43 | Berakhir Di Sini Saja
Sambil menenteng sebuah gitar, Nura berjalan menghampiri Sahal. Turut mendudukkan diri di atas rumput sintetis halaman belakang rumah. Kesibukan Roman dan Virga yang tengah membangun sebuah tenda, langsung Sahal lupakan. Atensi laki-laki berlesung pipi itu sepenuhnya teralih kepada si gadis imut yang kini duduk di sampingnya.
Sebab rencana piknik mereka gagal lantaran kesehatan Sahal kembali memburuk. Dan tak juga membaik nyaris selama seminggu ini, mereka akhirnya memutuskan untuk melakukan kemping di halaman belakang rumah.
Sempat kecewa, tetapi pada akhirnya Sahal setuju.
"Mau dengerin gue nyanyi?" tanya Nura. Ia membenarkan posisi gitar dalam pangkuannya saat Sahal mengangguk kecil pertanda setuju. "Gue masih belajar, sih. Jangan diketawain, ya?"
"Hm ..." Sahal kembali mengangguk.
"Kata Melodi, lo jago main gitar. Jadi, mungkin permainan gue agak kacau ka——"
"Gue mau dengerin Lo nyanyi, bukan dengerin lo ngebawel." Sahal enggan membahas hal itu. Dia pernah suka dengan musik dan gitar. Namun, sekarang itu hanya kenangan buruk untuknya. Ah, kalau dipikir lagi, hidupnya memang hanya penuh dengan kenangan buruk.
Bukan tersinggung, Nura justru nyengir lebar mendengar komentar Sahal. Khas Sahal sekali. Sudah lama Nura tidak melihat Sahal yang ketus dan dingin seperti sekarang.
I wake up
Hearing in my ears
I heard your voice calling
and crying for my love
I don’t know why you are crying out so loud
Even from far away
I am there with you.
Nada mengalun. Walau tak begitu bagus, tetapi ketulusan yang Nura lagukan membuat udara pun larut dalam syahdu. Senyum Sahal tergurat lemah. Bukan tak bahagia, tetapi rasanya tak tega sebab kenyataan tetap akan menolehkan luka pada akhirnya.
Please do not turn away
Don’t ignore my crying sound
Even if my childish tears is nothing to you but
Please do not go away
Don’t leave me all alone
I need all the love you
that you can give me.
Kenyataannya kebahagiaan mereka hanya sebuah fatamorgana. Sesuatu yang palsu dan dibuat-buat. Kendati jiwa mereka meronta ingin saling memiliki. Bersama untuk cinta yang agung, tetaplah semesta tiada akan pernah bisa mendukung mereka.
I wake up
Hearing in my ears
I heard your voice call——
"Nura ... Kita akhiri saja semua ini."
Gerak tangan Nura terhenti seiring nada dan rima yang turut terputus sendu. "Gi-gimana?" tanya Nura berusaha mencerna.
"Hubungan kita. Kita udahi kebersamaan ini."
Air mata Nura langsung saja menggenang, siap tumpah tatkala susunan kalimat itu terucap. "Kenapa?"
Sejak awal hubungan mereka salah. Keduanya sudah tahu itu, harusnya mereka tak egois dan menyalahi segala kehendak. "Gue ... Mau pergi piknik lebih dulu." Lantas Sahal mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. "Buat Lo."
Mata Nura agak melebar melihat buku bersampul biru dan hitam itu. Itu buku puisi miliknya. Di sana tertuang begitu banyak puisi tentang Virga. Seingatnya selepas berputus untuk melupakan Virga selamanya, ia sudah membuang buku itu. Tak ia sangka buku itu akan berakhir di Sahal.
"Gue ... Ngerti." Nura menyimpan asal gitar di sampingnya. Tak lagi tertarik untuk melanjutkan nyanyian yang belum khatam. Mendadak jiwanya rapuh dan melebur. Ia tatap hampa kegiatan di hadapannya. Tenda yang Virga dan papanya bangun sudah tampak kokoh. Berbanding terbalik dengan kehidupannya yang mendadak roboh.
"Suatu saat Lo pasti dapat yang terbaik."
"Lo yang terbaik, Sahal."
