42 | Keegoisan yang Nyata
"O-Oma?" Suara Sahal nyaris lindap. Terkejut Melihat sosok yang kini terekam lensa mata. Di muka pintu sana, Titi berdiri dengan raut yang tak terbaca.
Virga yang baru saja kembali dengan gulungan selimut di tangannya, segera mendekat ke arah Sahal, setelah sebelumnya menyimpan selimut yang ia bawa di sembarang tempat. "Lo oke?" Kendati reaksi sahal tak seburuk tatkala melihat Aryan, tetapi Virga sedikit khawatir melihat Sahal mulai berkeringat banyak.
Tak ada respon yang Sahal tuturkan untuk menjawab tanya Virga. Laki-laki berkaos merah itu justru fokus pada wanita berusia senja di hadapannya. "O-Oma sama Papa?" tanya Sahal. Mengingat kata Papa wajah Sahal langsung dikawani ketakutan dan kecemasan.
Titik menggeleng, selagi membawa diri guna memeluk tubuh kurus Sahal. "Oma kangen sama kamu, Sahal. Oma benar-benar khawatir. Oma takut kamu kenapa-napa."
Mendengar uraian kalimat Titi, mata Sahal mendadak jadi lebih sayu. "Bohong ..." Lantas kata itu meluncur dari mulutnya. Kembali segala pengakuan Anne berdengung dalam kepalanya. "Oma hanya khawatir aku enggak kembali karena takut kehilangan Hadi Group."
Virga merasa tangan basah Sahal menarik pergelangan tangannya dan mencengkeramnya dengan kuat. Bola mata sewarna mocca itu lantas melirik Sahal yang tampak begitu pucat.
"Sejak awal, yang serakah di sini adalah Oma. Sejak awal, Oma tidak pernah benar-benar mencintai dan menyayangiku." Gentar sebenarnya menguasai Sahal kala mengungkap hal itu. Namun, segala pengkhianatan yang ia terima selama ini membuat semua susunan kalimat itu meluncur begitu saja dari lisannya.
Mendengar tutur Sahal, Titi melepas pelukannya dan menatap Sahal dengan raut terkejut. "Enggak, Sahal. Oma benar-benar menyayangimu." Titi yakin kalau Anne sudah membocorkan segala sesuatunya kenapa Sahal, mengingat wanita itu satu-satunya yang tahu segala rencana yang ia miliki.
"Kalau oma benar-benar menyayangiku, biarkan aku hidup sebagai Sahal di sini. Hanya Sahal, bukan sebagai Sahal Hadi."
Dilema melanda perasaan Titi. Ia bungkam sebab tak tahu harus menjawab apa, pasalnya sebagian hatinya masih tak rela Hadi Group jatuh kepada orang lain.
"Kenyataannya, Oma tetap tidak akan pernah bisa kehilangan Hadi Group." Sahal mundur beberapa langkah. Melihat reaksi bungkam neneknya, Sahal sudah bisa membaca segala sesuatunya. Virga bahkan bisa membacanya juga dan turut merasa kecewa.
"Sahal ... Kita bisa mendiskusikan ini terlebih dahulu. Kita ha—"
"A-aku enggak mau pulang." Sahal tiba-tiba membungkuk. Tangan yang semula kuat mencengkeram pergelangan tangan Virga, terlepas. Beralih mencengkeram dadanya yang mendadak terasa amat sesak. Sementara itu tangannya yang lain bertumpu di atas lutut.
"To-tolong jangan bawa aku pulang!" racau laki-laki itu lagi.
Melihat kondisi Sahal, Virga bergegas meraih tubuh saudaranya itu. Merengkuhnya tanpa memedulikan Titi yang masih mematung di tempatnya. "Lo bakal tetep di sini. Enggak ada siapa pun yang bakal bawa lo pulang. Besok kita akan piknik, jadi kami semua enggak akan biarin lo pulang ke rumah itu."
Sahal berusaha membayangkan hal-hal indah yang akan dilaluinya besok bersama keluarga dan sahabat-sahabatnya. Mengesampingkan bayang tentang Aryan yang perlahan merasuk pikirnya. Namun, tubuhnya mendadak terasa begitu lelah dan lemas. Ia tidak bisa berdiri di atas kakinya sendiri dan laki-laki itu direnggut pingsan pada akhirnya.
Risti dan Roman yang baru tiba, tanpa sadar dengan keberadaan Titi di sana, langsung berlari mendekat ke arah Sahal.
