41 | Rencana Piknik
"Bu ... Teh Nura akhirnya pulang ke rumah!"
Tatkala membuka pintu rumah, teriakan cempreng Yara menyambut Nura. Nuryani yang tengah sibuk menyiapkan makan malam di dapur bergegas keluar dan menghampiri anak gadisnya itu. Lantas tanpa berucap apa pun, wanita paruh baya itu memeluk anaknya dengan erat.
"Akhirnya kamu pulang juga. Ibu benar-benar minta maaf, Teh." Tulus, Nuryani berujar demikian.
Tiada kata yang terlafal dari bibir tipis Nura. Peluk hangat sang Ibu justru membuat jiwanya yang tengah dirundung awan kelabu makin mendung. Sebelum kemudian hujan yang sempat berhenti di pelupuk matanya kembali menderas. Nura menangis dengan hebat.
Bayang penderitaan Sahal bak panah beracun yang menancap di dadanya. Dan kenyataan bahwasanya tiada daya yang bisa ia lakukan untuk menghentikan penderitaan itu, membuat Nura terjerumus lebih jauh dalam luka.
Melihat Nura menangis seperti anak kecil, Nuryani heran. Wanita itu kemudian melepaskan pelukannya. Seraya membiarkan tangannya terbingkai di wajah si Sulung, ditatapnya mata basah gadis itu.
"Ada apa, Teh?" tanya Nuryani. Di tempatnya, Yara turut kebingungan.
"Sahal ..." Gumam rendah Nura menggantung. Rasanya tak sanggup menceritakan segala hal yang sempat terekam ingatan.
"Sahal kenapa?" Risti sudah memberitahu Nuryani perihal Sahal yang akhirnya berhasil diselamatkan. Nuryani pikir semuanya sudah kembali membaik. Namun, melihat nestapa yang tergurat di balik wajah anaknya kala menyebut nama itu, pikiran Nuryani mulai dikerubungi hal-hal negatif.
Nura tertunduk. Air matanya makin menetes banyak. "Sumpah demi apa pun itu, Nura benci banget sama Om Aryan. Sampai kapan pun, siapa pun dia, Nura enggak akan pernah bisa memaafkannya."
"Teh ..."
"Orang jahat itu yang udah membuat Sahal sakit." Perlahan, Nura menjauhkan tangan Nuryani. "Maaf, Bu. Nura pengen sendiri dulu." Lantas setelah berujar demikian, gadis bertubuh kurus itu melangkah melewati Nuryani. Berjalan lesu menuju kamarnya.
Baik Nuryani maupun Yara hanya bisa menatap punggung mungil gadis itu dengan sendu. Ada banyak harap semuanya membaik ketika akhirnya Nura kembali. Namun, mungkin Nura memang perlu waktu untuk memulihkan segalanya.
***
Lima hari berlalu. Nura berputus tidak masuk sekolah selama itu. Ia diserang demam tinggi. Sepanjang ingatan Nura, ia sangat jarang sekali diserang sakit. Bahkan saat ia bermain hujan seharian pun, flu atau batuk tidak pernah mau berdekatan dengannya. Sekarang sebab psikis dan jiwanya tengah rentan, fisiknya pun ikut melemah dan dihampiri sakit.
Tidak ada kabar apa pun dari sahal. Terakhir Virga mengabarinya, bilang kalau Sahal sudah lebih baik dari sebelumnya. Nura rasa itu bohong. Virga bilang begitu pasti hanya untuk menenangkannya agar ia bisa sehat lebih cepat.
Notifikasi ponsel di sisi bantal tempat murah berbaring mengalihkan atensi Nura. Dengan enggan, si gadis meraih benda pipih itu dan mengecek pesan yang masuk.
082345678910
| Gue mau kita piknik.
| Sahal
Nura refleks bangkit saat nama Sahal terbaca. ia membalas pesan itu dengan cepat.
| Sahal?
| Beneran ini Sahal?
| Sahal Hadi?
082345678910
| Emg ad brp Sahal yg lo knl?
| Ini no Mama
| (/ε\*)
| Mau banget piknik sama lo. Kapan?