"Tapi gue bukan orang yang tepat. Walau bagaimana pun gue itu ..." Sahal menatap Nura dengan sayu. Ia merasa begitu lelah, kendati sedari tadi hanya duduk dan tak melakukan aktivitas apa pun. "... Adik Lo."
***
"Ini apa, Tante?" tanya Melodi selepas menyimpan satu puding cokelat di atas meja rendah di teras belakang rumah. Ia mengambil sebuah kartu nama yang tergeletak asal bersama beberapa berkas kerja milik Risti di atas meja.
Seraya menyimpan satu nampan berisi teko dan beberapa gelas, Risti menoleh ke arah objek yang Melodi tunjukkan. "Oh, itu. Kartu nama Dokter Gilang. Psikiater rekomendasi Oma Titi," jelas Risti. Sehari selepas Sahal pingsan, besoknya Titi kembali ke rumah, memberi kartu nama dan menyuruhnya untuk mendatangi alamat psikiater yang tertera di kartu itu.
Wajah Melodi mendadak muram. Sekilas gadis itu melirik Sahal dan Nura yang berada cukup jauh dari posisinya. Lantas kembali menatap Risti yang tengah menata beberapa camilan di atas meja, seusai membereskan berkas-berkas yang semula ada di sana. "Bukannya lebih baik nyoba ke psikolog dulu, ya, Tan?"
"Iya, pas kemarin ketemu, Dokter Gilang juga bilangnya gitu." Risti membenarkan posisi, duduk bersila seraya menatap Sahal di sisi halaman sana. "Tapi, masalah paling penting sekarang, bukan itu. Entah kenapa, tapi Tante ngerasa kalau ... Sahal sudah menyerah."
"Kenapa Tante mikirnya gitu?" Melodi merasa tak suka mendengar hal itu.
"Sahal tidak lagi mau meminum obatnya. Diam-diam, dia membuangnya. Dan, beberapa hari terakhir ini ... Sahal sering banget minta maaf sama orang-orang di rumah. Dia sering ngingetin Tante untuk jadi lebih kuat. Dia selalu maksa Tante buat janji kalau nanti Tante tidak boleh terpuruk dan hanya boleh nangis sewajarnya."
Hening. Mendengar hal itu dada Melodi sesak sehingga tiada mampu berucap apa pun.
"Tante ingin menyangkal semua itu. Tapi, melihat kondisi Sahal sekarang ... kayaknya Tante enggak bisa lagi berbuat apa pun selain berdoa dan menyerahkan segala sesuatunya sama Yang Di Atas. Kalau itu yang terbaik buat Sahal ... Tante ikhlas."
"Tante, kok, kayak ikutan nyerah juga, sih?" Air mata Melodi menetes begitu saja.
"Bukan menyerah. Hanya ... Tante merasa Sahal juga berhak untuk hidup tenang dan bahagia. Jika di sini dia hanya menderita, Tante berharap di kehidupan yang lain dia bisa bahagia."
***
Waktu mulai merangkak menuju gelap. Acara berjalan sesuai dengan apa yang mereka rencanakan. Kehadiran Yosa, membuat acara kemping kecil-kecilan itu lebih ramai dan hidup. Apa lagi Yosa datang dengan begitu banyak kembang api. Rencananya mereka akan menyalakannya di tengah malam nanti.
Aroma daging sapi yang tengah Melodi dan Risti panggang menguar, Nura berusaha menikmati baunya yang sedap. Kendati ada luka yang tengah berdarah-darah di dalam hatinya, tetapi Nura berusaha untuk tetap menikmati setiap momen yang ada hari ini. Berusaha sekuat tenaga untuk mengalihkan nyeri akibat keputusan yang Sahal ambil.
"Ayo, gabung sama yang lain." Canggung Nura menarik tangan Sahal yang tengah duduk di muka tenda yang tadi Virga pasang.
Sahal menggeleng. Napasnya terasa berat. "Di sini aja. Udah enggak kuat."
"Enggak kuat apa? Gue bilang Tante Risti ya?" Nura mendadak panik melihat Sahal tampak begitu payah. Nura hendak memanggil Risti, tetapi Sahal menahan segala pergerakannya.
"Ja-ngan. Sama lo aja udah cukup."
