6 | Tembok Belakang Sekolah
"MENURUT Ibu, apa Nura cari kerja sampingan aja, ya?" Sambil menata barang dagangan yang hendak ibunya jual di atas roda, Nura berujar. Beberapa hari terakhir ini sop buah yang ibunya jual sering sisa banyak lantaran anak-anak lebih memilih makanan hangat di musim penghujan seperti ini.
"Sekolah aja yang bener. Gak usah mikir-mikir buat kerja. Lagian, Teteh juga mau kerja apa atuh? Cari kerjaan tuh susah, apalagi di kota besar seperti ini."
Nura tak lagi bersuara. Gadis yang sudah lengkap dengan seragam sekolahnya itu memilih untuk mendudukkan diri di samping ibunya. Memperhatikan si ibu yang begitu terlatih menggunakan pengerok buah.
Setelah ayahnya meninggal, Nura tahu kalau kehidupannya tidak seperti dulu lagi. Kendati tidak hidup dalam kemewahan seperti Melodi, tetapi semasa ayahnya masih hidup, kehidupan Nura tidak sesulit saat ini. Ibunya tidak mesti banting tulang untuk membiayai kebutuhan hidup mereka.
"Yara lebih suka tinggal di Bandung. Sama Abah sama Emak di sana, Ibu kan enggak usah kerja keras gini." Yara, adik satu-satunya Nura tiba-tiba nimbrung. Ia berjalan menghampiri Ibu dan kakaknya. Sama seperti Nura, gadis kecil itu sudah siap dengan seragam merah putihnya.
"Kalau kita tinggal di Bandung, rumah peninggalan Bapak ini siapa yang mau urus? Lagian, numpang terus sama Abah juga kan enggak enak," sahut Nuryani seraya membereskan pekerjaannya.
"Tapi, temen-temen di sini tuh jahat-jahat. Yara enggak suka."
"Udah ... udah. Jangan banyak ngeluh. Nanti rejekinya makin Allah kurangi." Nura menarik Yara untuk bangkit dari duduknya. Lantas bersamaan mereka membantu Nuryani mendorong roda ke SD tempat Yara bersekolah, seperti biasa. Setelahnya, Nura baru bisa berangkat ke sekolahnya.
Kadang, Nura suka berandai seandainya hidup yang ia lakoni seumpama dunia sihir Harry Potter, yang segala sesuatu mungkin bisa diselesaikan hanya dengan mengucap mantra. Nura ingin Ibu dan Yara tak lagi bersedih hati.
"SAHAL Hadi!" Nura menepuk lengan Sahal yang tengah berdiri di tempat mereka biasa menunggu angkutan umum.
Tak ada respon berarti dari Sahal. Tak ingin melirik Nura barang sekejap, Laki-laki kelahiran 5 Desember itu berusaha menyetop angkot yang melintas. Tak seperti biasanya, ia masuk lebih dulu. Mengambil tempat duduk paling ujung.
Melihat sikap ketus Sahal, kernyit dalam bermunculan di kening bersih Nura. Biasanya teman sebangkunya itu selalu menyuruhnya naik lebih dulu. "Kenapa, sih? Masih sakit?" tanya Nura saat tubuhnya terempas tepat di samping Sahal. Ia ingat kalau kemarin Sahal sempat sakit, tergolong parah malah, tetapi hari ini laki-laki itu sudah berani masuk sekolah.
"Enggak usah sok peduli kalau ujung-ujungnya ninggalin juga," ketus Sahal selagi netra sepekat malamnya berotasi, kemudian stuck pada keadaan di luar jendela angkutan kota. Keadaan ramai Ibu Kota padahal bumi baru saja membuka mata, sungguh seiras dengan suasana hatinya.
Butuh beberapa saat untuk Nura peka dengan kalimat Sahal. Sampai di sekon berikutnya, gadis penyuka Harry Potter itu menepuk pelan keningnya. "Ya ampun, lo ngambek gara-gara kemarin gue tinggal di UKS?!" Pekikan suara Nura cukup mengundang perhatian beberapa penumpang yang lain.
"Enggak!" sanggah Sahal.
"Hm ... bohong, tuh. Bohong!"
"Berisik!" Pipi ber-dimple itu merona tiba-tiba. Ditatap oleh cukup banyak pasang mata membuat Sahal salah tingkah.