082345678910
| pgnnya bsk tp ktnya lo lg sakit.
| Dapat pesan dari lo gue langsung sembuh.
| (^ヮ^)
| Lo mau piknik ke mana?
082345678910
| Gue g suka dngin tp pgn bgt prgi ke pegunungan.
Tak lalu menjawab, Nura berpikir sejenak. Mendengar kata pegunungan, ia langsung ingat dengan rumah nenek dan kakeknya di Bandung.
| Gue tahu tempat yang cocok.
082345678910
| Bgslh. Nnti gue kbri lg.
| Tapi, Sahal ...
| Lo udah sehat? Apa enggak apa-apa kita pergi jauh?
Ceklis satu terlihat di bawah pesan yang terakhir Nura kirimkan. Ponsel Sahal langsung tak aktif. Nura senang dengan rencana yang ada tapi entah kenapa perasaannya justru tak begitu tenang.
lama ia menatapi layar ponselnya yang menggelap. Entah kenapa mendadak ada kehampaan yang parah dalam dadanya.
***
"Kabar kasusnya gimana?" Kantin Sekolah cukup padat dan ramai. Suara Virga nyaris menguap, tetapi melodi masih bisa mendengarnya dengan Cukup jelas, dan paham maksudnya.
"Gue enggak terlalu ngerti juga, sih. Tapi, katanya kasusnya agak sulit karena Sahal sebagai korban juga enggak bisa dimintai keterangan. Tapi, dari kesaksian lo, juga Andini, dan beberapa orang lainnya, bisa dipastiin Om Fedrik dapat hukuman. Tapi dokter Anne, dia masih belum ditemukan."
Virga berdecak kecil mendengar kabar terakhir dari Melodi.
Aryan tahu Anne terlibat saat mendengar pengakuan Andini. Namun, saat hendak melakukan penangkapan, wanita itu menghilang. Sampai saat ini kepolisian belum menemukannya.
Harusnya, jika Aryan tidak memutuskan untuk menutupi kasus ini dari media, akan sangat mudah menemukan Anne. Namun, untuk kebaikan perusahaan, juga untuk kebaikan Sahal, tak memunculkan kasus ini ke media adalah pilihan yang lebih baik. Terlebih-lebih kondisi psikis Sahal juga tak begitu baik berkat kasus ini.
"Ekhem ..."
Atensi Virga dan Melodi kontan teralih. Andini berdiri di sisi meja mereka.
Kursi kosong di sisi Virga bergeser. "Duduk, An," titah Virga.
Senyum tawar Andini tersemat. Seraya mengucap terima kasih, gadis itu mengambil tempat kemudian. "Gue punya sesuatu buat kalian." Gadis penyuka warna merah itu mengeluarkan empat gulungan kertas di dalam ranselnya. Lantas memberikannya kepada Melodi dan Virga masing-masing satu.
Mengingat Andini suka menggambar, Virga tahu gulungan kertas itu apa.
"Yang dua ini buat Sahal dan Nura. Tolong kasih ke mereka, ya?" Pinta Andini, menyodorkan kertas itu kehadapan Melodi. Melodi mengangguk mengiyakan.
"Gue udah mutusin buat tinggal sama Oma dan Opa di desa. Jadi, gue mau pindah rumah. Hadiah dari gue itu ... Selain sebagai kenang-kenangan, juga sebagai permintaan maaf gue karena udah pernah jahatin kalian."
"Gue udah lupain semua itu, kok, An. Pas lo mutusin buat bantu Sahal, juga ambil kesaksian di kepolisian, gue udah berterima kasih banyak. Gue merasa punya hutang banyak sama lo." Melodi meraih tangan Andini. Menggenggamnya erat.
"Perihal bokap lo, pasti itu berat banget buat lo. Lo pasti menderita banget."
"Emang berat karena yang gue punya cuma bokap. Tapi, gue lebih bahagia karena bisa lakuin sesuatu yang benar," tutur Andini. Raut wajahnya benar-benar tak melukis penyesalan.
"Sekali lagi makasih." Kompak tanpa komando, Virga dan Melodi mengungkap hal itu. Andini tergelak kontan melihat kekompakan itu.
