesia–Amerika itu melirik Nura sekilas.

"Sama dia?" Gadis dengan sketchbook di tangannya itu menunjuk Nura dengan dagunya. Virga mengangguk.

Saat tatap Nura beradu dengan mata bulat gadis itu, ia mencoba mengulas senyum. Namun, tatap sinis dari si gadis membuat senyum Nura kembali terkulum dalam mulut. Dalam hati, ia merutuk. Gadis itu memberikan kesan yang buruk di pertemuan pertama mereka.

"Yaudah, gue cabut dulu, Din." Virga bangkit. Menyampirkan ranselnya. Lantas setelah memberikan bayaran kepada penjual kupat tahu, dalam satu gerakan ia menarik tangan Nura. Berjalan meninggalkan gadis bernama Andini itu.

Nura sedikit terseok mengikuti langkah Virga yang lumayan cepat. Melupakan sikap jutek gadis tadi, Nura malah sibuk dengan debaran jantungnya yang menggila. Tatap itu kini terfokus pada tangannya yang melekat kuat dengan tangan Virga.

Pokoknya gue gak mau cuci tangan sampai besok.

Bandung, 08 Oktober 2020


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top