Walaupun berat, Nura menurut. Ia mendudukkan diri di samping Sahal. Laki-laki itu bernapas dengan begitu berat. "Obat lo mana?" tanya Nura.
Sahal menggeleng. "Abis. Udah gue buang. Gue mau berhenti."
Mata Nura membulat. "Becanda lo hari ini keterlaluan tahu enggak. Oke, gue enggak masalah kalau mulai hari ini gue kakak lo dan lo adik gue. Tapi, gue enggak suka kalau lo berpikir buat nyerah seperti ini. Gue enggak keberatan kalau kita enggak bisa bersama sebagai kekasih. Asal gue bisa tetap lihat lo. Gue—"
"Makasih, Nur." Sahal memutus segala tutur Nura. Lemah, ia memeluk gadis itu. "Makasih buat warna terindah yang pernah lo guratkan di hidup gue. Asal lo tahu, cuma pas sama lo gue ngerasa penderitaan gue hilang. Setelah ini ... Walaupun enggak bersama lo, gue janji bakal bahagia. Lo juga janji harus bahagia walaupun enggak ada gue di sisi lo."
"Sahal ... Gue ..."
"Gue sayang lo, Nur. Sayang banget!"
Air mata Nura tumpah ruah. Sesak menghujam sehingga seluruh kosakata yang hendak ia lafalkan tertahan di tenggorokan. Tiada lagi kata yang mampu ia ucap. Segala tutur kata yang Sahal jabarkan, seperti musik penyambut kehadiran malaikat kematian.
"Enggak, Sahal. Jangan hari ini. Gue mohon. Gue enggak mau. Tolong, jangan dulu. Gue mohon ... Gue enggak mau. Gue belum siap kehilangan lo. Tolong bangun! Jangan ... Jangan tidur!" Tangis Nura benar-benar pecah. Air matanya bercucuran tatkala sadar bobot tubuh Sahal makin berat bersandar padanya.
"Sahal Hadi, gue mohon jangan begini. Bangun. Gue mohon bangun!" Napas Sahal yang semula berembus cepat nan payah, tak lagi terdengar. Selagi peluknya perlahan terlepas. Berganti Nura memeluk tubuh ringkih itu. Menangis sesegukan dengan hebat.
Virga yang pertama kali menyadari gelagat aneh Nura, berlari menghampiri dengan raut cemas. "Nur, kenapa?" tanya Virga, suaranya bergetar melihat tubuh Sahal terkulai dalam dekapan Nura.
"Sahal ... dia." Tiada kata yang mampu Nura ucapkan.
Anggota keluarga yang lain turut mendekat tatkala melihat gerak Virga. Kecuali Melodi yang hanya mematung di tempatnya, sebelum kemudian terduduk lesu di atas rumput. Menangis dengan pedih. Sadar bahwa tangis hebat Nura adalah pertanda ada ketiadaan yang baru saja tercipta.
Nura hanya membeku di tempatnya, larut dengan air mata dan kesedihannya tatkala Roman dan Yosa dengan cepat mengambil alih tubuh Sahal, membaringkannya. Melakukan pemeriksaan singkat. Yosa hendak melakukan CPR, tetapi Risti dengan cepat menghentikan niat Yosa.
"Enggak usah, Mas. Sahal bilang dia mau pergi piknik lebih dulu. Saya yakin sekarang dia udah ada di tempat yang nyaman." Risti membawa kepala Sahal dalam pangkuannya. Mencium lama keningnya, selagi air matanya bercucuran tiada henti.
Faktanya, ikhlas dan rela tidak berarti mampu menghapus kesedihan yang ada. Mereka tahu Sahal sudah berada di tempat yang tepat, dalam dekap tangan pemiliknya. Mereka tahu Sahal tidak akan sakit dan menderita lagi. Namun, kendati demikian kehilangan yang dalam tak mampu membendung air mata mereka.
.fin
Bandung, 11 Mei 2023
...
Maaf, kelamaan enggak muncul. Sekalinya muncul saya bawa chapter final. Serius, ini selesai di sini ya. Kalau nyalse insya Allah saya bikin extra chapter. Tapi, enggak tahu kapan, jangan terlalu berharap. 😣😣😣
....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top