"Gue harap lo berdua jadian lagi. Kompak bener abisan," celetukkan Andini membuat Virga dan Melodi saling melempar tatap.
Rasanya, bukan tak ingin kembali bersama. Toh, perasaan mereka masihlah sama. Hanya saja, mereka merasa kalau hubungan itu kembali terjalin, itu tak adil untuk Nura dan juga Sahal.
***
"Piknik?"
"Hm ... Boleh?"
Guna mengulur waktu untuk memberi jawab, Risti pura-pura sibuk merapikan barang-barang di atas nakas yang sebenarnya sudah cukup rapi. "Mama enggak begitu yakin. Apalagi kalau harus ke daerah pegunungan," jawab Risti akhirnya. Kendati tahu Sahal akan kecewa dengan jawabannya, tetapi Risti juga tidak bisa langsung mengiakan keinginan Sahal. Apalagi dengan kondisi Sahal saat ini.
Risti bahkan masih bisa melihat lelah menggantung di wajah Sahal. Semalaman Sahal tak tidur lantaran diserang sesak napas parah. Dan, sore ini laki-laki berusia tujuh belas tahun itu ngotot ingin pergi piknik.
"Aku belum pernah pergi ke sana."
Lama Risti larut dalam bisu. Ia mesti mempertimbangkan hal-hal sulit beberapa pekan terakhir ini. Termasuk keinginan Sahal kali ini. "Baiklah, nanti kalau kamu udah sembuh kita pergi," putus Risti. Raut penuh harap Sahal membuatnya goyah. Kepalanya agak pening.
"Aku enggak akan pernah sembuh." Kepala Sahal tertunduk. Ia tahu betul kondisi tubuhnya. Jika harus menunggu sembuh, Sahal yakin ia tidak akan pernah benar-benar bisa piknik.
"Sahal ..."
"Itu kenyataannya."
Rasa-rasanya ada batu besar yang menghimpit dada Risti. Sesak menghujam sadis tatkala mengakui bahwasanya apa yang Sahal paparkan adalah sebuah kebenaran. "Udah sore. Virga kenapa belum pulang, ya? Malah mau hujan lagi ini." Bola mata yang mulai dikawani kaca-kaca bening itu bergulir, menatap langit di luar jendela kamar Sahal yang tampak redup.
Sahal tahu wanita dewasa yang ia panggil Mama itu tengah mengalihkan pembicaraan. "Ma ... jangan al—"
"Ah, Mama lupa belum ngangkat jemuran! Mama ke belakang dulu."
Hela napas panjang Sahal mengudara. Tatap sendunya mengiringi kepergian Risti hingga menghilang di balik pintu kamarnya. Lantas laki-laki berlesung pipi itu tenggelam dalam renungan panjang. Entahlah, ia merasa kalau keinginannya hanya hal sederhana, tetapi begitu berat untuk orang-orang di sekitarnya wujudkan. Di satu sisi Sahal ingin mewujudkan setidaknya satu dari sekian banyak keinginannya sebelum ia benar-benar memutuskan untuk menyerah dan berpasrah pada Yang Kuasa. Namun, di sisi lain, ia merasa terlalu egois jika memaksa untuk itu.
Risti tak benar-benar pergi ke halaman belakang untuk mengangkat jemuran. Wanita itu hanya tak lagi kuasa menahan bendungan di pelupuk matanya sehingga memutuskan untuk pergi. Buktinya, sebelum benar-benar keluar kamar Sahal, air mata Risti sudah bercucuran. Dan makin deras saat melihat Roman berdiri di sisi pintu kamar Sahal. Memberinya sebuah pelukan erat.
Pria itu sudah berdiri cukup lama di sana. Mendengar dan melihat semua hal di dalam ruangan tanpa Sahal dan Risti sadari. Tahu Risti menangis, ia paham bagaimana perasaan sang istri.
"Kenapa kita enggak coba pergi aja? Kita ... bisa pergi bersama-sama. Saya, kamu, Virga, dan teman-teman Sahal yang lain."
Mendengar untaian kalimat itu, Risti melepaskan pelukan Roman. "Tapi, Mas ..."