"Jadi ceritanya ada yang kecewa gara-gara gue tinggal ini?" goda Nura tanpa peduli dengan orang-orang di dalam angkot yang mulai menaruh perhatian pada dirinya dan Sahal. Sebagian ada yang ikut senyum-senyum. Sebagian ada yang hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah kedua pasangan remaja itu.
Tak ingin lebih jauh menanggapi ocehan Nura, Sahal berusaha menurunkan fungsi pendengaran dengan pura-pura mengotak-atik ponsel. Tak ingin mendengar semua kalimat Nura lagi.
"UDAH, dong. Ngambeknya." Dengan ujung telunjuk, iseng Nura menekan gemas pipi Sahal. "Senyum, dong. Biar peletnya keliatan," kekehnya kemudian. Sahal itu jarang sekali tersenyum, tetapi sekalinya tersenyum terus lesung pipinya kelihatan, gadis mana pun pasti terpesona.
Sahal berdecak, tetapi sama sekali tidak keberatan kala telunjuk Nura bermain-main di pipinya. Ketua OSIS SMA Hansa itu tetap anteng menikmati susu almond favoritnya. Mengabaikan segala tingkah gadis manis, yang sayangnya agak abnormal di sampingnya saat ini.
Sejak di angkot sampai jam istirahat ini hendak berakhir, Nura masih saja membahas perihal kejadian di UKS kemarin. Memang, Sahal agak kecewa ketika tahu kalau Nura tak ada di sampingnya ketika ia membuka mata. Namun, Sahal lebih kecewa ketika Melodi bilang kalau Nura meninggalkannya untuk pulang bersama dengan Virga.
"Iya, gue tahu gue salah udah ninggalin lo gitu aja di UKS kemarin. Gue minta ma—-eh." Nura mengambil benda pipih di dalam saku seragamnya, saat merasakan getaran panjang di sana.
Panggilan dari Nuryani.
Sesaat Sahal mengubah pandang pada sosok di sampingnya. Gadis bernama lengkap Nura Komala itu tampak serius mendengarkan suara di balik speaker ponsel. Sesekali raut wajahnya berubah. Antara sedih dan marah. Tanpa mengalihkan perhatian, Sahal tahu kalau pembicaraan yang sedang terjadi via telepon itu bukan ...
"Gue harus segera pulang!"
... sesuatu yang baik. Hal buruk pasti sudah terjadi.
"Ada apa?" Memadamkan rasa kecewanya pada Nura, Sahal melempar tanya. Ikut cemas dengan gelagat yang Nura tunjukkan.
"Yara jadi korban bullying di sekolahnya. Kata Ibu dia sampai dipukuli." Dalam satu gerakan, Nura memasukkan alat-alat tulis di atas meja dengan brutal ke dalam tasnya. Lantas cepat berlalu, meninggalkan kelas yang masih kosong sebab anak-anak belum kembali dari kantin.
Melihat hal itu, Sahal turut bangkit. Mengekori langkah cepat Nura. "Yara siapa?"
"Adik gue. Bantu gue minta surat izin. Kalo gak dikasih gue bakal—-"
"Lewat sini!" Belum sempat Nura menyelesaikan kalimatnya, Sahal sudah menarik tubuhnya menuju area belakang sekolah. "Lo bisa manjat dinding?" Kemudian kedua langkah kaki siswa SMA itu berhenti tepat di balik benteng sekolah yang lumayan tinggi.
"Hah? Lo kira gue Spiderman apa?" Nura memekik, tidak menyangka ketua OSIS seperti Sahal mengarahkannya pada hal negatif seperti ini.
"Sini!" Sahal berjongkok, menepuk pundaknya sebagai isyarat agar Nura menginjaknya agar bisa melewati dinding pembatas. "Buruan! Gue ini cukup tinggi."
"Gue berat tahu." Keraguan jelas kentara dalam nada suara Nura. Namun, ia kemudian menurut kala tatap tajam Sahal menikamnya. Alasan kenapa Sahal mau membantunya sampai sejauh ini, akan Nura pikiran nanti. Sekarang yang penting ia harus segera menemui Ibu dan adiknya.
Bandung, 18 Mei 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top