***
"Kami enggak bermaksud menyembunyikan Sahal dari kalian. Tapi, kondisi psikis Sahal memang sedang tak baik-baik saja. Sahal sering dilanda panik setiap kali melihat benda tajam semacam jarum. Tapi, yang lebih parah, serangan itu terjadi setiap kali ..." Jeda, Risti tertunduk. Ragu melanjutkan kalimat setelahnya.
Akan tetapi, "Melihat Aryan." Roman ambil suara tanpa maksud menyinggung. "Bahkan saat membayangkannya, Sahal bisa panik sendiri dan mencubiti kuku tangannya sampai berdarah. Itu alasan kami tidak bisa mempertemukan Sahal dengan Papanya untuk saat ini. Kami benar-benar minta maaf."
Risti merasa sangat berterima kasih kepada suaminya itu. Roman memang selalu tenang dalam situasi apa pun. Risti sangat bersyukur karena bisa hidup bersama pria itu.
"Kalian sudah bawa dia ke psikiater?" tanya Titi.
Sekilas Risti menatap Roman sebelum kemudian memberi gelengan singkat guna menjawab.
"Cari psikiater terbaik. Kalian bawa dia berobat. Soal biaya, itu biar jadi urusan saya. Kalian hanya perlu pastikan dia sembuh. Walau bagaimana pun di satu-satunya pewaris Hadi Group. Empat tahun lagi, dia akan menanggung begitu banyak tanggung jawab."
"Tapi, Bu ..." Risti menegakkan tubuhnya. Rasanya sedikit kecewa dengan segala hal yang Titi utarakan. "Apa enggak bisa Sahal hanya menjadi anakku saja?"
Dahi keriput Titi makin mengkerut. "Apa maksudmu?"
"Aku ingin Sahal hanya menjadi anakku. Tidak harus menjadi pewaris perusahaan besar, terlebih Hadi Group."
"Kamu ini ngomong apa, sih? Kamu sangat berharap ya perusahaan ini jadi milik orang lain?" Suasana mulai terasa panas. Titi menatap mantan menantunya dengan begitu runcing.
Merasa tertohok, Risti tertunduk. Selalu, ia merasa tak sanggup menghadapi wanita berusia senja itu. "Aku hanya ingin Sahal menjadi milikku. Aku tidak peduli pada akhirnya perusahaan itu jadi milik siapa." Kendati begitu, genggaman tangan Roman di tangannya, mampu menguatkan Risti. Ia merasa ada tameng, yang siap melindunginya.
Segala uraian kalimat yang meluncur dari mulut Risti, mengundang decak kasar Titi. "Kamu memang tidak berubah, Risti. Bukankah selama ini kamu selalu salah mengambil keputusan? Perusahaan ayahmu, bahkan harus gulung tikar sebab keputusan bodoh yang kamu ambil."
Raut Risti langsung dilanda mendung takala Titi mengingatkan akan hal itu. Ia ingat betul bagaimana perusahaan ayahnya mengalami kerugian besar sebab keputusannya bercerai dengan Aryan.
Dia dijodohkan dengan Aryan karena ikatan bisnis orang tuanya. Saat ia memilih untuk mengakhiri semuanya, ikatan bisnis itu pun akhirnya terputus juga. Sialnya, perusahaan Hadian jauh lebih besar, sehingga yang mudah dihancurkan saat itu adalah perusahaan keluarganya.
"Aku tahu. Kedua orang tuaku bahkan meninggal karena hal itu. Aku pernah merasa begitu menyesal. Tapi, untuk kali ini, keputusan yang aku ambil sekarang ... Aku tidak akan pernah menyesalinya."
Marah mendengar penjelasan Risti, dalam satu gerakan, Titi bangkit. Suara derit kursi membuat Risti dan Roman terkejut. "Pokoknya, kalian pastikan Sahal sembuh. Sebelum usianya menginjak dua puluh satu tahun, kalian boleh mengurusnya. Nanti saya akan membawanya kembali saat waktunya tiba." Lantas wanita tua itu melangkah pergi meninggalkan tempatnya.
Risti mengepalkan tangannya. Merasa begitu marah dan sedih.
"Enggak apa-apa. Setidaknya kita punya banyak waktu bersama Sahal. Kita jalani saja hari ini. Urusan nanti, pasti akan membuka jalannya sendiri." Roman membawa Risti dalam dekapannya.
Bersambung
Bandung, 07 Pebruari 2023
...
Maaf pendek
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top