"Kita enggak tahu, bisa jadi ini permintaan terakhir Sahal. Aku enggak mau kamu menyesali ini nantinya."
Air mata Risti kembali berurai. Tentu begitu berat mengakui kalau segala hal yang Sahal inginkan bisa menjadi keinginan terakhir. Mengingat begitu kuat keinginan Risti untuk bisa melihat dan memeluk Sahal lebih lama. Risti masih ingin melihat dan mendampingi Sahal hingga tumbuh lebih dewasa. Kendati tak menjadi pewaris perusahaan besar semacam Hadi Group, tetapi melihat Sahal meraih bahagianya, adalah hal yang Risti nantikan.
Akan tetapi, kenyataan menampar jam kesadaran Risti. Semua harap dan ingin yang ia angankan, hanya sebuah doa. Tuhan boleh jadi tak mewujudkan doanya sebab Ia lebih tahu mana yang lebih baik.
"Ayo, kita pergi piknik. Kita bisa menjaga Sahal sama-sama nanti. Saya pastikan semuanya akan baik-baik saja," tutur Roman. Kembali menarik Risti dalam dekapannya. Berusaha menguatkan hati wanita yang dikasihinya itu.
***
"Gue enggak nyangka kalau di tujuh belas tahun hidup lo, lo sama sekali enggak pernah pergi ke daerah pegunungan." Selagi tangannya sibuk memasukkan beberapa perlengkapan yang hendak mereka bawa untuk piknik besok, Virga melepas komentar.
Sahal sangat senang saat Risti akhirnya mengizinkannya pergi piknik. Kendati dengan syarat mereka harus pergi bersama-sama. Entah sejak kapan, tetapi Virga merasa sangat bahagia juga tatkala melihat Sahal bahagia.
"Emang lo pernah?" Sahal membuka gulungan kertas yang baru saja Virga berikan kepadanya. Andini melukis dirinya dengan begitu apik, rapi, dan terlihat begitu hidup. Sahal tidak menyangka kalau Andini punya skill lukis yang bagus.
"Pernah, lah. Gue aktif di beberapa organisasi dan sering kemping ke gunung. Malah, beberapa minggu ini gue sama Melodi dan Nura juga pergi ke gunung."
"Serius? Ngapain? Kenapa sama Melodi dan Nura juga?" Sahal kembali menggulung lukisan itu. Sebelum kemudian ia biarkan fokusnya jatuh ke arah Virga. Laki-laki penyuka desain art itu duduk di bawah sofa, sementara Sahal duduk di atasnya.
"Ada, lah ... Menyelesaikan misi." Tawa ringan Virga menguar di antara hening ruang depan keluarga. Jika dipikir lagi, Sahal sebenarnya pernah pergi ke daerah pegunungan. Hanya saja lantaran pergi di kondisi yang benar-benar buruk, Sahal tidak terlalu menyadarinya.
Sahal berdecak. Sorot matanya menyorot curiga dan menuntut jawab. Di satu sisi merasa kecewa karena ketiga orang itu pergi tanpa dirinya.
Tak ingin terlalu membahas hal itu terlalu panjang, takut Sahal kemudian mengingat kembali kejadian itu, Virga bangkit segera. "Kayaknya kita perlu tambahan selimut. Gue ke atas dulu." Tanpa menunggu respon Sahal, laki-laki berwajah bule itu lantas melesat pergi ke lantai atas.
Melihat Virga melesat pergi, rasa penasaran dan kecewa turut pergi dalam perasaan Sahal. Sahal pikir itu tak lagi penting sebab besok ia juga akan pergi bersama-sama dengan Nura, juga Melodi dan yang lain.
Baru Sahal hendak merebahkan diri dan mencari posisi ternyaman, suara ketukan pintu terdengar. Merasa tak akan ada yang membuka pintu, mengingat Risti dan Roman sedang tak ada di rumah, dan posisinya dari pintu depan pun tak jauh, Sahal bangkit dengan enggan dan berjalan menuju pintu bercat putih itu.
Sempurna pintu itu terbuka, mata Sahal melebar seketika.
Bersambung
Bandung, 31 Januari 2023
...
Siap-siap berpisah ya ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top